Memahami Peran Sentral Peserta dalam Arsitektur Asesmen Nasional
Transformasi dunia pendidikan Indonesia ditandai dengan pergeseran paradigma evaluasi dari ujian berbasis penguasaan konten menjadi asesmen yang berfokus pada pemetaan mutu sistem. Di jantung perubahan ini, berdiri Asesmen Nasional, sebuah instrumen komprehensif yang dirancang bukan untuk menghakimi individu, melainkan untuk merefleksikan dan memperbaiki ekosistem pendidikan secara kolektif. Untuk memahami esensinya, kita harus terlebih dahulu menyelami siapa saja yang menjadi peserta asesmen nasional dan mengapa pemilihan mereka menjadi kunci keberhasilan program ini.
Definisi Ulang Peran Peserta: Dari Objek Evaluasi Menuju Sumber Informasi
Selama bertahun-tahun, istilah "peserta ujian" identik dengan seluruh siswa di tingkat akhir jenjang pendidikan (kelas 6, 9, dan 12). Mereka adalah subjek yang dinilai, dengan hasil yang menentukan kelulusan individu dan prestise sekolah. Asesmen Nasional (AN) secara fundamental mengubah definisi ini. Peserta dalam AN tidak lagi menjadi objek yang dihakimi, melainkan partisipan aktif yang memberikan informasi berharga mengenai proses belajar-mengajar dan lingkungan satuan pendidikan.
Hasil dari partisipasi mereka tidak menghasilkan nilai individu yang ditempelkan pada ijazah. Sebaliknya, data yang terkumpul diolah menjadi sebuah potret utuh yang disebut Rapor Pendidikan. Laporan ini berfungsi sebagai cermin bagi sekolah, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat untuk melihat kekuatan dan area yang memerlukan perbaikan. Dengan demikian, peran peserta bergeser dari sekadar "yang diuji" menjadi "pemberi data" untuk perbaikan berkelanjutan. Perubahan filosofis ini sangat penting karena ia melepaskan beban psikologis yang berat dari pundak siswa, guru, dan kepala sekolah, serta mendorong budaya evaluasi yang lebih sehat dan konstruktif.
Siapa Saja yang Menjadi Peserta Asesmen Nasional?
Asesmen Nasional dirancang untuk menangkap gambaran menyeluruh tentang kualitas pendidikan. Oleh karena itu, pesertanya tidak hanya terbatas pada siswa. Ada tiga komponen utama yang menjadi partisipan, masing-masing dengan peran dan instrumen yang berbeda:
- Siswa: Merupakan sumber data utama mengenai hasil belajar kognitif dan non-kognitif.
- Guru: Memberikan informasi mengenai karakteristik dan kualitas proses pembelajaran serta iklim sekolah dari perspektif pendidik.
- Kepala Satuan Pendidikan (Kepala Sekolah): Memberikan wawasan mengenai kebijakan, kepemimpinan, dan manajemen sekolah yang memengaruhi lingkungan belajar.
Keterlibatan tiga elemen ini—hasil belajar siswa, proses belajar oleh guru, dan konteks manajemen oleh kepala sekolah—menciptakan data yang kaya dan triangulatif. Data ini memungkinkan analisis yang lebih mendalam tentang apa yang benar-benar terjadi di dalam sebuah sekolah, jauh melampaui sekadar skor angka.
Fokus pada Peserta Siswa: Metode Pemilihan yang Strategis
Salah satu inovasi paling signifikan dalam Asesmen Nasional adalah metode pemilihan peserta siswa. Berbeda dengan Ujian Nasional yang bersifat sensus (diikuti oleh semua siswa di tingkat akhir), AN menggunakan metode sampling atau pengambilan sampel secara acak. Keputusan ini didasari oleh beberapa pertimbangan strategis yang krusial.
1. Mengapa Menggunakan Sampel?
Tujuan utama AN adalah untuk memetakan mutu sistem, bukan menilai individu. Untuk tujuan ini, data dari sampel yang representatif secara statistik sudah lebih dari cukup untuk memberikan gambaran akurat tentang kondisi sebuah sekolah atau daerah. Beberapa keuntungan utama dari pendekatan sampling ini adalah:
- Mengurangi Beban dan Tekanan (Low-Stakes): Karena tidak semua siswa ikut dan hasilnya tidak memengaruhi nasib individu, AN menjadi asesmen yang berisiko rendah (low-stakes). Ini mencegah praktik-praktik negatif seperti bimbingan belajar intensif yang hanya berfokus pada trik menjawab soal, serta mengurangi kecemasan berlebihan pada siswa, guru, dan orang tua.
- Efisiensi Logistik dan Biaya: Menyelenggarakan asesmen untuk jutaan siswa secara serentak membutuhkan sumber daya yang luar biasa besar. Dengan metode sampling, pelaksanaan menjadi lebih efisien dari segi biaya, logistik, dan tenaga pengawas.
