Memahami Surah An-Nasr: Pertolongan dan Kemenangan Hakiki
Dalam samudra hikmah Al-Qur'an, setiap surah memiliki peran dan pesannya sendiri. Ada surah-surah panjang yang membentangkan kisah para nabi dan hukum-hukum syariat, dan ada pula surah-surah pendek yang padat makna, laksana permata yang berkilau terang. Salah satu surah pendek yang memiliki kedalaman makna luar biasa adalah Surah An-Nasr. Pertanyaan yang sering muncul di benak kaum muslimin adalah, Surah An-Nasr urutan surah yang ke berapa dalam mushaf Al-Qur'an? Jawabannya adalah, Surah An-Nasr merupakan surah ke-110. Urutan ini menempatkannya di bagian akhir Al-Qur'an, setelah Surah Al-Kafirun dan sebelum Surah Al-Lahab.
Meskipun berada di urutan akhir dan hanya terdiri dari tiga ayat, surah ini menyimpan kabar gembira terbesar bagi umat Islam, sekaligus sebuah isyarat yang sangat mendalam tentang akhir sebuah perjuangan dakwah yang agung. Surah ini bukan sekadar pengumuman kemenangan, tetapi juga panduan etika dan spiritualitas tentang bagaimana seorang hamba harus bersikap ketika pertolongan Allah SWT tiba. Mempelajari surah ini membawa kita pada pemahaman hakiki tentang konsep pertolongan (nasr), kemenangan (fath), dan sikap syukur yang semestinya.
Penamaan, Urutan, dan Klasifikasi Surah
Sebuah surah dalam Al-Qur'an memiliki identitas yang khas, yang tercermin dari namanya, urutannya, dan klasifikasinya. Memahami aspek-aspek ini menjadi pintu gerbang untuk menyelami pesan utamanya.
Urutan ke-110 dalam Mushaf Utsmani
Seperti telah disebutkan, jawaban tegas untuk pertanyaan surah An-Nasr urutan surah yang ke berapa adalah ke-110. Urutan ini merujuk pada susunan surah dalam Mushaf Utsmani, yaitu standar kodifikasi Al-Qur'an yang kita gunakan hingga hari ini. Penting untuk dipahami bahwa urutan dalam mushaf ini bukanlah urutan kronologis pewahyuan. Susunan ini bersifat tauqifi, artinya ditetapkan berdasarkan petunjuk langsung dari Allah SWT melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Ada hikmah mendalam di balik penempatan setiap surah, termasuk penempatan An-Nasr di antara surah-surah pendek lainnya menjelang akhir Al-Qur'an, seakan menjadi penutup gemilang dari sebuah risalah kenabian.
Urutan Pewahyuan: Salah Satu Surah Terakhir
Jika urutan mushafnya adalah ke-110, bagaimana dengan urutan pewahyuannya? Para ulama sepakat bahwa Surah An-Nasr tergolong sebagai surah Madaniyah, yaitu surah yang diturunkan setelah hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Lebih spesifik lagi, mayoritas ulama berpendapat bahwa surah ini adalah surah terakhir yang diturunkan secara lengkap dan utuh. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ayat lain (seperti Surah Al-Maidah ayat 3) adalah yang terakhir turun, namun An-Nasr diyakini sebagai surah pamungkas yang turun dalam bentuk satu kesatuan. Fakta ini memberinya status yang sangat istimewa, seolah-olah ia adalah proklamasi penutup dari misi ilahiah yang telah diemban oleh Rasulullah selama 23 tahun.
Makna Nama "An-Nasr" dan Julukan Lainnya
Nama "An-Nasr" (النصر) secara harfiah berarti "Pertolongan". Nama ini diambil dari kata pertama pada ayat pertama. Pertolongan yang dimaksud di sini bukanlah pertolongan biasa, melainkan pertolongan ilahiah yang menentukan, yang menjadi sebab datangnya kemenangan besar. Selain "An-Nasr", surah ini juga dikenal dengan nama "At-Taudi'" (التوديع), yang berarti "Perpisahan". Julukan ini muncul karena para sahabat yang cerdas, seperti Ibnu Abbas RA, memahami bahwa turunnya surah ini adalah isyarat bahwa tugas Nabi Muhammad SAW di dunia telah paripurna, dan waktu kembalinya beliau kepada Sang Khaliq sudah dekat. Kemenangan total telah diraih, misi telah selesai, maka tibalah saatnya untuk berpisah. Surah ini juga terkadang disebut "Idza Ja'a" (إِذَا جَاءَ), merujuk pada dua kata pembukanya.
