Ilustrasi sederhana konsep Samawi (atas) dan Ardhi (bawah).
Dalam berbagai tradisi pemikiran, baik filosofis maupun keagamaan, terdapat dikotomi fundamental yang membagi realitas menjadi dua domain utama: **Samawi** dan **Ardhi**. Kedua istilah ini, yang seringkali ditemukan dalam konteks linguistik Arab dan maknanya yang meresap ke dalam budaya Islam dan Timur Tengah, merujuk pada alam atas (langit) dan alam bawah (bumi). Memahami pemisahan ini bukan hanya sekadar membagi ruang fisik, tetapi juga memahami hierarki eksistensi, spiritualitas, dan keterbatasan manusia.
Kata "Samawi" (السماوي) berasal dari kata dasar 'Sama' yang berarti langit. Secara harfiah, Samawi merujuk pada segala sesuatu yang berada di atas, termasuk atmosfer, bintang, planet, dan segala entitas kosmik yang terhampar luas di atas kepala kita. Dalam konteks spiritual, Samawi melampaui sekadar ruang fisik. Ia seringkali diasosiasikan dengan hal-hal yang transenden, ilahiah, dan kekal.
Bagi banyak pemikir, Samawi adalah wilayah yang dihuni oleh malaikat, wahyu, dan kemuliaan Tuhan. Sifat-sifat yang dilekatkan pada alam Samawi cenderung meliputi kesempurnaan, keteraturan (yang terlihat dari pergerakan benda-benda langit yang presisi), dan kekalutan. Ketika manusia merenungkan Samawi, ia diundang untuk melihat melampaui keterbatasan materi dan merasakan keagungan ciptaan yang jauh melampaui pemahaman empiris semata. Cahaya yang datang dari langit, seperti matahari dan bulan, seringkali menjadi simbol petunjuk dan pengetahuan yang datang dari sumber yang lebih tinggi.
Sebaliknya, "Ardhi" (الأرضي) merujuk pada segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi atau 'Ard'. Ini adalah ranah tempat kita berpijak, tempat kehidupan material terwujud, pertumbuhan terjadi, dan siklus lahir, hidup, dan mati berulang. Ardhi adalah dunia yang empiris, yang dapat diukur, disentuh, dan dialami secara langsung oleh indra manusia.
Alam Ardhi dicirikan oleh perubahan, ketidaksempurnaan, dan keterbatasan waktu. Meskipun ia adalah wadah bagi peradaban, konflik, dan pencapaian manusia, ia juga merupakan medan ujian dan perjalanan sementara. Dalam banyak narasi, Ardhi adalah tempat di mana manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih jalan mereka, meskipun tujuan akhir mereka mungkin terikat pada alam yang lebih tinggi. Berbeda dengan kekalnya Samawi, Ardhi bersifat fana; segala yang dibangun di atasnya pada akhirnya akan mengalami kehancuran atau transformasi.
Pemisahan antara Samawi dan Ardhi menciptakan sebuah dialektika yang sangat penting dalam pandangan dunia. Kehidupan manusia secara inheren terjebak di antara kedua kutub ini. Kita adalah makhluk Ardhi—terikat pada kebutuhan fisik, gravitasi, dan waktu—namun kita memiliki aspirasi dan kapasitas spiritual untuk mengarahkan pandangan dan hati kita menuju Samawi.
Keseimbangan antara kedua domain ini menjadi kunci. Tanpa mengakui realitas Ardhi, manusia akan kehilangan pijakan praktis dan melupakan tanggung jawab duniawi mereka. Namun, tanpa kerinduan terhadap Samawi, kehidupan menjadi dangkal, hanya berkutat pada hal-hal materi tanpa arah atau makna tertinggi. Pencarian akan kebijaksanaan sering kali didefinisikan sebagai upaya untuk mengintegrasikan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman Ardhi dengan pemahaman dan inspirasi yang datang dari refleksi terhadap Samawi.
Dalam kosmologi kuno, konsep ini juga tercermin dalam struktur alam semesta yang berlapis-lapis, di mana Samawi menaungi Ardhi, memberikan perlindungan, serta menyediakan hukum dan keteraturan yang menaungi kekacauan potensial di bawah. Fenomena meteorologi, siklus musim, dan bahkan konsep keadilan sering kali dilihat sebagai jembatan antara dua dunia ini, menegaskan bahwa meskipun terpisah, Samawi dan Ardhi saling mempengaruhi secara konstan dan mendalam. Memahami dikotomi ini membantu manusia memposisikan diri mereka secara tepat dalam skema besar keberadaan.