Mengenal Allah Melalui Sifat-Sifat-Nya

Sebuah Perjalanan Mendalami Fondasi Keimanan

Ilustrasi kaligrafi geometris yang melambangkan keagungan sifat-sifat Allah.

alt text: Ilustrasi kaligrafi geometris yang melambangkan keagungan sifat-sifat Allah.

Mengenal Allah (ma'rifatullah) adalah puncak tertinggi dari segala ilmu dan tujuan paling mulia dalam kehidupan seorang hamba. Ia adalah fondasi di atas mana seluruh bangunan agama, ibadah, dan akhlak ditegakkan. Tanpa mengenal siapa yang kita sembah, ibadah menjadi ritual kosong tanpa ruh, dan keimanan menjadi rapuh di hadapan badai keraguan. Salah satu jalan utama untuk mencapai ma'rifatullah adalah dengan merenungi dan memahami nama-nama-Nya yang terindah (Al-Asma'ul Husna) serta sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna.

Sifat-sifat Allah adalah atribut kesempurnaan yang melekat pada Dzat-Nya. Berbeda dengan sifat makhluk yang terbatas, baru, dan penuh kekurangan, sifat-sifat Allah bersifat azali (tanpa permulaan), abadi (tanpa akhir), dan mutlak dalam kesempurnaannya. Mempelajari sifat-sifat ini bukan sekadar latihan intelektual, melainkan sebuah ibadah hati yang mendatangkan ketenangan, memperkuat tauhid, dan mengarahkan seluruh hidup kita untuk senantiasa merasa diawasi, dicintai, dan dibimbing oleh-Nya.

"Dan hanya milik Allah-lah nama-nama yang terbaik (Asma'ul Husna), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Q.S. Al-A'raf: 180)

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah merumuskan sebuah metodologi sistematis untuk memahami sifat-sifat Allah agar terhindar dari dua jurang kesesatan: tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan ta'thil (menafikan sifat-sifat Allah). Metodologi ini membagi sifat-sifat Allah ke dalam tiga kategori utama: Sifat Wajib, Sifat Mustahil, dan Sifat Ja'iz. Mari kita selami satu per satu.

Sifat Wajib bagi Allah

Sifat Wajib adalah sifat-sifat kesempurnaan yang pasti ada pada Dzat Allah, yang keberadaannya tidak dapat diterima oleh akal jika ditiadakan. Para ulama merumuskannya menjadi 20 sifat yang terbagi ke dalam empat kelompok: Nafsiyah, Salbiyah, Ma'ani, dan Ma'nawiyah.

Kelompok 1: Sifat Nafsiyah

Sifat Nafsiyah adalah sifat yang berhubungan dengan Dzat Allah itu sendiri. Hanya ada satu sifat dalam kategori ini.

1. Wujud (Ada)

Wujud berarti Ada. Sifat ini adalah dasar dari semua sifat lainnya. Keberadaan Allah adalah sebuah keniscayaan mutlak (wajib aqli). Akal sehat tidak bisa menerima ketiadaan-Nya. Bukti keberadaan-Nya terpampang nyata di seluruh penjuru alam semesta. Dari keteraturan galaksi hingga kompleksitas sel terkecil, semua berteriak tentang adanya Sang Pencipta Yang Maha Agung. Alam semesta yang bersifat mungkin (bisa ada, bisa tiada) tidak mungkin mengadakan dirinya sendiri. Ia pasti membutuhkan Pencipta yang keberadaan-Nya wajib, tidak bergantung pada apa pun, yaitu Allah SWT. Keberadaan Allah berbeda dengan keberadaan makhluk. Keberadaan makhluk bersifat sementara, didahului oleh ketiadaan, dan akan diakhiri dengan ketiadaan. Sementara keberadaan Allah bersifat azali dan abadi, tanpa awal dan tanpa akhir.

Merenungi sifat Wujud akan melahirkan keyakinan yang kokoh bahwa kita tidak hidup dalam kehampaan. Ada Dzat yang senantiasa mengatur, memelihara, dan mengawasi. Ini memberikan rasa aman dan tujuan hidup yang jelas.