Asbabun Nuzul: Latar Belakang Sejarah Turunnya Surah
Untuk memahami kedalaman pesan Surah An-Nasr, kita harus menengok kembali ke panggung sejarah di mana ia diturunkan. Surah ini tidak turun dalam ruang hampa, melainkan sebagai respons dan komentar ilahi atas sebuah peristiwa monumental dalam sejarah Islam: Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah).
Para ahli tafsir meyakini bahwa surah ini turun pada masa Haji Wada' (Haji Perpisahan), tidak lama setelah peristiwa Fathu Makkah. Selama bertahun-tahun, kaum muslimin mengalami berbagai penindasan, pengusiran, dan peperangan. Kota Makkah, tempat kelahiran Nabi dan kiblat umat, masih dikuasai oleh kaum musyrikin Quraisy. Namun, dengan pertolongan Allah, Nabi Muhammad SAW beserta puluhan ribu kaum muslimin berhasil kembali ke Makkah tanpa pertumpahan darah yang berarti.
Peristiwa Fathu Makkah bukanlah sekadar kemenangan militer. Ia adalah kemenangan ideologis dan spiritual. Ka'bah disucikan kembali dari berhala-berhala yang selama ini mengotorinya. Nabi Muhammad SAW menunjukkan akhlak yang mulia dengan memaafkan musuh-musuh yang dulu menyiksanya. Kemenangan ini membuka mata suku-suku Arab di seluruh jazirah. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kekuatan yang menyertai Muhammad bukanlah kekuatan manusia biasa, melainkan kekuatan dari langit. Mereka sadar bahwa agama yang dibawanya adalah kebenaran. Dalam konteks inilah Surah An-Nasr diturunkan, sebagai konfirmasi dari Allah atas kemenangan tersebut dan sebagai arahan untuk langkah selanjutnya.
Tafsir Mendalam Ayat demi Ayat
Meskipun singkat, setiap kata dalam tiga ayat Surah An-Nasr mengandung lautan makna. Mari kita selami bersama tafsirnya.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Ayat Pertama: Janji Kemenangan yang Telah Tiba
إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
إِذَا (Idzaa) - Apabila: Kata "Idzaa" dalam bahasa Arab digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang pasti akan terjadi di masa depan. Berbeda dengan kata "In" yang berarti "jika" dan mengandung unsur kemungkinan. Penggunaan "Idzaa" di sini menegaskan bahwa pertolongan dan kemenangan dari Allah adalah sebuah keniscayaan, sebuah janji yang tidak akan diingkari. Seolah-olah Allah berfirman, "Tunggulah, karena ini pasti akan datang."
جَآءَ (Jaa'a) - Telah Datang: Kata ini bermakna "datang". Dalam konteks saat surah ini diyakini turun, peristiwa Fathu Makkah sudah terjadi. Maka, kata ini menjadi sebuah konfirmasi bahwa janji tersebut telah dipenuhi. Pertolongan yang dinanti-nanti itu kini telah tiba.
نَصْرُ ٱللَّهِ (Nasrullaah) - Pertolongan Allah: Di sini, kata "Nasr" (pertolongan) disandarkan langsung kepada "Allah". Ini adalah penekanan yang sangat kuat bahwa kemenangan yang diraih bukanlah hasil dari kekuatan militer, strategi manusia, atau kehebatan individu semata. Ia murni adalah anugerah, intervensi, dan pertolongan langsung dari Allah SWT. Ini adalah pelajaran fundamental tentang tauhid, bahwa segala daya dan kekuatan pada hakikatnya bersumber dari-Nya. Tanpa "Nasrullah", tidak akan ada kemenangan.
وَٱلْفَتْحُ (Wal-Fath) - Dan Kemenangan: Kata "Al-Fath" berarti "kemenangan" atau "pembukaan". Para ulama tafsir sepakat bahwa "Al-Fath" yang dimaksud secara spesifik di sini adalah Fathu Makkah. Disebut "pembukaan" karena penaklukan Makkah membuka pintu bagi suku-suku Arab lainnya untuk memeluk Islam. Makkah adalah pusat spiritual dan simbol kekuatan di Jazirah Arab. Ketika Makkah takluk, benteng kesombongan kaum musyrikin runtuh, dan jalan dakwah menjadi terbuka lebar tanpa halangan berarti.
