Surah An-Nasr: Kabar Gembira Kemenangan dan Transformasi Hati Para Penduduk
Al-Qur'an, sebagai kitab suci paripurna, tidak hanya berisi hukum dan petunjuk, tetapi juga narasi mendalam yang merekam momen-momen paling krusial dalam sejarah Islam. Salah satu surah yang memiliki bobot historis dan spiritual yang luar biasa, meskipun sangat singkat, adalah Surah An-Nasr. Surah ke-110 dalam mushaf ini, yang terdiri dari tiga ayat, merupakan sebuah proklamasi ilahi tentang kemenangan besar dan dampaknya yang transformatif terhadap masyarakat. Inti dari surah ini secara langsung mengisahkan tentang para penduduk—bagaimana hati dan keyakinan mereka berubah secara drastis setelah menyaksikan pertolongan Allah yang nyata. Surah ini bukan sekadar catatan kemenangan militer, melainkan sebuah epik tentang kemenangan hidayah yang menyentuh jiwa ribuan manusia.
Untuk memahami kedalaman makna Surah An-Nasr, kita perlu menyelami konteks pewahyuannya (Asbabun Nuzul). Para ulama tafsir mayoritas berpendapat bahwa surah ini diturunkan setelah Perjanjian Hudaibiyah dan sebelum peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Mekkah), atau bahkan ada yang berpendapat diturunkan saat Haji Wada', menjadikannya salah satu surah terakhir yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Terlepas dari waktu persisnya, pesan surah ini sangat erat kaitannya dengan Fathu Makkah, sebuah peristiwa monumental yang menjadi titik balik dalam penyebaran Islam di Jazirah Arab. Peristiwa ini adalah puncak dari perjuangan panjang, kesabaran, dan doa yang dipanjatkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya selama lebih dari dua dekade.
Ilustrasi simbolis Surah An-Nasr: Kemenangan Islam dan manusia berbondong-bondong memeluk agama Allah di sekitar Ka'bah.
Ayat Pertama: Janji Pertolongan dan Kemenangan yang Nyata
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan." (QS. An-Nasr: 1)
Ayat pertama ini adalah sebuah penegasan yang kuat dan penuh kepastian. Penggunaan kata "إِذَا" (idzaa), yang berarti 'apabila', dalam tata bahasa Arab seringkali digunakan untuk sesuatu yang pasti akan terjadi, berbeda dengan "إِنْ" (in) yang lebih bersifat pengandaian. Ini mengisyaratkan bahwa pertolongan (An-Nasr) dan kemenangan (Al-Fath) adalah sebuah keniscayaan yang telah ditetapkan oleh Allah. Ini bukan harapan kosong, melainkan janji ilahi yang sedang dan akan terwujud.
Makna "An-Nasr" (Pertolongan Allah)
Kata "Nasr" (نَصْر) secara harfiah berarti pertolongan, bantuan, atau dukungan yang membawa kepada kemenangan. Namun, ketika disandarkan kepada Allah ("Nasrullah"), maknanya menjadi jauh lebih agung. Ia bukan sekadar bantuan biasa. Nasrullah adalah pertolongan supernatural yang melampaui logika dan perhitungan manusia. Ia adalah intervensi ilahi yang membalikkan keadaan, memberikan kekuatan kepada yang lemah, dan menumbangkan kekuatan yang zalim. Sepanjang sejarah kenabian, Nasrullah selalu menjadi faktor penentu. Nabi Musa AS diselamatkan dari Firaun dengan terbelahnya lautan, Nabi Ibrahim AS diselamatkan dari api, dan dalam konteks Surah An-Nasr, Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin diberikan kemenangan atas kaum Quraisy yang selama bertahun-tahun menindas mereka. Pertolongan ini tidak hanya berupa kekuatan militer, tetapi juga berupa keteguhan hati, strategi yang diilhamkan, serta rasa takut yang ditanamkan di hati musuh.
