Membedah Makna Surah An-Nasr: Pertolongan, Kemenangan, dan Puncak Ketundukan
Pendahuluan: Sebuah Kabar Gembira Sekaligus Tanda Perpisahan
Dalam samudra hikmah Al-Qur'an, terdapat surah-surah pendek yang memiliki bobot makna luar biasa. Salah satunya adalah Surah An-Nasr, surah ke-110 dalam urutan mushaf. Terdiri dari hanya tiga ayat, surah ini membawa pesan yang sangat padat dan mendalam, merangkum esensi dari perjuangan, kemenangan, dan tujuan akhir seorang hamba. Namanya, "An-Nasr," yang berarti "Pertolongan" atau "Kemenangan," secara langsung merujuk pada inti pesannya.
Surah ini tergolong sebagai surah Madaniyah, yang diturunkan setelah hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Para ulama tafsir bersepakat bahwa surah ini merupakan salah satu surah terakhir yang diwahyukan, bahkan ada yang berpendapat inilah surah lengkap terakhir yang turun kepada Rasulullah ﷺ. Konteks pewahyuannya yang berada di pengujung risalah kenabian memberikan dimensi makna yang lebih dalam. Ia bukan sekadar proklamasi kemenangan duniawi, melainkan sebuah sinyal bahwa tugas besar Rasulullah ﷺ di muka bumi telah paripurna. Oleh karena itu, bagi para sahabat yang memiliki pemahaman mendalam seperti Ibnu Abbas dan Umar bin Khattab, surah ini adalah isyarat dekatnya waktu wafat sang Nabi tercinta.
Surah An-Nasr menyajikan sebuah paradoks yang indah. Di satu sisi, ia adalah berita gembira tentang kemenangan besar Islam, yaitu Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah), di mana pertolongan Allah datang secara nyata dan manusia berbondong-bondong memeluk agama Islam. Namun di sisi lain, respons yang diperintahkan Allah atas kemenangan gemilang ini bukanlah euforia, pesta, atau kesombongan. Sebaliknya, perintah yang turun adalah untuk meningkatkan tasbih (menyucikan Allah), tahmid (memuji-Nya), dan istighfar (memohon ampunan-Nya). Ini adalah pelajaran adab tertinggi dalam menyikapi nikmat dan kesuksesan, sebuah formula ilahi tentang bagaimana seorang mukmin harus bersikap di puncak kejayaan. Artikel ini akan mengupas tuntas setiap ayat, kata, dan hikmah yang terkandung di dalam surah yang agung ini.
Teks Surah An-Nasr, Transliterasi, dan Terjemahan
Sebelum menyelami lautan maknanya, mari kita simak terlebih dahulu teks asli Surah An-Nasr beserta cara baca dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ﴿١﴾
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا ﴿٢﴾
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا ﴿٣﴾
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
1. Iżā jā'a naṣrullāhi wal-fatḥ(u).
2. Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā(n).
3. Fa sabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfirh(u), innahū kāna tawwābā(n).Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.
Tafsir Analitis Ayat per Ayat
Untuk memahami kedalaman pesan Surah An-Nasr, kita perlu membedah setiap ayatnya secara rinci, memperhatikan pilihan kata (diksi) yang digunakan Al-Qur'an serta konteks historis yang melatarbelakanginya.
Ayat 1: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
(Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan)
Ayat pertama ini menjadi fondasi dari seluruh surah. Mari kita urai komponen-komponen penting di dalamnya:
Makna "إِذَا" (Idzaa) - Sebuah Kepastian yang Akan Datang
Surah ini dimulai dengan kata "Idzaa" yang diterjemahkan sebagai "apabila". Dalam tata bahasa Arab, ada dua kata umum untuk "jika" atau "apabila", yaitu "In" (إِنْ) dan "Idzaa" (إِذَا). "In" biasanya digunakan untuk menyatakan sebuah kemungkinan atau kondisi yang belum pasti terjadi. Namun, "Idzaa" digunakan untuk menyatakan sesuatu yang pasti akan terjadi. Penggunaan "Idzaa" di awal surah ini memberikan penegasan bahwa pertolongan Allah dan kemenangan itu bukan lagi sekadar harapan atau kemungkinan, melainkan sebuah janji pasti yang akan terwujud. Ini memberikan ketenangan dan optimisme yang luar biasa kepada Nabi Muhammad ﷺ dan kaum muslimin pada saat itu.