Ayat Kedua: Buah dari Kemenangan
وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
وَرَأَيْتَ (Wa ra-aita) - Dan engkau melihat: Kata ganti "engkau" (Ka) di sini ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Ini adalah sebuah pengakuan dan penghargaan dari Allah kepada Rasul-Nya. Setelah melalui perjuangan yang berat, kesedihan, dan pengorbanan, Allah berfirman, "Dan engkau (wahai Muhammad) akan melihat dengan mata kepalamu sendiri buah dari kesabaranmu." Ini adalah pemandangan yang menyejukkan hati, sebuah upah yang disegerakan di dunia.
ٱلنَّاسَ (An-Naas) - Manusia: Penggunaan kata "An-Naas" (manusia) bersifat umum. Ini menunjukkan bahwa yang masuk Islam bukan hanya satu atau dua suku, tetapi berbagai macam manusia dari kabilah-kabilah yang berbeda. Ini adalah realisasi dari universalitas risalah Islam.
يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ (Yadkhuluuna fii diinillaah) - Mereka masuk ke dalam agama Allah: Frasa ini menggambarkan sebuah proses yang aktif dan sukarela. Mereka tidak dipaksa, melainkan "masuk" dengan kesadaran setelah melihat kebenaran Islam dan kemuliaan akhlak yang ditunjukkan pada saat Fathu Makkah. Agama yang mereka masuki pun ditegaskan sebagai "agama Allah", bukan agama Muhammad atau agama bangsa Arab, untuk menekankan kemurniannya.
أَفْوَاجًا (Afwaajaa) - Berbondong-bondong: Ini adalah kata kunci dari ayat ini. "Afwaajaa" berarti dalam kelompok-kelompok besar, rombongan demi rombongan. Ini adalah kontras yang tajam dengan masa-masa awal dakwah di Makkah, di mana orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, satu per satu. Kini, setelah pertolongan Allah datang, satu kabilah utuh bisa datang kepada Nabi dan menyatakan keislaman mereka bersama-sama. Fenomena ini benar-benar terjadi setelah Fathu Makkah, di mana delegasi dari seluruh penjuru Arab datang ke Madinah untuk memeluk Islam.
Ayat Ketiga: Respon yang Tepat Atas Nikmat
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.
Ayat ini adalah puncak dan inti dari pesan Surah An-Nasr. Setelah menggambarkan nikmat pertolongan dan kemenangan yang luar biasa, Allah mengajarkan bagaimana cara meresponsnya. Respon yang diajarkan bukanlah pesta pora, kesombongan, atau balas dendam, melainkan tiga amalan spiritual yang mendalam.
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ (Fasabbih bihamdi Rabbika) - Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu:
- Tasbih (سَبِّحْ): Perintah untuk bertasbih berarti menyucikan Allah dari segala kekurangan. Dalam konteks kemenangan, ini berarti mengakui bahwa kemenangan ini bersih dari campur tangan kekuatan selain Allah. Kemenangan ini bukanlah karena kehebatan kita, tetapi karena kesucian dan kemahakuasaan-Nya.
- Tahmid (بِحَمْدِ): Perintah untuk memuji (hamd) berarti menyanjung Allah atas segala kesempurnaan dan karunia-Nya. Jika tasbih adalah menafikan kekurangan, maka tahmid adalah menetapkan kesempurnaan. Keduanya digabungkan untuk menciptakan sikap syukur yang paripurna: menyucikan Allah dari anggapan bahwa kita punya andil, dan memuji-Nya sebagai satu-satunya sumber nikmat. Ucapan yang sering kita dengar, "Subhanallahi wa bihamdih" (Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya), adalah cerminan dari perintah ini.
وَٱسْتَغْفِرْهُ (Wastaghfirhu) - Dan mohonlah ampun kepada-Nya: Ini adalah perintah yang paling mengejutkan dan sarat makna. Mengapa di puncak kemenangan, Rasulullah yang ma'shum (terjaga dari dosa) justru diperintahkan untuk beristighfar (memohon ampun)? Para ulama memberikan beberapa penjelasan:
- Sebagai Teladan: Perintah ini adalah contoh bagi umatnya. Jika di saat menang saja Nabi diperintahkan memohon ampun, apalagi kita yang penuh dengan dosa dan kekurangan.
