Surat An-Nas, surat ke-114 dan penutup dalam mushaf Al-Qur'an, adalah sebuah permata spiritual yang singkat namun sarat makna. Bersama Surat Al-Falaq, ia membentuk duo yang dikenal sebagai Al-Mu'awwidhatayn, dua surat permohonan perlindungan. Setiap muslim mengenalnya, melafalkannya dalam shalat, menjadikannya zikir pagi dan petang, serta membacanya sebagai benteng sebelum terlelap. Namun, di balik keakrabannya, tersimpan sebuah diskusi ilmiah yang menarik di kalangan para ulama tafsir: kapan dan di mana sebenarnya Surat An-Nas diturunkan? Apakah ia tergolong surat Makkiyah yang turun di Mekkah, atau Madaniyah yang turun di Madinah? Jawaban atas pertanyaan ini bukan sekadar informasi geografis atau historis, melainkan membuka jendela untuk memahami konteks, kedalaman makna, dan urgensi pesan yang dibawanya.
Kaligrafi artistik Surat An-Nas sebagai simbol perlindungan.
Mengkaji klasifikasi Makkiyah dan Madaniyah bukanlah perkara sepele. Klasifikasi ini membantu kita memahami evolusi dakwah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, tantangan yang beliau hadapi pada setiap fase, serta fokus pesan ilahi yang relevan dengan kondisi umat saat itu. Surat-surat Makkiyah, yang turun sebelum hijrah, umumnya berfokus pada pilar-pilar akidah: keesaan Allah (Tauhid), kenabian, hari kebangkitan, dan surga-neraka. Ayat-ayatnya cenderung pendek, puitis, dengan sumpah-sumpah kosmik yang menggugah jiwa. Sementara itu, surat-surat Madaniyah, yang turun setelah hijrah, lebih banyak membahas hukum-hukum syariat (ibadah, muamalah, jihad, waris), tatanan sosial, dan interaksi dengan komunitas lain seperti Ahli Kitab dan kaum munafik. Ayat-ayatnya cenderung lebih panjang dan naratif.
Dua Pandangan Ulama: Mekkah atau Madinah?
Perdebatan mengenai status Surat An-Nas (dan Al-Falaq) berakar pada dua kutub argumentasi yang sama-sama kuat dan didukung oleh para ulama terkemuka. Masing-masing pandangan memiliki dasar dan dalil yang patut untuk dikaji secara mendalam.
Argumentasi Pendapat Makkiyah
Sebagian besar ulama, termasuk figur-figur seperti Al-Hasan Al-Bashri, 'Atha, 'Ikrimah, dan Jabir, berpendapat bahwa Surat An-Nas adalah surat Makkiyah. Pandangan ini didasarkan pada beberapa analisis utama:
- Gaya Bahasa dan Tema: Dilihat dari struktur dan kontennya, Surat An-Nas memiliki karakteristik yang sangat kental dengan surat-surat Makkiyah. Ayat-ayatnya sangat singkat, ritmis, dan mudah dihafal. Tema utamanya adalah penegasan Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Mulkiyah (Tuhan sebagai Pemelihara, Sesembahan, dan Raja) sebagai satu-satunya sumber perlindungan. Fokus pada pemurnian akidah dan perlindungan dari kejahatan gaib (setan) adalah ciri khas dakwah di Mekkah, di mana umat Islam masih minoritas dan rentan terhadap gangguan spiritual serta tekanan politeisme.
- Hadis 'Uqbah bin 'Amir: Terdapat sebuah riwayat yang sering dijadikan rujukan, di mana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada 'Uqbah bin 'Amir, "Tidakkah engkau melihat ayat-ayat yang diturunkan malam ini? Belum pernah ada yang semisal dengannya, yaitu Qul A'udzu birabbil Falaq dan Qul A'udzu birabbin Nas." (HR. Muslim). Frasa "diturunkan malam ini" oleh sebagian ulama tidak diartikan secara harfiah sebagai malam saat itu di Madinah, tetapi sebagai penegasan kembali atau pemberitahuan tentang keutamaan surat-surat tersebut. Mereka berpendapat bahwa wahyu bisa "diturunkan" dalam dua makna: diturunkan dari Lauhul Mahfuz ke langit dunia, atau diturunkan kepada Nabi untuk diajarkan kepada umat. Dalam konteks ini, bisa jadi surat ini sudah turun di Mekkah, lalu keutamaannya ditegaskan kembali di Madinah.
- Logika Perlindungan Dini: Argumen lain bersifat logis. Perlindungan dari kejahatan, terutama bisikan setan yang merusak iman, adalah kebutuhan fundamental bagi seorang mukmin sejak awal keislamannya. Akan terasa aneh jika surat sepenting ini, yang merupakan benteng dasar dari godaan setan, baru diturunkan di fase akhir kenabian. Logikanya, perlindungan mendasar seperti ini seharusnya telah diajarkan sejak fase Mekkah untuk mengokohkan akidah para sahabat di tengah gempuran ideologi jahiliyah.