Makna "جَاءَ" (Jaa'a) - Kedatangan yang Nyata
Kata "Jaa'a" berarti "telah datang". Bentuk kata kerja lampau (fi'il madhi) ini mengisyaratkan bahwa peristiwa tersebut seolah-olah sudah terjadi saking pastinya. Ini adalah gaya bahasa Al-Qur'an yang kuat untuk meyakinkan pendengarnya. Kedatangan yang dimaksud bukanlah kedatangan biasa, melainkan kedatangan yang jelas, terlihat, dan dapat dirasakan dampaknya oleh semua orang.
Makna "نَصْرُ اللَّهِ" (Nashrullah) - Hakikat Pertolongan dari Allah
Frasa "Nashrullah" adalah inti dari ayat ini. "Nasr" berarti pertolongan, bantuan, atau dukungan yang membawa kepada kemenangan. Namun, yang terpenting adalah penyandaran kata ini kepada Allah ("Allah"). Ini adalah sebuah deklarasi tauhid yang fundamental: kemenangan sejati tidak datang dari kekuatan militer, strategi manusia, jumlah pasukan, atau kehebatan persenjataan. Kemenangan hakiki hanya datang dari satu sumber, yaitu Allah SWT. Sepanjang sejarah perjuangan dakwah Nabi Muhammad ﷺ, konsep "Nashrullah" ini selalu menjadi pegangan. Dalam Perang Badar, saat jumlah kaum muslimin hanya sepertiga dari pasukan musuh, pertolongan Allah datang dalam bentuk yang tak terduga. Dalam Perang Khandaq, saat Madinah dikepung dari segala penjuru, pertolongan Allah datang dalam wujud angin kencang yang memporak-porandakan perkemahan musuh.
Penyebutan "Nashrullah" secara eksplisit mengajarkan bahwa segala usaha dan ikhtiar manusia hanyalah sarana. Hasil akhir sepenuhnya berada dalam genggaman-Nya. Ini menanamkan sifat tawakal (berserah diri) setelah berusaha maksimal, sekaligus membersihkan hati dari potensi kesombongan saat kemenangan diraih.
Makna "وَالْفَتْحُ" (Wal-Fath) - Kemenangan yang Membuka Segalanya
Kata "Al-Fath" secara harfiah berarti "pembukaan". Meskipun bisa diartikan sebagai "kemenangan", makna "pembukaan" jauh lebih kaya. Para mufasir (ahli tafsir) secara ijma' (konsensus) menafsirkan bahwa "Al-Fath" yang dimaksud dalam ayat ini adalah Fathu Makkah, yaitu pembebasan Kota Makkah pada bulan Ramadan tahun ke-8 Hijriah.
Mengapa disebut "pembukaan"? Karena Fathu Makkah bukan sekadar kemenangan militer. Ia adalah sebuah peristiwa transformatif yang:
- Membuka Hati Manusia: Selama bertahun-tahun, Ka'bah dan kota Makkah dikuasai oleh kaum musyrikin Quraisy, yang menjadi penghalang utama dakwah Islam di Jazirah Arab. Banyak suku-suku Arab menahan diri untuk masuk Islam, menunggu hasil akhir dari perseteruan antara Nabi Muhammad ﷺ dan kaumnya sendiri, Quraisy. Ketika Makkah berhasil dibebaskan tanpa pertumpahan darah yang berarti, dan Nabi Muhammad ﷺ menunjukkan kemuliaan akhlak dengan memaafkan musuh-musuhnya, ini "membuka" hati mereka untuk menerima kebenaran Islam.
- Membuka Jalan Dakwah: Dengan jatuhnya pusat paganisme Arab ke tangan kaum muslimin, tidak ada lagi kekuatan besar yang dapat menghalangi penyebaran Islam secara masif di seluruh semenanjung Arab. Jalan dakwah menjadi terbuka lebar.
- Membuka Gerbang Sejarah Baru: Fathu Makkah adalah titik balik yang menandai berakhirnya fase perlawanan dan dimulainya fase penyebaran Islam secara damai dan luas. Ini adalah pembukaan lembaran baru dalam sejarah peradaban.
Peristiwa Fathu Makkah itu sendiri adalah manifestasi termegah dari "Nashrullah". Kaum muslimin bergerak menuju Makkah dengan 10.000 pasukan, sebuah kekuatan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Namun, kemenangan ini diraih dengan cara yang sangat mulia. Nabi Muhammad ﷺ memasuki kota kelahirannya—kota yang pernah mengusirnya—dengan kepala tertunduk penuh kerendahan hati, sebagai tanda syukur kepada Allah. Beliau memberikan jaminan keamanan kepada seluruh penduduk, bahkan kepada mereka yang dulu paling keras memusuhi. Ini adalah kemenangan moral dan spiritual, bukan sekadar kemenangan fisik.
Ayat 2: وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
(dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah)
Ayat kedua ini menjelaskan dampak langsung dari datangnya pertolongan Allah dan kemenangan yang disebutkan di ayat pertama. Ini adalah buah dari kesabaran dan perjuangan selama lebih dari dua dekade.
"وَرَأَيْتَ" (Wa ra'aita) - Penglihatan Nyata Sang Nabi
Frasa "Wa ra'aita" ("dan engkau melihat") adalah sebuah خطاب (khithab) atau pembicaraan yang ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ini menjadikan pengalaman tersebut sangat personal dan nyata bagi beliau. Allah seakan-akan berfirman, "Wahai Muhammad, setelah segala jerih payahmu, kini saksikanlah dengan mata kepalamu sendiri buah dari dakwahmu." Ini adalah sebuah apresiasi dan penghormatan tertinggi dari Allah kepada Rasul-Nya. Beliau tidak hanya diberitahu, tetapi beliau benar-benar menyaksikannya.
"النَّاسَ" (An-Naas) - Manusia Secara Umum
Penggunaan kata "An-Naas" (manusia) menunjukkan skala yang luas. Bukan lagi individu-individu atau kelompok kecil yang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi seperti di awal periode Makkah. Kini, yang datang adalah "manusia" dalam artian umum, dari berbagai kabilah, suku, dan latar belakang yang berbeda.
"يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ" (Yadkhuluuna fii diinillah) - Memasuki Agama Allah
Frasa ini sangat indah. Mereka "masuk ke dalam" agama Allah. Ini menggambarkan sebuah proses penerimaan yang total dan menyeluruh, bukan sekadar afiliasi di permukaan. Mereka tidak hanya mengucapkan syahadat, tetapi mereka berkomitmen untuk hidup di dalam sistem nilai, hukum, dan petunjuk dari agama Allah. Penyebutan "diinillah" (agama Allah) menegaskan kembali bahwa agama ini bukan milik Muhammad atau milik suku tertentu, melainkan milik Allah semata, untuk seluruh umat manusia.
"أَفْوَاجًا" (Afwaajaa) - Berbondong-bondong, Gelombang demi Gelombang
Inilah kata kunci yang menggambarkan fenomena pasca-Fathu Makkah. "Afwaajaa" adalah bentuk jamak dari "fauj", yang berarti rombongan besar, delegasi, atau gelombang pasukan. Kata ini melukiskan gambaran yang sangat hidup tentang bagaimana orang-orang datang memeluk Islam. Bukan lagi satu per satu, melainkan dalam kelompok-kelompok besar.
Sejarah mencatat bahwa setelah Fathu Makkah, tahun ke-9 dan ke-10 Hijriah dikenal sebagai "'Am al-Wufud" atau "Tahun Para Delegasi". Berbagai utusan dari seluruh penjuru Jazirah Arab datang ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka dan bai'at (janji setia) kepada Rasulullah ﷺ. Suku-suku yang tadinya ragu atau bahkan memusuhi, kini dengan suka rela dan penuh keyakinan datang untuk bergabung di bawah panji Islam. Mereka melihat bahwa kekuatan Quraisy yang menjadi tolok ukur kekuatan di Arab telah takluk, dan kemuliaan akhlak yang ditunjukkan oleh Nabi ﷺ saat menang telah membuktikan kebenaran risalahnya. Fenomena "afwaajaa" ini adalah bukti empiris yang tak terbantahkan dari "Nashrullah wal Fath".
Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
(maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat)
Inilah puncak dari surah ini. Setelah menggambarkan skenario kemenangan yang ideal, Allah memberikan petunjuk tentang bagaimana seharusnya kemenangan itu direspons. Ayat ini mengandung tiga perintah penting yang menjadi etika kesuksesan dalam Islam.
"فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ" (Fasabbih bihamdi Rabbika) - Bertasbihlah dengan Memuji Tuhanmu
Perintah pertama adalah gabungan antara tasbih dan tahmid.
- Tasbih (سَبِّحْ): Berasal dari kata "sabaha" yang berarti berenang atau bergerak cepat. Secara istilah, tasbih berarti menyucikan Allah dari segala bentuk kekurangan, kelemahan, sifat negatif, atau keserupaan dengan makhluk-Nya. Ketika kita mengucapkan "Subhanallah," kita sedang mendeklarasikan, "Maha Suci Allah (dari segala kekurangan)." Dalam konteks kemenangan, perintah bertasbih memiliki makna: "Sucikanlah Allah dari anggapan bahwa kemenangan ini terjadi karena kekuatanmu atau strategimu. Kemenangan ini murni karena keagungan, kekuasaan, dan pertolongan-Nya. Tidak ada cacat atau kekurangan dalam cara Allah memberikan kemenangan." Ini adalah cara untuk menafikan peran diri sendiri dan mengembalikan segala pujian kepada sumbernya yang hakiki.
- Tahmid (بِحَمْدِ): "Hamd" berarti pujian yang disertai dengan rasa syukur dan cinta. Jika tasbih adalah penafian sifat negatif, maka tahmid adalah penetapan sifat-sifat positif dan kesempurnaan bagi Allah. Dengan memuji-Nya (mengucapkan "Alhamdulillah"), kita mengakui bahwa segala kebaikan, nikmat, dan kesempurnaan hanya milik Allah. Perintah "bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu" artinya adalah menyucikan Allah sambil memuji-Nya. Kita mengakui bahwa kemenangan ini adalah nikmat agung dari-Nya dan kita bersyukur atasnya.
Gabungan tasbih dan tahmid ini adalah resep sempurna untuk menjaga hati dari penyakit kesombongan ('ujub) dan kebanggaan diri yang seringkali menyertai kesuksesan.
"وَاسْتَغْفِرْهُ" (Wastaghfirhu) - dan Mohonlah Ampun kepada-Nya
Ini adalah perintah yang paling mengejutkan dan mendalam. Mengapa di saat kemenangan terbesar, justru perintahnya adalah memohon ampun (istighfar)? Bukankah ini momen perayaan? Di sinilah letak keagungan ajaran Islam. Perintah istighfar di puncak kejayaan mengajarkan beberapa hal:
- Pengakuan atas Kekurangan Manusiawi: Dalam perjuangan panjang meraih kemenangan, pasti ada kekurangan dan kelalaian yang dilakukan. Mungkin ada niat yang tidak sepenuhnya lurus, ada hak orang lain yang terkurangi, atau ada cara yang kurang sempurna dalam menjalankan perintah Allah. Istighfar adalah cara untuk membersihkan dan menutupi segala kekurangan tersebut.
- Perlindungan dari Euforia Berlebihan: Kemenangan bisa memabukkan. Euforia bisa membuat seseorang lupa diri dan melampaui batas. Istighfar berfungsi sebagai rem spiritual, menarik seorang hamba kembali ke posisinya yang hakiki: seorang makhluk yang lemah dan selalu butuh ampunan Tuhannya.
- Persiapan Menghadap Allah: Sebagaimana dipahami oleh para sahabat senior, surah ini adalah isyarat bahwa tugas Nabi ﷺ telah selesai dan ajalnya sudah dekat. Perintah untuk memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar adalah bekal terbaik untuk mempersiapkan pertemuan dengan Sang Pencipta. Ini seolah-olah menjadi penutup yang sempurna bagi sebuah risalah yang agung, ditutup dengan permohonan ampun dan penyucian diri.
Diriwayatkan bahwa setelah turunnya surah ini, Rasulullah ﷺ memperbanyak bacaan "Subhanakallahumma Rabbana wa bihamdika, Allahummaghfirli" (Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah aku) dalam rukuk dan sujudnya.
"إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا" (Innahuu kaana Tawwaabaa) - Sungguh, Dia Maha Penerima Tobat
Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan hati. Setelah memerintahkan untuk memohon ampun, Allah langsung memberikan jaminan bahwa Dia adalah "Tawwab". Kata "Tawwab" adalah bentuk superlatif (shighah mubalaghah) yang berarti Dzat yang *selalu dan senantiasa* menerima tobat, sebanyak apapun dosa dan sesering apapun seorang hamba kembali kepada-Nya. Ini adalah sebuah pintu harapan yang terbuka lebar. Allah tidak hanya memerintahkan kita untuk meminta ampun, tetapi Dia juga memperkenalkan diri-Nya sebagai Yang Maha Penerima Tobat, mendorong kita untuk tidak pernah ragu atau putus asa dalam kembali kepada-Nya. Kalimat penutup ini memberikan motivasi dan kepastian bahwa setiap istighfar yang tulus pasti akan disambut dengan ampunan dan rahmat-Nya.
Asbabun Nuzul dan Isyarat Perpisahan
Mayoritas ulama berpendapat bahwa Surah An-Nasr diturunkan pada saat Haji Wada' (haji perpisahan) di Mina. Ini terjadi hanya beberapa bulan sebelum wafatnya Rasulullah ﷺ. Konteks waktu ini sangat krusial dalam memahami makna surah ini sebagai sebuah isyarat.
Sebuah riwayat terkenal dari Ibnu Abbas menceritakan bahwa ketika surah ini turun, Umar bin Khattab bertanya kepada para sahabat senior tentang maknanya. Sebagian besar dari mereka menafsirkannya secara harfiah sebagai perintah untuk bersyukur atas kemenangan. Namun, Ibnu Abbas, yang saat itu masih muda, memberikan interpretasi yang berbeda. Beliau berkata, "Ini adalah pertanda ajal Rasulullah ﷺ yang Allah beritahukan kepadanya. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (Fathu Makkah), maka itu adalah tanda bahwa ajalmu sudah dekat. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun, karena Dia Maha Penerima tobat.'" Umar bin Khattab pun membenarkan penafsiran Ibnu Abbas tersebut seraya berkata, "Aku tidak mengetahui makna lain dari surah ini selain apa yang engkau katakan."
Kisah ini menunjukkan kedalaman pemahaman para sahabat. Mereka mampu menangkap sinyal halus dari Al-Qur'an. Logikanya adalah, jika tujuan utama dari risalah kenabian—yaitu tegaknya agama Allah dan diterimanya Islam oleh masyarakat luas—telah tercapai, maka tugas sang Rasul di dunia ini telah selesai. Sama seperti seorang pekerja yang telah menuntaskan proyeknya, maka tibalah waktunya untuk kembali dan melapor kepada sang pemberi tugas. Perintah untuk bertasbih dan beristighfar adalah bentuk persiapan terbaik untuk "laporan akhir" tersebut.
Pelajaran dan Hikmah yang Dapat Dipetik
Surah An-Nasr, meskipun singkat, mengandung pelajaran universal yang relevan sepanjang masa, baik dalam konteks individu, masyarakat, maupun negara.
- Keyakinan pada Janji Allah: Surah ini mengajarkan optimisme dan keyakinan penuh bahwa pertolongan Allah pasti akan datang bagi mereka yang berjuang di jalan-Nya dengan ikhlas dan sabar.
- Hakikat Kemenangan dari Allah: Pelajaran tauhid yang paling mendasar adalah bahwa kemenangan sejati bukan hasil usaha manusia semata. Ini adalah anugerah murni dari Allah. Kesadaran ini menghindarkan kita dari kesombongan.
- Adab dalam Kesuksesan: Islam memberikan panduan etika yang luhur dalam menyikapi kesuksesan. Bukan dengan pesta pora yang melalaikan, melainkan dengan meningkatkan ibadah, syukur (tahmid), penyucian diri (tasbih), dan introspeksi (istighfar).
- Pentingnya Kerendahan Hati: Justru di puncak pencapaian, seorang hamba diperintahkan untuk memohon ampun. Ini adalah puncak dari kerendahan hati (tawadhu'), sebuah pengakuan bahwa kita tidak akan pernah bisa menunaikan hak Allah secara sempurna.
- Setiap Puncak Adalah Awal dari Akhir: Surah ini mengingatkan kita tentang siklus kehidupan. Setiap kesuksesan dan pencapaian puncak adalah tanda bahwa sebuah fase akan berakhir. Ini mengajarkan kita untuk tidak terlena dengan dunia dan selalu mempersiapkan diri untuk fase berikutnya, yaitu kehidupan akhirat.
- Allah Maha Penerima Tobat: Surah ini ditutup dengan pesan rahmat dan harapan. Sebesar apapun kekurangan kita, pintu tobat Allah selalu terbuka. Ini mendorong kita untuk terus memperbaiki diri dan tidak pernah putus asa dari rahmat-Nya.
Kesimpulan
Surah An-Nasr adalah sebuah mahakarya ringkas yang merangkum perjalanan dakwah, esensi kemenangan, dan adab seorang hamba di hadapan Tuhannya. Ia adalah proklamasi kemenangan yang dibingkai dengan kerendahan hati yang total. Ia mengajarkan bahwa tujuan akhir dari setiap perjuangan bukanlah kemenangan itu sendiri, melainkan ridha Allah. Dan cara terbaik untuk meraih ridha-Nya di saat lapang dan sukses adalah dengan kembali kepada-Nya melalui tasbih, tahmid, dan istighfar.
Lebih dari sekadar catatan historis tentang Fathu Makkah, surah ini adalah panduan abadi bagi setiap muslim. Setiap kali kita meraih kesuksesan—baik itu lulus ujian, mendapatkan pekerjaan, menyelesaikan proyek, atau meraih kemenangan dalam hidup—ingatlah pesan dari Surah An-Nasr. Alih-alih mengangkat kepala dengan kebanggaan, tundukkanlah hati seraya berucap, "Subhanallah, Alhamdulillah, Astaghfirullah." Karena dengan itulah, sebuah nikmat duniawi akan bernilai abadi di sisi Allah SWT, Dzat yang Maha Penerima Tobat.