- Menutupi Kekurangan: Istighfar dilakukan untuk memohon ampun atas segala kekurangan yang mungkin terjadi dalam menjalankan tugas dan perjuangan. Tidak ada manusia yang bisa menunaikan hak Allah secara sempurna. Istighfar adalah pengakuan atas kelemahan diri di hadapan keagungan-Nya.
- Tanda Kerendahan Hati: Istighfar di puncak kejayaan adalah benteng terkuat melawan kesombongan dan keangkuhan. Ia adalah pengingat bahwa kita hanyalah hamba yang lemah dan senantiasa butuh ampunan-Nya, tidak peduli seberapa besar pencapaian kita.
- Isyarat Akhir Tugas: Seperti yang dipahami oleh Ibnu Abbas RA, perintah istighfar ini adalah isyarat bahwa tugas Nabi telah selesai. Sebagaimana seseorang yang menyelesaikan sebuah pekerjaan besar lalu merapikan dan membersihkan sisa-sisanya, istighfar di sini adalah "pembersihan spiritual" di akhir sebuah misi agung, sebagai persiapan untuk kembali kepada Allah.
إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا (Innahuu kaana Tawwaabaa) - Sungguh, Dia Maha Penerima tobat: Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan hati. Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai "At-Tawwab", sebuah bentuk superlatif yang berarti Dia terus-menerus dan sangat suka menerima tobat hamba-Nya. Ini adalah jaminan bahwa tasbih, tahmid, dan istighfar yang kita panjatkan tidak akan sia-sia. Pintu ampunan-Nya selalu terbuka lebar, terutama bagi hamba yang kembali kepada-Nya dalam keadaan bersyukur dan rendah hati.
Pelajaran dan Hikmah Universal dari Surah An-Nasr
Surah An-Nasr, yang berada pada urutan surah yang ke-110, bukan hanya catatan sejarah kemenangan umat Islam di masa lalu. Ia adalah panduan hidup yang relevan sepanjang masa. Beberapa hikmah agung yang bisa kita petik adalah:
- Hakikat Pertolongan: Setiap keberhasilan, baik dalam skala besar (kemenangan umat) maupun skala kecil (kesuksesan pribadi), pada hakikatnya adalah pertolongan dari Allah. Menyadari ini akan menghindarkan kita dari sifat sombong dan ujub.
- Etika Kemenangan: Islam mengajarkan etika yang luhur dalam merayakan kemenangan. Bukan dengan arogansi, tetapi dengan meningkatkan ibadah, menyucikan nama Allah (tasbih), memuji-Nya (tahmid), dan introspeksi diri (istighfar).
- Setiap Akhir adalah Awal: Selesainya sebuah tugas besar bukanlah akhir dari segalanya. Bagi seorang mukmin, itu adalah penanda untuk bersiap menuju pertemuan dengan Allah. Surah ini mengajarkan kita untuk selalu mengingat akhirat, bahkan di saat-saat paling membahagiakan di dunia.
- Pentingnya Istighfar dalam Setiap Keadaan: Istighfar bukan hanya untuk para pendosa. Ia adalah zikir para nabi dan orang-orang saleh. Ia adalah nutrisi bagi jiwa yang menjaga hati tetap rendah dan terhubung dengan Sang Pencipta.
- Optimisme dan Janji Allah: Surah ini adalah sumber optimisme abadi. Ia mengingatkan bahwa setelah setiap kesulitan dan perjuangan yang tulus di jalan Allah, janji pertolongan dan kemenangan-Nya pasti akan tiba.
Kesimpulan
Surah An-Nasr, surah ke-110 dalam Al-Qur'an, adalah sebuah mahakarya ilahiah yang padat makna. Ia adalah proklamasi kemenangan, panduan etika kesuksesan, dan sebuah isyarat perpisahan yang lembut. Ia mengajarkan kita bahwa puncak dari segala pencapaian duniawi haruslah membawa kita lebih dekat kepada Allah, bukan menjauhkan. Respon kita terhadap nikmat menentukan kualitas keimanan kita. Di saat pertolongan Allah datang dan kemenangan diraih, seorang hamba sejati tidak akan menepuk dada, melainkan akan bersujud seraya berucap: "Subhanallahi wa bihamdih, Astaghfirullah wa atuubu ilaih." Maha Suci Allah dengan segala puji-Nya, aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya. Inilah esensi dari ajaran surah yang agung ini, sebuah pelajaran abadi bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman.