Memaknai Peristiwa Agung Setelah Turunnya Surat An-Nasr
Dalam samudra wahyu Al-Qur'an, setiap surat memiliki keunikan dan pesan tersendiri. Namun, ada beberapa surat yang turun sebagai penanda sebuah era, sebagai simpul dari perjalanan panjang, dan sebagai isyarat akan datangnya babak baru. Salah satu surat yang paling monumental dalam hal ini adalah Surat An-Nasr. Surat yang singkat, hanya terdiri dari tiga ayat, tetapi kandungannya begitu padat, mendalam, dan sarat dengan makna historis serta spiritual. Memahaminya bukan sekadar membaca teks kemenangan, melainkan menyelami lautan hikmah tentang hakikat perjuangan, puncak kesuksesan, dan persiapan menuju kepulangan abadi.
Surat An-Nasr, yang berarti "Pertolongan", adalah salah satu surat terakhir yang diwahyukan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Para ulama sepakat bahwa surat ini tergolong Madaniyah, turun setelah periode hijrah ke Madinah. Konteks spesifik penurunannya seringkali dikaitkan dengan peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah), sebuah kemenangan gemilang yang menjadi klimaks dari perjuangan dakwah selama lebih dari dua dekade. Surat ini menjadi semacam pengumuman ilahi bahwa misi besar yang diemban oleh Sang Nabi telah mendekati paripurna.
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3) "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."
Tiga ayat ini, meskipun ringkas, merangkum tiga fase penting: syarat (datangnya pertolongan dan kemenangan), bukti (manusia masuk Islam berbondong-bondong), dan konsekuensi atau respons yang seharusnya (bertasbih, memuji, dan beristighfar). Inilah yang membuat kajian tentang apa yang terjadi "setelah Surat An-Nasr" menjadi sangat krusial. Ia bukan sekadar surat tentang euforia kemenangan, melainkan sebuah panduan tentang bagaimana seorang hamba harus bersikap di puncak kejayaan dan sebuah sinyal halus tentang akhir sebuah tugas mulia.
Tafsir Mendalam: Bukan Sekadar Surat Kemenangan
Untuk memahami peristiwa setelah turunnya Surat An-Nasr, kita harus terlebih dahulu menggali makna yang terkandung di dalamnya. Para sahabat Nabi SAW, dengan kedalaman iman dan kedekatan mereka dengan sumber wahyu, mampu menangkap isyarat yang mungkin luput dari pemahaman orang awam. Mereka tidak hanya melihatnya sebagai kabar gembira, tetapi juga sebagai sebuah pertanda yang membawa konsekuensi besar.
Ayat Pertama: Hakikat Pertolongan dan Kemenangan (An-Nasr wal Fath)
"Apabila telah datang pertolongan Allah (Nasrullah) dan kemenangan (Al-Fath)..." Ayat ini menegaskan sebuah prinsip dasar dalam akidah Islam: setiap kemenangan dan pertolongan berasal mutlak dari Allah SWT. Kata "Nasrullah" secara spesifik menunjukkan bahwa bantuan itu datang dari sumber ilahi, bukan semata-mata karena kekuatan militer, strategi perang, atau kehebatan manusia. Ini adalah pengingat bahwa segala daya dan upaya manusia hanyalah sarana, sedangkan penentu hasil akhir adalah kehendak-Nya.
Adapun "Al-Fath", mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud adalah Fathu Makkah. Peristiwa ini bukanlah penaklukan biasa. Ia adalah sebuah kemenangan tanpa pertumpahan darah yang signifikan, sebuah momen di mana kebenaran menang atas kebatilan dengan cara yang paling elegan dan penuh rahmat. Rasulullah SAW, yang dahulu diusir dari kota kelahirannya, kembali sebagai pemenang yang pemaaf. Beliau memaafkan musuh-musuh yang selama bertahun-tahun memeranginya, sebuah tindakan yang menunjukkan keluhuran akhlak yang menjadi cermin dari ajaran yang dibawanya. Kemenangan ini bukan hanya penaklukan geografis, tetapi penaklukan hati. Ia membuktikan kepada seluruh Jazirah Arab bahwa kekuatan Islam tidak terletak pada pedang, melainkan pada kebenaran, keadilan, dan kasih sayang yang diajarkannya.
