Mengungkap Status Surah An-Nasr: Termasuk Golongan Surah Makkiyah atau Madaniyah?
Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, tersusun dari 114 surah yang masing-masing memiliki keunikan dan pesan mendalam. Para ulama telah mengklasifikasikan surah-surah ini ke dalam dua kategori besar berdasarkan periode turunnya: Makkiyah dan Madaniyah. Klasifikasi ini bukan sekadar penanda geografis, melainkan sebuah kunci untuk memahami konteks, gaya bahasa, dan fokus utama pesan yang terkandung di dalamnya. Salah satu surah yang sering menjadi bahan kajian adalah Surah An-Nasr, surah ke-110 dalam mushaf Al-Qur'an. Meskipun sangat singkat, hanya terdiri dari tiga ayat, surah ini membawa kabar gembira yang luar biasa dan isyarat penting bagi perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW. Pertanyaan yang kemudian sering muncul adalah, surah An-Nasr termasuk golongan surah apa? Apakah ia tergolong Makkiyah atau Madaniyah? Jawaban atas pertanyaan ini membuka pintu pemahaman yang lebih luas tentang signifikansi historis dan spiritual surah agung ini.
Untuk menjawabnya secara tuntas, kita perlu menyelami lebih dalam definisi dan karakteristik dari kedua golongan surah tersebut. Memahami perbedaan antara surah Makkiyah dan Madaniyah akan memberikan kita kerangka analisis yang kuat. Setelah itu, kita akan menelusuri sebab-sebab turunnya (Asbabun Nuzul) Surah An-Nasr, yang merupakan bukti paling konkret untuk menentukan periodesasinya. Dengan menggabungkan analisis tematik dan data historis, kita akan sampai pada kesimpulan yang meyakinkan mengenai status Surah An-Nasr. Artikel ini akan mengupas tuntas setiap aspek, mulai dari teks surah, definisi klasifikasi, konteks pewahyuan, hingga tafsir mendalam dan hikmah yang bisa dipetik darinya.
Teks Surah An-Nasr, Transliterasi, dan Terjemahan
Sebelum melangkah lebih jauh, marilah kita menyimak kembali bacaan Surah An-Nasr yang mulia ini, agar pesan-pesannya meresap ke dalam jiwa kita.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
Idzaa jaa-a nashrullahi wal fat-h.
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
Wa ra-aitan naasa yadkhuluuna fii diinillaahi afwaajaa.
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfir-h, innahuu kaana tawwaabaa.
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.
Membedah Klasifikasi Surah: Makkiyah dan Madaniyah
Untuk menentukan surah An-Nasr termasuk golongan surah mana, pemahaman fundamental tentang klasifikasi Makkiyah dan Madaniyah adalah sebuah keharusan. Para ulama tafsir mendefinisikan kedua kategori ini bukan semata-mata berdasarkan tempat turunnya wahyu (Mekkah atau Madinah), melainkan berdasarkan garis waktu peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW.
Ciri Khas dan Definisi Surah Makkiyah
Surah Makkiyah adalah setiap surah yang ayat-ayatnya diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebelum beliau melakukan hijrah ke Madinah. Ini mencakup surah yang turun di Mekkah, maupun yang turun di tempat lain seperti di Tha'if atau selama perjalanan Isra' Mi'raj, selama periodenya sebelum hijrah. Periode Mekkah adalah fase awal dakwah yang penuh dengan tantangan, penolakan, dan persekusi dari kaum kafir Quraisy. Oleh karena itu, tema dan gaya bahasa surah-surah Makkiyah sangat khas.
- Fokus pada Akidah: Tema utamanya adalah penanaman pondasi tauhid (keesaan Allah), kenabian (risalah), dan hari akhir (kiamat, surga, neraka). Ayat-ayatnya sering kali menantang politeisme dan penyembahan berhala.
- Gaya Bahasa Kuat dan Puitis: Ayat-ayatnya cenderung pendek, ringkas, dengan ritme yang kuat dan menggetarkan jiwa. Banyak menggunakan sumpah (qasam) untuk menekankan pesan dan menarik perhatian pendengar.
- Kisah Umat Terdahulu: Sering menceritakan kisah para nabi dan umat terdahulu sebagai pelajaran (ibrah) bagi kaum Quraisy dan untuk menguatkan hati Nabi serta para sahabat.
- Argumentasi Logis dan Fenomena Alam: Mengajak manusia untuk merenungkan ciptaan Allah di alam semesta sebagai bukti kebesaran dan kekuasaan-Nya.
- Seruan Universal: Sering diawali dengan seruan "Yā ayyuhan-nās" (Wahai manusia), karena target dakwahnya bersifat umum untuk seluruh umat manusia, belum terfokus pada komunitas spesifik.
Ciri Khas dan Definisi Surah Madaniyah
Sebaliknya, Surah Madaniyah adalah setiap surah yang ayat-ayatnya diturunkan setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Ini berlaku bahkan jika ayat tersebut turun di Mekkah (seperti saat Fathu Makkah atau Haji Wada') atau di lokasi lain selama periode Madinah. Fase Madinah adalah periode pembentukan negara, penyusunan masyarakat Islam, dan interaksi dengan berbagai kelompok seperti Yahudi, Nasrani, dan kaum munafik.
- Fokus pada Syariat dan Hukum: Tema utamanya adalah penetapan hukum-hukum (syariat) yang mengatur kehidupan individu dan masyarakat, seperti hukum waris, pernikahan, pidana (hudud), dan muamalah (transaksi sosial-ekonomi).
- Gaya Bahasa Jelas dan Rinci: Ayat-ayatnya cenderung lebih panjang dan naratif, menjelaskan aturan secara detail dan terperinci.
- Interaksi dengan Ahli Kitab dan Munafikin: Banyak ayat yang berdialog, mendebat, atau mengkritik kaum Yahudi dan Nasrani (Ahli Kitab), serta membongkar sifat-sifat orang munafik yang menjadi duri dalam daging bagi komunitas Muslim.
- Izin Perang (Jihad): Ayat-ayat yang berkaitan dengan izin berperang untuk membela diri dan menyebarkan dakwah turun pada periode ini, setelah umat Islam memiliki kekuatan dan basis negara.
- Seruan Spesifik: Sering diawali dengan seruan "Yā ayyuhalladzīna āmanū" (Wahai orang-orang yang beriman), karena audiens utamanya adalah komunitas Muslim yang sudah terbentuk di Madinah.
Menelusuri Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya) Surah An-Nasr
Kunci utama untuk menentukan klasifikasi Surah An-Nasr terletak pada konteks historis atau Asbabun Nuzul-nya. Para ulama sepakat bahwa surah ini turun pada periode Madinah, bahkan di akhir-akhir masa kenabian. Terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan kapan dan di mana surah ini diwahyukan.
Riwayat yang paling masyhur menghubungkan turunnya surah ini dengan peristiwa besar Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekkah). Kemenangan gemilang ini terjadi tanpa pertumpahan darah yang berarti, di mana Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin memasuki kota kelahiran mereka bukan sebagai penakluk yang angkuh, melainkan sebagai hamba Allah yang bersyukur dan pemaaf. Peristiwa ini menjadi titik balik dalam sejarah Islam. Setelah Mekkah ditaklukkan, Ka'bah disucikan dari berhala-berhala, dan kabilah-kabilah Arab dari seluruh penjuru jazirah mulai menyadari kebenaran Islam. Mereka yang tadinya ragu dan menunggu hasil pertarungan antara kaum Muslimin dan Quraisy, kini berbondong-bondong datang ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka.
Inilah konteks yang digambarkan dengan sangat jelas dalam ayat kedua: "dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah." Fenomena "berbondong-bondong" (afwājā) ini adalah ciri khas dari fase pasca-Fathu Makkah. Hal ini sangat kontras dengan periode Mekkah, di mana orang yang masuk Islam hanya satu per satu, seringkali secara sembunyi-sembunyi dan harus menanggung siksaan.
Sebagian riwayat lain menyebutkan bahwa surah ini turun di Mina saat Nabi Muhammad SAW melaksanakan Haji Wada' (Haji Perpisahan). Ibnu Umar meriwayatkan, "Surah ini turun di Mina pada waktu Haji Wada', kemudian turun pula ayat '...Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu...' (QS. Al-Ma'idah: 3). Setelah itu, Nabi SAW hidup selama delapan puluh hari." Riwayat ini menguatkan bahwa Surah An-Nasr adalah salah satu surah terakhir yang diturunkan.
Baik riwayat yang mengaitkannya langsung dengan Fathu Makkah maupun yang menyebutkan turunnya saat Haji Wada', keduanya menempatkan pewahyuan Surah An-Nasr secara pasti pada periode Madaniyah, yaitu setelah peristiwa hijrah dan menjelang wafatnya Rasulullah SAW.
Analisis Mendalam: Bukti Kuat An-Nasr adalah Surah Madaniyah
Berdasarkan definisi klasifikasi dan data Asbabun Nuzul, kita dapat dengan tegas menyimpulkan bahwa Surah An-Nasr termasuk golongan surah Madaniyah. Kesimpulan ini didukung oleh argumen-argumen yang tak terbantahkan.
- Waktu Turunnya (Kronologi): Ini adalah kriteria utama. Seluruh riwayat yang shahih menempatkan turunnya surah ini jauh setelah hijrah, yaitu antara peristiwa Fathu Makkah dan Haji Wada'. Ini secara otomatis memasukkannya ke dalam kategori Madaniyah.
- Tema Konten (Tematik): Isi surah ini sepenuhnya mencerminkan suasana periode Madinah. Tema "kemenangan" (fath) dan "pertolongan Allah" (nashrullah) merujuk pada kemenangan politik dan militer yang dicapai oleh komunitas Muslim yang telah mapan di Madinah. Tema "manusia masuk Islam berbondong-bondong" adalah buah dari dakwah dan perjuangan selama lebih dari dua dekade, yang puncaknya terjadi di fase Madinah. Tema-tema ini tidak relevan dengan kondisi umat Islam di Mekkah yang tertindas dan minoritas.
- Isyarat Selesainya Misi: Ayat ketiga yang memerintahkan untuk bertasbih, memuji, dan beristighfar dipahami oleh para sahabat senior seperti Ibnu Abbas dan Umar bin Khattab sebagai isyarat bahwa tugas dan risalah Nabi Muhammad SAW telah tuntas dan ajal beliau sudah dekat. Misi yang tuntas adalah cerminan dari sebuah fase akhir, bukan fase awal (Makkiyah). Ini adalah pengumuman selesainya proyek pembangunan masyarakat Islam, sebuah proyek yang berlangsung di Madinah.
Dengan demikian, tidak ada keraguan sedikit pun di kalangan para ulama tafsir bahwa Surah An-Nasr adalah surah Madaniyah. Penempatannya sebagai surah ke-110 dalam mushaf tidak mencerminkan urutan kronologis turunnya, melainkan urutan tauqifi (berdasarkan petunjuk dari Nabi SAW).
Tafsir dan Makna Terkandung dalam Setiap Ayat Surah An-Nasr
Meskipun pendek, setiap kata dalam Surah An-Nasr memiliki lautan makna. Memahami tafsirnya secara mendalam akan menyingkap keagungan pesan ilahi yang terkandung di dalamnya.
Ayat Pertama: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"
Ayat ini dimulai dengan kata "Idzā" (Apabila), sebuah kata syarat yang menunjukkan kepastian terjadinya sesuatu di masa depan. Ini adalah janji pasti dari Allah. Kemudian disebut dua kata kunci: "Nashrullāh" (pertolongan Allah) dan "al-Fath" (kemenangan).
Mengapa "pertolongan" disandarkan kepada "Allah" (Nashrullāh)? Ini adalah penekanan fundamental bahwa kemenangan yang diraih kaum Muslimin bukanlah semata-mata hasil dari kekuatan militer, strategi perang, atau kehebatan manusia. Kemenangan itu murni berasal dari pertolongan Allah. Ini adalah pelajaran akidah yang sangat penting: menafikan kekuatan diri sendiri dan menyandarkan segala keberhasilan hanya kepada Allah SWT. Tanpa pertolongan-Nya, jumlah yang banyak dan persiapan yang matang tidak akan berarti apa-apa.
Kata "al-Fath" secara harfiah berarti "pembukaan". Dalam konteks ini, para mufasir sepakat bahwa yang dimaksud adalah Fathu Makkah, "pembukaan" atau pembebasan kota Mekkah. Ini bukan sekadar kemenangan militer biasa. Fathu Makkah adalah "kemenangan dari segala kemenangan" (fathul futūh). Mengapa? Karena dengan jatuhnya Mekkah, pusat spiritual dan kekuatan utama kaum musyrikin di Jazirah Arab, pintu-pintu dakwah terbuka lebar tanpa halangan. Ia membuka hati manusia yang sebelumnya tertutup oleh hegemoni Quraisy. Kemenangan ini bersifat simbolis dan strategis, menandai supremasi Islam di seluruh Arabia.
Ayat Kedua: وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"
Ayat ini adalah konsekuensi logis dari ayat pertama. Setelah pertolongan Allah dan kemenangan besar itu datang, buahnya adalah hidayah yang menyebar luas. Frasa "ra-aita" (engkau melihat) ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai saksi mata dari janji Allah yang menjadi kenyataan. Beliau melihat dengan mata kepalanya sendiri pemandangan yang dulu hanya ada dalam angan-angan selama di Mekkah.
Kata "an-Nās" (manusia) menunjukkan cakupan yang luas, tidak lagi terbatas pada individu-individu dari kalangan tertentu. Ini merujuk pada berbagai kabilah dan suku bangsa Arab. Kata kuncinya adalah "afwājā", yang berarti "berkelompok-kelompok", "rombongan demi rombongan", atau "berbondong-bondong". Ini menggambarkan sebuah eksodus spiritual massal. Jika sebelumnya dakwah menghasilkan konversi individual, kini dakwah menghasilkan konversi komunal. Satu kabilah beserta pemimpinnya datang dan menyatakan keislaman mereka bersama-sama. Ini adalah bukti nyata bahwa penghalang utama dakwah, yaitu kekuatan politik Quraisy, telah sirna. Manusia kini bebas memilih kebenaran tanpa rasa takut.
Ayat Ketiga: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."
Ini adalah ayat yang paling sarat dengan makna spiritual dan menjadi puncak dari surah ini. Setelah dua ayat sebelumnya menggambarkan euforia kemenangan dan kesuksesan duniawi, ayat ini justru mengarahkan respons yang harus dilakukan: kembali kepada Allah dengan sikap spiritualitas tertinggi. Perintahnya bukan untuk berpesta, berbangga diri, atau membalas dendam. Perintahnya adalah tiga hal:
- Tasbih (Fasabbih): Artinya "Maka Maha Sucikanlah". Tasbih adalah pengakuan bahwa Allah Maha Suci dari segala kekurangan, sekutu, dan dari segala sifat yang tidak layak bagi-Nya. Dalam konteks kemenangan, tasbih berarti menyucikan Allah dari anggapan bahwa kemenangan ini terjadi karena sebab-sebab lain selain kuasa-Nya. Ini adalah puncak pengakuan tauhid.
- Tahmid (bi-hamdi Rabbika): Artinya "dengan memuji Tuhanmu". Jika tasbih adalah penafian sifat negatif (membersihkan), maka tahmid adalah penetapan sifat positif (memuji). Kita memuji Allah atas segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya, terutama nikmat kemenangan dan hidayah yang baru saja diberikan. Menggabungkan tasbih dan tahmid (Subhānallāhi wa bihamdih) adalah bentuk zikir yang sempurna, menyucikan dan memuji Allah secara bersamaan.
- Istighfar (Wastaghfir-hu): Artinya "dan mohonlah ampunan kepada-Nya". Inilah bagian yang paling mengejutkan dan mendalam. Mengapa di puncak kemenangan dan kesuksesan, justru perintah yang datang adalah memohon ampun? Para ulama memberikan beberapa penafsiran:
- Isyarat Wafatnya Nabi: Ini adalah penafsiran Ibnu Abbas RA. Sebuah tugas besar yang telah selesai menandakan bahwa sang pelaksana tugas akan segera dipanggil kembali oleh Sang Pemberi Tugas. Istighfar adalah persiapan terbaik untuk bertemu dengan Allah. Kemenangan ini adalah tanda bahwa misi Rasulullah SAW di dunia telah paripurna.
- Bentuk Kerendahan Hati: Istighfar mengajarkan bahwa sebesar apapun pencapaian seseorang, ia tidak akan pernah luput dari kekurangan dan kelalaian dalam menunaikan hak Allah secara sempurna. Ini adalah puncak tawadhu' (kerendahan hati), di mana seorang hamba, bahkan seorang Nabi, merasa masih kurang dalam pengabdiannya di hadapan keagungan Allah.
- Pelajaran bagi Umat: Perintah ini bukan hanya untuk Nabi, tetapi untuk seluruh umatnya. Pesannya jelas: ketika engkau berada di puncak kesuksesan, janganlah sombong. Justru saat itulah engkau harus paling banyak bersyukur, memuji Allah, dan memohon ampun atas segala kekuranganmu. Sukses adalah ujian yang lebih berat daripada kegagalan.
Surah ini ditutup dengan kalimat penegas: "Innahū kāna Tawwābā" (Sungguh, Dia Maha Penerima tobat). Nama Allah "At-Tawwab" memberikan harapan dan ketenangan. Ia menegaskan bahwa Allah selalu membuka pintu ampunan-Nya selebar-lebarnya bagi hamba-Nya yang mau kembali dan bertaubat, tidak peduli seberapa besar kesalahan mereka. Ini adalah penutup yang sempurna, memberikan jaminan rahmat Allah setelah perintah untuk beristighfar.
Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surah An-Nasr
Sebagai bagian dari kalamullah yang abadi, Surah An-Nasr terus menawarkan pelajaran berharga bagi umat Islam di setiap zaman dan kondisi. Berikut adalah beberapa hikmah yang dapat kita petik:
1. Hakikat Pertolongan dan Kemenangan
Surah ini mengajarkan bahwa kemenangan sejati (baik dalam skala pribadi, komunitas, maupun negara) hanyalah datang dari Allah. Ketergantungan total kepada Allah adalah kunci. Usaha dan ikhtiar manusia adalah sebuah keharusan, namun hati harus senantiasa meyakini bahwa hasil akhir berada di tangan-Nya. Ini membebaskan kita dari keputusasaan saat gagal dan dari kesombongan saat berhasil.
2. Respon yang Benar Terhadap Kesuksesan
An-Nasr memberikan formula abadi tentang bagaimana seorang mukmin harus merespon nikmat dan kesuksesan. Bukan dengan perayaan yang melalaikan, melainkan dengan meningkatkan kualitas spiritual: lebih banyak menyucikan Allah (tasbih), lebih banyak memuji-Nya (tahmid), dan lebih banyak introspeksi diri serta memohon ampun (istighfar). Kesuksesan harus membuat kita lebih dekat dengan Allah, bukan lebih jauh.
3. Setiap Awal Memiliki Akhir
Surah ini adalah pengingat bahwa setiap tugas, setiap misi, dan setiap kehidupan memiliki batas akhir. Sebagaimana misi kenabian yang mulia pun mencapai titik purnanya, begitu pula dengan peran dan amanah kita di dunia. Kesadaran akan akhir ini mendorong kita untuk senantiasa mempersiapkan diri, beristighfar, dan memperbaiki hubungan kita dengan Sang Pencipta, agar kita kembali kepada-Nya dalam keadaan yang diridhai.
4. Pentingnya Kerendahan Hati (Tawadhu')
Perintah istighfar di puncak kejayaan adalah pelajaran tertinggi tentang tawadhu'. Rasulullah SAW, manusia paling mulia yang dijamin maksum (terjaga dari dosa), tetap diperintahkan memohon ampun. Lantas bagaimana dengan kita yang penuh dengan dosa dan kekurangan? Ini menampar ego kita untuk selalu merasa kurang di hadapan Allah dan tidak pernah merasa puas dengan amal ibadah kita.
5. Optimisme dalam Dakwah
Surah An-Nasr adalah suntikan optimisme bagi setiap juru dakwah dan pejuang kebenaran. Ia menjanjikan bahwa setelah kesulitan, kesabaran, dan perjuangan yang panjang, pertolongan Allah pasti akan datang dan manusia akan menerima kebenaran. Meski jalan dakwah terkadang terasa berat dan hasilnya tak kunjung terlihat, janji Allah dalam surah ini akan selalu menjadi penyemangat untuk terus berjuang di jalan-Nya.
Kesimpulan
Setelah melalui penelusuran yang komprehensif, mulai dari analisis teks, pembedahan klasifikasi Makkiyah dan Madaniyah, hingga penyelaman pada Asbabun Nuzul dan tafsir, kita dapat menjawab pertanyaan awal dengan keyakinan penuh. Surah An-Nasr termasuk golongan surah Madaniyah. Kesimpulan ini tidak hanya didasarkan pada satu argumen, tetapi diperkuat oleh berbagai bukti yang saling mendukung: kronologi turunnya yang berada di akhir periode kenabian, tema kontennya yang berbicara tentang kemenangan dan ekspansi Islam, serta fungsinya sebagai penanda paripurnanya risalah Nabi Muhammad SAW.
Lebih dari sekadar label klasifikasi, status Madaniyah dari Surah An-Nasr memberinya makna yang sangat dalam. Ia adalah surah perayaan kemenangan, sekaligus surah refleksi dan persiapan perpisahan. Ia mengajarkan etika kesuksesan yang luhur: kemenangan harus disambut dengan tasbih, tahmid, dan istighfar. Sebuah pesan agung yang relevan sepanjang masa, mengingatkan setiap individu dan komunitas Muslim bahwa puncak dari segala pencapaian duniawi adalah kembali merendahkan diri di hadapan Allah SWT, Sang Pemilik pertolongan dan kemenangan yang hakiki.