Makna "Al-Fath" (Kemenangan)
Kata "Al-Fath" (الْفَتْح) berarti 'pembukaan' atau 'kemenangan'. Para ulama tafsir sepakat bahwa "Al-Fath" yang dimaksud dalam ayat ini secara spesifik merujuk pada Fathu Makkah. Mekkah, kota yang menjadi pusat spiritual Jazirah Arab dan tempat Ka'bah berdiri, adalah benteng pertahanan terakhir dari paganisme Quraisy. Selama bertahun-tahun, penduduk Mekkah menjadi penentang utama dakwah Islam. Mereka mengusir Nabi, menyiksa para pengikutnya, dan melancarkan berbagai perang.
Fathu Makkah bukanlah kemenangan yang diraih dengan pertumpahan darah yang masif. Ia adalah sebuah "pembukaan" yang hampir tanpa perlawanan. Rasulullah SAW memasuki kota kelahirannya dengan penuh ketawadukan, menundukkan kepala di atas untanya sebagai tanda syukur dan kerendahan hati di hadapan Allah. Kemenangan ini bukan tentang penaklukan dan balas dendam, melainkan tentang pembebasan—pembebasan Ka'bah dari berhala, dan pembebasan hati penduduk Mekkah dari belenggu jahiliyah. "Al-Fath" di sini adalah kemenangan moral, spiritual, dan ideologis yang jauh lebih besar daripada sekadar kemenangan fisik.
Ayat Kedua: Transformasi Massal Para Penduduk
"Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah." (QS. An-Nasr: 2)
Inilah inti dari narasi surah ini yang secara eksplisit mengisahkan tentang para penduduk ("An-Naas"). Ayat ini adalah buah dari "Nasrullah wal Fath". Setelah pertolongan dan kemenangan itu terwujud, terjadilah sebuah fenomena sosial dan spiritual yang luar biasa. Jika sebelumnya hidayah Islam diterima secara perorangan, seringkali dengan sembunyi-sembunyi dan penuh risiko, kini pintu hidayah terbuka lebar.
Siapakah "An-Naas" (Manusia/Penduduk) yang Dimaksud?
Kata "An-Naas" (النَّاس) berarti manusia atau orang banyak. Dalam konteks ayat ini, ia memiliki beberapa lapisan makna yang saling melengkapi:
- Penduduk Mekkah: Lapisan pertama adalah penduduk Mekkah itu sendiri. Mereka yang dulunya adalah musuh bebuyutan, yang telah melakukan segala cara untuk memadamkan cahaya Islam, kini menyaksikan kebenaran dengan mata kepala mereka sendiri. Saat Rasulullah SAW memasuki Mekkah, beliau memberikan pengampunan massal yang legendaris, "Pergilah kalian semua, kalian bebas." Sikap penuh rahmat ini, di puncak kekuasaan, menghancurkan sisa-sisa kesombongan dan kebencian di hati mereka. Para pembesar Quraisy seperti Abu Sufyan, Ikrimah bin Abu Jahal, dan banyak lainnya, yang tadinya memimpin perlawanan, akhirnya tunduk dan memeluk Islam. Kemenangan tanpa kesombongan ini menjadi dakwah paling efektif yang membuka hati penduduk Mekkah.
- Suku-suku Arab di Seluruh Jazirah: Sebelum Fathu Makkah, banyak suku di Jazirah Arab berada dalam posisi menunggu. Mereka mengamati konflik antara kaum muslimin di Madinah dan kaum Quraisy di Mekkah. Bagi mereka, Ka'bah dan suku Quraisy adalah penjaga tradisi dan otoritas keagamaan Arab. Mereka berprinsip, "Biarkan Muhammad dan kaumnya (Quraisy). Jika dia menang atas kaumnya, maka dia adalah seorang nabi yang benar." Ketika Mekkah berhasil dibebaskan dan Ka'bah disucikan dari berhala, ini menjadi tanda yang sangat jelas bagi mereka. Otoritas paganisme telah runtuh. Maka, dari segala penjuru Jazirah Arab, berdatanganlah delegasi-delegasi suku (disebut sebagai tahun wufud atau tahun delegasi) ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka dan bai'at kepada Rasulullah SAW.
Makna "Afwaajan" (Berbondong-bondong)
Kata "Afwaajan" (أَفْوَاجًا) adalah bentuk jamak dari "fauj", yang berarti 'rombongan', 'kelompok', atau 'gelombang'. Kata ini memberikan gambaran visual yang sangat kuat tentang bagaimana para penduduk ini masuk Islam. Bukan lagi satu per satu, melainkan dalam kelompok-kelompok besar. Seluruh suku, dari pemimpin hingga rakyatnya, datang bersama-sama untuk memeluk agama Allah. Suku Tsaqif di Thaif, suku Hawazin, suku Tamim, suku-suku dari Yaman, dan berbagai kabilah lainnya datang silih berganti.
Fenomena ini menunjukkan bahwa penghalang psikologis terbesar bagi penyebaran Islam telah runtuh dengan jatuhnya Mekkah. Mekkah adalah simbol. Ketika simbol kesyirikan itu takluk di bawah panji tauhid dengan cara yang penuh kemuliaan, tidak ada lagi keraguan bagi sebagian besar penduduk Arab. Mereka melihat bahwa kekuatan yang menyertai Muhammad SAW bukanlah kekuatan manusia biasa, melainkan pertolongan dari Langit, persis seperti yang dijanjikan dalam ayat pertama. Ini adalah bukti empiris yang disaksikan oleh seluruh Jazirah Arab.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Amr bin Salamah, yang berkata, "Suku-suku Arab menunda keislaman mereka hingga Fathu Makkah, mereka berkata, 'Biarkan dia (Muhammad) dan kaumnya. Jika dia menang, maka dia adalah nabi yang benar.' Maka ketika Fathu Makkah terjadi, setiap suku bergegas menyatakan keislaman mereka."
Kisah ini secara gamblang menjelaskan makna "yadkhuluna fi dinillahi afwaajan". Penduduk di seluruh negeri melihat sebuah tanda yang tak terbantahkan. Kemenangan Rasulullah atas kaumnya sendiri, suku Quraisy yang terhormat, adalah validasi kenabian yang paling mereka tunggu. Ini adalah pemenuhan janji Allah, di mana agama-Nya akan dimenangkan di atas semua agama dan ideologi lainnya di tanah Arab, sebagai fondasi untuk penyebarannya ke seluruh dunia.
Ayat Ketiga: Respon yang Tepat di Puncak Kemenangan
"Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat." (QS. An-Nasr: 3)
Setelah menggambarkan puncak kesuksesan duniawi—kemenangan total dan dukungan massa dari para penduduk—ayat terakhir justru memberikan perintah yang bersifat introspektif dan spiritual. Ini adalah pelajaran paling agung dari surah ini. Di saat euforia kemenangan, respons yang diperintahkan Allah bukanlah pesta pora, kesombongan, atau balas dendam. Sebaliknya, respons yang benar adalah kembali kepada Allah dengan tiga amalan utama: Tasbih, Tahmid, dan Istighfar.
Tasbih, Tahmid, dan Istighfar: Pilar Kerendahan Hati
- Tasbih (فَسَبِّحْ - Fasabbih): Bertasbih berarti menyucikan Allah dari segala bentuk kekurangan dan kesyirikan. Dalam konteks kemenangan, perintah ini adalah pengingat bahwa kemenangan tersebut murni datang dari Allah, bukan karena kekuatan, kehebatan strategi, atau jumlah pasukan kaum muslimin. Ini adalah cara untuk menafikan segala andil diri sendiri dan mengembalikan segala kemuliaan hanya kepada Allah Yang Maha Sempurna. "Maha Suci Engkau ya Allah, kemenangan ini adalah milik-Mu semata."
- Tahmid (بِحَمْدِ رَبِّكَ - Bihamdi Rabbika): Memuji Tuhanmu. Setelah menyucikan Allah (tasbih), langkah selanjutnya adalah memuji-Nya (tahmid) atas segala nikmat dan karunia-Nya. Ini adalah ekspresi rasa syukur yang mendalam. Mensyukuri nikmat kemenangan, nikmat hidayah yang menyebar luas, dan nikmat melihat janji-Nya terwujud. Gabungan "Tasbih" dan "Tahmid" (Subhanallahi wa bihamdih) adalah bentuk zikir yang sempurna, menyucikan sekaligus memuji.
- Istighfar (وَاسْتَغْفِرْهُ - Wastaghfirhu): Memohon ampun kepada-Nya. Inilah bagian yang paling menyentuh dan penuh hikmah. Mengapa di puncak kesuksesan, Rasulullah SAW, seorang yang ma'shum (terjaga dari dosa), diperintahkan untuk beristighfar? Para ulama memberikan beberapa penjelasan:
- Sebagai Tanda Kerendahan Hati: Istighfar adalah pengakuan bahwa sebagai manusia, pasti ada kekurangan dalam menunaikan hak-hak Allah secara sempurna, bahkan dalam ibadah dan perjuangan. Ini adalah puncak ketawadukan seorang hamba di hadapan Tuhannya.
- Sebagai Isyarat Dekatnya Ajal: Banyak sahabat besar, termasuk Umar bin Khattab dan Ibnu Abbas, memahami surah ini sebagai pertanda bahwa tugas Rasulullah SAW di dunia telah selesai. Misi utamanya—menegakkan tauhid di pusatnya, Mekkah—telah paripurna. Kemenangan besar adalah tanda berakhirnya sebuah tugas. Oleh karena itu, perintah istighfar adalah persiapan untuk kembali bertemu dengan Sang Pemberi Tugas. Seolah-olah Allah berfirman, "Tugasmu telah selesai dengan gemilang, kini bersiaplah untuk kembali kepada-Ku dengan menyucikan diri."
- Sebagai Contoh bagi Umatnya: Perintah ini juga menjadi pelajaran abadi bagi seluruh umat Islam. Jika Rasulullah SAW saja, di momen kemenangan terbesarnya, diperintahkan untuk beristighfar, apalagi kita yang penuh dengan dosa dan kekurangan. Setiap kali kita meraih kesuksesan, baik besar maupun kecil, kita harus segera kembali kepada Allah dengan tasbih, tahmid, dan istighfar, agar tidak terjerumus dalam kesombongan yang dapat menghancurkan amal.
Penutup ayat, "Sungguh, Dia Maha Penerima taubat" (إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا - Innahu kaana tawwaaba), adalah sebuah penegasan yang menenangkan. Allah selalu membuka pintu ampunan-Nya selebar-lebarnya. Kata "Tawwaab" adalah bentuk superlatif yang berarti Maha Penerima taubat, lagi dan lagi, tanpa henti. Ini adalah jaminan dan kabar gembira bahwa Allah akan menerima permohonan ampun hamba-Nya yang tulus.
Surah An-Nasr sebagai Tanda Wafatnya Rasulullah SAW
Pemahaman bahwa surah ini adalah isyarat dekatnya ajal Nabi Muhammad SAW sangat kuat di kalangan para sahabat. Diriwayatkan dalam sebuah hadis shahih, suatu ketika Umar bin Khattab bertanya kepada para sahabat senior tentang tafsir surah ini. Sebagian besar dari mereka menafsirkannya secara harfiah sebagai perintah untuk bersyukur atas kemenangan. Namun, Ibnu Abbas, yang saat itu masih muda, memberikan penafsiran yang lebih dalam.
Ibnu Abbas berkata, "Itu adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepadanya. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (Fathu Makkah), maka itu adalah tanda ajalmu. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat'." Umar bin Khattab pun membenarkan penafsiran tersebut seraya berkata, "Aku tidak mengetahui tafsirnya kecuali seperti yang engkau katakan."
Kisah ini menunjukkan kedalaman pemahaman para sahabat. Mereka tidak hanya melihat peristiwa historis, tetapi juga pesan ilahi yang tersembunyi di baliknya. Misi seorang nabi di dunia adalah untuk menyampaikan risalah. Ketika risalah itu telah sempurna, diterima secara luas oleh para penduduk, dan fondasi masyarakat Islam telah kokoh berdiri, maka tugas sang utusan pun berakhir. Kemenangan sempurna adalah sinyal akhir dari sebuah misi. Setelah itu, yang tersisa hanyalah persiapan untuk menghadap Allah SWT. Diriwayatkan bahwa setelah turunnya surah ini, Rasulullah SAW semakin memperbanyak bacaan "Subhanallahi wa bihamdihi, astaghfirullaha wa atubu ilaih" dalam shalat dan berbagai kesempatan lainnya.
Pelajaran Abadi dari Kisah Para Penduduk
Surah An-Nasr, meskipun singkat, mengisahkan sebuah saga epik tentang perubahan hati manusia—para penduduk Mekkah dan Jazirah Arab. Dari surah ini, kita dapat memetik pelajaran yang tak lekang oleh waktu:
- Kesabaran dan Keyakinan akan Pertolongan Allah: Perjuangan dakwah di Mekkah berlangsung selama 13 tahun penuh dengan penindasan. Periode Madinah pun diwarnai dengan berbagai peperangan dan tantangan. Namun, keyakinan Rasulullah dan para sahabat akan janji Allah tidak pernah goyah. Surah ini mengajarkan bahwa pertolongan Allah pasti akan datang bagi mereka yang sabar dan teguh di jalan-Nya.
- Kemenangan Hakiki adalah Kemenangan Hati: Fathu Makkah mengajarkan bahwa kemenangan terbesar bukanlah menaklukkan benteng fisik, melainkan membuka benteng hati manusia. Sikap pemaaf dan rahmat Rasulullah SAW saat memasuki Mekkah menjadi dakwah paling kuat yang membuat para penduduknya berbondong-bondong memeluk Islam.
- Syukur dan Tawaduk di Puncak Kesuksesan: Manusia memiliki kecenderungan untuk menjadi sombong saat meraih keberhasilan. Surah An-Nasr memberikan formula penangkal kesombongan: tasbih, tahmid, dan istighfar. Mengembalikan semua pujian kepada Allah dan mengakui segala kekurangan diri adalah kunci untuk menjaga agar nikmat tidak berubah menjadi bencana.
- Setiap Misi Memiliki Akhir: Kehidupan di dunia adalah sebuah misi yang terbatas oleh waktu. Sebagaimana misi Rasulullah SAW yang berakhir dengan kemenangan, setiap kita juga memiliki tugas dan peran. Kemenangan dan keberhasilan dalam hidup seharusnya menjadi pengingat bahwa kita semakin dekat dengan akhir perjalanan, dan kita harus mempersiapkan diri untuk mempertanggungjawabkan semuanya di hadapan Allah.
Kesimpulannya, Surah An-Nasr adalah surah kemenangan yang agung. Ia bukan hanya mengisahkan tentang kemenangan militer, tetapi lebih dalam lagi, ia mengisahkan tentang kemenangan hidayah atas kekufuran, kemenangan rahmat atas dendam, dan kemenangan iman di hati para penduduk yang sebelumnya memusuhi Islam. Ia adalah proklamasi ilahi yang menunjukkan bagaimana pertolongan Allah dapat mengubah arah sejarah dan membuka hati jutaan manusia untuk menerima cahaya kebenaran, sebuah proses yang dimulai dari penduduk Mekkah dan Jazirah Arab, lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia.