Ilustrasi Kesepakatan Hibah Non-Formal
Dalam dunia hukum pertanahan di Indonesia, kepemilikan properti idealnya harus didukung oleh dokumen formal yang sah, seperti Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Namun, dalam praktiknya, masyarakat kerap melakukan transaksi atau peralihan hak properti secara informal. Salah satu yang sering menjadi isu adalah mengenai tanah hibah tanpa akta artinya.
Secara sederhana, tanah hibah tanpa akta merujuk pada proses pengalihan kepemilikan tanah dari satu pihak (pewaris/penghibah) kepada pihak lain (penerima hibah) yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan lisan atau dibuat di bawah tangan (surat pernyataan yang dibuat tanpa notaris atau PPAT).
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), hibah adalah persetujuan menghibahkan barang yang diserahkan oleh penghibah, selama penghibah masih hidup, kepada penerima hibah yang menerimanya. Untuk sahnya hibah atas benda tidak bergerak (tanah), KUHPerdata mensyaratkan bentuk formalitas tertentu. Meskipun beberapa literatur hukum membedakan antara hibah 'biasa' dan hibah yang harus dicatatkan, dalam konteks pertanahan modern, pengalihan hak atas tanah wajib dicatatkan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar sah secara hukum keperdataan dan hukum administrasi negara.
Tanah hibah tanpa akta artinya adalah pemberian cuma-cuma atas properti tanah yang belum atau tidak didaftarkan secara resmi di kantor pertanahan dan tidak dituangkan dalam Akta Hibah yang dibuat oleh PPAT. Peralihan ini hanya didasarkan pada kesepakatan di antara para pihak, seringkali hanya berupa surat pernyataan yang diketahui oleh kepala desa/lurah, atau bahkan hanya dilakukan secara lisan.
Mengapa praktik ini masih terjadi? Biasanya, hibah tanpa akta dilakukan karena:
Meskipun terasa mudah, mengandalkan hibah tanpa akta membawa risiko hukum yang sangat signifikan, terutama dalam jangka panjang. Risiko utama terletak pada legalitas kepemilikan:
Tanah yang telah dialihkan tanpa akta resmi BPN masih terdaftar atas nama pemilik lama (peghibah atau pemilik sebelumnya). Hal ini berarti, secara hukum administrasi, tanah tersebut secara yuridis masih milik orang lain.
Karena tidak adanya pencatatan peralihan hak, tanah tersebut rentan digugat oleh ahli waris lain dari penghibah, atau bahkan oleh kreditur dari penghibah jika ternyata tanah tersebut digunakan sebagai jaminan hutang yang belum terselesaikan. Jika penghibah meninggal dunia, ahli waris sah memiliki hak untuk mengklaim kembali aset tersebut, mengesampingkan perjanjian hibah lisan.
Penerima hibah akan menghadapi kesulitan besar jika ingin menjual, memecah sertifikat (pemecahan SHM), atau mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Semua proses administrasi di instansi pemerintahan memerlukan bukti kepemilikan yang sah dan tercatat di BPN.
Ini adalah titik paling krusial. Jika penghibah meninggal, proses pengalihan hak harus melalui prosedur waris. Kesepakatan hibah tanpa akta seringkali sulit dibuktikan di hadapan notaris atau pengadilan bahwa itu memang merupakan hibah yang mengikat, bukan hanya pinjaman atau wasiat lisan yang belum selesai.
Jika Anda menerima tanah hibah tanpa akta, langkah terbaik untuk mengamankan hak Anda adalah segera melakukan legalisasi. Proses ini biasanya melibatkan langkah-langkah berikut:
Kesimpulannya, meskipun tanah hibah tanpa akta artinya adalah proses yang akrab dalam budaya tertentu, dari perspektif hukum pertanahan modern, hal ini sangat tidak disarankan karena menempatkan penerima hibah dalam posisi tawar yang lemah secara yuridis dan rentan terhadap sengketa di masa mendatang.