Ridho Artinya: Memahami Kunci Ketenangan Jiwa
Ilustrasi hati yang tenang melambangkan ridho dan keikhlasan.
Dalam lautan perbendaharaan kata bahasa Indonesia yang kaya, terdapat satu kata yang menyimpan kedalaman makna spiritual luar biasa: ridho. Kata ini sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari, dalam nasihat orang tua, atau dalam ceramah keagamaan. Namun, sudahkah kita benar-benar memahami ridho artinya apa? Jauh melampaui sekadar "rela" atau "ikhlas", ridho adalah sebuah stasiun spiritual, sebuah keadaan batin yang menjadi puncak dari keimanan dan kunci utama menuju ketenangan jiwa yang hakiki. Artikel ini akan mengupas tuntas makna ridho dari berbagai sudut pandang, menyingkap lapis-lapis pengertiannya, dan menawarkan langkah-langkah praktis untuk meraihnya dalam kehidupan yang penuh dinamika ini.
Memahami ridho adalah sebuah perjalanan. Ia bukan konsep yang bisa dipahami dalam semalam, melainkan sebuah rasa yang perlu dihidupkan dalam hati. Ketika seseorang bertanya, "ridho artinya apa?", jawaban yang paling sederhana adalah menerima ketetapan Tuhan dengan lapang dada. Namun, definisi ini baru menyentuh permukaan. Ridho bukanlah penerimaan pasif yang penuh kepasrahan buta. Ia adalah sebuah penerimaan aktif, yang disertai dengan rasa suka, puas, dan damai terhadap apa pun yang Allah takdirkan, baik itu berupa nikmat yang menyenangkan maupun ujian yang terasa pahit.
Membedah Makna Ridho Secara Mendalam
Untuk memahami konsep ridho secara komprehensif, kita perlu membedahnya dari beberapa aspek, mulai dari akar kata hingga perbedaannya dengan konsep-konsep spiritual lain yang sering dianggap serupa.
1. Makna Etimologis dan Terminologis
Secara etimologis, kata "ridho" berasal dari bahasa Arab, yaitu dari akar kata raḍiya - yarḍā - riḍwanan, yang memiliki arti dasar: senang, suka, rela, puas, dan menerima dengan baik. Dari akar kata ini saja, kita bisa melihat bahwa ridho mengandung unsur emosi positif. Ini bukan sekadar menahan diri dari keluhan, tetapi merasakan kesenangan dan kepuasan di dalam hati.
Secara terminologis atau istilah dalam konteks spiritual Islam, para ulama mendefinisikan ridho sebagai kelapangan hati dalam menerima qada (ketetapan) Allah tanpa merasa berat atau menentang. Ini adalah kondisi di mana hati seorang hamba merasa damai dan tidak terganggu oleh apa pun yang terjadi, karena ia yakin seyakin-yakinnya bahwa segala sesuatu yang datang dari Allah adalah yang terbaik untuknya, meskipun akal dan nafsunya mungkin berkata sebaliknya. Ridho adalah ketika hati tidak lagi bertanya "mengapa ini terjadi padaku?", melainkan berbisik, "aku menerima apa pun yang Engkau tetapkan, ya Allah, karena Engkau lebih tahu apa yang terbaik untukku."
2. Perbedaan Ridho dengan Konsep Serupa
Banyak orang sering menyamakan ridho dengan sabar, syukur, atau tawakal. Meskipun saling berkaitan erat, ketiganya memiliki perbedaan mendasar. Memahami perbedaan ini sangat penting agar kita bisa menempatkan setiap kondisi batin pada tempatnya.
a. Ridho vs. Sabar (Kesabaran)
Sabar adalah menahan diri dari keluh kesah, amarah, dan perbuatan yang tidak dibenarkan ketika ditimpa musibah. Sabar adalah benteng pertama seorang mukmin. Ia menahan gejolak di dalam hati dan lisan. Namun, di dalam hati orang yang bersabar, mungkin masih ada rasa sakit, kepedihan, dan ketidaksukaan terhadap musibah tersebut. Ia menahannya karena tahu itu adalah perintah agama dan ada pahala di baliknya.
Ridho berada satu tingkat di atas sabar. Orang yang ridho tidak hanya menahan diri, tetapi hatinya telah melampaui rasa sakit itu. Ia melihat musibah bukan lagi sebagai beban, melainkan sebagai bentuk kasih sayang Allah. Hatinya merasa lapang dan bahkan mungkin menemukan "keindahan" dalam ujian tersebut. Jika sabar itu seperti meminum obat pahit sambil menahan rasanya, maka ridho adalah seperti meminum obat pahit yang sama, tetapi dengan kesadaran penuh bahwa obat itu akan menyembuhkan, sehingga rasa pahitnya tidak lagi terasa mengganggu. Hatinya justru merasa tenang karena tahu sedang dalam proses penyembuhan dari Tuhannya.
Seorang bijak pernah berkata, "Sabar adalah ketika engkau tidak menyukai apa yang menimpamu, tetapi engkau menahannya. Ridho adalah ketika hatimu tetap tenang dan lapang, seolah-olah musibah itu tidak pernah terjadi."
b. Ridho vs. Syukur (Rasa Terima Kasih)
Syukur umumnya dipahami sebagai ungkapan terima kasih atas nikmat dan karunia yang diterima. Kita bersyukur ketika mendapat rezeki, kesehatan, atau kebahagiaan. Syukur adalah respon terhadap hal-hal yang baik dan menyenangkan.
Ridho, di sisi lain, mencakup spektrum yang lebih luas. Ia tidak hanya berlaku pada nikmat, tetapi juga pada ujian dan musibah. Seseorang yang berada dalam tingkatan ridho akan mampu "bersyukur" dalam segala kondisi. Ia ridho (puas) saat diberi nikmat, dan ia juga ridho (puas) saat diberi ujian. Bagi orang yang ridho, baik nikmat maupun musibah adalah dua bentuk anugerah yang berbeda dari Allah. Nikmat adalah anugerah yang mengajak untuk bersyukur, sementara musibah adalah anugerah yang mengajak untuk mendekat dan membersihkan diri. Keduanya sama-sama baik di mata hati yang ridho.
c. Ridho vs. Tawakal (Berserah Diri)
Tawakal adalah menyandarkan segala urusan kepada Allah setelah melakukan usaha (ikhtiar) secara maksimal. Tawakal lebih berorientasi pada proses dan masa depan. Kita berikhtiar, lalu kita bertawakal kepada Allah untuk hasilnya. Ini adalah sikap hati sebelum dan selama suatu kejadian.
Ridho adalah sikap hati setelah kejadian itu terjadi dan hasilnya telah tampak. Setelah berikhtiar dan bertawakal, apa pun hasil yang Allah berikan—baik sesuai harapan maupun tidak—diterima dengan ridho. Jadi, tawakal adalah penyerahan di awal, sementara ridho adalah penerimaan di akhir. Keduanya adalah pasangan yang tidak terpisahkan. Tidak akan ada ridho yang sejati tanpa diawali dengan ikhtiar dan tawakal yang benar.
Dimensi dan Tingkatan Ridho
Konsep ridho memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan. Memahaminya akan membuka wawasan kita tentang betapa luasnya cakupan dari sifat mulia ini. Secara umum, ridho dapat dibagi menjadi tiga dimensi utama.
1. Ridho Allah kepada Hamba-Nya
Ini adalah tingkatan ridho yang tertinggi dan menjadi tujuan akhir setiap hamba. Ridho Allah adalah kerelaan dan kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Ketika Allah ridho kepada seseorang, maka seluruh pintu kebaikan di langit dan di bumi akan dibukakan untuknya. Kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat, berpusat pada pencapaian ridho Allah. Surga, dengan segala kenikmatannya, menjadi tidak berarti dibandingkan dengan anugerah melihat wajah Allah dan mendapatkan keridhoan-Nya.
Ridho Allah tidak didapat secara cuma-cuma. Ia diraih melalui ketaatan yang tulus, ibadah yang khusyuk, akhlak yang mulia, dan yang terpenting, melalui usaha seorang hamba untuk ridho kepada-Nya. Ini adalah hubungan timbal balik yang indah: "Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap-Nya."
2. Ridho Hamba kepada Allah
Inilah fokus utama pembahasan kita. Ridho seorang hamba kepada Tuhannya terbagi lagi menjadi beberapa aspek:
- Ridho terhadap Rububiyah-Nya: Menerima dengan sepenuh hati bahwa hanya Allah satu-satunya Tuhan, Pencipta, Pemilik, Pengatur, dan Pemberi rezeki. Tidak ada keraguan sedikit pun dalam hati terhadap kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya dalam mengatur alam semesta dan kehidupan kita.
- Ridho terhadap Uluhiyah-Nya: Menerima dengan tulus bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Seluruh ibadah, doa, dan pengharapan hanya ditujukan kepada-Nya, tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun.
- Ridho terhadap Perintah dan Larangan-Nya: Menjalankan semua perintah Allah (seperti shalat, puasa, zakat) dengan hati yang gembira dan lapang, bukan sebagai beban. Begitu pula, menjauhi segala larangan-Nya dengan kesadaran penuh, bukan karena terpaksa. Orang yang ridho tidak akan mempertanyakan, "Mengapa shalat harus lima waktu?" atau "Mengapa babi diharamkan?". Ia menerima syariat sebagai bentuk kasih sayang Allah untuk kebaikan manusia.
- Ridho terhadap Qada dan Qadar-Nya (Takdir): Ini adalah aspek ridho yang paling menantang sekaligus paling membebaskan. Menerima segala takdir yang telah Allah tetapkan, baik yang manis maupun yang pahit. Ketika mendapat nikmat, ia tidak menjadi sombong. Ketika ditimpa musibah—seperti sakit, kehilangan orang yang dicintai, kegagalan dalam usaha, atau fitnah—hatinya tetap tenang, tidak memberontak, dan lisannya tidak mengeluh. Ia memandang semua itu sebagai skenario terbaik yang telah ditulis oleh Sang Sutradara Maha Bijaksana.
3. Ridho antar Sesama Manusia
Konsep ridho juga berlaku dalam hubungan horizontal antarmanusia. Tanpa adanya ridho, banyak interaksi sosial dan hukum menjadi tidak sah.
- Ridho Orang Tua: Ini adalah salah satu pilar terpenting dalam kehidupan seorang anak. "Ridho Allah terletak pada ridho orang tua, dan murka Allah terletak pada murka orang tua." Mencari ridho orang tua dengan berbakti, menghormati, dan membahagiakan mereka (selama tidak dalam kemaksiatan) adalah jalan untuk meraih ridho Allah. Doa mereka yang tulus adalah kekuatan gaib yang mampu menembus langit.
- Ridho dalam Transaksi (Jual Beli): Syarat sahnya sebuah jual beli adalah adanya keridhoan (saling rela) antara penjual dan pembeli. Tidak boleh ada paksaan, penipuan, atau unsur ketidakjelasan yang dapat merusak kerelaan salah satu pihak. Prinsip ini menjaga keadilan dan keberkahan dalam ekonomi.
- Ridho dalam Pernikahan: Ijab qabul dalam sebuah akad nikah adalah manifestasi dari ridho antara kedua calon mempelai dan wali. Pernikahan yang dilandasi paksaan tidak akan membawa keberkahan karena fondasi utamanya, yaitu keridhoan, telah hilang.
Mengapa Meraih Ridho Begitu Penting?
Setelah memahami ridho artinya apa dan apa saja dimensinya, pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa sifat ini begitu krusial untuk diperjuangkan? Manfaat ridho tidak hanya bersifat ukhrawi (akhirat), tetapi juga sangat terasa dalam kesehatan mental dan kualitas hidup di dunia.
1. Kunci Ketenangan Jiwa yang Hakiki
Sumber utama dari stres, kecemasan, depresi, dan berbagai penyakit mental modern adalah ketidakpuasan. Kita tidak puas dengan pencapaian kita, penampilan kita, harta kita, atau nasib kita. Kita terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain dan merasa kurang. Ridho adalah penawar paling ampuh untuk penyakit hati ini.
Ketika hati telah dipenuhi ridho, ia tidak akan lagi gelisah oleh apa yang tidak dimilikinya. Ia akan sibuk mensyukuri apa yang ada di tangannya. Hati yang ridho akan terbebas dari belenggu iri, dengki, dan amarah. Ia akan merasakan kedamaian yang tidak bisa dibeli dengan harta sebanyak apa pun. Inilah yang disebut dengan hayatan thayyibah atau kehidupan yang baik, yang dijanjikan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
2. Tanda Puncak Keimanan dan Ma'rifatullah
Ridho adalah buah dari keimanan yang matang. Seseorang tidak akan bisa ridho terhadap takdir Allah jika ia tidak benar-benar mengenal Allah. Semakin dalam pengenalan (ma'rifat) seseorang terhadap nama dan sifat-sifat Allah—seperti Al-Hakim (Maha Bijaksana), Al-'Alim (Maha Mengetahui), Ar-Rahman (Maha Pengasih), dan Al-Lathif (Maha Lembut)—maka akan semakin mudah baginya untuk menerima segala ketetapan-Nya. Ia yakin bahwa di balik setiap kejadian, bahkan yang paling menyakitkan sekalipun, pasti terkandung hikmah, kebaikan, dan kasih sayang Tuhannya yang tak terbatas. Ridho adalah bukti bahwa iman seseorang telah meresap dari lisan, turun ke akal, dan bersemayam dengan kokoh di dalam hati.
3. Jalan Meraih Cinta dan Ridho Allah
Seperti yang telah disebutkan, hubungan antara ridho hamba dan ridho Allah bersifat timbal balik. Ketika seorang hamba berjuang untuk ridho kepada Allah dalam segala keadaan, Allah akan membalasnya dengan keridhoan-Nya yang jauh lebih besar. Meraih ridho Allah adalah pencapaian tertinggi yang bisa diraih seorang manusia, karena dengan ridho-Nya, segala urusan akan dimudahkan, doa akan diijabahkan, dan surga akan menjadi tempat kembali yang abadi. Ridho adalah magnet yang menarik cinta ilahi.
4. Mengubah Perspektif dalam Menghadapi Masalah
Orang yang tidak memiliki ridho akan memandang masalah sebagai bencana, hukuman, atau kesialan. Pandangan ini membuatnya lemah, putus asa, dan mudah menyalahkan keadaan atau bahkan Tuhan. Sebaliknya, orang yang memiliki ridho dalam hatinya akan memandang masalah sebagai peluang.
- Peluang untuk introspeksi diri dan menghapus dosa.
- Peluang untuk meningkatkan derajat di sisi Allah.
- Peluang untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya melalui doa dan munajat.
- Peluang untuk belajar dan menjadi pribadi yang lebih kuat, bijaksana, dan berempati.
Dengan perspektif ini, tidak ada lagi kejadian yang "buruk" dalam hidupnya. Semuanya adalah baik. Jika mendapat nikmat ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika mendapat musibah ia bersabar (dan ridho), dan itu pun baik baginya.
Tantangan dalam Perjalanan Meraih Ridho
Jalan menuju ridho bukanlah jalan yang mulus dan datar. Ia adalah sebuah pendakian spiritual yang terjal dan penuh tantangan. Mengenali tantangan-tantangan ini adalah langkah pertama untuk bisa mengatasinya.
1. Dominasi Hawa Nafsu dan Ego
Sifat dasar hawa nafsu adalah selalu ingin dipuaskan, ingin mengontrol, dan tidak suka dengan hal-hal yang tidak sesuai keinginannya. Ego kita sering kali memberontak ketika dihadapkan pada kenyataan yang pahit. Bisikan-bisikan seperti, "Aku tidak pantas menerima ini," "Ini tidak adil," atau "Seharusnya tidak begini," adalah suara ego yang menghalangi datangnya ridho. Melawan ego adalah jihad terbesar yang harus dihadapi setiap hari.
2. Kurangnya Ilmu dan Pemahaman tentang Takdir
Banyak orang salah memahami konsep takdir. Ada yang menganggapnya sebagai fatalisme buta, sehingga mereka menjadi malas berusaha. Ada pula yang menolaknya sama sekali, sehingga mereka menjadi sombong dan merasa bisa mengendalikan segalanya. Pemahaman yang benar adalah bahwa manusia memiliki kehendak dan kewajiban untuk berikhtiar (berusaha), namun hasil akhirnya mutlak di tangan Allah. Tanpa pemahaman yang lurus ini, hati akan sulit untuk menerima takdir yang tidak sesuai dengan hasil usaha.