Kelompok 2: Sifat Salbiyah

Sifat Salbiyah adalah lima sifat yang menafikan atau menolak segala sesuatu yang tidak layak bagi keagungan Allah. Sifat-sifat ini membersihkan Dzat Allah dari segala bentuk kekurangan yang ada pada makhluk.

2. Qidam (Terdahulu/Awal)

Qidam berarti Terdahulu atau Ada tanpa permulaan. Allah adalah Al-Awwal (Yang Maha Awal). Tidak ada apa pun sebelum-Nya. Jika Allah memiliki permulaan, berarti Ia diciptakan, dan sesuatu yang diciptakan tidak layak menjadi Tuhan. Konsep rantai penciptaan harus berhenti pada satu titik, yaitu Pencipta Pertama yang tidak diciptakan, yang keberadaan-Nya tidak didahului oleh ketiadaan. Itulah Allah. Seluruh waktu, ruang, dan materi adalah ciptaan-Nya, maka Dia ada sebelum semua itu ada.

Memahami sifat Qidam membuat kita sadar akan kefanaan diri dan segala sesuatu di sekitar kita. Hanya Allah yang azali. Ini menuntun kita untuk hanya bergantung kepada Dzat Yang Maha Awal dan tidak terpedaya oleh gemerlap dunia yang fana.

3. Baqa' (Kekal)

Baqa' berarti Kekal atau Ada tanpa akhir. Allah adalah Al-Akhir (Yang Maha Akhir). Setelah segala sesuatu hancur dan binasa, Dzat Allah tetap kekal abadi. Kematian dan kebinasaan adalah sifat makhluk, bukan sifat Khaliq (Pencipta). Jika Allah bisa binasa, maka Ia memiliki kekurangan, dan ini mustahil bagi Tuhan. Kekekalan-Nya adalah konsekuensi logis dari keberadaan-Nya yang wajib (Wujud) dan ketiadaan permulaan-Nya (Qidam).

"Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya (Dzat-Nya)..." (Q.S. Al-Qasas: 88)

Keyakinan akan sifat Baqa' memberikan harapan abadi. Dunia boleh berakhir, raga boleh hancur, tetapi tujuan kita adalah meraih keridhaan Dzat Yang Maha Kekal untuk kehidupan yang kekal di akhirat. Ini memotivasi kita untuk beramal demi keabadian, bukan demi kesenangan sesaat.

4. Mukhalafatu lil Hawaditsi (Berbeda dengan Makhluk-Nya)

Mukhalafatu lil Hawaditsi berarti Berbeda dengan segala sesuatu yang baru (makhluk). Sifat ini adalah pilar utama dalam tauhid untuk menolak segala bentuk penyerupaan Allah dengan ciptaan-Nya. Apa pun yang terlintas dalam benak kita tentang wujud, bentuk, sifat, atau perbuatan makhluk, maka Allah sama sekali tidak serupa dengannya. Tangan, mata, wajah, duduk, turun, dan sifat-sifat lain yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadits harus dipahami sesuai dengan keagungan Allah, tanpa membayangkannya seperti makhluk (takyif) dan tanpa menyerupakannya (tasybih).

"...Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha Melihat." (Q.S. Asy-Syura: 11)

Ayat ini memberikan kaidah emas: tetapkan sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya (Maha Mendengar, Maha Melihat) sambil secara bersamaan menafikan segala bentuk keserupaan dengan makhluk (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia). Sifat ini menjaga kesucian akidah kita dari imajinasi liar yang bisa merusak kemurnian tauhid.

5. Qiyamuhu bi Nafsihi (Berdiri Sendiri)

Qiyamuhu bi Nafsihi berarti Berdiri Sendiri, atau tidak membutuhkan yang lain. Allah adalah Al-Ghaniyy (Yang Maha Kaya) dan Al-Qayyum (Yang Maha Mandiri dan Mengurus makhluk-Nya). Dia tidak membutuhkan tempat untuk bersemayam, tidak membutuhkan waktu untuk eksis, dan tidak membutuhkan siapa pun atau apa pun untuk keberlangsungan kekuasaan-Nya. Justru sebaliknya, seluruh alam semesta beserta isinya mutlak membutuhkan Allah setiap detiknya untuk tetap ada dan berfungsi. Jika Allah membutuhkan sesuatu, berarti Ia lemah dan bergantung, dan itu menafikan ketuhanan-Nya.

Memahami sifat ini membebaskan hati dari ketergantungan kepada makhluk. Ketika kita menyadari bahwa hanya Allah tempat bergantung yang sejati, kita tidak akan lagi terlalu berharap, takut, atau mengemis kepada sesama manusia. Doa dan harapan kita akan tercurah hanya kepada-Nya.

6. Wahdaniyah (Esa/Tunggal)

Wahdaniyah berarti Esa atau Tunggal. Ini adalah inti dari ajaran tauhid. Allah Maha Esa dalam Dzat-Nya (tidak tersusun dari bagian-bagian), Esa dalam sifat-sifat-Nya (tidak ada yang menyamai kesempurnaan sifat-Nya), dan Esa dalam perbuatan-Nya (tidak ada sekutu bagi-Nya dalam mencipta, mengatur, dan menguasai alam semesta). Kemustahilan adanya lebih dari satu tuhan dapat dibuktikan dengan akal. Jika ada dua tuhan, maka akan terjadi salah satu dari tiga kemungkinan: kehendak mereka selalu sama (berarti salah satunya tidak independen), kehendak mereka berbeda dan keduanya terlaksana (mustahil, karena akan terjadi kekacauan), atau kehendak salah satunya yang terlaksana (berarti yang lain lemah dan tidak layak jadi tuhan).

"Katakanlah (Muhammad), 'Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.'" (Q.S. Al-Ikhlas: 1-4)

Sifat Wahdaniyah memurnikan ibadah. Seluruh pengabdian, cinta, takut, dan harapan harus ditujukan hanya kepada satu Dzat, yaitu Allah SWT. Inilah makna sejati dari kalimat "Laa ilaha illallah".

Kelompok 3: Sifat Ma'ani

Sifat Ma'ani adalah tujuh sifat wujudiyah (abstrak yang ada) yang melekat pada Dzat Allah. Sifat-sifat ini menjelaskan bagaimana Allah berinteraksi dengan ciptaan-Nya sebagai Dzat Yang Maha Kuasa, Berkehendak, Mengetahui, Hidup, Mendengar, Melihat, dan Berfirman.

7. Qudrat (Kuasa)

Qudrat berarti Kuasa. Kekuasaan Allah bersifat mutlak, sempurna, dan tidak terbatas. Kekuasaan-Nya mencakup segala sesuatu yang mungkin (mumkinat). Tidak ada yang dapat melemahkan atau menghalangi kekuasaan-Nya. Menciptakan alam semesta yang maha luas sama mudahnya bagi Allah seperti menciptakan seekor nyamuk. Menghidupkan kembali seluruh manusia di hari kiamat sama mudahnya seperti menciptakan mereka pertama kali. Kata "kun" (Jadilah!) dari-Nya cukup untuk mewujudkan apa pun yang dikehendaki-Nya.

Merenungi sifat Qudrat akan menumbuhkan rasa takjub dan tawakal. Betapa kecilnya kita di hadapan kekuatan-Nya. Tidak ada masalah yang terlalu besar bagi-Nya, dan tidak ada harapan yang mustahil untuk dikabulkan-Nya. Ini memberikan kekuatan luar biasa saat menghadapi kesulitan hidup.

8. Iradat (Berkehendak)

Iradat berarti Berkehendak. Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, baik yang kita anggap baik maupun buruk, terjadi atas kehendak (iradah) dan izin Allah. Tidak ada sehelai daun pun yang jatuh tanpa kehendak-Nya. Kehendak Allah bersifat mutlak dan pasti terlaksana. Penting untuk membedakan antara kehendak-Nya (iradah kauniyah) dengan keridhaan-Nya (iradah syar'iyyah). Allah menghendaki terjadinya kekufuran, tetapi tidak meridhai dan tidak mencintainya. Sebaliknya, Allah meridhai keimanan dan memerintahkannya, namun tidak semua manusia beriman sesuai kehendak-Nya (dalam konteks pilihan yang diberikan kepada manusia).

