Mengenal Surah Sesudah An Nasr

Tafsir Mendalam Surah Al-Lahab dan Pelajaran Abadi di Dalamnya

Di dalam Al-Qur'an, urutan surah memiliki hikmah dan keterkaitan yang sangat mendalam. Setiap surah seakan menjadi jembatan pemahaman bagi surah berikutnya. Ketika kita selesai membaca Surah An-Nasr yang agung, yang membawa kabar gembira tentang kemenangan dan berbondong-bondongnya manusia memeluk Islam, kita akan langsung disambut oleh sebuah surah yang membawa pesan yang sangat kontras. Surat sesudah An Nasr adalah Surah Al-Lahab. Surah ini merupakan surah ke-111 dalam mushaf Al-Qur'an, terdiri dari lima ayat, dan termasuk dalam golongan surah Makkiyah, yaitu surah yang diturunkan di Mekkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ.

Jika An-Nasr adalah proklamasi kemenangan dakwah tauhid, maka Al-Lahab adalah proklamasi kebinasaan bagi simbol penentangan dakwah di masa awal. Surah ini secara spesifik menyebutkan nama musuh Allah dan Rasul-Nya, sebuah kejadian yang sangat langka dalam Al-Qur'an. Ini menunjukkan betapa besar permusuhan dan kejahatan yang dilakukan oleh individu yang disebutkan di dalamnya. Surah ini bukan sekadar cerita sejarah, melainkan sebuah pelajaran abadi tentang konsekuensi dari kesombongan, penolakan terhadap kebenaran, dan permusuhan terhadap para pembawa risalah.

Api yang Bergejolak

Ilustrasi api menyala sebagai simbol Surah Al-Lahab.

Asbabun Nuzul: Kisah di Balik Turunnya Surah Al-Lahab

Untuk memahami kedalaman makna Surah Al-Lahab, kita harus menyelami konteks historis atau sebab-sebab turunnya (Asbabun Nuzul). Peristiwa ini terjadi pada fase awal dakwah di Mekkah, ketika Rasulullah ﷺ diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan dakwah secara terang-terangan setelah sebelumnya melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Perintah tersebut tertuang dalam Surah Asy-Syu'ara ayat 214: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat."

Menindaklanjuti perintah ini, Rasulullah ﷺ naik ke atas Bukit Shafa dan menyeru kaum Quraisy untuk berkumpul. Beliau memanggil kabilah-kabilah satu per satu, "Wahai Bani Fihr! Wahai Bani 'Adi!" hingga semua suku Quraisy yang penting berkumpul atau mengutus perwakilannya. Ketika semua telah hadir, termasuk paman beliau sendiri, Abu Lahab, Rasulullah ﷺ memulai dialognya dengan sebuah pertanyaan yang menguji kepercayaan mereka.

"Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku memberitahukan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda di lembah (di balik bukit) ini yang hendak menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?"

Mereka serentak menjawab, "Tentu kami percaya. Kami tidak pernah sekalipun mendapati engkau berdusta." Jawaban ini adalah pengakuan kolektif atas gelar yang telah mereka sematkan kepada beliau jauh sebelum kenabian, yaitu "Al-Amin" (Yang Terpercaya). Setelah mendapatkan konfirmasi kepercayaan ini, Rasulullah ﷺ melanjutkan dengan inti pesannya:

"Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya azab yang sangat pedih."

Beliau mengajak mereka untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan berhala-berhala. Namun, seruan yang mulia ini mendapatkan respons yang sangat kasar dan menghina dari orang yang seharusnya menjadi pelindung terdekatnya. Abu Lahab, pamannya, bangkit dengan wajah memerah karena marah dan berkata dengan lantang, "Tabban laka sa'iral yaum! A li hadza jama'tana?" yang artinya, "Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?"

Sikap Abu Lahab bukan hanya penolakan, tetapi juga penghinaan di depan umum yang dirancang untuk merendahkan martabat Rasulullah ﷺ dan menggagalkan dakwahnya sejak awal. Dia menggunakan posisinya sebagai paman dan tokoh terpandang Quraisy untuk mendelegitimasi kenabian keponakannya. Sebagai respons langsung atas tindakan dan ucapan Abu Lahab yang melampaui batas inilah, Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan Surah Al-Lahab.

Surah ini turun bukan hanya sebagai kutukan, tetapi sebagai pembelaan ilahi bagi Nabi-Nya. Jika Abu Lahab berkata, "Celakalah engkau," maka Allah membalikkan ucapan itu dan menetapkan kecelakaan abadi bagi Abu Lahab sendiri. Ini adalah penegasan bahwa siapa pun yang memusuhi utusan Allah, maka ia sedang berhadapan langsung dengan Allah, Sang Penguasa alam semesta.

Teks Surah Al-Lahab, Latin, dan Terjemahannya

Berikut adalah bacaan lengkap Surah Al-Lahab beserta tulisan latin dan artinya untuk mempermudah pemahaman makna setiap ayatnya.

تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ

Tabbat yadā abī lahabiw wa tabb.

1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!

مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ

Mā agnā 'an-hu māluhụ wa mā kasab.

2. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan.

سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ

Sayaṣlā nāran żāta lahab.

3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka).

وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ

Wamra`atuhụ, ḥammālatal-ḥaṭab.

4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).

فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ ࣖ

Fī jīdihā ḥablum mim masad.

5. Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.

Tafsir Mendalam Ayat per Ayat

Setiap ayat dalam Surah Al-Lahab mengandung makna yang padat dan pelajaran yang berharga. Mari kita bedah satu per satu untuk memahami pesan ilahi di dalamnya.

Ayat 1: Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!

Ayat pertama ini adalah jawaban langsung terhadap ucapan Abu Lahab. Kata `Tabbat` (تَبَّتْ) berasal dari kata tabāb, yang berarti kerugian, kebinasaan, dan kehancuran total. Ini bukan sekadar doa keburukan, melainkan sebuah proklamasi ilahi tentang takdirnya yang sudah ditetapkan. Kalimat ini menegaskan bahwa usahanya untuk memadamkan cahaya Islam akan gagal total dan justru membawanya pada kebinasaan.

Penyebutan `yadā` (يَدَا) yang berarti "kedua tangan" memiliki makna simbolis yang kuat. Tangan adalah organ yang digunakan untuk bekerja, berusaha, meraih kekuasaan, dan melakukan tindakan. Dengan mengatakan "binasalah kedua tangannya," Allah menegaskan bahwa segala usaha, kekuatan, rencana, dan pengaruh yang Abu Lahab kerahkan untuk melawan Islam akan hancur lebur dan tidak membuahkan hasil sama sekali. Ini adalah kutukan atas seluruh perbuatannya.

Nama yang digunakan, Abu Lahab, juga sangat signifikan. Nama aslinya adalah Abdul Uzza, yang berarti "hamba Al-Uzza" (salah satu berhala utama kaum Quraisy). Al-Qur'an tidak menggunakan nama syirik tersebut, melainkan julukannya, Abu Lahab, yang berarti "Bapak Api yang Bergejolak". Julukan ini diberikan karena wajahnya yang kemerahan dan cerah. Ironisnya, julukan duniawinya ini selaras dengan takdirnya di akhirat, sebagaimana dijelaskan di ayat ketiga. Ini adalah salah satu keajaiban sastra Al-Qur'an, di mana nama dan nasibnya saling berkaitan.

Frasa `wa tabb` (وَتَبَّ) di akhir ayat adalah penegasan. Jika bagian pertama adalah pernyataan tentang kebinasaan usahanya, bagian kedua ini adalah pernyataan tentang kebinasaan dirinya secara personal. Artinya, bukan hanya perbuatannya yang gagal, tetapi seluruh eksistensinya divonis untuk hancur dan merugi di dunia dan akhirat.

Ayat 2: Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan.

Ayat ini menelanjangi sumber kesombongan Abu Lahab. Sebagai seorang pembesar Quraisy, dua hal yang menjadi andalannya adalah harta kekayaan (`māluhụ`) dan status sosial atau apa yang ia usahakan (`mā kasab`). Ia mungkin berpikir bahwa dengan kekayaan dan pengaruhnya, ia bisa menghentikan dakwah Rasulullah ﷺ. Namun, Allah menegaskan bahwa semua itu tidak akan berguna sedikit pun untuk menolongnya dari azab yang telah ditetapkan.

`Mā agnā 'an-hu` (مَآ اَغْنٰى عَنْهُ) berarti "tidak memberi manfaat sedikit pun" atau "tidak bisa melindunginya". Ini adalah penolakan total terhadap nilai-nilai materialistis yang diagungkan oleh kaum musyrikin. Harta yang ia kumpulkan, yang ia banggakan, tidak akan mampu membeli keselamatan atau menunda hukuman Allah.

Adapun frasa `wa mā kasab` (وَمَا كَسَبَ) memiliki beberapa penafsiran di kalangan para ulama tafsir. Makna pertama adalah segala sesuatu yang ia "usahakan", mencakup kedudukannya, kekuasaannya, pengaruhnya, dan semua bisnisnya. Makna kedua, yang juga sangat kuat, merujuk pada "anak-anaknya". Dalam budaya Arab saat itu, anak laki-laki dianggap sebagai aset, kebanggaan, dan perpanjangan kekuatan ayahnya. Abu Lahab sangat membanggakan anak-anaknya. Ayat ini menegaskan bahwa baik hartanya maupun anak-anaknya tidak akan bisa menjadi penolong atau penebus baginya di hadapan Allah.

Ayat 3: Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka).

Inilah puncak dari ketetapan nasib Abu Lahab. Ayat ini secara eksplisit menjelaskan bentuk kebinasaan yang menantinya di akhirat. Kata `Sayaṣlā` (سَيَصْلٰى) menggunakan huruf 'sin' di depannya, yang dalam bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang pasti akan terjadi di masa depan. Ini adalah kepastian yang tidak dapat diubah.

Deskripsi neraka sebagai `nāran żāta lahab` (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ) yang berarti "api yang memiliki gejolak" adalah puncak ironi ilahi. Abu Lahab ("Bapak Gejolak Api") akan dimasukkan ke dalam api yang memang sifatnya bergejolak. Namanya di dunia menjadi deskripsi tempatnya di akhirat. Ini adalah balasan yang setimpal, di mana julukan yang mungkin pernah menjadi kebanggaannya kini menjadi simbol penderitaan abadinya.

Ayat 4: Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).

Surah ini tidak hanya mengutuk Abu Lahab, tetapi juga istrinya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kejahatan, dosa tidak hanya ditanggung oleh pelaku utama, tetapi juga oleh para pendukung dan kaki tangannya. Istri Abu Lahab, yang bernama Arwa binti Harb dan berjuluk Ummu Jamil, adalah saudara perempuan dari Abu Sufyan. Ia adalah seorang wanita bangsawan, namun statusnya tidak menghalanginya untuk ikut serta dalam memusuhi Rasulullah ﷺ.

Julukan yang Allah berikan kepadanya, `ḥammālatal-ḥaṭab` (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ), yang berarti "pembawa kayu bakar", memiliki dua makna yang saling melengkapi:

  1. Makna Literal: Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia benar-benar membawa duri dan kayu-kayu kotor lalu menyebarkannya di jalan yang biasa dilalui oleh Nabi Muhammad ﷺ pada malam hari, dengan tujuan untuk mencelakai beliau. Perilakunya ini menunjukkan kebencian yang sangat mendalam dan aktif.
  2. Makna Kiasan: Makna ini lebih dalam dan lebih sering ditekankan oleh para mufasir. "Membawa kayu bakar" adalah sebuah idiom dalam bahasa Arab untuk seseorang yang suka menyebar fitnah, mengadu domba, dan menyulut permusuhan di antara manusia. Ia aktif berkeliling menyebarkan desas-desus dan kebohongan tentang Rasulullah ﷺ untuk membangkitkan kebencian orang-orang terhadap beliau. Ia "menambahkan kayu bakar" ke dalam api permusuhan yang sudah dinyalakan oleh suaminya.

Dengan menyebut istrinya, Al-Qur'an memberikan pelajaran penting bahwa dukungan terhadap kezaliman, baik dalam bentuk tindakan fisik maupun lisan, akan mendapatkan balasan yang setimpal.

Ayat 5: Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.

Ayat terakhir ini memberikan gambaran visual yang sangat kuat dan menghinakan tentang hukuman bagi Ummu Jamil. `Fī jīdihā` (فِيْ جِيْدِهَا) berarti "di lehernya". Kata 'jīd' biasanya digunakan untuk leher yang indah, seringkali dihiasi dengan kalung. Ini adalah sindiran tajam, karena Ummu Jamil diriwayatkan memiliki sebuah kalung yang sangat mewah dan mahal, yang ia sumpahkan akan dijualnya untuk membiayai permusuhan terhadap Nabi Muhammad ﷺ.

Sebagai gantinya, di akhirat nanti, leher yang dulu ia banggakan dan hiasi dengan perhiasan dunia akan diikat dengan `ḥablum mim masad` (حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ), yaitu tali kasar yang terbuat dari sabut atau serat pohon kurma yang dipintal dengan kuat. Tali semacam ini biasanya digunakan untuk pekerjaan kasar, seperti mengikat kayu bakar. Gambaran ini sangat menghinakan bagi seorang wanita bangsawan. Ia akan disiksa dengan cara yang mengingatkannya pada perbuatannya di dunia: lehernya yang dulu menyebarkan fitnah akan dijerat, dan ia akan diseret seperti seorang budak rendahan yang membawa kayu bakar di neraka, bersama suaminya.

Pelajaran dan Ibrah dari Surat Sesudah An Nasr

Surah Al-Lahab, yang datang tepat sebagai surat sesudah An Nasr, memberikan kontras yang tajam dan pelajaran yang abadi. Jika An-Nasr adalah tentang kemenangan para penolong agama Allah, Al-Lahab adalah tentang kebinasaan para penentang agama Allah. Berikut adalah beberapa hikmah dan pelajaran penting yang dapat kita petik:

Penutup

Surah Al-Lahab, sebagai surat sesudah An Nasr, menyajikan sebuah diptik yang kuat dalam Al-Qur'an: gambaran kemenangan iman dan kehancuran kekufuran. Surah ini bukan hanya kisah tentang seorang individu bernama Abu Lahab, tetapi sebuah arketipe bagi setiap penentang kebenaran di setiap zaman dan tempat. Pesannya bersifat universal dan abadi: bahwa segala bentuk kekuatan, kekayaan, status sosial, dan persekongkolan jahat akan lenyap tak berbekas ketika berhadapan dengan ketetapan Allah. Sebaliknya, kebenaran yang dibawa oleh para utusan-Nya, meskipun pada awalnya tampak lemah dan ditentang, pada akhirnya akan menang dan berjaya. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah kebinasaan Abu Lahab dan istrinya, serta senantiasa berada di barisan para pembela kebenaran.

🏠 Homepage