Pendahuluan: Gema Cinta yang Tak Pernah Padam
Di seluruh penjuru dunia Islam, dari lorong-lorong kota Fez yang kuno hingga hiruk pikuk Jakarta, ada sebuah tradisi yang mengakar kuat, menyatukan hati jutaan umat dalam untaian nada dan kata yang syahdu. Tradisi itu adalah pembacaan Rawi Maulid, sebuah seni sastra luhur yang mengisahkan riwayat hidup, kemuliaan, dan keagungan Nabi Muhammad SAW. Lebih dari sekadar pembacaan biografi, Rawi Maulid adalah manifestasi cinta, kerinduan, dan penghormatan mendalam kepada sosok yang menjadi rahmat bagi semesta alam.
Istilah "Rawi" secara harfiah berarti 'orang yang meriwayatkan' atau 'pencerita'. Dalam konteks maulid, "Rawi Maulid" merujuk pada kitab atau naskah yang berisi narasi puitis tentang sirah (perjalanan hidup) Nabi, mulai dari penciptaan Nur Muhammad, silsilah keluarga, detik-detik kelahiran yang penuh berkah, masa kecil, remaja, hingga diutusnya beliau sebagai Rasul. Kitab-kitab ini bukanlah sekadar catatan sejarah yang kering, melainkan karya sastra yang kaya akan majas, metafora, dan bahasa yang indah, dirangkai untuk menggugah emosi, membangkitkan spirit, dan menanamkan kecintaan kepada Sang Nabi.
Membaca atau mendengarkan Rawi Maulid membawa kita pada sebuah perjalanan spiritual. Setiap baitnya seolah membuka jendela waktu, memungkinkan kita untuk merasakan getaran-getaran peristiwa agung di masa lalu. Kita diajak merenungi kebesaran Allah yang telah memilih seorang manusia paling mulia sebagai utusan-Nya. Kita diajak merasakan kebahagiaan Sayyidah Aminah saat mengandung cahaya kenabian, dan kita diajak berdiri dalam khidmat saat lantunan Mahallul Qiyam dikumandangkan, menyambut kedatangan ruh suci Nabi Muhammad SAW secara simbolis. Inilah esensi dari Rawi Maulid: sebuah jembatan yang menghubungkan hati umat masa kini dengan ruh agung Rasulullah SAW.
Sejarah dan Akar Tradisi Pembacaan Maulid
Perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW (Maulid Nabi) bukanlah sebuah tradisi yang muncul seketika. Akarnya dapat ditelusuri dari ekspresi-ekspresi cinta para sahabat kepada Rasulullah. Meskipun mereka tidak merayakannya dalam format seperti yang kita kenal sekarang, kecintaan dan penghormatan mereka terhadap hari kelahiran Nabi adalah sesuatu yang tak terbantahkan. Mereka mengekspresikan cinta itu dengan cara memperbanyak shalawat, meneladani akhlak beliau, dan menceritakan kembali kisah-kisah kehidupannya untuk diambil pelajaran.
Tradisi perayaan Maulid secara lebih terorganisir mulai terlihat pada masa-masa setelahnya. Sebagian sejarawan menunjuk pada masa Daulah Fatimiyah di Mesir sebagai salah satu periode awal di mana perayaan Maulid diadakan secara resmi di kalangan istana. Namun, perayaan yang paling berpengaruh dan menjadi model bagi dunia Islam adalah yang diselenggarakan oleh Sultan Al-Muzhaffar Abu Sa'id Kukburi, gubernur Irbil (sekarang di Irak Utara), pada abad ke-13 Masehi. Beliau adalah saudara ipar dari pahlawan besar Islam, Salahuddin Al-Ayyubi.
Sultan Al-Muzhaffar mengadakan perayaan Maulid dengan sangat meriah dan megah. Ia mengundang ulama, ahli sufi, sastrawan, dan seluruh lapisan masyarakat. Dalam perayaan tersebut, dibacakanlah kisah-kisah kelahiran dan kehidupan Nabi. Untuk keperluan inilah, para ulama dan sastrawan mulai menyusun kitab-kitab yang secara khusus menarasikan peristiwa agung tersebut. Karya-karya inilah yang menjadi cikal bakal dari kitab-kitab Rawi Maulid yang kita kenal hari ini. Salah satu yang paling awal dan populer adalah karya Syaikh Ja'far al-Barzanji.
Tujuan utama dari perayaan dan penyusunan kitab Rawi Maulid pada masa itu adalah untuk membangkitkan kembali semangat juang dan kecintaan umat Islam kepada Nabinya, terutama dalam konteks menghadapi Perang Salib. Dengan mengingat kembali perjuangan, kesabaran, dan kemuliaan akhlak Nabi, diharapkan umat Islam dapat meneladaninya dan bersatu padu.
Dari Irbil, tradisi ini menyebar ke seluruh dunia Islam, dibawa oleh para ulama, pedagang, dan kaum sufi. Setiap wilayah kemudian mengadaptasi tradisi ini dengan sentuhan budaya lokalnya, namun esensinya tetap sama: mengagungkan Nabi Muhammad SAW. Di Nusantara, tradisi pembacaan Rawi Maulid berakulturasi dengan budaya lokal, melahirkan berbagai bentuk ritual seperti grebeg maulud di Jawa, pembacaan dengan iringan rebana (hadrah), dan majelis-majelis shalawat yang khusyuk.
Struktur Umum dan Kandungan Kitab Rawi Maulid
Meskipun terdapat berbagai macam kitab Rawi Maulid yang ditulis oleh ulama yang berbeda dari masa ke masa, sebagian besar memiliki struktur narasi yang serupa. Pola ini memudahkan pembaca untuk mengikuti alur kisah kehidupan Nabi secara kronologis dan tematis. Secara umum, sebuah kitab Rawi Maulid akan mengandung beberapa bagian penting berikut ini:
- Pembukaan (Istiftah): Bagian ini biasanya diawali dengan bacaan basmalah, hamdalah (pujian kepada Allah), dan shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW. Ini adalah adab dan etika dalam memulai segala sesuatu yang baik, terutama dalam mengisahkan riwayat makhluk paling mulia. Penulis seringkali mengungkapkan kerendahan hatinya dan memohon pertolongan Allah agar mampu menyajikan riwayat Nabi dengan sebaik-baiknya.
- Kisah Nur Muhammad: Banyak kitab maulid memulai narasi dari penciptaan "Nur Muhammad" (Cahaya Muhammad). Ini adalah konsep tasawuf yang menjelaskan bahwa hakikat spiritual Nabi Muhammad telah diciptakan oleh Allah sebelum segala sesuatu yang lain diciptakan. Cahaya ini kemudian berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui para nabi dan orang-orang suci hingga akhirnya sampai kepada Abdullah, ayahanda Nabi.
- Silsilah dan Nasab Nabi: Bagian ini merinci silsilah atau garis keturunan Nabi Muhammad SAW, baik dari pihak ayah (Abdullah bin Abdul Muthalib) maupun dari pihak ibu (Aminah binti Wahab). Penyebutan silsilah ini penting untuk menunjukkan kemuliaan nasab beliau, yang berasal dari kabilah Quraisy, kabilah paling terhormat di antara bangsa Arab.
- Peristiwa Menjelang Kelahiran: Narasi berlanjut dengan menceritakan peristiwa-peristiwa ajaib yang terjadi selama masa kehamilan Sayyidah Aminah. Diceritakan bagaimana ia tidak merasakan beban kehamilan seperti wanita pada umumnya, mimpi-mimpi indah yang dialaminya, serta tanda-tanda alam yang menunjukkan akan datangnya seorang pemimpin besar.
- Detik-Detik Kelahiran (Wiladah): Inilah puncak dari bagian awal narasi. Kitab-kitab maulid melukiskan dengan sangat indah suasana saat Nabi dilahirkan. Diceritakan tentang cahaya yang memancar dari rumah Sayyidah Aminah, padamnya api sesembahan kaum Majusi di Persia, dan runtuhnya berhala-berhala di sekitar Ka'bah. Bagian ini bertujuan untuk menunjukkan betapa istimewanya kelahiran beliau.
- Mahallul Qiyam (Saat Berdiri): Ini adalah salah satu momen paling sakral dalam pembacaan maulid. Ketika narasi sampai pada detik-detik kelahiran Nabi, para hadirin akan berdiri sebagai bentuk penghormatan dan penyambutan (secara ruhani) atas kehadiran Nabi Muhammad SAW. Shalawat khusus seperti "Ya Nabi Salam 'Alaika" dilantunkan dengan penuh kekhusyukan. Momen ini melambangkan kegembiraan dan penghormatan tertinggi.
- Masa Kanak-kanak dan Mukjizat: Setelah kelahiran, riwayat berlanjut ke masa penyusuan oleh Halimah As-Sa'diyah, peristiwa pembelahan dada (syaqqus shadr), dan berbagai keajaiban serta keberkahan yang menyertai masa kecil beliau.
- Pujian terhadap Akhlak dan Fisik Nabi (Syama'il): Sebagian besar kitab maulid memiliki bab khusus yang memuji sifat-sifat mulia (akhlak) dan kesempurnaan fisik (khalqiyah) Nabi Muhammad SAW. Penggambaran ini didasarkan pada riwayat-riwayat shahih dari para sahabat, bertujuan agar umat dapat membayangkan keagungan sosoknya dan semakin jatuh cinta kepadanya.
- Penutup dan Doa (Ikhtitam wa Doa): Pembacaan Rawi Maulid biasanya diakhiri dengan doa, tawasul (menjadikan kecintaan kepada Nabi sebagai perantara doa), dan harapan agar mendapatkan syafaat beliau di hari kiamat.
Ragam Kitab Rawi Maulid yang Populer di Dunia Islam
Seiring berjalannya waktu, lahir banyak sekali karya sastra yang didedikasikan untuk menceritakan sirah Nabi. Setiap kitab memiliki gaya bahasa, penekanan, dan keunikan tersendiri, mencerminkan kepribadian dan latar belakang keilmuan penulisnya. Berikut adalah beberapa kitab Rawi Maulid yang paling populer dan sering dibaca di Indonesia serta belahan dunia lainnya.
1. Maulid Al-Barzanji karya Imam Ja'far al-Barzanji
Inilah kitab maulid yang barangkali paling ikonik dan dikenal luas di seluruh dunia, khususnya di Asia Tenggara. Dikarang oleh seorang ulama besar dan mufti dari madzhab Syafi'i, Sayyid Ja'far bin Hasan bin Abdul Karim al-Barzanji, yang lahir di Madinah. Nama "Barzanji" merujuk pada nama sebuah tempat di Kurdistan, asal dari nenek moyang beliau.
Kitab Maulid Al-Barzanji sebenarnya berjudul "'Iqd al-Jawahir" (Kalung Permata). Kitab ini memiliki dua bentuk utama: Natsar (prosa) dan Nadham (puisi). Versi prosa berisi narasi yang runut dan mendetail dengan bahasa yang sangat sastrawi dan penuh rima (sajak). Sementara versi nadham adalah gubahan puitis dari versi prosa, dengan irama dan metrum yang indah, sehingga sangat merdu saat dilantunkan.
Keistimewaan Maulid Barzanji terletak pada bahasanya yang puitis namun tetap padat informasi. Imam Al-Barzanji dengan mahir merangkai kata-kata untuk melukiskan setiap detail kehidupan Nabi dengan cara yang menggugah jiwa. Dari deskripsi tentang nasab Nabi yang bagaikan untaian mutiara, hingga penggambaran suasana kelahiran yang penuh cahaya dan kedamaian. Pembacaannya sering diiringi dengan irama dan lagu yang khas di setiap daerah, menjadikannya sebuah tradisi yang hidup dan dinamis.
Contoh petikan dari Maulid Barzanji (Natsar):
"Wa lammā tamma min hamlihī syahrāni ‘alā masyhūril aqwāli al-marwiyyah, tuwuffiya bil madīnatil munawwarati abūhu ‘abdullāh."
(Dan ketika usia kandungannya genap dua bulan menurut riwayat yang masyhur, wafatlah di Kota Madinah Al-Munawwarah ayahandanya, Abdullah.)
Potongan kalimat di atas menunjukkan gaya bahasa Al-Barzanji yang berirama dan elegan. Popularitasnya yang luar biasa membuat Maulid Barzanji menjadi sinonim dengan "membaca maulid" itu sendiri di banyak tempat.
2. Maulid Ad-Diba'i karya Imam Abdurrahman ad-Diba'i
Kitab maulid populer lainnya adalah Maulid Ad-Diba'i, yang dikarang oleh seorang ulama besar ahli hadis dan sejarah dari Yaman, Wajihuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Umar ad-Diba'i asy-Syaibani. Beliau hidup pada abad ke-9 Hijriyah. Karyanya ini dikenal dengan judul aslinya "Maulid ad-Diba'i", yang merujuk kepada nama pengarangnya.
Gaya bahasa Maulid Diba' lebih lugas dibandingkan Barzanji, namun tidak kalah indah. Imam Ad-Diba'i menggunakan bahasa yang fasih dan jelas, dengan fokus utama pada periwayatan hadis-hadis yang berkaitan dengan kelahiran dan keutamaan Nabi. Kitab ini penuh dengan kutipan shalawat dan pujian yang mendalam. Salah satu ciri khasnya adalah adanya bagian "qishshah" atau cerita yang dinarasikan dengan sangat menyentuh hati.