Argumentasi Pendapat Madaniyah
Di sisi lain, terdapat pandangan kuat yang menyatakan bahwa Surat An-Nas adalah surat Madaniyah. Pendapat ini dipegang oleh ulama lain dan didasarkan pada dalil yang sangat spesifik dan kontekstual, yaitu Sababun Nuzul (sebab turunnya ayat).
Dasar utama dari pandangan ini adalah sebuah peristiwa terkenal yang menimpa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah. Diriwayatkan dalam berbagai sumber hadis yang shahih, termasuk dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa seorang Yahudi bernama Labid bin al-A'sam dari kabilah Bani Zuraiq melakukan sihir terhadap Nabi. Ia adalah seorang munafik yang berpura-pura Islam. Dengan bantuan seorang budak, ia berhasil mendapatkan beberapa helai rambut Nabi yang rontok saat bersisir beserta beberapa gigi sisirnya.
Bahan-bahan tersebut kemudian ia gunakan sebagai media sihir. Ia membuat sebelas ikatan atau buhul pada seutas tali, meniupkannya dengan mantra-mantra sihir, lalu menyembunyikannya di dalam sumur tua bernama Dzarwan. Akibat sihir ini, Rasulullah mengalami kondisi yang tidak biasa. Beliau merasa seolah-olah telah melakukan sesuatu padahal tidak, misalnya merasa telah mendatangi istri-istrinya padahal belum. Namun, penting untuk dicatat, sihir ini hanya berpengaruh pada aspek fisik dan duniawi beliau, tidak pernah sedikit pun memengaruhi wahyu, ingatan terhadap Al-Qur'an, atau tugas kenabiannya. Akal dan hati beliau tetap terjaga.
Kondisi ini berlangsung selama beberapa waktu hingga suatu malam, beliau berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah. Allah pun mengabulkan doanya. Dalam tidurnya, beliau didatangi dua malaikat. Satu duduk di dekat kepala beliau, dan yang satu lagi di dekat kaki. Mereka bercakap-cakap, memberitahukan bahwa beliau sedang terkena sihir, siapa yang melakukannya (Labid bin al-A'sam), media apa yang digunakan (rambut dan sisir), dan di mana benda itu disembunyikan (di sumur Dzarwan, di bawah sebuah batu, terbungkus mayang kurma jantan).
Setelah terbangun, Rasulullah mengutus beberapa sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, dan Ammar bin Yasir, untuk pergi ke sumur tersebut. Mereka menemukan benda sihir itu persis seperti yang digambarkan dalam mimpi. Benda itu kemudian dibawa ke hadapan Nabi. Saat itulah, menurut riwayat ini, Allah menurunkan dua surat sekaligus: Al-Falaq dan An-Nas. Jumlah ayat dari kedua surat ini jika digabungkan (5 ayat Al-Falaq + 6 ayat An-Nas) adalah sebelas, persis sama dengan jumlah buhul pada tali sihir itu. Setiap kali satu ayat dibacakan, satu buhul terlepas, hingga pada ayat terakhir, semua buhul terlepas dan Rasulullah pun merasa sehat dan segar seolah baru terbebas dari ikatan.
"Katakanlah (Muhammad), 'Aku berlindung kepada Tuhan manusia, Raja manusia, Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi.'"
Kisah ini menjadi argumen terkuat bagi mereka yang berpendapat bahwa Surat An-Nas adalah Madaniyah, karena peristiwa sihir tersebut secara pasti terjadi di Madinah. Konteksnya sangat jelas: sebagai jawaban dan obat langsung dari Allah atas musibah yang menimpa Rasul-Nya.
Menuju Titik Temu: Kemungkinan Wahyu Berulang
Menghadapi dua pendapat yang sama-sama memiliki dasar yang kuat, sebagian ulama mencoba mengambil jalan tengah atau melakukan al-jam'u wat-taufiq (menggabungkan dan mendamaikan dalil-dalil). Salah satu penjelasan yang paling populer adalah bahwa Surat An-Nas (dan Al-Falaq) diturunkan dua kali.
Konsep wahyu yang turun lebih dari sekali bukanlah hal yang aneh dalam studi Ulumul Qur'an. Terkadang, sebuah ayat atau surat diturunkan pertama kali untuk sebuah tujuan umum, lalu diturunkan kembali untuk menekankan relevansinya pada sebuah peristiwa spesifik. Dalam kasus Surat An-Nas, bisa jadi ia pertama kali diturunkan di Mekkah sebagai panduan umum bagi umat Islam untuk berlindung dari segala keburukan, terutama bisikan setan. Ini sejalan dengan fokus dakwah Makkiyah pada akidah.