3. Pengaruh Lingkungan dan Perbandingan Sosial
Di era media sosial, kita terus-menerus dibombardir dengan "panggung depan" kehidupan orang lain yang tampak sempurna. Hal ini memicu penyakit perbandingan (social comparison) yang kronis. Kita membandingkan karier, harta, pasangan, dan pencapaian kita dengan orang lain, yang pada akhirnya melahirkan rasa iri dan ketidakpuasan terhadap takdir sendiri. Lingkungan seperti ini sangat korosif bagi benih-benih ridho yang sedang coba kita tanam.
4. Cinta Dunia yang Berlebihan (Hubbud-dunya)
Semakin kuat keterikatan hati pada dunia—pada harta, jabatan, pujian, dan kesenangan materi—maka akan semakin sakit rasanya ketika semua itu hilang atau tidak tercapai. Hati yang dipenuhi cinta dunia akan sulit untuk ridho ketika diuji dengan kemiskinan atau kehilangan. Dunia dianggap sebagai tujuan akhir, bukan sebagai sarana. Untuk bisa ridho, hati perlu dilatih untuk melihat dunia sebagai sesuatu yang fana dan sementara.
Langkah-Langkah Praktis Menuju Pintu Ridho
Ridho adalah anugerah dari Allah, tetapi ia juga merupakan hasil dari usaha dan latihan spiritual yang konsisten. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang bisa kita tempuh untuk menumbuhkan dan menyuburkan sifat ridho di dalam hati.
1. Memperdalam Ilmu Tauhid dan Ma'rifatullah
Ini adalah fondasi dari segalanya. Luangkan waktu untuk belajar dan merenungi nama-nama dan sifat-sifat Allah (Asmaul Husna). Pahami bahwa Allah itu Al-Hakim, yang setiap keputusan-Nya pasti mengandung hikmah, meskipun kita tidak memahaminya. Yakinilah bahwa Dia Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yang kasih sayang-Nya kepada kita melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, sehingga mustahil Dia menakdirkan sesuatu untuk mencelakakan kita. Percayalah bahwa Dia Al-'Alim, yang mengetahui apa yang terbaik untuk kita di masa depan, sementara pengetahuan kita sangat terbatas. Semakin kokoh keyakinan ini, semakin mudah hati untuk pasrah dan ridho.
2. Berdoa dengan Sungguh-sungguh
Ridho adalah taufik dari Allah. Maka, mintalah kepada-Nya. Jangan pernah lelah untuk mengangkat tangan dan memohon agar dianugerahi hati yang ridho. Salah satu doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah:
"Allahumma inni as-aluka an-nafsa al-muthmainnah, allati tu'minu biliqa-ik, wa tardha bi qadha-ik, wa taqna'u bi 'atha-ik."
"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu jiwa yang tenang, yang beriman akan perjumpaan dengan-Mu, yang ridho dengan ketetapan-Mu, dan yang merasa cukup dengan pemberian-Mu."
Ucapkan doa ini dan doa-doa serupa dengan penuh penghayatan, terutama di waktu-waktu mustajab. Mengakui kelemahan diri dan memohon kekuatan dari-Nya adalah kunci pembuka pintu ridho.
3. Latihan Berprasangka Baik kepada Allah (Husnuzan)
Husnuzan adalah inti dari ridho. Setiap kali sebuah kejadian yang tidak menyenangkan menimpa, paksakan pikiran dan hati untuk mencari sisi baiknya. Latihlah diri untuk selalu berkata:
- "Mungkin Allah ingin menggugurkan dosa-dosaku melalui sakit ini."
- "Mungkin Allah menyelamatkanku dari bahaya yang lebih besar dengan membuatku ketinggalan pesawat."
- "Mungkin pekerjaan ini bukan yang terbaik untuk agamaku dan akhiratku, sehingga Allah tidak menakdirkannya untukku."
- "Mungkin dengan kegagalan ini, Allah ingin mengajarkanku kerendahan hati dan pentingnya bergantung hanya kepada-Nya."
Awalnya mungkin terasa berat dan seperti membohongi diri sendiri. Namun, dengan latihan yang terus-menerus, pola pikir ini akan menjadi kebiasaan dan pada akhirnya menjadi karakter.
4. Merenungi Nikmat yang Telah Diberikan
Pikiran kita cenderung fokus pada apa yang hilang atau apa yang belum kita miliki. Untuk melawannya, luangkan waktu setiap hari untuk secara sadar menghitung dan merenungi nikmat-nikmat yang sering kita lupakan. Mulai dari napas yang masih berhembus, mata yang masih bisa melihat, jantung yang masih berdetak, hingga nikmat iman dan Islam. Buatlah "jurnal syukur" jika perlu. Ketika kita menyadari betapa banyaknya nikmat yang telah kita terima, keluhan atas satu atau dua ujian akan terasa kecil dan tidak berarti.
5. Membaca Kisah Para Nabi dan Orang Saleh
Al-Qur'an dan hadis penuh dengan kisah-kisah inspiratif tentang bagaimana para nabi dan orang-orang saleh menghadapi ujian yang jauh lebih berat dari kita dengan penuh keridhoan. Renungkanlah kisah Nabi Ayub yang kehilangan harta, anak, dan kesehatannya, namun lisannya tidak pernah berhenti berzikir. Pelajarilah kisah Nabi Ibrahim yang ridho untuk menyembelih putranya. Bacalah tentang ketegaran keluarga Yasir di bawah siksaan kaum kafir. Kisah-kisah ini bukan sekadar cerita, melainkan suntikan motivasi dan teladan nyata bahwa ridho itu mungkin untuk dicapai.
6. Fokus pada Ikhtiar, Lepaskan Keterikatan pada Hasil
Islam mengajarkan keseimbangan sempurna antara usaha dan penyerahan diri. Tugas kita sebagai manusia adalah melakukan ikhtiar atau usaha yang terbaik, seoptimal mungkin, dengan cara yang halal dan benar. Lakukan bagianmu dengan sempurna. Namun, setelah itu, lepaskan hasilnya. Serahkan sepenuhnya kepada Allah. Jangan biarkan hatimu terikat pada hasil tertentu. Pahami bahwa hasil terbaik menurut kita belum tentu yang terbaik menurut Allah. Dengan memisahkan antara proses (yang menjadi tanggung jawab kita) dan hasil (yang menjadi hak prerogatif Allah), hati akan menjadi lebih ringan dan siap menerima apa pun keputusannya.
Kesimpulan: Ridho sebagai Perjalanan Seumur Hidup
Pada akhirnya, pencarian jawaban atas "ridho artinya apa" membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa ridho bukanlah sebuah tujuan akhir yang statis, melainkan sebuah perjalanan dinamis seumur hidup. Ia adalah seni menari di tengah badai kehidupan dengan hati yang tetap tersenyum kepada Sang Pengatur Skenario. Ia adalah kemampuan untuk melihat cinta di balik teguran, melihat hadiah di balik ujian, dan melihat hikmah di balik kepahitan.
Ridho bukanlah berarti menafikan rasa sakit atau kesedihan. Manusiawi untuk merasa sedih saat kehilangan atau sakit saat terluka. Namun, ridho adalah apa yang terjadi setelah gelombang emosi pertama itu reda. Ia adalah jangkar yang menjaga kapal jiwa kita tetap stabil di tengah ombak, mencegahnya dari terombang-ambing dalam lautan keluh kesah, kemarahan, dan keputusasaan.
Meraih ridho adalah investasi terbaik untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia membebaskan kita dari penjara ekspektasi dan perbandingan, serta membawa kita ke dalam taman kedamaian dan kepuasan yang tak terbatas. Semoga kita semua senantiasa dibimbing oleh Allah SWT untuk meniti jalan ini, hingga kita termasuk ke dalam golongan jiwa-jiwa yang tenang, yang kembali kepada-Nya dalam keadaan ridho dan diridhoi.