Salah satu bagian yang paling terkenal dari Maulid Diba' adalah lantunan shalawatnya yang khas, seperti "Yā Robbi Sholli 'alā Muhammad" yang diulang-ulang dengan penuh semangat dan kekhusyukan. Pembacaan Maulid Diba' seringkali terasa lebih ritmis dan menghentak, sehingga sangat cocok diiringi dengan tabuhan rebana atau hadrah. Di banyak majelis, terutama di kalangan Habaib dan pesantren di Indonesia, Maulid Diba' menjadi bacaan rutin yang membangkitkan semangat cinta kepada Rasulullah.
3. Maulid Simtud Durar karya Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi
Simtud Durar fi Akhbar Maulid Khairil Basyar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Aushaf wa Siyar (Untaian Mutiara tentang Berita Kelahiran Manusia Terbaik serta Akhlak, Sifat, dan Riwayat Hidupnya) adalah judul lengkap dari kitab maulid yang lebih dikenal sebagai Maulid Habsyi. Kitab ini disusun oleh seorang ulama agung dari Hadhramaut, Yaman, Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi.
Maulid Simtud Durar tergolong karya yang lebih modern dibandingkan Barzanji dan Diba', namun pesonanya dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Keunikan utamanya terletak pada susunan bahasanya yang luar biasa indah, mengalir, dan modern. Habib Ali Al-Habsyi seolah-olah mengajak pembaca untuk berdialog langsung dan merasakan kehadiran Nabi. Prolognya yang dimulai dengan "Ya Rabbi shalli 'ala Muhammad, asyrafi badrin fit kauni asyraq" langsung menyentuh kalbu.
Struktur Simtud Durar sangat rapi dan sistematis. Setiap "rawi" atau bab diakhiri dengan lantunan shalawat yang agung. Puncak dari pembacaan Simtud Durar, sama seperti maulid lainnya, adalah saat Mahallul Qiyam, di mana hadirin berdiri melantunkan "Thala'al badru 'alaina" dan shalawat penyambutan lainnya. Banyak yang merasakan getaran spiritual yang kuat saat membaca atau mendengarkan maulid ini karena kedalaman makna dan keindahan sastranya. Kini, Simtud Durar menjadi salah satu kitab maulid yang paling banyak dibaca di majelis-majelis taklim modern di seluruh dunia.
4. Maulid Ad-Dhiyaul Lami' karya Habib Umar bin Hafidz
Ini adalah salah satu karya maulid kontemporer yang paling berpengaruh. Disusun oleh seorang ulama kharismatik dari Hadhramaut, Yaman, Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz. Judul lengkapnya adalah Ad-Dhiyaul Lami' bi Dzikri Maulid an-Nabi asy-Syafi' (Cahaya yang Terang Benderang dengan Mengingat Kelahiran Nabi Sang Pemberi Syafaat).
Kitab ini disusun dengan gaya bahasa yang mudah dipahami namun tetap sarat makna. Habib Umar bin Hafidz merangkum sirah Nabi secara ringkas, padat, dan puitis, mulai dari awal penciptaan hingga peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya. Tujuan beliau menyusun kitab ini adalah agar mudah dihafal dan dibaca oleh semua kalangan, termasuk anak-anak muda, sehingga mereka dapat terhubung dengan sejarah dan akhlak Nabi mereka.
Keistimewaan Ad-Dhiyaul Lami' adalah strukturnya yang menggabungkan antara narasi, pujian, shalawat, dan doa dalam satu rangkaian yang harmonis. Setiap bagiannya dirancang untuk menanamkan pesan-pesan moral dan spiritual yang relevan dengan zaman sekarang. Meskipun tergolong baru, kitab ini telah diterima secara luas dan menjadi bacaan favorit di banyak pesantren, majelis ilmu, dan lembaga pendidikan Islam di berbagai negara.
5. Qasidah Burdah karya Imam Al-Bushiri
Meskipun secara teknis bukanlah kitab rawi maulid yang menceritakan kelahiran secara naratif, Qasidah Burdah tidak dapat dipisahkan dari tradisi perayaan maulid. Karya agung dari Imam Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Sa'id al-Bushiri ini adalah sebuah syair pujian (ode) yang terdiri dari 160 bait, berisi sanjungan luar biasa kepada Nabi Muhammad SAW, shalawat, kisah-kisah mukjizat, tawasul, dan doa.
Kisah di balik penulisan Burdah sangat terkenal. Imam Al-Bushiri menderita penyakit lumpuh separuh badan yang tak kunjung sembuh. Dalam keputusasaannya, ia menulis qasidah ini sebagai ekspresi cinta dan permohonannya kepada Allah melalui wasilah Nabi. Setelah selesai, ia bermimpi bertemu Rasulullah SAW yang kemudian menyelimutinya dengan "burdah" (mantel) beliau. Ketika terbangun, Imam Al-Bushiri sembuh total dari penyakitnya.
Karena kisah yang menakjubkan dan keindahan syairnya yang tiada tara, Qasidah Burdah menjadi sangat populer dan dianggap memiliki banyak keberkahan. Bait-baitnya sering dilantunkan dalam majelis-majelis maulid, baik secara utuh maupun sebagian, sebagai selingan atau penutup acara. Kandungannya yang mendalam, mulai dari penyesalan dosa, perjuangan melawan hawa nafsu, hingga pujian setinggi-tingginya kepada Nabi, menjadikannya karya sastra spiritual yang abadi.
Makna Spiritual dan Manfaat Membaca Rawi Maulid
Di balik alunan nada yang merdu dan untaian kata yang indah, pembacaan Rawi Maulid menyimpan makna spiritual yang sangat dalam serta manfaat yang besar bagi individu dan masyarakat. Ini bukanlah sekadar ritual tahunan, melainkan sebuah madrasah (sekolah) ruhani yang terbuka bagi siapa saja.
- Menumbuhkan Mahabbah (Cinta): Tujuan utama dari membaca Rawi Maulid adalah untuk menanamkan dan menyuburkan rasa cinta (mahabbah) kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan mendengarkan kisah hidupnya yang agung, perjuangannya yang gigih, dan akhlaknya yang mulia, hati akan tergerak untuk mencintai beliau. Dan cinta kepada Rasul adalah salah satu pilar keimanan.
- Mengenal untuk Meneladani: Pepatah mengatakan, "tak kenal maka tak sayang." Rawi Maulid adalah sarana yang efektif untuk mengenal sosok Nabi secara lebih dekat dan personal. Dengan mengetahui detail kepribadiannya—bagaimana beliau tersenyum, berinteraksi dengan anak-anak, memaafkan musuh, dan bersikap adil—kita akan termotivasi untuk meneladani (ittiba') sunnah dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
- Sarana Pendidikan Sirah Nabawiyah: Bagi banyak orang, majelis maulid adalah pengenalan pertama mereka terhadap sejarah hidup Nabi. Dengan cara penyampaian yang puitis dan menarik, materi sirah nabawiyah menjadi lebih mudah dicerna dan diingat, bahkan oleh kalangan awam sekalipun. Ini adalah metode edukasi yang sangat efektif.
- Memperoleh Keberkahan dan Syafaat: Umat Islam meyakini bahwa di dalam majelis di mana nama Allah dan Rasul-Nya disebut dan diagungkan, rahmat dan keberkahan Allah akan turun. Dengan memperbanyak shalawat dalam pembacaan maulid, kita berharap akan mendapatkan syafaat (pertolongan) dari Nabi Muhammad SAW di akhirat kelak, sesuai dengan janji beliau dalam banyak hadis.
- Mempererat Ukhuwah Islamiyah: Majelis pembacaan maulid adalah ajang silaturahmi yang mempertemukan berbagai lapisan masyarakat. Orang-orang berkumpul, duduk bersama, melantunkan shalawat, dan berbagi makanan. Momen-momen seperti ini sangat efektif untuk memperkuat ikatan persaudaraan (ukhuwah) di antara sesama muslim, menghilangkan sekat-sekat sosial, dan menumbuhkan rasa kebersamaan.
Penutup: Warisan Luhur Ekspresi Kerinduan
Rawi Maulid adalah sebuah warisan budaya dan spiritual yang tak ternilai harganya. Ia adalah bukti nyata bagaimana umat Islam dari generasi ke generasi selalu menemukan cara yang indah dan kreatif untuk mengungkapkan kecintaan dan kerinduan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui karya-karya seperti Barzanji, Diba', Simtud Durar, dan lainnya, kita tidak hanya belajar tentang sejarah, tetapi juga diajak untuk merasakan getaran cinta yang sama seperti yang dirasakan oleh para penulisnya.
Dalam dunia yang serba cepat dan seringkali kering dari nilai-nilai spiritual, meluangkan waktu untuk duduk dalam majelis maulid, mendengarkan lantunan Rawi yang syahdu, adalah sebuah oase bagi jiwa. Ia mengingatkan kita kembali pada sosok teladan sempurna, sumber inspirasi abadi, dan pembawa rahmat bagi seluruh alam. Semoga kita semua senantiasa dianugerahi kemampuan untuk mencintai Nabi Muhammad SAW dengan tulus dan digolongkan sebagai umat yang layak menerima syafaatnya. Amin.