Peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib dikenal dengan tragedi Karbala.
Peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib adalah salah satu momen paling monumental dan menyayat hati dalam sejarah Islam, khususnya bagi umat Syiah. Tragedi ini berpusat di padang Karbala, Irak, yang kini menjadi simbol pengorbanan tertinggi demi menjaga prinsip dan kebenaran melawan tirani. Husein, cucu kesayangan Rasulullah SAW dan putra dari Ali bin Abi Thalib, menolak tunduk kepada kekuasaan Yazid bin Muawiyah, yang dianggapnya telah menyimpang jauh dari ajaran leluhurnya.
Setelah wafatnya Muawiyah bin Abi Sufyan, kepemimpinan kekhalifahan diteruskan kepada putranya, Yazid. Kepemimpinan Yazid, yang dinilai berdasarkan keturunan dan bukan meritokrasi serta akhlak Islam yang ketat, menimbulkan penolakan dari banyak tokoh penting, termasuk Husein. Husein merasa wajib untuk menegakkan kembali keadilan dan moralitas dalam struktur pemerintahan Islam. Ia menolak sumpah setia kepada Yazid karena menganggap pemerintahan tersebut korup dan tiranik.
Atas undangan dari kelompok masyarakat di Kufah (saat itu bagian dari wilayah kekuasaan pusat), Husein bersama rombongan keluarga dan sahabatnya bergerak menuju wilayah tersebut, meyakini akan adanya dukungan besar untuk menegakkan otoritas yang sah menurut pandangan mereka. Namun, perjalanan menuju Kufah ternyata penuh dengan jebakan politik dan pengkhianatan.
Ketika rombongan Husein mendekati Kufah, mereka dicegat oleh pasukan besar yang dikirim oleh gubernur Kufah atas instruksi Yazid. Lokasi pertemuannya adalah dataran sunyi yang dikenal sebagai Karbala. Pasukan musuh memblokade akses mereka terhadap sumber air, memaksa Husein dan rombongannya yang berjumlah relatif kecil—termasuk wanita dan anak-anak—untuk bertahan dalam kondisi kekurangan air dan makanan selama berhari-hari di bawah terik matahari gurun.
Meskipun dihadapkan pada kekuatan militer yang jauh melebihi jumlah mereka, Husein dan para pengikutnya tetap teguh pada pendirian mereka. Berbagai upaya diplomasi dilakukan, namun ditolak mentah-mentah oleh komandan pasukan Yazid, Umar bin Sa'ad. Keteguhan hati Husein untuk tidak menyerah pada penindasan menjadi inti dari narasi tragedi ini.
Pada hari kesepuluh bulan Muharram (dikenal sebagai hari Asyura), pertempuran tak terhindarkan pecah. Meskipun bertempur dengan gagah berani melawan pengepungan dan jumlah musuh yang berkali-kali lipat, satu per satu sahabat dan kerabat Husein gugur. Pemandangan paling memilukan adalah ketika semua pembela setia Husein telah gugur.
Peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib terjadi setelah ia sendiri terluka parah akibat serangan musuh. Syahidnya Husein di Karbala tidak hanya mengakhiri hayatnya secara fisik, tetapi juga menandai pemisahan definitif antara dua pandangan politik dan keagamaan dalam lanskap Islam. Bagi banyak penganut, tindakan ini adalah pengorbanan tertinggi yang dilakukan demi mempertahankan idealisme keadilan, kejujuran, dan penolakan terhadap otokrasi.
Tragedi Karbala tidak hanya dikenang sebagai peristiwa pembantaian, tetapi juga sebagai pelajaran abadi tentang keberanian moral dan keteguhan iman. Setiap tahun, terutama pada bulan Muharram, peringatan atas kesyahidan Imam Husein diadakan secara luas oleh jutaan umat Muslim, terutama Syiah, melalui ritual seperti ta'ziyah dan prosesi duka. Peringatan ini berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya melawan kezaliman, meskipun harus dibayar dengan nyawa. Semangat perlawanan Husein terus menginspirasi perjuangan keadilan di berbagai belahan dunia.