- Fokus pada Kejujuran dan Integritas Data: Karena tidak ada tekanan untuk mendapatkan nilai tinggi, siswa diharapkan dapat mengerjakan asesmen dengan lebih jujur dan apa adanya. Hal ini menghasilkan data yang lebih valid dan mencerminkan kemampuan serta kondisi sebenarnya.
2. Jenjang dan Jumlah Sampel Siswa
Pemilihan peserta siswa dilakukan pada jenjang tengah, bukan di akhir jenjang. Ini adalah pilihan sadar yang bertujuan agar hasil asesmen dapat digunakan sebagai umpan balik untuk perbaikan selama siswa tersebut masih berada di sekolah yang bersangkutan.
- Jenjang SD/MI dan Sederajat: Peserta dipilih dari kelas 5. Jumlah maksimal peserta dari setiap sekolah adalah 30 siswa utama dan 5 siswa cadangan.
- Jenjang SMP/MTs dan Sederajat: Peserta dipilih dari kelas 8. Jumlah maksimal peserta dari setiap sekolah adalah 45 siswa utama dan 5 siswa cadangan.
- Jenjang SMA/SMK/MA dan Sederajat: Peserta dipilih dari kelas 11. Jumlah maksimal peserta dari setiap sekolah adalah 45 siswa utama dan 5 siswa cadangan.
Pemilihan siswa dilakukan secara acak oleh sistem pusat (Kemendikbudristek) dari Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Sekolah tidak memiliki kewenangan untuk memilih atau mengganti siswa yang telah terpilih. Hal ini untuk menjamin objektivitas dan keterwakilan sampel. Siswa cadangan disiapkan untuk menggantikan siswa utama jika berhalangan hadir karena alasan yang sah dan mendesak.
3. Penanganan Peserta Berkebutuhan Khusus
Inklusivitas adalah prinsip penting dalam Asesmen Nasional. Siswa Berkebutuhan Khusus (SBK) yang belajar di sekolah reguler (sekolah inklusi) juga memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai peserta. Namun, partisipasi mereka didasarkan pada kesiapan dan kondisi masing-masing. Jika seorang SBK terpilih, sekolah akan berkoordinasi dengan orang tua. Jika SBK tersebut tidak dapat mengikuti asesmen karena keterbatasan fungsionalnya, ia tidak akan dipaksa dan tidak perlu digantikan oleh siswa cadangan. Bagi siswa di Sekolah Luar Biasa (SLB), mereka tidak menjadi bagian dari sampel AN reguler karena instrumen yang digunakan belum terstandarisasi untuk berbagai jenis kekhususan. Evaluasi untuk SLB dilakukan melalui mekanisme tersendiri.
Fokus pada Peserta Pendidik dan Kepala Satuan Pendidikan
Berbeda dengan siswa, seluruh guru dan kepala sekolah yang aktif mengajar di satuan pendidikan tersebut diwajibkan untuk menjadi peserta AN. Metode yang digunakan adalah sensus, bukan sampling.
1. Mengapa Sensus untuk Guru dan Kepala Sekolah?
Informasi mengenai lingkungan belajar, iklim keamanan, praktik pengajaran, dan kepemimpinan sekolah akan lebih akurat dan komprehensif jika dikumpulkan dari seluruh populasi pendidik dan pimpinan di sekolah tersebut. Setiap guru memiliki pengalaman dan perspektif unik terhadap kelas dan sekolahnya. Dengan mengumpulkan data dari semua guru, Rapor Pendidikan dapat memberikan gambaran yang lebih holistik dan mengurangi potensi bias jika hanya sebagian kecil yang berpartisipasi.
2. Instrumen yang Dikerjakan
Guru dan Kepala Sekolah tidak mengerjakan soal literasi dan numerasi seperti siswa. Mereka berpartisipasi dengan mengisi instrumen yang disebut Survei Lingkungan Belajar (Sulingjar). Survei ini dirancang untuk menggali informasi tentang berbagai aspek input dan proses di satuan pendidikan, yang menjadi konteks penting untuk menafsirkan hasil belajar siswa.
Detail Instrumen yang Dihadapi Setiap Peserta
Setiap kelompok peserta mengerjakan instrumen yang berbeda, sesuai dengan tujuan pengumpulan data dari masing-masing kelompok.
1. Instrumen untuk Peserta Siswa
Peserta siswa akan mengerjakan tiga jenis instrumen:
- Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)
- Survei Karakter
- Survei Lingkungan Belajar (khusus untuk siswa)
Asesmen Kompetensi Minimum (AKM): Mengukur Kemampuan Bernalar
AKM adalah tulang punggung dari Asesmen Nasional yang mengukur hasil belajar kognitif siswa. Namun, AKM tidak mengukur penguasaan semua materi kurikulum seperti Ujian Nasional. Fokusnya adalah pada dua kompetensi mendasar yang diperlukan oleh semua siswa untuk dapat belajar sepanjang hayat dan berkontribusi pada masyarakat, yaitu literasi membaca dan numerasi.
Literasi Membaca didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami, menggunakan, mengevaluasi, dan merefleksikan berbagai jenis teks untuk menyelesaikan masalah dan mengembangkan kapasitas individu sebagai warga Indonesia dan warga dunia. Ini mencakup:
- Konten: Teks yang digunakan bisa berupa teks informasi (misalnya, artikel berita, infografis, prosedur) dan teks sastra (misalnya, cerpen, puisi).
- Proses Kognitif: Siswa diuji kemampuannya dalam (1) menemukan informasi tersurat, (2) menginterpretasi dan mengintegrasikan gagasan, serta (3) mengevaluasi dan merefleksikan isi teks dengan pengalaman atau pengetahuan lain.
- Konteks: Soal-soal disajikan dalam konteks personal (kepentingan diri sendiri), sosial budaya (kepentingan bersama), dan saintifik (terkait isu ilmiah).
Numerasi adalah kemampuan berpikir menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah sehari-hari dalam berbagai konteks yang relevan. Ini mencakup:
- Konten: Meliputi bidang bilangan, pengukuran dan geometri, data dan ketidakpastian, serta aljabar.
- Proses Kognitif: Siswa diuji kemampuannya dalam (1) pemahaman konsep, (2) penerapan konsep untuk masalah rutin, dan (3) penalaran untuk menyelesaikan masalah non-rutin.
- Konteks: Sama seperti literasi, konteks yang digunakan adalah personal, sosial budaya, dan saintifik.
Penting untuk ditekankan bahwa AKM mengukur kemampuan bernalar menggunakan bahasa dan matematika, bukan sekadar hafalan rumus atau teori. Soal-soalnya dirancang untuk menantang siswa berpikir kritis dan analitis.
Survei Karakter: Memotret Profil Pelajar Pancasila
Pendidikan tidak hanya tentang kognisi, tetapi juga tentang pembentukan karakter. Survei Karakter dirancang untuk mengukur hasil belajar non-kognitif siswa yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Survei ini memberikan gambaran tentang sikap, nilai, dan keyakinan siswa. Enam dimensi utama dari Profil Pelajar Pancasila yang diukur adalah:
- Beriman, Bertakwa kepada Tuhan YME, dan Berakhlak Mulia: Mencakup akhlak beragama, akhlak pribadi, akhlak kepada manusia, akhlak kepada alam, dan akhlak bernegara.
- Berkebinekaan Global: Kemampuan untuk mengenal dan menghargai budaya lain, serta berkomunikasi dan berinteraksi antarbudaya secara efektif.
- Gotong Royong: Kemampuan untuk berkolaborasi, peduli, dan berbagi dengan sesama.
- Mandiri: Memiliki kesadaran akan diri dan situasi yang dihadapi serta kemampuan untuk meregulasi diri.
- Bernalar Kritis: Kemampuan untuk secara objektif memproses informasi, membangun keterkaitan, menganalisis, mengevaluasi, dan menyimpulkannya.
- Kreatif: Kemampuan untuk menghasilkan gagasan yang orisinal, bermakna, bermanfaat, dan berdampak.
Soal dalam Survei Karakter berbentuk pilihan ganda kompleks atau setuju/tidak setuju terhadap suatu pernyataan yang menggambarkan situasi tertentu. Tidak ada jawaban benar atau salah; tujuannya adalah memotret kecenderungan karakter siswa secara agregat di tingkat sekolah.
Survei Lingkungan Belajar (Siswa): Persepsi Siswa Terhadap Sekolahnya
Siswa juga diminta mengisi Survei Lingkungan Belajar dari sudut pandang mereka. Pertanyaan-pertanyaan di dalamnya bertujuan untuk menggali persepsi siswa tentang berbagai aspek sekolah, seperti:
- Iklim Keamanan Sekolah: Apakah siswa merasa aman dari perundungan, kekerasan, atau diskriminasi?
- Iklim Inklusivitas: Apakah semua siswa, terlepas dari latar belakangnya, merasa diterima dan didukung?
- Dukungan Guru: Apakah siswa merasa guru peduli dan mendukung perkembangan belajar mereka?
- Praktik Pembelajaran: Bagaimana persepsi siswa terhadap metode mengajar guru di kelas?
Data dari siswa ini sangat berharga karena memberikan perspektif "dari bawah" yang melengkapi data dari guru dan kepala sekolah.
2. Instrumen untuk Peserta Guru dan Kepala Sekolah
Seperti yang telah disebutkan, seluruh guru dan kepala sekolah mengisi Survei Lingkungan Belajar (Sulingjar). Instrumen ini jauh lebih komprehensif dan mendalam dibandingkan versi yang diisi oleh siswa. Sulingjar memotret sembilan aspek utama yang memengaruhi kualitas pembelajaran:
- Kualitas pembelajaran di kelas.
- Praktik refleksi dan perbaikan pembelajaran oleh guru.
- Kepemimpinan instruksional kepala sekolah.
- Iklim keamanan di satuan pendidikan.
- Iklim inklusivitas di satuan pendidikan.
- Iklim kebhinekaan di satuan pendidikan.
- Dukungan orang tua dan murid terhadap program sekolah.
- Latar belakang sosial-ekonomi murid.
- Kondisi dan fasilitas sekolah.
Jawaban dari para pendidik dan pimpinan sekolah ini akan membentuk indeks lingkungan belajar yang menjadi salah satu komponen utama dalam Rapor Pendidikan. Indeks ini membantu sekolah mengidentifikasi area mana dari lingkungan belajar mereka yang sudah baik dan mana yang perlu ditingkatkan untuk mendukung hasil belajar siswa yang lebih optimal.
Implikasi dari Desain Kepesertaan Asesmen Nasional
Desain kepesertaan yang unik dalam Asesmen Nasional—menggabungkan sampling untuk siswa serta sensus untuk guru dan kepala sekolah—membawa implikasi besar bagi ekosistem pendidikan.
1. Pergeseran Fokus dari Individu ke Sistem
Dengan tidak adanya nilai individu bagi siswa, fokus perhatian semua pemangku kepentingan bergeser. Orang tua tidak lagi cemas tentang "nilai AN" anak mereka. Sekolah tidak lagi terobsesi mencetak skor tinggi untuk gengsi. Sebaliknya, perhatian tertuju pada data agregat dalam Rapor Pendidikan. Diskusi bergeser dari "Berapa nilaimu?" menjadi "Apa yang bisa kita perbaiki dari proses pembelajaran di sekolah kita berdasarkan data ini?". Ini adalah pergeseran fundamental menuju budaya perbaikan berkelanjutan (continuous improvement).
2. Mendorong Pembelajaran yang Sebenarnya (Real Learning)
Karena AN mengukur kompetensi bernalar (literasi dan numerasi) yang tidak dapat dikuasai melalui hafalan semalam atau drilling soal, sekolah didorong untuk mengubah praktik pengajaran. Guru diajak untuk lebih fokus pada pengembangan kemampuan berpikir kritis, analisis, dan pemecahan masalah pada siswa di semua mata pelajaran. Pembelajaran tidak lagi sebatas transfer informasi, tetapi menjadi proses membangun pemahaman yang mendalam.
3. Data sebagai Dasar Perencanaan (Data-Driven Planning)
Hasil dari partisipasi semua peserta ini adalah Rapor Pendidikan yang kaya data. Rapor ini dirancang untuk menjadi alat diagnosis. Sekolah dapat melihat, misalnya, bahwa skor literasi siswa mereka berada di level "Dasar", sementara indeks iklim keamanannya "Kurang Baik". Dari data ini, sekolah dapat merumuskan program yang spesifik, seperti pelatihan guru tentang metode pembelajaran literasi lintas mapel dan program anti-perundungan. Perencanaan tidak lagi berbasis asumsi, melainkan berbasis bukti (evidence-based).
Kesimpulan: Peserta sebagai Agen Perubahan
Memahami siapa peserta asesmen nasional dan bagaimana mereka dipilih adalah kunci untuk mengapresiasi seluruh arsitektur kebijakan ini. Peserta, baik itu siswa yang dipilih secara acak maupun seluruh guru dan kepala sekolah, bukanlah kelinci percobaan dalam sebuah eksperimen evaluasi. Mereka adalah mitra strategis dan sumber informasi paling vital dalam upaya besar memetakan dan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Melalui partisipasi siswa, kita mendapatkan potret hasil belajar yang jujur dan bebas dari tekanan. Melalui partisipasi guru dan kepala sekolah, kita memperoleh pemahaman mendalam tentang proses dan konteks yang terjadi di balik angka-angka tersebut. Kombinasi informasi dari semua peserta inilah yang memberikan kekuatan pada Asesmen Nasional sebagai alat refleksi, bukan sebagai palu penghakiman. Pada akhirnya, setiap peserta yang mengisi lembar survei atau mengerjakan soal AKM sedang menyumbangkan satu keping puzzle penting untuk membangun gambaran utuh pendidikan Indonesia, sebuah gambaran yang akan menjadi pijakan untuk melompat lebih tinggi di masa depan.