Membedah Makna Qada dan Qadar
Dalam perjalanan hidup, setiap manusia pasti pernah merenung. Kita membuat rencana, menyusun strategi, dan bekerja keras untuk mencapai tujuan. Namun, tak jarang hasil yang didapat tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan. Ada kalanya keberhasilan datang dari arah yang tak terduga, dan di lain waktu kegagalan menghampiri meski persiapan sudah terasa sempurna. Di persimpangan antara harapan dan kenyataan inilah, sering kali muncul pertanyaan fundamental tentang nasib, takdir, dan peran kita sebagai manusia. Dalam khazanah keilmuan Islam, konsep yang menjawab pertanyaan-pertanyaan ini terangkum dalam dua istilah yang sangat mendasar: Qada dan Qadar.
Lantas, qada dan qadar adalah apa? Keduanya sering disebut bersamaan, bahkan terkadang dianggap memiliki arti yang sama. Namun, para ulama telah menguraikan perbedaan yang subtil namun sangat penting di antara keduanya. Memahami perbedaan ini bukan hanya sekadar latihan intelektual, melainkan sebuah kunci untuk membuka pintu ketenangan jiwa, menumbuhkan optimisme, dan menyikapi setiap liku kehidupan dengan kebijaksanaan dan keimanan yang kokoh. Artikel ini akan mengajak kita untuk menyelami makna qada dan qadar secara mendalam, mulai dari definisi dasarnya, landasan dalilnya, hingga hikmah yang terkandung di dalamnya bagi kehidupan seorang mukmin.
Definisi Mendasar: Memisahkan Qada dan Qadar
Untuk memahami konsep ini secara utuh, langkah pertama adalah membedah makna masing-masing istilah, baik dari segi bahasa (etimologi) maupun dari segi istilah syariat (terminologi). Pemisahan ini akan memberikan kita fondasi yang kuat untuk membangun pemahaman yang lebih komprehensif.
1. Makna Qadar (تقدير)
Secara bahasa, kata Qadar (berasal dari akar kata qadara-yaqduru-qadran) memiliki beberapa arti, di antaranya adalah "ukuran", "ketentuan", "kemampuan", atau "penetapan suatu kadar". Ini merujuk pada sebuah perencanaan atau pengukuran sesuatu sebelum ia diwujudkan. Bayangkan seorang insinyur yang merancang sebuah jembatan. Sebelum satu pun tiang pancang ditanam, ia sudah menentukan ukurannya, daya tahannya, bahan yang dibutuhkan, dan segala detailnya dalam sebuah cetak biru (blueprint). Cetak biru inilah analogi sederhana dari Qadar.
Secara istilah, Qadar adalah ketetapan atau rencana Allah SWT yang bersifat azali (ada sebelum segala sesuatu ada) terhadap segala sesuatu yang akan terjadi. Ini mencakup segala detail makhluk, mulai dari penciptaannya, sifatnya, ajalnya, rezekinya, hingga perbuatannya. Semua ini telah Allah ketahui dan tuliskan dalam sebuah kitab yang terpelihara, yaitu Lauh Mahfuz, jauh sebelum alam semesta ini diciptakan. Qadar adalah rancangan agung Allah yang mencakup segala kemungkinan dan variabel. Ia adalah ilmu dan ketetapan Allah yang mendahului penciptaan.
"Sesungguhnya, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (qadar)." (QS. Al-Qamar: 49)
2. Makna Qada (قضاء)
Secara bahasa, kata Qada (berasal dari akar kata qadha-yaqdhi-qadha'an) berarti "memutuskan", "menyelesaikan", "mengeksekusi", atau "mewujudkan". Kata ini mengandung makna sebuah keputusan final yang sudah dilaksanakan dan tidak bisa diubah lagi. Jika Qadar adalah cetak birunya, maka Qada adalah proses pembangunan dan hasil akhir dari bangunan itu sendiri.
Secara istilah, Qada adalah perwujudan atau realisasi dari Qadar yang telah Allah tetapkan sebelumnya. Ia adalah eksekusi dari rencana ilahi. Ketika sesuatu yang telah direncanakan dalam Qadar itu benar-benar terjadi di alam nyata, maka itulah yang disebut Qada. Misalnya, dalam Qadar telah ditetapkan bahwa seseorang akan meninggal pada usia 70 tahun. Saat orang tersebut benar-benar menghembuskan napas terakhirnya tepat pada usia itu, maka peristiwa kematian itu adalah Qada Allah.
