Membedah Klasifikasi: Surah Al-Maidah Termasuk Golongan Surah Madaniyyah

Dalam khazanah ilmu-ilmu Al-Qur'an (Ulumul Qur'an), pemahaman mengenai klasifikasi surah merupakan salah satu pilar fundamental untuk dapat menyelami makna dan konteks pewahyuan. Setiap surah dalam Al-Qur'an dikategorikan menjadi dua golongan utama: Makkiyyah dan Madaniyyah. Klasifikasi ini bukan sekadar label geografis, melainkan sebuah penanda periode, konteks sosial-politik, dan fokus dakwah yang berbeda. Ketika muncul pertanyaan fundamental, surah Al-Maidah termasuk golongan surah yang mana, para ulama sepakat dengan argumentasi yang sangat kokoh bahwa surah ini adalah golongan Madaniyyah. Surah kelima dalam mushaf Al-Qur'an ini, dengan 120 ayatnya, merupakan salah satu surah yang paling kaya akan muatan hukum dan menjadi bukti nyata dari fase pemantapan syariat Islam di Madinah.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan komprehensif alasan-alasan mengapa Surah Al-Maidah digolongkan sebagai surah Madaniyyah. Kita akan menelusuri karakteristiknya, kandungan ayat-ayatnya, serta konteks sejarah penurunannya yang semuanya mengarah pada satu kesimpulan yang pasti.

Memahami Perbedaan Mendasar Makkiyyah dan Madaniyyah

Sebelum kita menyelam lebih jauh ke dalam Surah Al-Maidah, penting untuk membangun fondasi pemahaman yang kuat tentang apa itu surah Makkiyyah dan Madaniyyah. Definisi yang paling akurat dan dipegang oleh mayoritas ulama tafsir tidak didasarkan pada lokasi turunnya wahyu (Makkah atau Madinah), melainkan pada lini masa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.

Perbedaan periode ini melahirkan karakteristik yang sangat khas pada masing-masing golongan surah.

Karakteristik Umum Surah Makkiyyah

Fase Makkah adalah fase penanaman akidah. Dakwah Nabi SAW berfokus pada pembangunan fondasi keimanan yang kokoh di tengah masyarakat jahiliyah yang musyrik. Oleh karena itu, surah-surah Makkiyyah umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Karakteristik Umum Surah Madaniyyah

Fase Madinah adalah fase pembangunan masyarakat dan negara Islam. Umat Islam telah menjadi sebuah komunitas yang berdaulat dan membutuhkan tatanan hukum yang jelas. Ciri-ciri surah Madaniyyah adalah:

Bukti-bukti Ke-Madaniyyah-an Surah Al-Maidah

Dengan memahami kerangka di atas, kita dapat dengan mudah mengidentifikasi bahwa Surah Al-Maidah termasuk golongan surah Madaniyyah. Kandungan surah ini secara dominan dan mencolok menunjukkan semua ciri khas surah Madaniyyah. Mari kita bedah satu per satu.

1. Kandungan Hukum dan Peraturan yang Sangat Rinci

Surah Al-Maidah sering disebut sebagai "surah hukum" karena di dalamnya terkandung banyak sekali peraturan syariat yang menjadi pilar kehidupan seorang Muslim. Kerincian hukum ini adalah bukti terkuat bahwa surah ini diturunkan pada saat masyarakat Islam di Madinah sudah stabil dan membutuhkan panduan hidup yang komprehensif.

Hukum Makanan yang Halal dan Haram

Ayat 3 hingga 5 merinci dengan jelas jenis-jenis makanan yang diharamkan. Ini bukan lagi sekadar larangan umum, melainkan sebuah daftar spesifik.

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya..." (QS. Al-Maidah: 3)

Ayat ini kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tentang makanan sembelihan Ahlul Kitab yang dihalalkan bagi umat Islam (ayat 5). Aturan interaksi sosial semacam ini hanya relevan dalam sebuah masyarakat majemuk seperti di Madinah.

Hukum Bersuci (Thaharah)

Ayat 6 dari Surah Al-Maidah adalah landasan utama bagi fiqih thaharah (bersuci). Di dalamnya dijelaskan secara rinci tata cara wudhu, mandi junub, hingga tayamum sebagai alternatif ketika tidak ada air. Rincian seperti "basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki" adalah ciri khas penjelasan hukum yang praktis bagi komunitas yang sudah mapan.

Hukum Pidana (Hudud dan Qisas)

Surah ini juga menetapkan hukum pidana yang tegas untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Di antaranya adalah hukum bagi mereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya (hirabah) pada ayat 33, dan hukuman bagi pencuri (sariqah) pada ayat 38. Penetapan sanksi pidana seperti ini adalah prerogatif sebuah entitas negara yang berdaulat, yang mana hal ini baru terwujud di Madinah.

Larangan Khamr dan Judi

Ayat 90 secara tegas dan final mengharamkan khamr (minuman keras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah. Ayat ini merupakan tahap akhir dari proses pelarangan khamr yang dilakukan secara bertahap, sebuah proses legislasi yang terjadi selama periode Madinah.

Kafarat Sumpah dan Hukum Berburu saat Ihram

Rincian lebih lanjut ditemukan dalam hukum kafarat (denda) bagi yang melanggar sumpah (ayat 89) dan aturan mengenai berburu bagi orang yang sedang dalam keadaan ihram untuk haji atau umrah (ayat 95). Ini adalah aturan-aturan spesifik yang mengatur ibadah dan interaksi sosial umat.

Kelimpahan dan kedalaman materi hukum ini secara meyakinkan menempatkan Surah Al-Maidah dalam kategori Madaniyyah.

2. Seruan Khas "Yā Ayyuhalladzīna Āmanū"

Salah satu penanda linguistik yang paling jelas dari surah Madaniyyah adalah penggunaan frasa panggilan "Yā ayyuhalladzīna āmanū" (Wahai orang-orang yang beriman). Panggilan ini secara inheren ditujukan kepada sebuah komunitas yang telah beriman dan siap menerima instruksi. Surah Al-Maidah adalah salah satu surah yang paling sering menggunakan seruan ini. Tercatat, seruan ini muncul sebanyak 16 kali di dalamnya, dimulai dari ayat pertama hingga ayat-ayat terakhir.

Beberapa contoh seruan tersebut antara lain:

Frekuensi penggunaan seruan ini yang sangat tinggi adalah bukti tekstual yang tak terbantahkan bahwa surah ini berbicara kepada komunitas Muslim di Madinah.

3. Interaksi Intensif dengan Ahlul Kitab

Madinah adalah kota di mana komunitas Muslim hidup berdampingan dengan suku-suku Yahudi dan berinteraksi dengan delegasi Nasrani. Oleh karena itu, surah-surah Madaniyyah banyak mengandung ayat yang ditujukan kepada mereka. Surah Al-Maidah sangat kaya dengan konten ini.

Surah ini mengkritik penyimpangan akidah yang dilakukan oleh sebagian Ahlul Kitab, seperti anggapan kaum Yahudi bahwa tangan Allah terbelenggu (ayat 64) atau keyakinan trinitas di kalangan Nasrani (ayat 73). Namun, surah ini juga membuka pintu dialog, mengajak mereka untuk kembali kepada ajaran tauhid yang murni dan beriman kepada Al-Qur'an (ayat 15, 19).

Secara khusus, Surah Al-Maidah membahas tentang kisah hidangan dari langit (Al-Maidah) yang menjadi asal-usul nama surah ini (ayat 112-115). Ini adalah dialog langsung yang berkaitan dengan Nabi Isa AS dan para pengikutnya, yang sangat relevan dalam konteks interaksi dengan kaum Nasrani.

Kebolehan menikahi wanita-wanita suci dari kalangan Ahlul Kitab (ayat 5) juga merupakan hukum yang mengatur interaksi sosial dalam masyarakat plural, sebuah realitas yang dihadapi di Madinah.

4. Konteks Sejarah Penurunan (Asbabun Nuzul)

Sejarah mencatat bahwa Surah Al-Maidah termasuk surah yang turun pada periode akhir dari kenabian. Banyak riwayat yang menyatakan bahwa surah ini turun secara berangsur-angsur setelah Perjanjian Hudaibiyah hingga sesaat sebelum Nabi Muhammad SAW wafat. Bahkan, sebagian ayatnya yang paling terkenal turun pada momen yang sangat monumental.

