Sang Rasul: Cahaya Penerang Semesta Alam

Kaligrafi Muhammad Rasulullah Kaligrafi Arab yang membentuk kalimat 'Muhammad Rasulullah' dengan gaya tsuluts yang elegan.

Kaligrafi "Muhammad Rasulullah"

Pendahuluan: Memahami Makna Seorang Rasul

Dalam terminologi keagamaan, kata "rasul" memiliki makna yang sangat mendalam. Ia bukan sekadar pembawa pesan, melainkan seorang utusan pilihan yang dibebani amanah agung untuk menyampaikan risalah ilahi kepada umat manusia. Seorang rasul adalah jembatan antara langit dan bumi, figur yang melalui lisan dan perilakunya, wahyu Tuhan diterjemahkan menjadi panduan hidup yang nyata. Mereka adalah teladan terbaik, mercusuar di tengah kegelapan, dan penunjuk jalan menuju kebenaran hakiki. Sejarah peradaban manusia dihiasi oleh kisah-kisah para rasul yang datang silih berganti, masing-masing dengan misi yang relevan untuk kaum dan zamannya. Namun, dalam keyakinan Islam, ada satu rasul yang menempati posisi puncak, sebagai penutup mata rantai kenabian dan kerasulan, yang diutus bukan hanya untuk satu kaum, tetapi untuk seluruh alam semesta. Dialah Muhammad, sang rasul terakhir, yang kehidupannya menjadi cermin sempurna dari ajaran yang dibawanya. Artikel ini akan mengupas secara mendalam perjalanan hidup, karakter mulia, dan warisan abadi dari sosok agung ini, sebagai upaya untuk memahami esensi dari kerasulannya.

Kelahiran di Jantung Padang Pasir: Fajar di Tengah Jahiliyah

Jauh sebelum cahaya Islam menerangi dunia, Jazirah Arab diselimuti oleh kabut tebal yang dikenal sebagai era Jahiliyah, atau zaman kebodohan. Ini bukanlah kebodohan dalam arti intelektual, karena mereka memiliki peradaban, syair-syair indah, dan sistem perdagangan yang maju. Kebodohan yang dimaksud adalah kebodohan spiritual. Penyembahan berhala merajalela, keadilan menjadi barang langka, pertikaian antar suku adalah pemandangan biasa, dan martabat manusia, terutama perempuan, sering kali terinjak-injak. Di tengah kondisi sosial dan spiritual yang kelam inilah, takdir Ilahi mempersiapkan kelahiran seorang pembawa perubahan.

Di kota Mekkah, pusat spiritual dan perdagangan Jazirah Arab, dari suku Quraisy yang terpandang, lahirlah seorang bayi istimewa. Ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib, telah berpulang sebelum sempat menimang putranya. Ibunya, Aminah binti Wahb, memberinya nama Muhammad, sebuah nama yang tidak umum pada masa itu, yang berarti "yang terpuji". Kelahirannya menandai sebuah peristiwa besar, yang kelak akan mengubah arah sejarah dunia. Masa kecilnya dihabiskan dalam kesederhanaan dan penuh ujian. Sesuai tradisi bangsawan Arab, ia disusui dan dibesarkan di lingkungan pedesaan oleh seorang ibu susu bernama Halimah as-Sa'diyah. Di lingkungan yang jauh dari hiruk pikuk kota, ia tumbuh dengan fisik yang kuat, bahasa yang fasih, dan jiwa yang bersih.

Namun, takdir terus mengujinya. Pada usia yang sangat belia, ia kehilangan ibunda tercinta, Aminah, menjadikannya seorang yatim piatu. Kasih sayang kemudian tercurah dari kakeknya, Abdul Muthalib, seorang pemimpin Quraisy yang bijaksana. Namun, kebersamaan itu pun tak berlangsung lama. Sang kakek wafat, dan amanah pengasuhan berpindah ke tangan pamannya, Abu Thalib. Meskipun hidup dalam keterbatasan ekonomi, Abu Thalib mencurahkan cinta dan perlindungan yang luar biasa kepada keponakannya. Sejak kecil, Muhammad sudah menunjukkan tanda-tanda keistimewaan. Ia tidak pernah terlibat dalam permainan sia-sia atau kebiasaan buruk pemuda sebayanya. Ia dikenal sebagai anak yang jujur, santun, dan dapat dipercaya. Pengalamannya menggembalakan kambing di perbukitan Mekkah menempanya menjadi pribadi yang sabar, teliti, dan penuh tanggung jawab—sifat-sifat mendasar yang kelak sangat dibutuhkan dalam mengemban amanah sebagai seorang rasul.

Menuju Kenabian: Gelar Al-Amin, Sang Terpercaya

Beranjak dewasa, reputasi Muhammad semakin bersinar di kalangan masyarakat Mekkah. Ia tidak memiliki kekayaan atau jabatan, tetapi ia memiliki modal yang jauh lebih berharga: integritas. Setiap perkataannya adalah kejujuran, setiap tindakannya adalah amanah. Masyarakat Mekkah, baik kawan maupun lawan, tanpa ragu memberinya gelar "Al-Amin", yang berarti "Yang Dapat Dipercaya". Gelar ini bukanlah penghargaan formal, melainkan pengakuan tulus dari sebuah komunitas terhadap karakter seorang individu yang luar biasa. Orang-orang menitipkan harta mereka kepadanya saat bepergian, dan ia menjadi penengah yang adil dalam berbagai perselisihan.

Kejujuran dan keterampilannya dalam berdagang menarik perhatian seorang janda kaya dan terhormat bernama Khadijah binti Khuwailid. Khadijah mempercayakan Muhammad untuk membawa barang dagangannya ke Syam (Suriah). Laporan yang dibawa kembali oleh Maisarah, asisten Khadijah, bukan hanya tentang keuntungan materi yang berlipat ganda, tetapi juga tentang akhlak mulia, kejujuran, dan kebijaksanaan Muhammad selama perjalanan. Terkesan oleh kepribadiannya, Khadijah, melalui perantara, melamar Muhammad. Pernikahan antara Muhammad yang saat itu berusia sekitar dua puluh lima dengan Khadijah yang lebih dewasa darinya menjadi sebuah ikatan suci yang penuh cinta, saling pengertian, dan dukungan. Khadijah bukan hanya seorang istri, tetapi juga sahabat, penasihat, dan orang pertama yang kelak akan meyakini risalahnya.

Salah satu peristiwa monumental yang menunjukkan kebijaksanaannya sebelum menjadi rasul adalah saat renovasi Ka'bah. Ketika tiba saatnya meletakkan kembali Hajar Aswad (Batu Hitam) ke tempatnya, para pemimpin kabilah Quraisy berselisih hebat. Masing-masing merasa paling berhak mendapatkan kehormatan itu, dan pertumpahan darah nyaris tak terhindarkan. Di tengah kebuntuan, mereka sepakat untuk menjadikan orang pertama yang masuk melalui gerbang sebagai hakim. Atas kehendak Tuhan, orang itu adalah Muhammad. Dengan solusi yang brilian, ia membentangkan serbannya, meletakkan Hajar Aswad di tengahnya, dan meminta setiap pemimpin kabilah memegang ujung serban untuk mengangkatnya bersama-sama. Kemudian, ia sendiri yang meletakkan batu suci itu ke tempatnya. Semua pihak merasa puas, dan pertikaian pun terhindarkan. Peristiwa ini menunjukkan kapasitasnya sebagai pemersatu dan pemimpin yang bijaksana, jauh sebelum wahyu turun kepadanya.

Wahyu Pertama: Panggilan dari Langit di Gua Hira

Memasuki usia menjelang empat puluh, Muhammad semakin sering merasakan kegelisahan spiritual. Hatinya resah melihat kondisi masyarakatnya yang tenggelam dalam penyembahan berhala dan kerusakan moral. Ia mulai mencari ketenangan dengan menyendiri (bertahannuts) di Gua Hira, sebuah gua kecil di puncak Jabal Nur (Gunung Cahaya) yang tidak jauh dari Mekkah. Di sanalah, dalam keheningan malam-malam bulan Ramadhan, ia merenung dan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengikuti sisa-sisa ajaran lurus dari Nabi Ibrahim.

Pada suatu malam yang penuh berkah, saat ia sedang tenggelam dalam perenungannya, sebuah peristiwa luar biasa terjadi. Sosok agung yang belum pernah ia lihat sebelumnya muncul dan mendekapnya dengan sangat erat. Sosok itu adalah Malaikat Jibril, utusan Tuhan. Jibril memerintahkan, "Iqra'!" (Bacalah!). Muhammad, yang tidak bisa membaca dan menulis (ummi), menjawab dengan gemetar, "Aku tidak bisa membaca." Dekapan itu diulangi tiga kali, masing-masing lebih kuat dari sebelumnya, hingga akhirnya Jibril membacakan lima ayat pertama dari Al-Qur'an, yang merupakan wahyu pertama:

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya."

Pengalaman ini begitu dahsyat dan mengguncang jiwanya. Ia pulang ke rumah dengan tubuh gemetar dan hati yang berdebar kencang. Ia menemui istrinya, Khadijah, dan berkata, "Selimuti aku, selimuti aku!" Setelah sedikit tenang, ia menceritakan seluruh kejadian yang dialaminya. Di sinilah peran luar biasa Khadijah terlihat. Dengan penuh kearifan dan cinta, ia menenangkan suaminya, "Demi Allah, Tuhan tidak akan pernah menghinakanmu. Engkau selalu menyambung tali silaturahmi, menolong yang lemah, memberi kepada yang tak punya, memuliakan tamu, dan menolong orang yang memperjuangkan kebenaran." Kata-kata Khadijah adalah peneguhan pertama, sumber kekuatan di saat yang paling genting. Ia kemudian mengajak Muhammad bertemu dengan sepupunya, Waraqah bin Naufal, seorang pendeta Nasrani yang telah tua dan memahami kitab-kitab suci terdahulu. Setelah mendengar cerita Muhammad, Waraqah meyakini bahwa yang datang adalah Namus (Jibril), malaikat yang sama yang pernah datang kepada Nabi Musa. Waraqah mengabarkan bahwa Muhammad telah dipilih menjadi nabi bagi umatnya dan memperingatkan bahwa kaumnya akan memusuhinya. Peristiwa di Gua Hira adalah titik balik dalam kehidupan Muhammad dan sejarah umat manusia. Ia telah secara resmi diangkat menjadi seorang nabi dan rasul.

Dakwah di Mekkah: Perjuangan dan Pengorbanan

Setelah menerima wahyu pertama, dimulailah fase dakwah atau seruan kepada ajaran tauhid, yaitu mengesakan Allah dan meninggalkan segala bentuk penyembahan berhala. Atas perintah Tuhan, dakwah ini pada awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan terbatas pada lingkaran terdekat. Orang pertama yang beriman adalah istrinya, Khadijah. Disusul kemudian oleh sahabat karibnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, sepupunya yang masih belia, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah, mantan budak yang telah dianggapnya sebagai anak sendiri. Melalui Abu Bakar, beberapa tokoh terkemuka Quraisy lainnya seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, dan Abdurrahman bin Auf turut memeluk Islam. Mereka adalah generasi pertama, As-Sabiqunal Awwalun, yang menjadi fondasi bagi komunitas muslim yang baru terbentuk.

Setelah beberapa waktu berdakwah secara rahasia, turunlah perintah untuk menyampaikan seruan Islam secara terang-terangan. Sang rasul memulai dengan mengumpulkan kerabatnya dari Bani Hasyim, lalu menyeru kepada seluruh penduduk Mekkah dari atas Bukit Shafa. Reaksi pertama yang ia terima adalah cemoohan dan penolakan keras, terutama dari pamannya sendiri, Abu Lahab. Para pembesar Quraisy, yang merasa status quo, kekuasaan, dan keuntungan ekonomi mereka terancam oleh ajaran tauhid yang mengusung kesetaraan, mulai melancarkan perlawanan.

Perlawanan ini pada awalnya berupa ejekan, fitnah, dan upaya mendiskreditkan sang rasul. Mereka menuduhnya sebagai penyair gila, penyihir, atau orang yang mengada-ada. Ketika cara-cara ini tidak berhasil memadamkan cahaya dakwah, mereka beralih ke intimidasi dan penyiksaan fisik. Target utama mereka adalah para pengikut rasul yang berasal dari kalangan lemah dan tidak memiliki perlindungan kabilah, seperti para budak. Kisah penyiksaan terhadap Bilal bin Rabah yang ditindih batu panas di tengah padang pasir, keluarga Yasir yang disiksa hingga Sumayyah menjadi syahidah pertama, adalah bukti kekejaman yang harus dihadapi oleh kaum muslimin awal. Namun, dengan keimanan yang kokoh, mereka tetap teguh dalam pendirian.

Melihat penderitaan para pengikutnya, sang rasul mengizinkan sebagian dari mereka untuk hijrah (migrasi) ke Habasyah (Ethiopia), sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja Kristen yang adil, Najasyi. Ini adalah hijrah pertama dalam sejarah Islam, sebuah strategi untuk menyelamatkan akidah dan nyawa. Tekanan di Mekkah semakin memuncak dengan adanya pemboikotan total terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang melindungi sang rasul. Selama beberapa waktu, mereka diisolasi di sebuah lembah, menderita kelaparan dan kesulitan yang luar biasa. Tidak lama setelah pemboikotan berakhir, sang rasul menghadapi ujian terberat dalam hidupnya. Ia kehilangan dua orang yang paling dicintainya dan menjadi pelindung utamanya: istrinya, Khadijah, dan pamannya, Abu Thalib. Peristiwa ini begitu menyedihkan sehingga masa itu dikenal sebagai 'Amul Huzn (Tahun Kesedihan).

Isra' Mi'raj: Perjalanan Spiritual dan Peneguhan Hati

Di tengah puncak kesedihan dan kesulitan setelah kehilangan Khadijah dan Abu Thalib, serta penolakan keras dari penduduk Thaif, sang rasul mendapatkan sebuah anugerah luar biasa dari Allah sebagai penghiburan dan peneguhan. Peristiwa ini dikenal sebagai Isra' Mi'raj, sebuah perjalanan spiritual dan fisik yang melampaui batas-batas nalar manusia. Isra' adalah perjalanan malam hari dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Palestina. Mi'raj adalah naiknya sang rasul dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha, lapisan langit tertinggi, untuk menghadap langsung kepada Allah.

Dalam perjalanan ini, ia didampingi oleh Malaikat Jibril dan mengendarai Buraq, seekor hewan tunggangan dari surga yang kecepatannya secepat kilat. Di Masjidil Aqsa, ia menjadi imam shalat bagi para nabi dan rasul terdahulu, sebuah simbol bahwa risalah yang dibawanya adalah penyempurna dari risalah-risalah sebelumnya. Selama Mi'raj, ia melintasi tujuh lapis langit dan menyaksikan berbagai tanda kebesaran Allah yang tak terbayangkan. Puncak dari perjalanan ini adalah ketika ia menerima perintah langsung dari Allah SWT untuk melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam bagi dirinya dan umatnya. Perintah shalat ini menjadi tiang agama dan inti dari ibadah dalam Islam, sebuah sarana komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Tuhannya.

Keesokan paginya, ketika sang rasul menceritakan pengalaman agung ini kepada penduduk Mekkah, reaksi mereka dapat ditebak. Kaum kafir Quraisy semakin gencar mengejek dan menuduhnya berbohong. Mereka menganggap cerita itu sebagai dongeng yang mustahil. Bahkan, sebagian orang yang imannya masih lemah menjadi ragu. Namun, di tengah keraguan itu, muncullah sosok Abu Bakar. Tanpa sedikit pun keraguan, ia langsung membenarkan cerita sang rasul. Ia berkata, "Jika dia yang mengatakannya, maka itu pasti benar. Aku bahkan memercayainya dalam hal yang lebih jauh dari itu, yaitu berita dari langit (wahyu)." Sejak saat itulah, Abu Bakar mendapatkan gelar Ash-Shiddiq (Yang Amat Membenarkan). Peristiwa Isra' Mi'raj bukan hanya sebuah perjalanan fisik, melainkan sebuah peneguhan spiritual yang maha dahsyat, yang memberikan kekuatan baru bagi sang rasul untuk melanjutkan dakwahnya dan menjadi titik penting sebelum fase baru perjuangannya: hijrah ke Madinah.

