Menggali Makna Surah An-Nasr Ayat Kedua
Surah An-Nasr, yang berarti "Pertolongan", adalah salah satu surah terpendek dalam Al-Qur'an, namun kandungannya sarat dengan makna yang luar biasa dalam dan monumental. Terdiri dari tiga ayat, surah ini diturunkan di Madinah (Madaniyyah) dan diyakini oleh banyak ulama sebagai surah terakhir yang diturunkan secara lengkap kepada Nabi Muhammad ﷺ. Surah ini bukan sekadar pemberitahuan tentang kemenangan, melainkan sebuah proklamasi ilahi yang merangkum puncak dari sebuah perjuangan panjang, buah dari kesabaran, dan sinyal akan selesainya sebuah misi kenabian. Di antara ketiga ayatnya, surah an nasr ayat kedua memegang peranan sentral dalam menggambarkan puncak keberhasilan dakwah Islam. Ayat ini melukiskan sebuah panorama agung yang menjadi saksi atas kebenaran risalah yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ.
Untuk memahami keagungan ayat ini, kita perlu menyelaminya lebih dari sekadar terjemahan harfiah. Ayat ini adalah sebuah potret hidup, sebuah rekaman abadi dari momen transformatif dalam sejarah peradaban manusia. Ia menggambarkan sebuah perubahan fundamental dalam lanskap sosial dan spiritual Jazirah Arab, yang gaungnya terasa hingga ke seluruh penjuru dunia. Ayat ini berbicara tentang manusia, keyakinan, dan kuasa ilahi yang bekerja di balik layar sejarah. Mari kita telaah bersama setiap kata, konteks, dan pelajaran yang terkandung di dalam ayat yang mulia ini.
وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا
Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā.
"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"
Analisis Lafaz dan Struktur Ayat
Setiap kata yang dipilih oleh Allah ﷻ dalam Al-Qur'an memiliki presisi dan kedalaman makna yang tak tertandingi. Untuk mengapresiasi keindahan surah an nasr ayat kedua, mari kita bedah setiap komponen bahasanya.
1. وَرَأَيْتَ (Wa ra'aita) - Dan engkau melihat
Kata ini ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ (khitab). Penggunaan kata "ra'aita" (engkau melihat) lebih dari sekadar penglihatan mata biasa. Dalam bahasa Arab, kata ra'a bisa berarti melihat dengan mata kepala (ru'yah bashariyah) dan melihat dengan mata hati atau ilmu (ru'yah 'ilmiyyah). Dalam konteks ayat ini, keduanya berlaku. Nabi Muhammad ﷺ tidak hanya akan menyaksikan secara langsung fenomena ini, tetapi beliau juga akan memahaminya sebagai sebuah tanda kebesaran Allah dan pemenuhan janji-Nya. Ini adalah sebuah penglihatan yang disertai dengan kepastian dan keyakinan mutlak. Visi ini bukanlah mimpi atau prediksi, melainkan sebuah realitas yang akan terbentang di hadapannya sebagai bukti nyata. Penggunaan bentuk lampau (fi'il madhi) "ra'aita" memberikan kesan kepastian, seolah-olah peristiwa itu sudah terjadi, untuk menegaskan bahwa janji Allah itu pasti akan terwujud tanpa keraguan sedikit pun.
2. ٱلنَّاسَ (An-Nāsa) - Manusia
Pemilihan kata "An-Nās" (manusia) bersifat umum dan inklusif. Al-Qur'an tidak menyebutkan "orang-orang Arab" atau "suku Quraisy" secara spesifik. Ini mengisyaratkan bahwa fenomena ini tidak terbatas pada satu kelompok etnis atau geografis saja. Ini adalah awal dari gelombang universal penerimaan Islam. Kata "An-Nās" mencakup seluruh lapisan masyarakat: laki-laki dan perempuan, tua dan muda, pemimpin dan rakyat jelata, dari berbagai suku dan kabilah yang sebelumnya saling bermusuhan. Kontrasnya sangat tajam jika dibandingkan dengan masa-masa awal dakwah di Makkah, di mana pengikut Islam hanyalah segelintir individu yang sering kali berasal dari kalangan lemah dan tertindas, dan mereka masuk Islam secara sembunyi-sembunyi. Kini, Islam diterima oleh "manusia" secara kolektif.
3. يَدْخُلُونَ (Yadkhulūna) - Mereka masuk
Kata kerja ini menggunakan bentuk sekarang/masa depan (fi'il mudhari'), yang menunjukkan sebuah proses yang sedang berlangsung dan berkelanjutan. Ini bukan peristiwa sesaat yang terjadi lalu selesai. Sebaliknya, ayat ini menggambarkan sebuah gelombang konversi yang terus-menerus, datang silih berganti. Orang-orang tidak hanya masuk Islam pada satu hari, tetapi mereka terus berdatangan dalam sebuah aliran yang tak terputus. Ini menunjukkan dinamisme dan vitalitas gerakan dakwah Islam yang telah mencapai titik puncaknya. Mereka masuk dengan kesadaran, bukan paksaan, seolah-olah pintu hidayah telah terbuka lebar dan mereka bergegas memasukinya.
4. فِى دِينِ ٱللَّهِ (Fī dīnillāhi) - Ke dalam agama Allah
Frasa ini sangat penting. Al-Qur'an tidak mengatakan "ke dalam agamamu" (merujuk pada Nabi Muhammad ﷺ), melainkan "ke dalam agama Allah". Ini adalah penegasan fundamental tentang sumber dan esensi ajaran ini. Islam bukanlah ciptaan atau milik Muhammad ﷺ; beliau hanyalah seorang utusan. Agama ini adalah milik Allah, sistem kehidupan yang diridhai-Nya untuk seluruh umat manusia. Penekanan ini membersihkan dakwah dari segala bentuk kultus individu dan menegaskan kembali prinsip tauhid yang paling murni: bahwa segala ketaatan dan pengabdian hanyalah untuk Allah semata. Manusia tidak sedang bergabung dengan kelompok Muhammad, mereka sedang kembali kepada Tuhan mereka.
5. أَفْوَاجًا (Afwājā) - Berbondong-bondong
Inilah kata kunci yang melukiskan skala dari fenomena ini. "Afwājā" adalah bentuk jamak dari "fauj," yang berarti rombongan besar, kelompok, atau resimen. Kata ini menggambarkan kerumunan besar, bukan lagi individu-individu yang datang satu per satu. Di masa lalu, jika satu orang masuk Islam, itu sudah menjadi berita besar. Sekarang, satu suku atau satu kabilah secara keseluruhan datang untuk menyatakan keislaman mereka. Ini adalah perubahan paradigma total. Jika sebelumnya dakwah bersifat personal, kini ia bersifat komunal. Ini adalah tsunami spiritual yang melanda seluruh Jazirah Arab, sebuah pemandangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menjadi bukti nyata pertolongan (An-Nasr) dari Allah.
Konteks Historis: Puncak dari Peristiwa Fathu Makkah
Sebuah ayat Al-Qur'an tidak bisa dipahami secara terisolasi dari konteks sejarahnya (Asbabun Nuzul). Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa Surah An-Nasr dan ayat keduanya secara spesifik berkaitan erat dengan peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah). Selama lebih dari dua dekade, suku Quraisy di Makkah menjadi penghalang utama dakwah Islam. Mereka adalah simbol kekuatan paganisme Arab, dan Ka'bah yang berada di bawah kendali mereka menjadi pusat spiritual bagi para penyembah berhala di seluruh jazirah.
Banyak suku Arab yang sebenarnya tertarik dengan ajaran Islam, namun mereka mengambil sikap menunggu. Mereka berpikir, "Biarkan Muhammad dan kaumnya (Quraisy) berselisih. Jika Muhammad menang atas kaumnya, berarti dia benar-benar seorang nabi." Bagi mereka, pertarungan antara Nabi Muhammad ﷺ dan suku Quraisy adalah ujian ilahi. Siapa pun yang menang dianggap mendapat restu dari langit.
Ketika Fathu Makkah terjadi, Nabi Muhammad ﷺ dan pasukannya memasuki kota kelahiran beliau bukan dengan arogansi dan pertumpahan darah, melainkan dengan kerendahan hati dan pengampunan. Beliau memaafkan musuh-musuh yang selama bertahun-tahun telah menyiksa, mengusir, dan memerangi beliau serta para pengikutnya. Berhala-berhala di sekitar Ka'bah dihancurkan, dan Ka'bah disucikan kembali untuk ibadah kepada Allah Yang Maha Esa.