Ayat Kesempurnaan Agama

Ayat yang sering dikutip dari surah ini adalah bagian dari ayat ke-3:

"...Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu..." (QS. Al-Maidah: 3)

Menurut riwayat yang shahih, ayat ini turun pada hari Jumat di Padang Arafah, saat Nabi Muhammad SAW sedang melaksanakan Haji Wada' (Haji Perpisahan). Momen ini terjadi pada fase penghujung kehidupan Rasulullah, di saat pilar-pilar negara Islam Madinah sudah sangat kokoh dan syariat Islam telah paripurna. Penurunan ayat yang mendeklarasikan kesempurnaan agama ini di akhir periode Madinah adalah bukti pamungkas yang mengukuhkan klasifikasi surah ini.

Karena turun di akhir periode risalah, sebagian ulama bahkan menyebut Surah Al-Maidah sebagai surah yang tidak memiliki ayat yang di-mansukh (dihapus hukumnya), karena ia datang untuk menetapkan hukum-hukum final.

Tema-Tema Pokok yang Menguatkan Identitas Madaniyyah

Selain ciri-ciri di atas, tema-tema utama yang diusung oleh Surah Al-Maidah juga sangat kental dengan nuansa pembangunan masyarakat Madinah.

Tema Keadilan Mutlak

Penegakan keadilan adalah fondasi sebuah negara. Surah Al-Maidah membawa pesan keadilan yang luar biasa, terutama dalam ayat 8. Ayat ini memerintahkan orang beriman untuk menjadi penegak keadilan karena Allah, bahkan jika harus bersaksi melawan diri sendiri atau kerabat. Puncaknya adalah perintah untuk tetap berlaku adil bahkan kepada kaum yang dibenci. Prinsip keadilan universal ini adalah pilar bagi tata kelola negara Madinah yang adil dan beradab.

Tema Pemenuhan Perjanjian ('Uqud)

Surah ini dibuka dengan perintah fundamental, "Aufū bil-'uqūd" (Penuhilah akad-akad/janji-janji). Konsep 'uqud ini sangat luas, mencakup perjanjian vertikal dengan Allah (ibadah dan ketaatan) dan perjanjian horizontal antar manusia (kontrak sosial, ekonomi, dan politik). Perintah ini sangat vital bagi sebuah masyarakat yang sedang membangun peradaban, di mana kepercayaan dan integritas dalam setiap perjanjian menjadi tulang punggung stabilitas sosial.

Tema Loyalitas (Al-Wala' wal Bara')

Dalam konteks politik Madinah yang penuh dengan intrik dan aliansi, Surah Al-Maidah juga memberikan panduan tentang loyalitas. Ayat 51, misalnya, memberikan arahan mengenai siapa yang seharusnya dijadikan pemimpin dan pelindung oleh kaum mukminin. Panduan semacam ini sangat relevan untuk menjaga soliditas dan kedaulatan komunitas Muslim yang baru lahir.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis komprehensif dari berbagai sudut pandang, tidak ada keraguan sedikit pun bahwa surah Al-Maidah termasuk golongan surah Madaniyyah. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti yang saling menguatkan:

  1. Isi dan Kandungan: Dominasi ayat-ayat tentang hukum syariat yang rinci (makanan, thaharah, pidana), yang merupakan ciri utama surah Madaniyyah.
  2. Gaya Bahasa dan Seruan: Penggunaan berulang kali seruan "Yā ayyuhalladzīna āmanū" (sebanyak 16 kali) yang secara khusus ditujukan kepada komunitas beriman di Madinah.
  3. Konteks Sosial: Adanya dialog, kritik, dan aturan interaksi dengan komunitas Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang menjadi tetangga kaum Muslimin di Madinah.
  4. Konteks Sejarah: Riwayat yang kuat menyatakan bahwa surah ini turun pada periode akhir kenabian, dengan puncaknya adalah turunnya ayat tentang kesempurnaan Islam saat Haji Wada'.

Memahami klasifikasi ini bukan hanya sekadar latihan akademis. Ia membuka pintu bagi kita untuk mengapresiasi proses tadarruj (gradual) dalam penetapan syariat Islam. Ia juga membantu kita memahami konteks setiap ayat sehingga penafsirannya menjadi lebih akurat dan relevan. Surah Al-Maidah berdiri sebagai monumen legislasi ilahi, sebuah panduan lengkap yang diturunkan untuk mengatur sebuah peradaban yang sedang mekar, peradaban Madinah al-Munawwarah.

🏠 Homepage