Hijrah ke Madinah: Membangun Fondasi Peradaban Baru

Setelah berbagai upaya dakwah di Mekkah mendapat perlawanan sengit, sebuah harapan baru muncul dari kota Yatsrib (yang kelak berganti nama menjadi Madinah). Beberapa orang dari suku Aus dan Khazraj di Yatsrib bertemu dengan sang rasul saat musim haji dan menyatakan keimanan mereka. Mereka melihat pada diri sang rasul sosok pemimpin yang dapat mendamaikan suku-suku mereka yang telah lama bertikai. Melalui Bai'at Aqabah pertama dan kedua, mereka berjanji untuk melindungi dan mendukung sang rasul jika ia bersedia pindah ke kota mereka. Ini adalah cikal bakal terbentuknya sebuah komunitas baru yang siap menerima Islam.

Sementara itu, para pemuka Quraisy di Mekkah, yang semakin khawatir dengan perkembangan ini, merencanakan konspirasi paling jahat: membunuh sang rasul. Mereka mengumpulkan pemuda dari setiap kabilah untuk mengepung rumahnya dan menyerangnya secara serentak, agar Bani Hasyim tidak bisa menuntut balas. Namun, Allah Maha Melindungi utusan-Nya. Melalui wahyu, sang rasul mengetahui rencana tersebut. Pada malam yang telah ditentukan, ia meminta Ali bin Abi Thalib untuk tidur di ranjangnya, sementara ia, bersama Abu Bakar, secara diam-diam meninggalkan rumah dan memulai perjalanan hijrah yang bersejarah.

Perjalanan hijrah bukanlah sebuah pelarian, melainkan sebuah perpindahan strategis yang terencana. Sang rasul dan Abu Bakar bersembunyi selama tiga hari di Gua Tsur untuk menghindari kejaran kaum Quraisy. Banyak keajaiban terjadi yang menunjukkan pertolongan Allah, seperti sarang laba-laba dan merpati yang bersarang di mulut gua, membuat para pengejar yakin tidak ada orang di dalamnya. Setelah situasi aman, mereka melanjutkan perjalanan panjang melintasi padang pasir menuju Yatsrib. Kedatangan sang rasul disambut dengan gegap gempita oleh penduduk Yatsrib. Anak-anak, perempuan, dan laki-laki keluar rumah menyanyikan nasyid "Thala'al Badru 'Alaina" dengan penuh suka cita. Atmosfer kota seketika berubah menjadi penuh cahaya dan harapan.

Langkah pertama yang dilakukan sang rasul di Madinah adalah membangun Masjid Nabawi, yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, dan kegiatan sosial. Langkah monumental berikutnya adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin (penduduk Mekkah yang hijrah) dengan kaum Anshar (penduduk Madinah yang menolong). Setiap Anshar mengambil seorang Muhajirin sebagai saudaranya, berbagi tempat tinggal, pekerjaan, dan harta. Ini adalah ikatan persaudaraan atas dasar iman yang melampaui ikatan darah, menciptakan solidaritas sosial yang luar biasa. Terakhir, ia menyusun Piagam Madinah, sebuah konstitusi tertulis pertama di dunia yang mengatur kehidupan bersama antara kaum muslimin dengan komunitas lain, termasuk kaum Yahudi, berdasarkan prinsip keadilan, kesetaraan hak dan kewajiban, serta kebebasan beragama. Dengan tiga pilar ini—masjid, persaudaraan, dan konstitusi—sang rasul telah meletakkan fondasi bagi sebuah negara dan peradaban baru yang adil dan beradab.