Kemudian, ketika peristiwa sihir menimpa Nabi di Madinah, Allah menurunkan kembali surat ini (bersama Al-Falaq) sebagai penawar yang spesifik dan langsung untuk kejadian tersebut. Penurunan kedua ini berfungsi sebagai penegasan (ta'kid), pengingat akan kekuatan surat tersebut, dan sebagai pelajaran praktis (tathbiq) tentang bagaimana menggunakannya dalam situasi nyata. Dengan demikian, kedua riwayat bisa diterima tanpa harus menafikan salah satunya. Pandangan ini menghargai kekuatan argumentasi dari kedua belah pihak dan menyajikannya dalam sebuah kerangka yang harmonis.
Tafsir Mendalam Surat An-Nas: Tiga Sifat Allah sebagai Benteng Utama
Terlepas dari perdebatan waktu turunnya, pesan yang terkandung dalam Surat An-Nas bersifat universal dan abadi. Surat ini mengajarkan kita untuk mencari perlindungan kepada Allah dengan menyebut tiga sifat-Nya yang agung secara berurutan: Rabb, Malik, dan Ilah. Urutan ini memiliki makna yang sangat mendalam.
1. Qul a'uudzu bi Rabbin-naas (Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhannya manusia")
Permohonan perlindungan dimulai dengan menyebut Allah sebagai Rabb (Tuhan yang memelihara, menciptakan, mengatur, dan mendidik). Sifat Rububiyah ini adalah pengakuan pertama dan paling mendasar. Kita mengakui bahwa hanya Allah yang menciptakan kita, memberi kita rezeki, menjaga kita dari buaian hingga liang lahat. Dengan berlindung kepada Sang Pencipta dan Pemelihara, kita seolah-olah berkata, "Ya Allah, Engkau yang telah menciptakanku dan memeliharaku selama ini, maka lindungilah aku dari kejahatan yang mengancam ciptaan-Mu ini." Ini adalah permohonan perlindungan yang didasarkan pada hubungan antara Pencipta dan makhluk, antara Pemelihara dan yang dipelihara.
2. Malikin-naas ("Rajanya manusia")
Setelah mengakui Allah sebagai Pemelihara, kita mengangkat pengakuan itu ke tingkat yang lebih tinggi: sebagai Malik (Raja). Seorang raja memiliki kekuasaan mutlak, kedaulatan penuh, dan wewenang untuk memerintah serta melindungi rakyatnya. Jika Rabb bersifat lebih personal dan penuh kasih sayang, Malik bersifat agung dan berkuasa. Dengan berlindung kepada Raja manusia, kita menyatakan bahwa tidak ada kekuasaan lain yang dapat menandingi kekuasaan-Nya. Kejahatan apa pun, baik dari jin maupun manusia, berada di bawah kendali dan kekuasaan-Nya. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa tanpa izin-Nya. Ini memberikan ketenangan luar biasa, karena kita berlindung kepada penguasa absolut yang kerajaannya mencakup segala sesuatu.
3. Ilaahin-naas ("Sembahan manusia")
Ini adalah puncak pengakuan dan permohonan. Setelah mengakui-Nya sebagai Pemelihara dan Raja, kita menegaskan-Nya sebagai satu-satunya Ilah (Sembahan). Sifat Uluhiyah adalah hak eksklusif Allah untuk diibadahi. Ini adalah inti dari tauhid. Dengan berlindung kepada Sembahan manusia, kita memurnikan niat kita. Kita tidak hanya meminta perlindungan fisik atau duniawi, tetapi perlindungan untuk hal yang paling berharga: iman dan ibadah kita. Kita memohon agar hati kita tidak dipalingkan untuk menyembah selain-Nya, agar ibadah kita tidak dirusak oleh bisikan setan. Ini adalah permohonan perlindungan yang paling spiritual, menjaga esensi hubungan kita dengan Allah sebagai hamba dengan Sembahannya.
Urutan dari Rabb, ke Malik, lalu ke Ilah menunjukkan sebuah progresi dalam mengenal Allah, dari yang umum ke yang khusus, dari pengakuan eksistensial menjadi pengakuan kedaulatan, dan puncaknya adalah pengakuan sebagai satu-satunya tujuan peribadatan. Ketiga sifat ini secara bersama-sama membentuk benteng perlindungan yang tidak tertembus.
Ancaman Tersembunyi: Memahami Al-Waswaasil-Khannaas
Surat ini kemudian menjelaskan dari kejahatan apa kita harus berlindung. Uniknya, ia tidak menyebut kejahatan fisik yang terlihat, seperti perampok atau musuh yang nyata. Surat Al-Falaq telah mencakup kejahatan-kejahatan eksternal. Surat An-Nas secara spesifik berfokus pada musuh yang paling halus, paling dekat, dan paling berbahaya: bisikan jahat yang tersembunyi.
Min syarril-waswaasil-khannaas ("Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi")
Al-Waswas adalah bisikan yang sangat halus, berulang-ulang, yang disusupkan ke dalam hati. Ia bisa berupa keraguan terhadap akidah, was-was dalam ibadah (misalnya saat wudhu atau shalat), pikiran-pikiran kotor, dorongan untuk berbuat maksiat, atau membisikkan rasa permusuhan antar sesama manusia. Ini adalah senjata utama Iblis dan bala tentaranya.
Al-Khannas berasal dari kata khanasa, yang berarti mundur, surut, atau bersembunyi. Ini adalah sifat yang sangat licik dari setan. Ketika seorang hamba mengingat Allah (berzikir), setan akan mundur dan bersembunyi. Ia menjadi kecil dan lemah. Namun, begitu hamba itu lalai dan lupa dari mengingat Allah, setan akan kembali maju dan melancarkan bisikannya. Ia seperti seorang penembak jitu yang mengintai dari kejauhan, menunggu saat yang tepat untuk menyerang ketika pertahanan kita lengah. Sifat khannas ini mengajarkan kita bahwa senjata utama melawannya adalah zikrullah (mengingat Allah). Semakin basah lisan dan hati kita dengan zikir, semakin jauh setan dari kita.
Alladzii yuwaswisu fii shuduurin-naas ("Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia")
Ayat ini menjelaskan "lokasi operasi" dari bisikan tersebut: fii shuduurin-naas (di dalam dada manusia). Dada adalah tempat bersemayamnya hati (qalb), yang merupakan pusat kendali spiritual dan emosional manusia. Serangan setan tidak ditujukan ke akal (logika) semata, karena akal bisa dilawan dengan argumen. Serangan ini langsung menuju ke pusat perasaan, niat, dan keyakinan. Dengan meracuni hati, setan dapat merusak seluruh amal perbuatan seseorang. Inilah mengapa menjaga kebersihan hati menjadi prioritas utama dalam Islam.
Minal jinnati wan-naas ("Dari (golongan) jin dan manusia")
Ayat penutup ini memberikan sebuah pencerahan penting. Ternyata, sumber bisikan jahat (waswas) tidak hanya datang dari setan golongan jin yang tidak terlihat. Ia juga bisa datang dari manusia. Ada manusia-manusia yang perannya seperti setan: mereka membisikkan keraguan, mengajak kepada kemungkaran, menyebarkan fitnah, dan menjauhkan orang dari jalan Allah. Mereka bisa jadi teman yang buruk, tokoh yang menyesatkan, atau bahkan konten media yang merusak. Ayat ini memperluas cakupan kewaspadaan kita. Kita tidak hanya harus berlindung dari musuh gaib, tetapi juga dari "setan-setan" berwujud manusia yang ada di sekitar kita.
Kesimpulan: Relevansi Universal Surat An-Nas
Pada akhirnya, perdebatan apakah Surat An-Nas diturunkan di Mekkah atau Madinah tidak mengurangi sedikit pun keagungan dan urgensi pesannya. Justru, kedua kemungkinan tersebut saling melengkapi. Jika ia Makkiyah, ia adalah fondasi perlindungan akidah sejak dini. Jika ia Madaniyah, ia adalah obat dan pelajaran praktis dalam menghadapi ujian nyata. Jika ia turun dua kali, maka itu adalah penegasan betapa pentingnya surat ini dalam setiap fase kehidupan seorang mukmin.
Surat An-Nas adalah penutup Al-Qur'an yang sempurna. Setelah menempuh perjalanan panjang melalui 113 surat sebelumnya—mempelajari tentang tauhid, hukum, kisah, dan janji—Al-Qur'an ditutup dengan sebuah pengingat fundamental: bahwa setelah semua ilmu dan petunjuk diterima, perjuangan terbesar adalah menjaga hati dari bisikan jahat yang bisa merusak segalanya. Ia mengajarkan kita bahwa benteng terkuat bukanlah kekuatan fisik atau kekayaan, melainkan dengan merendahkan diri sepenuhnya, mengakui Allah sebagai satu-satunya Pemelihara (Rabb), Raja (Malik), dan Sembahan (Ilah), untuk memohon perlindungan dari musuh yang paling tersembunyi namun paling merusak.
Di dunia yang penuh dengan "bisikan"—baik dari media, lingkungan, maupun dari dalam diri sendiri—Surat An-Nas tetap menjadi doa yang paling relevan. Ia adalah kompas yang mengarahkan kita kembali ke sumber segala kekuatan, pengingat bahwa dalam perlindungan-Nya, kita akan selalu menemukan kedamaian dan keamanan sejati.