Analogi untuk Memudahkan Pemahaman
Untuk lebih memperjelas, mari kita gunakan analogi lain. Bayangkan seorang apoteker yang akan meracik obat.
- Qadar: Resep dari dokter yang mencantumkan secara detail jenis-jenis bahan, takaran atau ukurannya, dan cara meraciknya. Resep ini sudah ada sebelum obat itu dibuat.
- Qada: Proses apoteker mengambil bahan-bahan tersebut sesuai resep, menimbangnya dengan tepat, meraciknya, dan akhirnya mewujudkan resep itu menjadi sebuah obat yang siap dikonsumsi. Obat yang sudah jadi adalah Qada.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Qadar mendahului Qada. Qadar adalah rencana dan ketetapan-Nya yang azali, sementara Qada adalah realisasi dan pelaksanaan dari ketetapan tersebut di alam semesta. Keduanya tak terpisahkan dan merupakan bagian dari keimanan.
Landasan Keimanan dari Al-Qur'an dan As-Sunnah
Kepercayaan terhadap qada dan qadar bukanlah sebuah konsep filosofis yang lahir dari pemikiran manusia semata. Ia adalah salah satu dari enam rukun iman yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Fondasinya tertancap kuat dalam dalil-dalil yang jelas dari Al-Qur'an dan hadis-hadis shahih dari Rasulullah SAW.
Dalil dari Al-Qur'an
Banyak sekali ayat dalam Al-Qur'an yang menegaskan tentang konsep qadar, ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, serta kehendak-Nya yang mutlak. Di antaranya adalah:
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. Al-Hadid: 22)
Ayat ini dengan sangat jelas menyatakan bahwa segala peristiwa, baik besar maupun kecil, yang menimpa alam semesta dan diri manusia, telah tercatat rapi sebelum penciptaan itu sendiri. Ini adalah penegasan tentang eksistensi Qadar.
"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)." (QS. Al-An'am: 59)
Ayat ini menggambarkan betapa luas dan detailnya ilmu Allah. Bahkan jatuhnya sehelai daun pun berada dalam pengetahuan dan ketetapan-Nya, yang sekali lagi menegaskan bahwa tidak ada satupun kejadian yang bersifat acak atau di luar kendali-Nya.
Dalil dari As-Sunnah
Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW juga memberikan penjelasan yang sangat gamblang tentang kewajiban beriman kepada qadar. Hadis yang paling fundamental adalah Hadis Jibril yang masyhur, ketika Malaikat Jibril datang dalam wujud seorang manusia dan bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Islam, Iman, dan Ihsan.
Ketika ditanya tentang Iman, Rasulullah SAW menjawab: "Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk." (HR. Muslim)
Hadis ini menempatkan iman kepada qadar sebagai salah satu pilar utama keimanan, setara dengan iman kepada Allah, malaikat, kitab, dan rasul. Ini menunjukkan betapa sentralnya akidah ini dalam ajaran Islam. Tanpa meyakininya, keimanan seseorang dianggap tidak sempurna.
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena (Al-Qalam), lalu Allah berfirman kepadanya: 'Tulislah!' Pena itu bertanya: 'Wahai Tuhanku, apa yang harus aku tulis?' Allah berfirman: 'Tulislah takdir segala sesuatu hingga datangnya hari kiamat.'" (HR. Abu Daud, Tirmidzi)
Hadis ini memberikan gambaran kronologis tentang pencatatan takdir. Bahwa seluruh skenario alam semesta, dari awal hingga akhir, telah dituliskan berdasarkan perintah Allah kepada Al-Qalam untuk dicatat di Lauh Mahfuz.
Empat Tingkatan (Maratib) Iman kepada Qadar
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah merincikan bahwa keimanan yang benar terhadap qadar harus mencakup keyakinan terhadap empat tingkatan atau pilar utamanya. Keimanan seseorang tidak akan lurus dan sempurna kecuali ia meyakini keempat tingkatan ini secara utuh. Keempat tingkatan tersebut adalah:
1. Al-'Ilm (العلم) – Pengetahuan Allah yang Meliputi Segalanya
Tingkatan pertama adalah keyakinan bahwa Allah SWT Maha Mengetahui segala sesuatu secara rinci dan sempurna. Ilmu-Nya bersifat azali, artinya telah ada sebelum segala sesuatu diciptakan, dan abadi, akan terus ada selamanya. Tidak ada yang luput dari pengetahuan-Nya, baik yang telah terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Bahkan, Allah juga mengetahui hal-hal yang tidak akan pernah terjadi, dan Dia tahu bagaimana jadinya seandainya hal itu terjadi.
Ilmu Allah meliputi yang tampak (syahadah) dan yang gaib, yang besar dan yang kecil, yang di langit dan yang di bumi. Ia mengetahui isi hati, bisikan jiwa, jumlah tetesan hujan, dan setiap gerakan atom di alam semesta. Keyakinan ini menuntut kita untuk menerima bahwa takdir yang Dia tetapkan didasarkan pada ilmu-Nya yang sempurna dan tidak terbatas, bukan berdasarkan kebetulan atau ketidaktahuan.
2. Al-Kitabah (الكتابة) – Pencatatan di Lauh Mahfuz
Tingkatan kedua adalah keyakinan bahwa Allah telah menuliskan semua takdir makhluk di dalam sebuah kitab yang agung dan terpelihara, yaitu Lauh Mahfuz. Pencatatan ini terjadi 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Apapun yang telah Dia ketahui dengan ilmu-Nya yang azali, telah Dia catatkan di sana.
Ini bukan berarti Allah butuh catatan untuk mengingat (Maha Suci Allah dari sifat lupa), tetapi ini menunjukkan kesempurnaan, keteraturan, dan kepastian dari takdir yang telah Dia tetapkan. Apa yang tertulis di Lauh Mahfuz adalah pasti dan tidak akan berubah. Ini memberikan ketenangan bahwa segala sesuatu berjalan di atas sebuah skenario yang telah diatur dengan sangat rapi oleh Sang Maha Bijaksana.
3. Al-Masyi'ah (المشيئة) – Kehendak Allah yang Pasti Terlaksana
Tingkatan ketiga adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, tanpa terkecuali, adalah atas kehendak (masyi'ah) Allah SWT. Tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi di luar kehendak-Nya. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Kehendak-Nya bersifat mutlak dan mencakup segala hal, baik yang Dia cintai maupun yang Dia benci.
Di sinilah para ulama membedakan dua jenis kehendak Allah untuk menghindari kerancuan:
- Al-Iradah Al-Kauniyah: Kehendak universal yang berkaitan dengan penciptaan. Apapun yang terjadi di alam ini, termasuk perbuatan baik dan buruk, iman dan kufur, semuanya terjadi atas kehendak-Nya dalam konteks ini. Allah menghendaki terjadinya kekufuran Iblis bukan karena Dia mencintainya, tetapi karena ada hikmah agung di baliknya (misalnya sebagai ujian bagi manusia).
- Al-Iradah Asy-Syar'iyah: Kehendak syariat yang berkaitan dengan apa yang Allah cintai dan ridhai. Allah menghendaki hamba-Nya untuk beriman, taat, dan berbuat baik. Kehendak ini tidak selalu terjadi, karena manusia diberi pilihan. Seseorang yang memilih untuk tidak beriman berarti ia telah melakukan sesuatu yang tidak dicintai Allah (bertentangan dengan Iradah Syar'iyah), namun perbuatannya itu tetap terjadi atas izin dan kehendak-Nya (sesuai dengan Iradah Kauniyah).
4. Al-Khalq (الخلق) – Penciptaan Segala Sesuatu
Tingkatan keempat adalah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta (Al-Khaliq). Dia menciptakan segala sesuatu, termasuk esensi (zat) dan sifatnya. Ini juga mencakup perbuatan hamba-hamba-Nya. Allah menciptakan manusia beserta kemampuan, kehendak, dan kekuatan untuk berbuat. Manusia kemudian menggunakan kemampuan yang telah Allah ciptakan itu untuk melakukan perbuatannya.
Allah berfirman:
"Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu." (QS. Ash-Shaffat: 96)
Keyakinan ini tidak menafikan peran manusia. Manusialah yang menjadi pelaku hakiki dari perbuatannya dan karena itu ia bertanggung jawab. Namun, perbuatan itu sendiri tidak akan pernah terwujud tanpa Allah menciptakan kemampuan dan daya pada diri manusia untuk melakukannya. Allah adalah Pencipta perbuatan, dan manusia adalah pelakunya.
Jembatan Antara Takdir dan Ikhtiar Manusia
Salah satu tantangan terbesar dalam memahami qada dan qadar adalah menyeimbangkan konsep takdir ilahi dengan kebebasan berkehendak (free will) dan tanggung jawab manusia. Jika semua sudah ditakdirkan, untuk apa kita berusaha? Jika perbuatan kita diciptakan Allah, mengapa kita dihukum atas dosa?
Islam memberikan jawaban yang sangat seimbang. Beriman kepada qadar tidak berarti pasrah buta (fatalisme) dan meninggalkan usaha. Sebaliknya, pemahaman yang benar justru akan memotivasi seseorang untuk berusaha secara maksimal. Konsep kuncinya adalah ikhtiar.
Konsep Ikhtiar: Usaha adalah Kewajiban
Ikhtiar adalah usaha dan pilihan yang dilakukan oleh manusia dengan menggunakan potensi akal dan fisik yang telah Allah anugerahkan. Allah telah menetapkan hukum sebab-akibat di alam semesta. Untuk mendapatkan hasil, kita diperintahkan untuk menempuh sebabnya. Jika ingin kenyang, kita harus makan. Jika ingin pintar, kita harus belajar. Jika ingin masuk surga, kita harus beriman dan beramal saleh.
Perintah untuk berusaha, berdoa, dan berikhtiar ini tersebar di banyak ayat Al-Qur'an dan hadis. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra'd: 11)
Ayat ini adalah seruan eksplisit untuk melakukan ikhtiar. Perubahan nasib suatu kaum terikat dengan usaha yang mereka lakukan. Usaha itu sendiri adalah bagian dari takdir. Allah tidak hanya menakdirkan hasil akhir (misalnya, kesuksesan), tetapi Dia juga menakdirkan jalan dan sebab yang mengantarkan kepada hasil tersebut (misalnya, kerja keras dan kegigihan).
Kehendak Manusia di Bawah Kehendak Allah
Manusia memang memiliki kehendak dan pilihan. Kita bisa memilih untuk shalat atau tidak, untuk jujur atau berbohong. Pilihan inilah yang menjadi dasar adanya pahala dan siksa. Namun, kehendak kita tidaklah absolut. Ia berada di dalam dan tunduk pada kehendak Allah yang lebih besar.
"Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." (QS. At-Takwir: 29)
Analogi sederhananya seperti ini: sebuah kereta api bisa berjalan ke kanan atau ke kiri di persimpangan rel. Masinis memiliki kebebasan untuk memilih jalur mana yang akan ia ambil. Namun, kereta itu hanya bisa berjalan di atas rel yang sudah ada. Ia tidak bisa berjalan di luar rel. Rel tersebut adalah ibarat kehendak Allah yang Maha Luas, dan pilihan masinis adalah ikhtiar manusia.
Memahami Takdir Mubram dan Takdir Mu'allaq
Dalam rangka menyederhanakan pemahaman bagi masyarakat awam, sebagian ulama membagi takdir menjadi dua jenis. Meskipun pembagian ini tidak secara eksplisit ditemukan dalam Al-Qur'an atau hadis dengan terminologi yang sama, maknanya selaras dengan prinsip-prinsip syariat.
1. Takdir Mubram (Takdir yang Pasti dan Tidak Berubah)
Takdir Mubram adalah ketetapan Allah yang absolut, pasti terjadi, dan tidak bisa diubah oleh usaha atau doa manusia. Ia berada di luar lingkup ikhtiar manusia. Contohnya meliputi:
- Kelahiran dan Kematian: Kapan, di mana, dan dari orang tua siapa kita dilahirkan, serta kapan dan di mana kita akan meninggal.
- Jenis Kelamin: Terlahir sebagai laki-laki atau perempuan.
- Fenomena Alam: Terbitnya matahari dari timur, pergerakan planet, terjadinya siang dan malam.
2. Takdir Mu'allaq (Takdir yang Tergantung)
Takdir Mu'allaq secara harfiah berarti "takdir yang digantungkan". Maksudnya adalah ketetapan Allah yang dihubungkan dengan sebab-sebab atau ikhtiar yang dilakukan oleh hamba. Seolah-olah takdir ini bergantung pada usaha manusia. Contohnya:
- Rezeki: Rezeki memang sudah dijamin, tetapi untuk mendapatkannya, manusia harus berusaha (bekerja, berdagang, dll). Seseorang yang bekerja keras memiliki peluang rezeki yang lebih besar (atas izin Allah) daripada yang hanya berdiam diri.
- Kesehatan: Seseorang bisa saja ditakdirkan sakit. Namun, dengan menjaga pola makan sehat, berolahraga, dan berobat ketika sakit, ia bisa meraih takdir sehat.
- Ilmu: Seseorang tidak akan menjadi pintar dengan sendirinya. Ia harus menempuh sebabnya, yaitu belajar dengan tekun.
Buah Manis Beriman kepada Qada dan Qadar
Mengimani qada dan qadar dengan benar akan melahirkan dampak positif yang luar biasa dalam jiwa dan perilaku seorang muslim. Ia bukan sekadar konsep teologis yang kaku, melainkan sebuah sumber kekuatan spiritual yang transformatif. Di antara buah manisnya adalah:
- Ketenangan Jiwa yang Mendalam: Seseorang yang yakin bahwa segala sesuatu terjadi atas izin dan ketetapan Allah akan memiliki hati yang tenang. Ia tidak akan dilanda kecemasan berlebihan terhadap masa depan, karena ia tahu masa depannya ada di tangan Yang Maha Mengatur. Ia juga tidak akan tenggelam dalam penyesalan dan kesedihan atas apa yang telah berlalu, karena ia paham itu adalah takdir yang harus terjadi.
- Menumbuhkan Keberanian dan Keteguhan: Iman kepada qadar membebaskan manusia dari rasa takut kepada selain Allah. Ia yakin bahwa tidak ada yang bisa memberinya manfaat atau mencelakakannya kecuali atas izin Allah. Ajalnya pun telah ditetapkan. Keyakinan ini melahirkan keberanian untuk mengatakan kebenaran dan menghadapi tantangan hidup tanpa rasa gentar.
- Mencegah Sifat Sombong dan Putus Asa: Ketika meraih kesuksesan, ia tidak akan sombong karena sadar bahwa keberhasilannya adalah karunia dan pertolongan dari Allah. Sebaliknya, ketika menghadapi kegagalan atau musibah, ia tidak akan putus asa. Ia akan bersabar, introspeksi, dan yakin bahwa di balik setiap ujian pasti ada hikmah dan kebaikan yang Allah siapkan.
- Mendorong Optimisme dan Ikhtiar Maksimal: Berbeda dengan anggapan keliru, iman kepada qadar justru merupakan bahan bakar utama untuk berusaha. Seseorang akan bekerja keras, belajar giat, dan berikhtiar semaksimal mungkin, karena ia tahu bahwa usaha adalah perintah Allah dan merupakan bagian dari takdir itu sendiri. Setelah berusaha maksimal, ia serahkan hasilnya kepada Allah dengan penuh optimisme.
- Membersihkan Hati dari Iri dan Dengki: Keyakinan bahwa rezeki, jabatan, dan segala nikmat telah diatur dan dibagi oleh Allah dengan ukuran yang paling adil akan membersihkan hati dari penyakit hasad. Ia tidak akan iri melihat kelebihan orang lain, karena ia tahu setiap orang memiliki takdirnya masing-masing.
- Mewujudkan Tawakal yang Sebenarnya: Tawakal adalah menyandarkan hati sepenuhnya kepada Allah setelah melakukan ikhtiar secara optimal. Iman kepada qadar adalah fondasi dari tawakal. Kita berusaha dengan seluruh anggota tubuh kita, namun hati kita bergantung sepenuhnya kepada Allah, bukan kepada usaha kita.
Kesimpulan: Harmoni Antara Ketetapan Ilahi dan Usaha Insani
Pada akhirnya, memahami bahwa qada dan qadar adalah pilar keimanan berarti menerima dengan sepenuh hati bahwa alam semesta ini tidak berjalan secara acak. Ada sebuah Rencana Agung yang dirancang oleh Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Qadar adalah cetak biru dari rencana tersebut, yang telah dituliskan di Lauh Mahfuz sebelum penciptaan. Sementara Qada adalah realisasi dari cetak biru itu dalam panggung kehidupan nyata.
Keimanan ini tidak mengebiri peran manusia. Justru, ia menempatkan manusia pada posisinya yang terhormat: sebagai hamba yang diberi amanah untuk berikhtiar, memilih, dan berusaha di atas panggung yang skenarionya telah Allah siapkan. Usaha kita, doa kita, dan pilihan kita, semuanya adalah bagian dari takdir-Nya yang agung. Tugas kita bukanlah untuk menerka-nerka takdir yang gaib, melainkan untuk menjalankan peran kita dengan sebaik-baiknya di masa sekarang: beribadah, berikhtiar, dan menebar kebaikan.
Dengan pemahaman ini, seorang mukmin akan menjalani hidupnya dengan perpaduan harmonis antara semangat kerja keras dan ketenangan batin, antara optimisme yang membara dan kepasrahan yang tulus. Ia menghadapi kesuksesan dengan syukur, menyikapi kegagalan dengan sabar, dan menatap masa depan dengan penuh harapan kepada Rabb semesta alam.