Kepemimpinan Sang Rasul: Perang dan Damai

Di Madinah, peran sang rasul berkembang dari seorang penyeru agama menjadi seorang pemimpin negara, hakim, dan panglima perang. Kepemimpinannya didasarkan pada prinsip musyawarah, keadilan, dan kasih sayang. Namun, ancaman dari kaum Quraisy Mekkah tidak berhenti. Mereka masih berambisi untuk menghancurkan komunitas muslim yang baru tumbuh. Dalam kondisi inilah, izin untuk berperang demi membela diri diturunkan oleh Allah. Perlu digarisbawahi bahwa peperangan dalam Islam bersifat defensif, bertujuan untuk melindungi akidah, kehormatan, dan eksistensi komunitas dari agresi musuh.

Serangkaian pertempuran besar pun tak terhindarkan. Perang Badar menjadi ujian pertama, di mana pasukan muslim yang berjumlah sekitar tiga ratus orang dengan perlengkapan seadanya, berhasil mengalahkan seribu pasukan Quraisy yang bersenjata lengkap berkat pertolongan Allah dan strategi yang brilian. Kemenangan ini meningkatkan moral kaum muslimin dan mengukuhkan posisi mereka. Namun, pada Perang Uhud, kaum muslimin sempat mengalami kekalahan akibat ketidakdisiplinan sebagian pasukan yang tergoda oleh harta rampasan perang. Peristiwa ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya ketaatan kepada pemimpin. Kemudian, dalam Perang Khandaq (Parit), kaum muslimin menghadapi kepungan pasukan koalisi yang sangat besar. Dengan strategi cemerlang dari Salman Al-Farisi untuk menggali parit di sekeliling Madinah, serangan musuh berhasil digagalkan.

Meskipun terlibat dalam peperangan, sang rasul selalu mendambakan perdamaian. Puncak dari diplomasi ulungnya adalah Perjanjian Hudaibiyah. Ketika kaum muslimin berniat untuk melaksanakan ibadah umrah ke Mekkah, mereka dihadang oleh kaum Quraisy. Untuk menghindari pertumpahan darah, sang rasul menyetujui sebuah perjanjian yang secara lahiriah tampak merugikan kaum muslimin. Namun, di balik itu, perjanjian ini merupakan sebuah kemenangan strategis yang luar biasa. Gencatan senjata memberikan kesempatan bagi dakwah Islam untuk menyebar lebih luas tanpa intimidasi. Banyak tokoh Quraisy yang akhirnya memeluk Islam setelah melihat keindahan ajarannya.

Ketika kaum Quraisy melanggar Perjanjian Hudaibiyah, sang rasul memimpin puluhan ribu pasukan menuju Mekkah. Namun, ini bukanlah sebuah invasi untuk balas dendam. Peristiwa yang dikenal sebagai Fathu Makkah (Pembebasan Mekkah) ini berlangsung hampir tanpa pertumpahan darah. Sang rasul memasuki kota kelahirannya dengan penuh ketundukan, bukan kesombongan. Di hadapan para pemuka Quraisy yang dahulu menyiksa dan mengusirnya, ia menunjukkan puncak kemuliaan akhlak. Ia bertanya, "Menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?" Mereka menjawab, "Kebaikan, wahai saudara yang mulia, putra dari saudara kami yang mulia." Sang rasul kemudian berkata, "Pergilah, kalian semua bebas!" Ia memberikan ampunan massal, sebuah tindakan yang meluluhkan hati banyak orang dan membuat mereka berbondong-bondong memeluk Islam. Ini adalah bukti nyata bahwa kepemimpinannya tidak didasarkan pada kekuasaan, melainkan pada rahmat dan pengampunan.

Pribadi Agung: Cermin Akhlak Al-Qur'an

Di luar perannya sebagai pemimpin dan panglima, keagungan sejati sang rasul terpancar dari kepribadian dan akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari. Aisyah, istrinya, pernah ditanya tentang akhlak beliau, dan ia menjawab dengan singkat namun padat, "Akhlaknya adalah Al-Qur'an." Ini berarti seluruh hidupnya adalah pengejawantahan dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kitab suci. Ia adalah Al-Qur'an yang berjalan.

Salah satu sifatnya yang paling menonjol adalah kerendahan hatinya (tawadhu). Meskipun berstatus sebagai utusan Tuhan dan pemimpin tertinggi, ia hidup dengan sangat sederhana. Ia tidak segan menambal bajunya sendiri, memperbaiki sandalnya, dan membantu pekerjaan rumah tangga. Ia duduk dan makan bersama orang-orang miskin, menjenguk orang sakit tanpa memandang status sosial, dan selalu menyapa anak-anak kecil dengan senyuman dan usapan lembut di kepala mereka. Ia tidak suka jika orang-orang berdiri untuk menghormatinya, karena ia memandang dirinya hanyalah seorang hamba Allah seperti yang lainnya.

Kedermawanannya tiada tara. Ia memberi tanpa pernah takut miskin. Dikatakan bahwa kedermawanannya melebihi angin yang berhembus. Ia tidak pernah menolak permintaan orang, dan sering kali ia memberikan satu-satunya makanan yang ia miliki kepada orang yang lebih membutuhkan. Kesabarannya dalam menghadapi cobaan sangat luar biasa. Cacian, hinaan, bahkan lemparan batu ia hadapi dengan doa kebaikan bagi mereka yang menyakitinya. Saat di Thaif, ketika penduduknya menolak dakwahnya dan melemparinya dengan batu hingga berdarah, malaikat penjaga gunung menawarkan untuk menimpakan gunung kepada mereka. Namun, dengan penuh kasih, sang rasul menolak dan justru berdoa, "Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui. Aku berharap dari tulang sulbi mereka akan lahir generasi yang menyembah-Mu."

Sifat pemaafnya terlihat jelas saat Fathu Makkah, di mana ia memaafkan semua musuh yang telah menyakitinya selama bertahun-tahun. Keadilannya tidak pandang bulu. Ia pernah bersabda bahwa seandainya putrinya sendiri, Fatimah, mencuri, niscaya ia akan memotong tangannya. Dalam perannya sebagai suami dan ayah, ia adalah teladan terbaik. Ia memperlakukan istri-istrinya dengan adil, penuh cinta, dan kelembutan. Ia sering bercanda dan membantu mereka dalam pekerjaan rumah. Kecintaannya kepada anak-anak dan cucu-cucunya, Hasan dan Husain, menjadi legenda. Ia sering membiarkan mereka naik ke punggungnya saat ia sedang shalat. Seluruh aspek kehidupannya, dari cara ia makan, tidur, berbicara, hingga berinteraksi dengan sesama, adalah pelajaran berharga tentang bagaimana menjadi manusia yang paripurna.

Haji Wada' dan Wafatnya Sang Rasul

Setelah dakwah Islam tersebar luas dan Jazirah Arab berada dalam naungan Islam, sang rasul merasakan bahwa tugasnya di dunia akan segera berakhir. Ia melaksanakan ibadah haji yang dikenal sebagai Haji Wada' (Haji Perpisahan). Di Padang Arafah, di hadapan lebih dari seratus ribu jamaah, ia menyampaikan khutbahnya yang terakhir. Khutbah ini bukan sekadar pidato, melainkan sebuah wasiat agung yang merangkum inti ajaran Islam dan menjadi deklarasi universal hak asasi manusia.

Dalam khutbahnya, ia menekankan kesucian hidup, harta, dan kehormatan setiap individu. Ia menghapuskan praktik riba dan tradisi balas dendam jahiliyah. Ia menegaskan prinsip kesetaraan fundamental di antara seluruh umat manusia, "Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu dan nenek moyang kalian satu (Adam). Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas non-Arab, tidak pula bagi orang non-Arab atas orang Arab; tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas yang berkulit hitam, tidak pula bagi yang berkulit hitam atas yang berkulit merah, kecuali dengan takwa." Ia juga berwasiat untuk selalu memperlakukan perempuan dengan baik. Di akhir khutbahnya, ia bertanya kepada para jamaah, "Bukankah telah kusampaikan (risalah ini)?" Mereka serempak menjawab, "Benar!" Sang rasul kemudian menengadahkan wajahnya ke langit dan berkata, "Ya Allah, saksikanlah." Pada hari itu pula, turun ayat terakhir yang menyatakan kesempurnaan agama Islam.

Tidak lama setelah kembali ke Madinah, sang rasul jatuh sakit. Demamnya semakin parah, namun ia tetap berusaha untuk mengimami shalat berjamaah di masjid selagi mampu. Ketika kondisinya semakin lemah, ia menunjuk Abu Bakar untuk menggantikannya sebagai imam, sebuah isyarat tentang siapa yang akan memimpin umat setelahnya. Di hari-hari terakhirnya, ia terus berpesan tentang pentingnya menjaga shalat dan berbuat baik kepada hamba sahaya.

Pada suatu hari Senin di bulan Rabiul Awal, dalam pangkuan istrinya tercinta, Aisyah, ruhnya yang suci kembali ke hadirat Ilahi. Wafatnya sang rasul menjadi guncangan hebat bagi para sahabat. Umar bin Khattab, dengan perawakannya yang kuat, tidak dapat menerima kenyataan itu dan mengancam akan menebas siapa pun yang mengatakan bahwa rasul telah wafat. Di tengah kekalutan itu, tampil Abu Bakar dengan ketenangan yang luar biasa. Ia naik ke mimbar dan menyampaikan pidatonya yang abadi, "Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah mati." Lalu ia membacakan firman Allah, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul." Pidato Abu Bakar menyadarkan semua orang dan menenangkan suasana. Sang rasul telah tiada, namun warisannya akan hidup selamanya.

Warisan Abadi: Rahmatan lil 'Alamin

Kepergian sang rasul tidak berarti berakhirnya misinya. Ia meninggalkan dua warisan agung yang akan menjadi pedoman bagi umat manusia hingga akhir zaman: Al-Qur'an, firman Allah yang terjaga keasliannya, dan Sunnah, yaitu segala perkataan, perbuatan, dan ketetapannya. Keduanya adalah sumber cahaya yang tidak akan pernah padam, petunjuk jalan yang lurus bagi siapa pun yang berpegang teguh padanya.

Pengaruh sang rasul melampaui batas-batas geografi dan waktu. Dalam waktu yang relatif singkat, ajaran yang dibawanya berhasil mengubah sebuah masyarakat yang terpecah belah oleh fanatisme kesukuan menjadi sebuah umat yang bersatu di bawah panji tauhid. Ia mengangkat derajat manusia, menghapuskan perbudakan secara bertahap, memberikan hak-hak kepada perempuan, dan menegakkan keadilan sosial. Peradaban yang ia bangun di Madinah menjadi model bagi lahirnya sebuah era keemasan ilmu pengetahuan, di mana para ilmuwan muslim memberikan kontribusi besar dalam bidang matematika, kedokteran, astronomi, filsafat, dan berbagai disiplin ilmu lainnya.

Lebih dari itu, warisan terbesarnya adalah konsep Rahmatan lil 'Alamin, yaitu diutusnya ia sebagai rahmat atau kasih sayang bagi seluruh alam semesta. Ajarannya tidak hanya membawa rahmat bagi umat Islam, tetapi juga bagi seluruh manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Ia mengajarkan untuk berbuat baik kepada tetangga tanpa memandang agamanya, menyayangi binatang, dan tidak merusak tanaman. Kasih sayangnya adalah universal, melintasi sekat-sekat perbedaan.

Hingga hari ini, miliaran manusia di seluruh dunia menyebut namanya dengan penuh cinta dan hormat dalam shalat dan doa mereka. Kisah hidupnya terus dipelajari, diteladani, dan menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering. Ia bukan hanya seorang pembawa pesan, tetapi juga seorang pendidik, reformis sosial, negarawan, pemimpin militer, sahabat, suami, dan ayah yang sempurna. Mempelajari kehidupan sang rasul berarti mempelajari esensi dari kemanusiaan itu sendiri. Ia adalah bukti nyata bahwa seorang manusia dapat mencapai puncak kemuliaan akhlak dan spiritualitas, menjadi cermin dari sifat-sifat Tuhan di muka bumi, dan meninggalkan jejak kebaikan yang abadi bagi seluruh semesta.

🏠 Homepage