Kemenangan yang gemilang namun damai ini menjadi bukti yang tak terbantahkan bagi suku-suku Arab lainnya. Penghalang utama telah runtuh. Pusat paganisme telah ditaklukkan oleh tauhid. Maka, terjadilah apa yang digambarkan dalam surah an nasr ayat kedua. Setelah Fathu Makkah, periode yang dikenal sebagai "Tahun Delegasi" ('Am al-Wufud) dimulai. Berbagai delegasi dari seluruh penjuru Jazirah Arab—dari Yaman, Oman, Bahrain, dan wilayah lainnya—datang berbondong-bondong ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka dan baiat (sumpah setia) kepada Rasulullah ﷺ. Mereka datang dalam rombongan besar, perwakilan dari seluruh suku mereka. Inilah visualisasi nyata dari kata "afwājā". Pemandangan yang disaksikan Nabi ﷺ setiap hari di Madinah adalah pemenuhan janji Allah dalam ayat ini.
Makna Spiritual dan Implikasi yang Lebih Dalam
Di balik peristiwa sejarah yang agung, ayat ini mengandung lapisan-lapisan makna spiritual yang mendalam, baik bagi Rasulullah ﷺ pada masanya maupun bagi kita sebagai umatnya hingga akhir zaman.
1. Buah dari Kesabaran dan Keteguhan
Ayat ini adalah manifestasi dari janji Allah bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Selama 13 tahun di Makkah, Nabi dan para sahabat mengalami penindasan, boikot, siksaan, dan ancaman kematian. Mereka harus bersembunyi untuk beribadah dan hijrah meninggalkan tanah air mereka. Namun, mereka tetap sabar dan teguh memegang tali agama Allah. Pemandangan manusia yang masuk Islam secara "afwājā" adalah buah manis dari kesabaran dan perjuangan selama 23 tahun. Ini mengajarkan kita bahwa hasil dari sebuah perjuangan yang dilandasi keikhlasan dan kesabaran mungkin tidak datang secara instan, tetapi ketika pertolongan Allah tiba, hasilnya akan melampaui segala ekspektasi.
2. Isyarat Selesainya Misi Kenabian
Menurut riwayat yang masyhur dari Ibnu Abbas RA, Surah An-Nasr sejatinya adalah isyarat bahwa ajal Rasulullah ﷺ sudah dekat. Logikanya sederhana: tujuan utama dari diutusnya seorang nabi adalah untuk menyampaikan risalah dan menegakkan agama Allah. Ketika tujuan itu telah tercapai secara paripurna—ditandai dengan kemenangan (al-fath) dan diterimanya Islam oleh manusia secara massal—maka tugas sang utusan telah selesai. Dalam sebuah riwayat, ketika Umar bin Khattab RA bertanya kepada para sahabat senior tentang makna surah ini, banyak yang menafsirkannya sebagai perintah untuk bersyukur. Namun, Ibnu Abbas yang saat itu masih muda berkata, "Ini adalah pertanda ajal Rasulullah ﷺ yang Allah beritahukan kepada beliau." Umar pun membenarkan tafsir tersebut.
Pandangan ini memberikan nuansa melankolis pada surah yang tampak penuh kemenangan. Ini adalah perayaan keberhasilan sekaligus pengumuman perpisahan. Kemenangan duniawi yang sempurna menandakan bahwa tugas di dunia telah berakhir, dan saatnya untuk kembali kepada Sang Pemberi Tugas. Oleh karena itu, ayat ketiga langsung menyusul dengan perintah: "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya." (An-Nasr: 3). Ini adalah persiapan spiritual untuk bertemu dengan Allah.
3. Pelajaran tentang Kerendahan Hati dalam Kemenangan
Urutan surah ini memberikan pelajaran abadi tentang bagaimana seorang mukmin seharusnya menyikapi kesuksesan dan kemenangan. Ketika pertolongan Allah datang dan kemenangan diraih (ayat 1), dan ketika hasil nyata dari perjuangan terlihat dengan mata kepala (ayat 2), reaksi yang diperintahkan bukanlah euforia, pesta, atau kesombongan. Reaksi yang benar adalah kembali kepada Allah.