Memahami sifat Iradat melahirkan ketenangan jiwa dalam menghadapi takdir. Saat tertimpa musibah, seorang mukmin akan berkata, "Ini adalah kehendak Allah, dan di baliknya pasti ada hikmah." Saat meraih kesuksesan, ia sadar bahwa itu semua terjadi atas kehendak-Nya, sehingga ia terhindar dari kesombongan. Ini adalah kunci untuk menerima qada dan qadar dengan hati yang lapang.

9. ‘Ilm (Mengetahui)

‘Ilm berarti Mengetahui. Ilmu Allah Maha Luas, meliputi segala sesuatu tanpa terkecuali. Pengetahuan-Nya bersifat azali, tidak didahului oleh kebodohan, dan tidak akan diliputi kelupaan. Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang sedang terjadi, dan apa yang akan terjadi. Bahkan, Dia mengetahui sesuatu yang tidak terjadi, seandainya terjadi bagaimana jadinya. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya, baik di langit maupun di bumi, baik yang tampak maupun yang tersembunyi di dalam hati.

"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (Q.S. Al-An'am: 59)

Kesadaran bahwa Allah Maha Mengetahui adalah pengawas internal yang paling efektif. Ia mendorong kita untuk berbuat baik bahkan saat tidak ada seorang pun yang melihat, dan mencegah kita dari berbuat maksiat di kala sepi, karena kita yakin Allah senantiasa menyaksikan setiap gerak-gerik dan niat di dalam hati.

10. Hayat (Hidup)

Hayat berarti Hidup. Kehidupan Allah adalah kehidupan yang hakiki, sempurna, dan azali. Ia tidak sama dengan kehidupan makhluk yang membutuhkan makanan, minuman, oksigen, dan memiliki awal serta akhir. Kehidupan Allah adalah sumber dari segala kehidupan di alam semesta. Dialah Al-Hayy (Yang Maha Hidup). Sifat Hidup adalah syarat bagi sifat-sifat Ma'ani lainnya seperti Kuasa, Berkehendak, dan Mengetahui, karena mustahil Dzat yang mati memiliki sifat-sifat tersebut.

Memahami sifat Hayat membuat kita menyadari bahwa hanya Allah sumber kehidupan sejati. Ketergantungan kita pada-Nya bukan hanya pada rezeki, tetapi juga pada setiap tarikan napas dan detak jantung. Ini menumbuhkan rasa syukur yang mendalam atas nikmat kehidupan yang diberikan-Nya.

11. Sama’ (Mendengar)

Sama’ berarti Mendengar. Pendengaran Allah Maha Sempurna, meliputi segala suara tanpa batas. Dia mendengar rintihan hati yang tak terucap, doa dalam keheningan malam, hingga percakapan semut di dalam liangnya. Pendengaran-Nya tidak memerlukan alat bantu seperti telinga, tidak terhalang oleh jarak, dan tidak terganggu oleh kebisingan. Dia mendengar semua suara dalam satu waktu tanpa tercampur aduk.

Keyakinan bahwa Allah Maha Mendengar membuat doa kita menjadi lebih khusyuk dan penuh harap. Kita yakin setiap permohonan, setiap keluh kesah, dan setiap ucapan syukur pasti sampai kepada-Nya. Ini memberikan ketenangan bahwa kita tidak pernah berbicara sendirian; selalu ada Dzat yang mendengarkan dengan saksama.

12. Basar (Melihat)

Basar berarti Melihat. Penglihatan Allah Maha Sempurna, meliputi segala sesuatu yang wujud, betapapun kecil atau tersembunyinya. Dia melihat gerak seekor semut hitam di atas batu hitam pada malam yang paling kelam. Penglihatan-Nya tidak memerlukan alat bantu seperti mata, tidak terbatas oleh cahaya, dan tidak terhalang oleh dinding atau kegelapan. Tidak ada satu atom pun di alam semesta ini yang luput dari penglihatan-Nya.

Sebagaimana sifat 'Ilm dan Sama', sifat Basar menanamkan perasaan muraqabah (merasa diawasi Allah) yang kuat dalam diri seorang hamba. Kesadaran bahwa Allah Maha Melihat akan menjadi benteng yang kokoh dari perbuatan dosa dan maksiat, serta menjadi pendorong untuk senantiasa berbuat ihsan (kebaikan tertinggi).

13. Kalam (Berfirman/Berkata-kata)

Kalam berarti Berfirman atau Berkata-kata. Allah memiliki sifat Kalam yang azali dan sempurna. Kalam Allah tidak berupa suara, huruf, atau bahasa seperti kalam makhluk. Ia tidak membutuhkan mulut atau lidah. Kitab-kitab suci seperti Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur'an adalah manifestasi dari Kalam Allah yang diturunkan kepada para rasul-Nya untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia. Al-Qur'an yang kita baca adalah ibarat (ungkapan) dari Kalamullah yang azali tersebut dalam bahasa Arab.

Memahami sifat Kalam menumbuhkan rasa pengagungan yang luar biasa terhadap Al-Qur'an. Saat kita membaca Al-Qur'an, kita sedang berinteraksi dengan firman dari Penguasa alam semesta. Ini seharusnya membuat kita membacanya dengan penuh perenungan, kekhusyukan, dan keinginan untuk mengamalkan setiap petunjuk di dalamnya.

Kelompok 4: Sifat Ma'nawiyah

Sifat Ma'nawiyah adalah tujuh sifat yang merupakan konsekuensi atau keadaan yang tidak terpisahkan dari tujuh Sifat Ma'ani. Sederhananya, jika Allah memiliki sifat Qudrat (Kuasa), maka keadaan-Nya adalah Dzat Yang Maha Berkuasa.

  1. Kaunuhu Qadiran (Keadaan-Nya yang Berkuasa)
  2. Kaunuhu Muridan (Keadaan-Nya yang Berkehendak)
  3. Kaunuhu ‘Aliman (Keadaan-Nya yang Mengetahui)
  4. Kaunuhu Hayyan (Keadaan-Nya yang Hidup)
  5. Kaunuhu Sami’an (Keadaan-Nya yang Mendengar)
  6. Kaunuhu Basiran (Keadaan-Nya yang Melihat)
  7. Kaunuhu Mutakalliman (Keadaan-Nya yang Berfirman)

Ketujuh sifat ini menegaskan status Allah sebagai Pelaku aktif dari sifat-sifat Ma'ani. Mereka adalah penjelas yang tak terpisahkan, menekankan bahwa sifat-sifat tersebut bukanlah konsep pasif, melainkan atribut aktif yang senantiasa melekat pada Dzat Allah yang Maha Agung.

Sifat Mustahil bagi Allah

Sifat Mustahil adalah lawan kata dari 20 Sifat Wajib. Sifat-sifat ini secara akal tidak mungkin ada pada Dzat Allah karena merupakan sifat kekurangan yang hanya layak bagi makhluk. Mengetahui sifat mustahil sama pentingnya dengan mengetahui sifat wajib untuk menyempurnakan pemahaman tauhid kita. Dengan mengetahui apa yang mustahil bagi-Nya, kita semakin memurnikan keyakinan kita tentang kesempurnaan-Nya.

No Sifat Mustahil Artinya Lawan dari Sifat Wajib
1'AdamTidak AdaWujud (Ada)
2HuduthBaru / Ada PermulaanQidam (Terdahulu)
3Fana'Bisa Rusak / BinasaBaqa' (Kekal)
4Mumathalatu lil HawaditsiSerupa dengan MakhlukMukhalafatu lil Hawaditsi
5Ihtiyaju li GhairihiMembutuhkan yang LainQiyamuhu bi Nafsihi
6Ta'addudBerbilang / Lebih dari SatuWahdaniyah (Esa)
7'AjzunLemahQudrat (Kuasa)
8KarahahTerpaksaIradat (Berkehendak)
9JahlunBodoh'Ilm (Mengetahui)
10MautunMatiHayat (Hidup)
11ShamamunTuliSama' (Mendengar)
12'UmyunButaBasar (Melihat)
13BukmunBisuKalam (Berfirman)
14Kaunuhu 'AjizanKeadaan-Nya yang LemahKaunuhu Qadiran
15Kaunuhu KarihanKeadaan-Nya yang TerpaksaKaunuhu Muridan
16Kaunuhu JahilanKeadaan-Nya yang BodohKaunuhu 'Aliman
17Kaunuhu MayyitanKeadaan-Nya yang MatiKaunuhu Hayyan
18Kaunuhu AshammaKeadaan-Nya yang TuliKaunuhu Sami'an
19Kaunuhu A'maKeadaan-Nya yang ButaKaunuhu Basiran
20Kaunuhu AbkamKeadaan-Nya yang BisuKaunuhu Mutakalliman

Sifat Ja'iz bagi Allah

Selain Sifat Wajib dan Sifat Mustahil, ada satu kategori lagi, yaitu Sifat Ja'iz. Ja'iz secara bahasa berarti boleh atau mungkin. Sifat Ja'iz bagi Allah hanya ada satu.

Fi'lu Kulli Mumkinin au Tarkuhu

Artinya: "Boleh (bebas) bagi Allah untuk melakukan segala sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya."

Sifat ini menegaskan kebebasan dan kedaulatan mutlak Allah SWT. "Sesuatu yang mungkin" (mumkin) adalah segala sesuatu selain Dzat dan Sifat Allah itu sendiri, yaitu seluruh alam semesta dan isinya. Allah memiliki kebebasan absolut untuk menciptakan atau tidak menciptakan alam semesta, memberi rezeki kepada si A atau tidak, menjadikan si B sehat atau sakit, mengangkat si C menjadi nabi atau tidak. Semua itu adalah hak prerogatif Allah yang didasari oleh kehendak (Iradat) dan ilmu-Nya yang Maha Sempurna.

Tidak ada satu pun kekuatan di luar diri-Nya yang bisa memaksa atau mewajibkan Allah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dia melakukan apa yang Dia kehendaki semata-mata karena kehendak-Nya, bukan karena ada hukum atau aturan yang mengikat-Nya. Namun, semua perbuatan-Nya pasti dilandasi oleh hikmah dan keadilan yang sempurna, meskipun terkadang akal manusia yang terbatas tidak mampu memahaminya.

Memahami Sifat Ja'iz ini melahirkan ridha terhadap ketetapan Allah. Kita sadar bahwa apa yang kita terima, baik nikmat maupun ujian, adalah pilihan Allah yang Maha Bijaksana. Tidak ada ruang untuk protes atau mempertanyakan "mengapa ini terjadi padaku?". Yang ada hanyalah penyerahan diri total (taslim) kepada Sang Pengatur segala urusan.

Buah Mengenal Sifat-Sifat Allah

Mempelajari sifat-sifat Allah bukanlah sekadar mengisi otak dengan istilah-istilah Arab yang rumit. Ia adalah sebuah perjalanan spiritual yang seharusnya membuahkan hasil nyata dalam hati dan perilaku seorang muslim. Ketika kita merenungi sifat-sifat ini, lahirlah:

Perjalanan mengenal Allah adalah perjalanan seumur hidup. Semakin kita mendalami sifat-sifat-Nya, semakin kita merasa kecil dan kerdil di hadapan keagungan-Nya. Namun, di saat yang sama, kita akan merasakan kedekatan, ketenangan, dan kekuatan yang tiada tara. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam perjalanan mulia ini dan menganugerahkan kepada kita nikmat mengenal-Nya dengan sebenar-benarnya pengenalan.

🏠 Homepage