Ayat Kedua: Buah Kemenangan yang Nyata
"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah (afwaja)..." Ayat ini menggambarkan dampak langsung dari Fathu Makkah. Sebelum penaklukan Makkah, banyak suku-suku Arab yang bersikap menunggu (wait and see). Mereka menganggap pertarungan antara kaum muslimin dan kaum Quraisy di Makkah sebagai pertarungan sentral. Jika Muhammad SAW mampu mengalahkan kaumnya sendiri, kaum Quraisy yang merupakan penjaga Ka'bah, maka itu adalah bukti kebenaran risalahnya. Setelah Fathu Makkah terjadi, keraguan itu sirna. Delegasi dari berbagai kabilah (wufud) mulai berdatangan ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka secara massal, atau seperti yang digambarkan Al-Qur'an sebagai "afwaja" (berbondong-bondong, dalam kelompok-kelompok besar). Ini adalah validasi sosial dan politik atas kemenangan spiritual yang telah diraih. Pemandangan ini adalah puncak dari kesabaran dan perjuangan dakwah selama bertahun-tahun, di mana buahnya dapat disaksikan secara langsung oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Ayat Ketiga: Respons di Puncak Kejayaan
"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat." Inilah inti dari pesan surat ini dan kunci untuk memahami peristiwa setelahnya. Logika manusia biasa mungkin akan mengatakan bahwa setelah kemenangan besar, saatnya untuk berpesta, merayakan, dan menikmati hasil jerih payah. Namun, perintah Allah justru sebaliknya. Di puncak kesuksesan, seorang hamba diperintahkan untuk melakukan tiga hal: Tasbih (menyucikan Allah dari segala kekurangan), Tahmid (memuji-Nya atas segala nikmat), dan Istighfar (memohon ampunan).
Perintah ini mengandung hikmah yang luar biasa. Tasbih (Fasabbih) adalah pengakuan bahwa kemenangan ini murni karena keagungan Allah, bukan karena kehebatan diri sendiri. Ia membersihkan hati dari potensi kesombongan dan keangkuhan yang sering menyertai kesuksesan. Tahmid (bihamdi Rabbika) adalah ekspresi syukur yang paling tulus, mengembalikan segala pujian kepada Sang Pemberi Nikmat. Ini adalah adab seorang hamba kepada Tuhannya. Dan yang paling mengejutkan adalah perintah Istighfar (wastagfir-h). Mengapa memohon ampun di saat menang? Para ulama menjelaskan, istighfar ini memiliki beberapa makna. Pertama, sebagai permohonan ampun atas segala kekurangan dan kelalaian yang mungkin terjadi selama proses perjuangan yang panjang. Kedua, sebagai bentuk kerendahan hati yang paripurna, mengakui bahwa sehebat apa pun amal yang dilakukan, ia tidak akan pernah sebanding dengan keagungan Allah. Ketiga, dan ini yang paling penting, istighfar adalah persiapan untuk "pulang". Ia adalah pembersihan diri sebelum menghadap Sang Pencipta, sebuah sinyal bahwa tugas di dunia telah usai.
Isyarat Akhir Tugas Kenabian: Pemahaman Para Sahabat
Kecerdasan spiritual para sahabat Nabi SAW memungkinkan mereka untuk menangkap pesan tersirat di balik perintah tasbih dan istighfar ini. Bagi mereka, Surat An-Nasr bukan hanya berita kemenangan, melainkan sebuah obituari halus, sebuah pengumuman bahwa masa tugas Rasulullah SAW di dunia akan segera berakhir. Misi beliau telah tuntas: pertolongan Allah telah datang, kemenangan telah diraih, dan manusia telah berbondong-bondong memeluk Islam. Maka, tidak ada lagi yang tersisa bagi Sang Utusan selain mempersiapkan diri untuk kembali ke haribaan Rabb-nya.
Kisah terkenal yang menggambarkan pemahaman ini adalah dialog antara Umar bin Khattab dengan para sahabat senior dan Ibnu Abbas. Suatu ketika, Umar mengumpulkan para veteran Perang Badar dan bertanya tentang makna Surat An-Nasr. Sebagian besar dari mereka menjawab sesuai makna harfiahnya: bahwa surat itu memerintahkan kita untuk memuji Allah dan memohon ampunan-Nya ketika kita diberi kemenangan. Jawaban itu benar, tetapi tidak menangkap esensinya. Kemudian, Umar bertanya kepada Abdullah bin Abbas, yang saat itu masih sangat muda, "Bagaimana pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?" Ibnu Abbas menjawab, "Ini adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepada beliau. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' yang merupakan tanda dekatnya ajalmu, maka 'bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.'" Umar pun berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui makna lain dari surat ini selain dari apa yang engkau katakan."
Pemahaman ini juga dirasakan oleh putri tercinta beliau, Fatimah Az-Zahra. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah SAW membacakan surat ini kepadanya, Fatimah menangis. Ketika ditanya mengapa, beliau menjelaskan bahwa surat ini mengisyaratkan dekatnya wafat sang ayah. Begitu pula dengan sahabat-sahabat terdekat lainnya seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Mereka memahami bahwa selesainya sebuah misi agung berarti berakhir pula masa tugas sang pengembannya.
Rentetan Peristiwa Penting Setelah Turunnya Surat An-Nasr
Pemahaman bahwa akhir hayat beliau sudah dekat tercermin dalam setiap tindakan dan ucapan Rasulullah SAW setelah turunnya surat ini. Hari-hari terakhir kehidupan beliau menjadi periode yang sangat intens, penuh dengan pesan-pesan perpisahan, peneguhan fondasi umat, dan peningkatan ibadah personal yang luar biasa.
1. Peningkatan Ibadah dan Istighfar Rasulullah SAW
Aisyah RA, istri Nabi, memberikan kesaksian paling jelas tentang perubahan ini. Beliau meriwayatkan bahwa setelah turunnya Surat An-Nasr, Rasulullah SAW tidak pernah lagi mengerjakan salat melainkan beliau membaca di dalamnya, terutama saat rukuk dan sujud: "Subhanakallahumma Rabbana wa bihamdika, Allahummaghfirli" (Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah aku). Beliau mengamalkan secara harfiah perintah yang ada di dalam surat tersebut. Peningkatan zikir, tasbih, dan istighfar ini menjadi rutinitas harian beliau, seolah-olah setiap detik yang tersisa adalah waktu yang sangat berharga untuk membersihkan diri dan mendekat kepada Allah.
2. Haji Wada' (Haji Perpisahan)
Peristiwa terbesar yang terjadi dalam periode ini adalah pelaksanaan Haji Wada'. Ini adalah satu-satunya ibadah haji yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW setelah hijrah. Momen ini menjadi ajang konsolidasi akbar bagi umat Islam dari seluruh penjuru Jazirah Arab. Lebih dari seratus ribu jamaah berkumpul, menjadi saksi dari pesan-pesan terakhir sang Nabi. Dalam momen inilah Rasulullah SAW menyampaikan khotbahnya yang sangat terkenal, Khutbah Wada', di Padang Arafah.
Khutbah ini bukanlah khotbah biasa. Ia adalah sebuah piagam hak asasi manusia dalam Islam, sebuah wasiat agung yang merangkum seluruh ajaran yang telah beliau sampaikan selama 23 tahun. Isi khotbah tersebut begitu fundamental dan relevan sepanjang zaman:
- Penegasan Kesucian Darah dan Harta: Beliau menyatakan bahwa darah dan harta setiap muslim adalah haram (suci) dan tidak boleh ditumpahkan atau diambil secara tidak sah, sama seperti sucinya hari Arafah, bulan Dzulhijjah, dan kota Makkah.
- Penghapusan Praktik Jahiliyah: Beliau menghapuskan semua tradisi jahiliyah, termasuk riba (bunga uang) dan tuntutan balas dendam atas darah yang tertumpah di masa lalu. Beliau memulai dari keluarganya sendiri dengan menghapuskan riba yang seharusnya diterima oleh pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib.
- Wasiat tentang Perempuan: Beliau berwasiat agar kaum lelaki memperlakukan perempuan (istri) dengan baik. Beliau menjelaskan hak dan kewajiban antara suami dan istri, mengangkat martabat perempuan dari posisi mereka di zaman jahiliyah.
- Penegasan Persaudaraan Universal: Beliau menegaskan bahwa tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas non-Arab, atau kulit putih atas kulit hitam, kecuali karena ketakwaan. Semua manusia berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Ini adalah fondasi egaliterisme dan persaudaraan universal dalam Islam.
- Pegangan Hidup Umat: Beliau meninggalkan dua warisan yang jika dipegang teguh, umat tidak akan tersesat selamanya: Al-Qur'an dan Sunnah beliau.
Di akhir khotbahnya, beliau bertanya kepada lautan manusia di hadapannya, "Apakah aku telah menyampaikan (risalah ini)?" Mereka semua menjawab serempak, "Ya, engkau telah menyampaikan." Beliau kemudian mengangkat jarinya ke langit dan berkata, "Ya Allah, saksikanlah!" Momen ini terasa begitu sakral, seolah beliau sedang melaporkan tuntasnya tugas kepada Sang Pemberi Amanah. Pada saat inilah turun ayat yang melengkapi kesempurnaan ajaran Islam, Surah Al-Ma'idah ayat 3: "...Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu."
3. Hari-Hari Terakhir: Sakit dan Wafatnya Sang Nabi
Tidak lama setelah kembali dari Haji Wada', tanda-tanda fisik mulai muncul. Rasulullah SAW jatuh sakit. Demam tinggi menyerang tubuh mulia beliau. Namun, bahkan dalam keadaan sakit parah, perhatian beliau tidak pernah lepas dari umatnya. Beliau masih berusaha untuk mengimami salat berjamaah di masjid selama beliau mampu berdiri. Ketika kondisinya semakin lemah, beliau menunjuk sahabat terkasihnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, untuk menggantikannya sebagai imam. Ini adalah isyarat kuat lainnya tentang siapa yang akan memegang tampuk kepemimpinan umat setelah beliau wafat.
Di hari-hari terakhirnya, beliau memberikan beberapa wasiat penting, di antaranya adalah untuk senantiasa menjaga salat dan memperhatikan hak-hak hamba sahaya. Beliau juga melaknat kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah, sebuah peringatan keras agar umatnya tidak jatuh ke dalam praktik syirik. Salah satu momen paling mengharukan adalah ketika beliau membuka tirai kamarnya yang menghadap ke masjid dan melihat para sahabat sedang salat Subuh berjamaah dengan rapi di belakang Abu Bakar. Wajah beliau berseri-seri, tersenyum bahagia melihat buah dari dakwahnya, sebuah umat yang teratur dan solid dalam ibadah. Seolah-olah, pemandangan itu memberikan ketenangan terakhir bagi beliau.
Hingga pada akhirnya, di pangkuan Aisyah RA, ruh suci beliau kembali ke haribaan Ilahi. Kata-kata terakhir yang terucap dari bibir mulianya adalah, "Ar-Rafiiq al-A'laa" (Menuju Sahabat Yang Maha Tinggi). Wafatnya beliau adalah musibah terbesar yang pernah menimpa umat Islam, sebuah kehilangan yang meninggalkan duka mendalam. Namun, isyarat dari Surat An-Nasr telah mempersiapkan hati para sahabat untuk menghadapi momen tak terelakkan ini.
Pelajaran Abadi dari Era Setelah Surat An-Nasr
Kisah setelah turunnya Surat An-Nasr bukanlah sekadar catatan sejarah. Ia adalah sumber pelajaran dan hikmah yang tak lekang oleh waktu, berlaku bagi setiap individu, komunitas, dan peradaban.
1. Kerendahan Hati di Puncak Kesuksesan
Pelajaran terbesar adalah tentang adab menyikapi keberhasilan. Di saat manusia cenderung menjadi sombong dan lupa diri ketika meraih puncak, Al-Qur'an mengajarkan hal sebaliknya. Puncak kesuksesan adalah momen yang paling tepat untuk bersujud, bertasbih, memuji, dan memohon ampun. Kemenangan sejati bukanlah saat kita berhasil mengalahkan lawan, tetapi saat kita berhasil mengalahkan ego dan kesombongan dalam diri kita sendiri. Surat An-Nasr adalah pengingat abadi bahwa segala pencapaian adalah anugerah Allah yang harus direspons dengan rasa syukur dan tawadhu yang mendalam.
2. Setiap Perjuangan Memiliki Batas Waktu
Surat ini mengajarkan kita bahwa setiap tugas, setiap amanah, dan setiap kehidupan di dunia ini memiliki batas waktu. Sebagaimana misi kenabian yang agung pun ada akhirnya, begitu pula dengan peran kita masing-masing. Kesadaran ini mendorong kita untuk bekerja secara optimal, memberikan yang terbaik dalam setiap amanah yang kita emban, karena kita tidak pernah tahu kapan tugas itu akan berakhir. Ia juga mengajarkan kita untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan saat sebuah fase berakhir, karena itu adalah sunnatullah, sebuah keniscayaan alam.
3. Pentingnya Mempersiapkan Diri untuk "Kepulangan"
Istighfar yang diperintahkan dalam surat ini adalah simbol dari persiapan spiritual. Jika Rasulullah SAW yang ma'shum (terjaga dari dosa) saja diperintahkan untuk memperbanyak istighfar sebagai persiapan menghadap Allah, apalagi kita sebagai manusia biasa yang penuh dengan salah dan lupa. Surat An-Nasr adalah panggilan bagi setiap muslim untuk senantiasa melakukan introspeksi diri, membersihkan hati, dan memperbaiki hubungan dengan Allah, karena kematian adalah gerbang menuju pertemuan dengan-Nya. Persiapan terbaik bukanlah dengan mengumpulkan harta, melainkan dengan memperbanyak amal saleh, zikir, dan permohonan ampun.
4. Visi Seorang Pemimpin Sejati
Tindakan Rasulullah SAW setelah menerima isyarat ini menunjukkan visi seorang pemimpin sejati. Beliau tidak panik atau menjadi egois. Sebaliknya, beliau menggunakan sisa waktu beliau untuk mengokohkan fondasi umat. Melalui Haji Wada' dan wasiat-wasiat terakhirnya, beliau memastikan bahwa prinsip-prinsip dasar Islam telah tertanam kuat, bahwa tongkat estafet kepemimpinan telah disiapkan, dan bahwa umatnya memiliki pegangan yang jelas (Al-Qur'an dan Sunnah) untuk melanjutkan perjalanan. Seorang pemimpin besar tidak hanya berpikir tentang kejayaannya sendiri, tetapi lebih memikirkan keberlangsungan dan masa depan dari apa yang ia pimpin.
Kesimpulannya, Surat An-Nasr adalah surat yang menandai transisi dari era pembangunan fondasi menuju era pemeliharaan dan pengembangan. Ia adalah surat kemenangan, sekaligus surat perpisahan. Ia mengajarkan euforia yang terkendali, kesuksesan yang berbalut kerendahan hati, dan akhir yang dipersiapkan dengan kesucian. Peristiwa-peristiwa yang mengikutinya—mulai dari lautan manusia di Arafah hingga senyum terakhir sang Nabi—adalah manifestasi nyata dari pesan-pesan agung yang terkandung di dalamnya. Mempelajari periode setelah turunnya Surat An-Nasr adalah mempelajari cara untuk menang dengan elegan, cara untuk mengakhiri tugas dengan mulia, dan cara untuk hidup dengan kesadaran penuh bahwa kita semua sedang dalam perjalanan kembali kepada-Nya.