- Tasbih (فَسَبِّحْ): Mensucikan Allah dari segala kekurangan dan dari anggapan bahwa kemenangan ini adalah hasil kekuatan manusia semata. Ini adalah pengakuan bahwa segala daya dan upaya berasal dari-Nya.
- Tahmid (بِحَمْدِ رَبِّكَ): Memuji Allah atas segala nikmat dan karunia-Nya, termasuk nikmat kemenangan dan hidayah yang diberikan kepada banyak orang.
- Istighfar (وَٱسْتَغْفِرْهُ): Memohon ampunan atas segala kekurangan dan kelalaian yang mungkin terjadi selama proses perjuangan. Tidak ada manusia yang sempurna, bahkan seorang nabi sekalipun. Istighfar di puncak kesuksesan adalah puncak dari kerendahan hati.
Pelajaran ini sangat relevan. Dalam kehidupan pribadi, profesional, maupun komunal, ketika kita mencapai sebuah target atau meraih kesuksesan, godaan untuk merasa bangga dan menganggapnya sebagai hasil jerih payah sendiri sangatlah besar. Surah An-Nasr mengingatkan kita untuk segera mengembalikan semua itu kepada Allah dalam bentuk pujian, syukur, dan permohonan ampun.
Relevansi Abadi Surah An-Nasr Ayat Kedua
Meskipun ayat ini turun dalam konteks spesifik, pesannya bersifat universal dan abadi. Bagi para pendakwah dan aktivis Islam, ayat ini memberikan optimisme yang luar biasa. Ia mengajarkan bahwa sekelam apa pun kondisi umat, secuil apa pun harapan yang terlihat, pertolongan Allah bisa mengubah keadaan secara drastis dan tak terduga. Tugas kita adalah terus berjuang dengan ikhlas dan sabar, sementara hasilnya kita serahkan sepenuhnya kepada Allah.
Ayat ini juga menjadi pengingat bahwa hidayah sepenuhnya berada di tangan Allah. Manusia hanya bisa menyampaikan, namun Allah-lah yang membuka hati manusia. Fenomena "yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā" adalah bukti kekuasaan Allah dalam membolak-balikkan hati. Ini menanamkan rasa tawakal dan menghilangkan frustrasi ketika dakwah terasa lambat atau ditolak.
Lebih jauh lagi, ayat ini adalah visi tentang potensi universal Islam. Frasa "An-Nās" (manusia) dan "dīnillāh" (agama Allah) menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama kesukuan atau etnis, melainkan rahmat bagi seluruh alam. Pemandangan orang-orang dari berbagai latar belakang yang masuk Islam secara berbondong-bondong di masa Nabi adalah sebuah mikrokosmos dari apa yang terus terjadi di seluruh dunia hingga hari ini. Di berbagai belahan bumi, di tengah berbagai tantangan modern, selalu ada kelompok-kelompok manusia yang menemukan jalan mereka menuju "agama Allah".
Kesimpulan: Sebuah Panorama Kemenangan dan Kerendahan Hati
Surah an nasr ayat kedua adalah sebuah ayat yang luar biasa padat makna. Ia bukan sekadar laporan sejarah, melainkan sebuah lukisan ilahi yang menangkap esensi kemenangan sejati. Kemenangan itu bukanlah penaklukan wilayah atau penumpukan harta, melainkan ketika hati manusia secara sukarela dan berbondong-bondong tunduk kepada Penciptanya. Ayat ini adalah puncak dari narasi perjuangan Nabi Muhammad ﷺ, sebuah bukti visual dari janji Allah yang terpenuhi.
Ia mengajarkan kita tentang kepastian janji Allah, buah dari kesabaran, pentingnya konteks sejarah dalam memahami Al-Qur'an, dan yang terpenting, adab dalam menyikapi kesuksesan. Ia adalah ayat yang membangkitkan harapan, menanamkan kerendahan hati, dan mengingatkan kita bahwa pada akhirnya, segala urusan kembali kepada Allah. Melihat manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah adalah anugerah terbesar, sebuah pemandangan yang diikuti bukan dengan arogansi, melainkan dengan sujud syukur, tasbih, tahmid, dan istighfar.