Membedah Jejak Tulisan Nabi Muhammad SAW
Di tengah gurun pasir Jazirah Arab yang didominasi oleh tradisi lisan, sebuah revolusi pengetahuan dimulai. Revolusi ini tidak dibawa oleh dentuman senjata, melainkan oleh kekuatan kata-kata yang tergores, yang diucapkan, dan yang diabadikan. Inilah kisah tentang "tulisan" Nabi Muhammad SAW, sebuah konsep yang melampaui sekadar goresan tinta di atas perkamen.
Konteks Literasi di Jazirah Arab
Sebelum menyelami lebih dalam, penting untuk memahami lanskap budaya tempat Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Masyarakat Arab pada masa itu adalah masyarakat yang sangat mengagungkan tradisi lisan. Kekuatan ingatan mereka luar biasa. Mereka mampu menghafal silsilah keluarga yang panjangnya puluhan generasi, serta ribuan bait syair yang rumit dan indah. Syair bukan sekadar hiburan; ia adalah arsip sejarah, media propaganda, catatan hukum adat, dan barometer kehormatan sebuah kabilah. Penyair memiliki kedudukan yang sangat terhormat, setara dengan pahlawan perang atau pemimpin suku.
Dalam konteks ini, tulisan bukanlah medium utama untuk pengetahuan atau sastra. Kemampuan baca tulis adalah keahlian langka yang dimiliki oleh segelintir orang, biasanya para pedagang yang perlu mencatat transaksi, pemimpin yang perlu menyusun perjanjian, atau individu yang berinteraksi dengan peradaban lain seperti Persia dan Romawi. Aksara yang digunakan pun masih dalam tahap awal perkembangan. Aksara Arab saat itu belum memiliki tanda titik (diakritik) untuk membedakan huruf-huruf yang bentuknya serupa (seperti ب, ت, ث) dan belum memiliki tanda baca vokal (harakat). Hal ini membuat pembacaan sebuah teks sangat bergantung pada konteks dan hafalan pembacanya. Keterbatasan ini semakin mengukuhkan dominasi budaya lisan. Pengetahuan yang sejati dianggap berada di dalam dada (hafalan), bukan di atas lembaran (`sutur`).
Status Ummi: Sebuah Tanda Kenabian
Salah satu aspek yang paling sering dibahas mengenai Nabi Muhammad SAW adalah statusnya sebagai seorang ummi. Kata ini sering diterjemahkan sebagai "buta huruf" atau "tidak bisa membaca dan menulis". Namun, makna teologisnya jauh lebih dalam dan signifikan. Status ummi pada diri Rasulullah bukanlah sebuah kekurangan, melainkan sebuah mukjizat dan penegasan atas keaslian wahyu yang diterimanya. Al-Qur'an sendiri menegaskan hal ini dalam Surat Al-'Ankabut, yang artinya: "Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca suatu kitab pun sebelumnya dan engkau tidak (pernah) menuliskannya dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragulah orang-orang yang mengingkarinya."
Ayat ini menjadi argumen pamungkas. Bagaimana mungkin seorang yang tidak pernah belajar membaca atau menulis dari manusia, yang tumbuh di tengah masyarakat dengan tradisi literatur yang terbatas, bisa menghasilkan Al-Qur'an? Sebuah kitab dengan keindahan sastra yang tak tertandingi, kedalaman makna yang luar biasa, akurasi ilmiah yang melampaui zamannya, dan konsistensi internal yang sempurna selama puluhan tahun masa pewahyuannya. Status ummi Rasulullah SAW secara efektif mematahkan semua tuduhan bahwa beliau mengarang Al-Qur'an sendiri atau menyalinnya dari kitab-kitab suci terdahulu. Ini adalah bukti bahwa sumber Al-Qur'an murni bersifat ilahiah, sebuah wahyu langsung dari Allah SWT, yang disampaikan melalui seorang hamba pilihan-Nya yang hatinya bersih dari "kontaminasi" pengetahuan manusiawi pada masanya. Dengan demikian, status ummi menjadi segel otentikasi kenabiannya.
Peran Para Juru Tulis Wahyu (Kuttab Al-Wahy)
Meskipun Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menulis wahyu, beliau sangat menekankan pentingnya dokumentasi. Beliau memahami bahwa firman Allah harus dijaga dengan dua pilar utama: hafalan yang kuat di dalam dada dan tulisan yang akurat di atas lembaran. Untuk pilar kedua inilah, beliau menunjuk sekelompok sahabat yang memiliki kemampuan menulis untuk menjadi juru tulis wahyu, yang dikenal sebagai Kuttab al-Wahy. Setiap kali wahyu turun, Nabi akan segera memanggil salah seorang dari mereka.
Prosesnya sangat teliti. Setelah menerima wahyu, Nabi akan membacakannya kepada sang juru tulis. Juru tulis kemudian akan menuliskannya pada media apa pun yang tersedia pada saat itu. Bahan-bahan yang digunakan sangat sederhana, mencerminkan kondisi zaman itu: pelepah kurma (`al-likhaf`), lempengan batu tipis (`ar-riqa`), kulit atau perkamen (`al-adim`), tulang belikat unta atau kambing (`al-aktaf`), atau bahkan potongan kayu. Setelah selesai menulis, sang juru tulis diperintahkan untuk membacakan kembali apa yang telah ia tulis. Nabi Muhammad SAW akan menyimaknya dengan saksama, memastikan tidak ada satu huruf atau kata pun yang keliru atau terlewat. Proses verifikasi ganda ini menunjukkan betapa luar biasanya kehati-hatian dalam menjaga kemurnian teks Al-Qur'an sejak detik pertama ia diwahyukan.
Beberapa sahabat yang paling terkenal sebagai juru tulis wahyu antara lain Zayd bin Tsabit, yang kemudian menjadi tokoh sentral dalam pengumpulan Al-Qur'an dalam bentuk mushaf. Selain itu, ada juga Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), Muawiyah bin Abi Sufyan, Ubay bin Ka'ab, dan Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh. Mereka adalah para penjaga gerbang pertama otentisitas tulisan Al-Qur'an, para sekretaris langit yang bekerja di bawah bimbingan langsung Sang Nabi. Tugas mereka bukan sekadar pekerjaan administratif, melainkan sebuah amanah suci yang akan membentuk peradaban Islam hingga akhir zaman.
Surat-Surat Diplomatik: Dakwah Melintasi Batas
Konsep "tulisan Nabi Muhammad SAW" tidak hanya terbatas pada pencatatan wahyu. Wujudnya yang paling nyata justru terlihat dalam inisiatif dakwah global yang beliau luncurkan. Setelah Perjanjian Hudaibiyah, sebuah periode perdamaian relatif tercipta. Rasulullah SAW memanfaatkan momentum ini untuk menyampaikan risalah Islam ke panggung dunia. Beliau mendiktekan serangkaian surat yang ditujukan kepada para penguasa terbesar di dunia pada saat itu. Surat-surat ini adalah mahakarya diplomasi, ketegasan, dan kebijaksanaan.
Setiap surat memiliki struktur yang khas. Dimulai dengan basmalah, "Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." Kemudian diikuti dengan identitas pengirim: "Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya," dan ditujukan kepada penerima dengan menyebut gelar dan namanya. Isi suratnya sangat langsung dan jelas: sebuah ajakan tulus untuk memeluk Islam, mengakui keesaan Tuhan, dan mengikuti ajaran yang dibawanya. Surat-surat tersebut ditutup dengan janji keselamatan bagi yang menerima dan peringatan akan dosa rakyatnya bagi pemimpin yang menolak. Pendekatan ini menunjukkan bahwa sang pemimpin bertanggung jawab tidak hanya atas dirinya sendiri, tetapi juga atas kesejahteraan spiritual rakyat yang dipimpinnya.
Surat kepada Heraklius, Kaisar Romawi Timur (Bizantium)
Salah satu surat yang paling terkenal adalah yang dikirimkan kepada Heraklius. Surat ini dibawa oleh Dihyah al-Kalbi. Ketika surat itu tiba, Heraklius baru saja meraih kemenangan besar atas Persia. Merasa penasaran, ia memanggil para pedagang Arab yang kebetulan berada di wilayahnya untuk dimintai keterangan. Abu Sufyan, yang saat itu masih belum memeluk Islam dan merupakan salah satu pemimpin Quraisy, hadir di hadapan kaisar. Heraklius melontarkan serangkaian pertanyaan yang sangat cerdas dan sistematis tentang Nabi Muhammad: tentang nasabnya, tentang kejujurannya, tentang pengikutnya, tentang ajarannya, dan tentang apakah ia pernah berkhianat.
Meskipun berada dalam posisi sebagai musuh, Abu Sufyan menjawab semua pertanyaan itu dengan jujur. Ia mengakui bahwa nasab Muhammad adalah yang termulia, bahwa beliau tidak pernah sekalipun berdusta, bahwa pengikutnya terus bertambah dari kalangan orang-orang yang sebelumnya lemah, dan bahwa beliau menyuruh untuk menyembah Allah semata, shalat, jujur, dan menyambung silaturahmi. Setelah mendengar semua jawaban itu, Heraklius menarik kesimpulan yang mengejutkan. Ia berkata, "Jika semua yang kau katakan itu benar, maka ia akan segera menguasai tempat di bawah kedua kakiku ini. Aku tahu bahwa ia akan muncul, tetapi aku tidak menyangka ia berasal dari kalangan kalian." Meskipun hatinya mengakui kebenaran, tekanan politik dan ketakutan kehilangan takhta membuatnya tidak menyatakan keislamannya secara terbuka di hadapan para pembesar kerajaannya.
Surat kepada Kisra Abruwez II, Kaisar Persia (Sassanid)
Respons yang sangat berbeda datang dari Persia. Surat yang ditujukan kepada Kisra (Khosrow II) dibawa oleh Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi. Berbeda dengan Heraklius yang terpelajar dan analitis, Kisra adalah seorang penguasa yang sombong dan angkuh. Ketika surat dari Nabi dibacakan kepadanya, ia murka. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa seorang "rakyat jelata" dari Arab berani menulis namanya sebelum nama sang kaisar agung. Dalam kemarahannya, ia merobek-robek surat itu.
Ketika berita ini sampai kepada Nabi Muhammad SAW, beliau berdoa, "Semoga Allah merobek-robek kerajaannya." Doa ini menjadi kenyataan. Tidak lama setelah itu, kerajaan Persia yang perkasa dilanda kekacauan internal. Kisra dibunuh oleh putranya sendiri, dan kerajaannya mulai runtuh dari dalam, yang pada akhirnya membuka jalan bagi penaklukan oleh pasukan Muslim di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Kisah ini menjadi pelajaran abadi tentang kesombongan dan akibat dari menolak kebenaran.
Surat kepada Najasyi, Raja Abisinia (Ethiopia)
Hubungan Nabi Muhammad SAW dengan Raja Najasyi (Negus) dari Abisinia sudah terjalin baik sejak hijrah pertama kaum Muslimin. Najasyi adalah seorang raja Kristen yang adil dan bijaksana. Ia telah memberikan suaka kepada para sahabat yang melarikan diri dari penindasan di Mekah. Ketika surat dari Nabi sampai kepadanya, yang dibawa oleh Amr bin Umayyah ad-Damri, Najasyi menunjukkan penghormatan yang luar biasa. Ia turun dari singgasananya, duduk di lantai, dan meletakkan surat itu di atas matanya sebagai tanda penghormatan. Ia menyatakan keimanannya dan memeluk Islam. Responsnya yang tulus dan rendah hati menjadi contoh bagaimana seorang pemimpin sejati menyikapi kebenaran tanpa terhalang oleh kekuasaan dan jabatan.
Surat kepada Muqawqis, Penguasa Mesir
Surat kepada Muqawqis, wakil Bizantium di Mesir, dibawa oleh Hatib bin Abi Balta'ah. Muqawqis menerima utusan dengan baik dan membaca surat itu dengan saksama. Ia tidak memeluk Islam, tetapi ia memberikan jawaban yang sangat diplomatis. Ia mengakui bahwa seorang nabi memang akan muncul, tetapi ia menduga nabi itu akan datang dari Syam (Levant). Sebagai tanda niat baik, ia mengirimkan hadiah-hadiah berharga kepada Nabi Muhammad SAW, termasuk dua orang saudari, Mariyah al-Qibtiyyah dan Sirin, serta seekor keledai bernama Duldul dan seekor bagal bernama Ya'fur. Nabi menerima hadiah tersebut, dan kemudian menikahi Mariyah, yang darinya beliau dikaruniai seorang putra bernama Ibrahim.
Stempel Kenabian: Simbol Otentisitas
Ketika Nabi Muhammad SAW hendak memulai korespondensi internasionalnya, para sahabat memberitahu beliau bahwa para raja dan kaisar tidak akan menerima surat yang tidak memiliki stempel resmi. Stempel pada masa itu berfungsi seperti tanda tangan dan kop surat resmi pada zaman sekarang; ia adalah tanda keaslian dan legitimasi. Menyadari pentingnya hal ini, Nabi pun memerintahkan untuk dibuatkan sebuah cincin stempel yang terbuat dari perak.
Desain stempel ini sangat unik dan sarat makna. Terdapat ukiran tiga kata dalam tiga baris: "Muhammad", "Rasul", "Allah". Yang menarik adalah urutannya. Kata "Allah" ditempatkan di baris paling atas, "Rasul" di tengah, dan "Muhammad" di baris paling bawah. Urutan dari bawah ke atas ini (محمد رسول الله) sengaja dibuat sebagai bentuk adab dan penghormatan, agar lafaz jalalah (nama Allah) berada di posisi tertinggi. Stempel inilah yang dibubuhkan pada setiap surat yang dikirimkan kepada para penguasa, menjadikannya dokumen resmi dari pemimpin negara Madinah yang baru lahir. Cincin stempel ini diwariskan kepada para khalifah setelah beliau wafat, yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Sayangnya, pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, cincin tersebut terjatuh ke dalam sumur Aris dan tidak pernah ditemukan lagi. Namun, jejak dan fungsinya sebagai penanda otentisitas tulisan Nabi Muhammad SAW terukir abadi dalam sejarah.
Gaya Bahasa: Jawami' al-Kalim
Jika kita memisahkan Al-Qur'an (yang merupakan firman Allah) dari perkataan Nabi sendiri (yang terekam dalam Hadits dan surat-suratnya), kita akan menemukan sebuah gaya bahasa yang luar biasa. Gaya bahasa Nabi Muhammad SAW dikenal dengan istilah Jawami' al-Kalim, yang berarti "kalimat-kalimat singkat yang padat makna". Beliau mampu menyampaikan konsep-konsep yang dalam, hikmah yang agung, dan aturan hukum yang kompleks dalam untaian kata yang sangat ringkas, jelas, dan mudah dihafal.
Bahasa beliau lugas, tanpa basa-basi yang tidak perlu, dan bebas dari ambiguitas. Setiap kata dipilih dengan cermat untuk memberikan dampak maksimal. Contohnya adalah sabdanya, "Amal itu tergantung niatnya," sebuah kalimat pendek yang menjadi fondasi bagi seluruh pemahaman tentang ibadah dan spiritualitas dalam Islam. Contoh lain, "Seorang Muslim adalah orang yang Muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya," sebuah definisi ringkas yang merangkum seluruh esensi etika sosial. Gaya bahasa ini, yang diajarkan langsung oleh Allah SWT, menjadi model komunikasi yang efektif. Ia menunjukkan bahwa kekuatan sebuah "tulisan" atau ucapan tidak terletak pada panjang dan kerumitannya, melainkan pada kejelasan, ketepatan, dan kedalaman maknanya.
Warisan Tulisan yang Abadi
Pada akhirnya, "tulisan Nabi Muhammad SAW" adalah sebuah warisan multifaset. Ia bukanlah tulisan tangan seorang individu, melainkan sebuah sistem dokumentasi, komunikasi, dan transmisi ilmu yang revolusioner. Melalui bimbingannya, Al-Qur'an, firman Allah yang paling suci, berhasil didokumentasikan dengan ketelitian yang belum pernah ada sebelumnya, terjaga dari perubahan hingga hari ini. Melalui surat-suratnya, pesan Islam melintasi lautan dan gurun, mengetuk pintu-pintu istana termegah di dunia, menantang para penguasa untuk merenungkan kebenaran hakiki.
Stempelnya menjadi simbol otoritas ilahiah yang melegitimasi dakwahnya. Dan gaya bahasanya menjadi teladan bagi jutaan manusia tentang bagaimana berkomunikasi dengan hikmah dan kejelasan. Jejak tulisan ini, baik yang berupa wahyu yang didiktekan, surat yang diperintahkan, maupun stempel yang dibubuhkan, secara kolektif telah membentuk fondasi peradaban Islam dan terus menjadi sumber inspirasi, petunjuk, dan cahaya bagi umat manusia. Ia adalah bukti bahwa pena—atau dalam hal ini, perintah untuk menulis—sesungguhnya lebih tajam dari pedang, dan gema kata-katanya akan terus terdengar sepanjang zaman.