Pernikahan antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah binti Rasulullah SAW merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dan sakral dalam tradisi Islam. Kisah ini bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan ikatan suci yang melahirkan generasi penerus mulia, yang darinya mengalir garis keturunan Nabi Muhammad SAW.
Memilih Calon Terbaik
Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai pemuda Quraisy yang paling berani, paling cerdas, dan paling utama dalam ketaqwaan setelah Rasulullah SAW sendiri. Kedekatan beliau dengan Nabi Muhammad SAW sejak kecil membuatnya menjadi figur yang sangat dihormati. Sementara itu, Fatimah az-Zahra adalah putri tercinta Rasulullah, dikenal karena kesucian, kesabaran, dan ketaatannya.
Banyak sahabat terkemuka yang juga mengajukan lamaran kepada Rasulullah SAW untuk menikahi putrinya. Namun, Rasulullah SAW menahan diri, menunggu ketetapan Ilahi. Ketika Ali yang mengajukan lamaran, Nabi Muhammad SAW menyambutnya dengan penuh sukacita. Beliau bersabda bahwa jika bukan untuk Ali, maka tidak ada seorang pun yang layak menjadi suami Fatimah.
Mahar yang Sederhana Namun Bermakna
Salah satu aspek paling menonjol dari pernikahan ini adalah kesederhanaannya. Ketika Rasulullah SAW menanyakan apa yang dimiliki Ali sebagai mahar, Ali dengan jujur menyatakan bahwa ia tidak memiliki apa-apa selain baju zirahnya dan seekor unta yang ia gunakan untuk bekerja. Rasulullah SAW menerima persembahan tersebut dengan lapang dada.
Bahkan, baju zirah tersebut kemudian dijual oleh Ali, dan hasil penjualannya (yang konon berjumlah sekitar 400 dirham perak) diserahkan kepada Rasulullah SAW. Sebagian besar uang itu digunakan untuk keperluan persiapan pernikahan dan sisanya diserahkan kembali kepada Ali dan Fatimah untuk modal hidup mereka. Kesederhanaan mahar ini menjadi teladan agung bahwa nilai sejati sebuah pernikahan terletak pada ketakwaan dan kesucian niat, bukan pada kemewahan duniawi.
Prosesi Pernikahan yang Penuh Berkah
Pernikahan ini berlangsung di masa sulit, namun dipenuhi dengan keberkahan surgawi. Rasulullah SAW sendiri yang mempersiapkan segala sesuatunya. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Fatimah menangis saat akan meninggalkan rumah ayahnya. Rasulullah SAW menghiburnya dan berdoa agar Allah memberkahi pernikahan mereka.
Malam pernikahan mereka adalah malam yang sederhana namun penuh dengan kehadiran para sahabat dan malaikat. Rasulullah SAW berpesan kepada Ali dan Fatimah untuk selalu menjaga kehormatan rumah tangga mereka, mendahulukan ketaatan kepada Allah, dan saling menghormati. Beliau juga mendoakan agar Allah menganugerahkan keturunan yang saleh dan mulia dari pernikahan tersebut.
Pelajaran dari Ikatan Suci
Kisah pernikahan Ali dan Fatimah mengajarkan banyak pelajaran penting bagi umat Islam. Pertama, pentingnya kesederhanaan dalam mahar; nilai seorang suami atau istri diukur dari akhlak dan agamanya, bukan kekayaannya. Kedua, menunjukkan keteladanan dalam menjalani hidup. Meskipun mereka adalah keluarga termulia, mereka menjalani hidup yang sangat bersahaja, bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ali bekerja mencari nafkah, sementara Fatimah tekun mengurus rumah tangga, bahkan sampai tangan beliau melepuh karena menggiling gandum. Kesabaran dan keikhlasan mereka dalam menghadapi ujian hidup adalah cerminan sempurna dari ajaran Islam.
Pernikahan ini melahirkan cucu-cucu kesayangan Nabi, yaitu Hasan dan Husain, yang menjadi pemimpin para pemuda penghuni surga. Hingga hari ini, ikatan suci antara Ali dan Fatimah tetap menjadi simbol cinta sejati, kesetiaan, dan keteladanan iman yang abadi dalam sejarah Islam.