Memahami Urutan Surat An-Nasr dalam Al-Quran
Membahas urutan Surat An-Nasr dalam Al-Quran bukan sekadar membicarakan sebuah angka, melainkan membuka pintu pemahaman terhadap sebuah struktur ilahi yang penuh hikmah dan makna. Setiap surat dalam Al-Quran ditempatkan pada posisinya bukan secara acak, melainkan berdasarkan petunjuk wahyu (tauqifi) yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Posisi ini menciptakan sebuah jalinan makna yang koheren, di mana satu surat menjadi penjelas, penguat, atau bahkan pelengkap bagi surat sebelum dan sesudahnya. Surat An-Nasr, dengan segala keagungan pesannya, menjadi contoh sempurna dari keindahan arsitektur Al-Quran ini.
Surat An-Nasr menempati posisi yang sangat strategis. Secara formal dalam mushaf Utsmani, surat ini adalah surat ke-110 dari total 114 surat. Ia terletak di bagian akhir Al-Quran, tepatnya pada Juz 30 atau yang lebih dikenal dengan sebutan Juz ‘Amma. Penempatannya di antara surat-surat pendek yang sarat dengan pesan-pesan fundamental akidah, hari akhir, dan akhlak, memberikan dimensi tersendiri. Namun, yang lebih menarik adalah bagaimana posisinya ini, yang ditetapkan oleh wahyu, berdialog dengan urutan pewahyuannya (tartib nuzuli) yang justru berada di akhir masa kenabian. Kombinasi antara urutan mushaf dan urutan turunnya inilah yang menyingkap lapisan-lapisan makna yang mendalam tentang kemenangan, pertolongan Allah, dan esensi dari sebuah perjuangan dakwah.
alt text: Ilustrasi Kemenangan dan Pertolongan Allah - Surat An-Nasr, menampilkan gerbang kemenangan dengan Ka'bah di dalamnya, disinari cahaya ilahi.
Posisi Pasti: Surat ke-110 dalam Mushaf Utsmani
Secara definitif, urutan Surat An-Nasr dalam Al-Quran adalah yang ke-110. Ia berada setelah Surat Al-Kafirun (surat ke-109) dan sebelum Surat Al-Masad (surat ke-111). Ketiga surat ini, bersama-sama dengan surat-surat lainnya di Juz ‘Amma, membentuk sebuah mozaik yang menakjubkan. Penempatan ini bukan tanpa alasan; ada korelasi (munasabah) yang sangat kuat di antara ketiganya.
Al-Quran yang kita baca hari ini mengikuti susunan yang dikenal sebagai tartib mushafi atau urutan mushaf. Para ulama sepakat bahwa susunan ini bersifat tauqifi, artinya ditetapkan langsung berdasarkan petunjuk dari Allah SWT melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Setiap kali wahyu turun, Jibril akan memberitahu Nabi di mana ayat atau surat tersebut harus diletakkan, "Letakkan ayat ini setelah ayat anu di surat anu," atau "Letakkan surat ini setelah surat anu." Nabi kemudian memerintahkan para sahabat penulis wahyu untuk mencatatnya sesuai dengan petunjuk tersebut. Inilah yang kemudian dibukukan pada masa Khalifah Abu Bakar dan distandarisasi pada masa Khalifah Utsman bin Affan, yang kemudian dikenal sebagai Mushaf Utsmani.
Berada di Juz 'Amma, Surat An-Nasr menjadi bagian dari kumpulan surat-surat yang sering dibaca dalam shalat karena keringkasannya namun memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Juz ‘Amma umumnya berisi surat-surat Makkiyah yang fokus pada penanaman akidah, tauhid, dan gambaran hari kiamat. Namun, An-Nasr adalah surat Madaniyah—surat yang turun setelah hijrahnya Nabi ke Madinah. Kehadirannya di tengah mayoritas surat Makkiyah di Juz ‘Amma menandakan sebuah puncak, sebuah kesimpulan dari perjuangan yang dimulai di Makkah. Ia bagaikan buah yang dipetik di Madinah dari pohon yang ditanam dan dirawat dengan penuh pengorbanan di Makkah.
Konteks Pewahyuan: Surat Terakhir yang Turun Secara Lengkap
Jika urutan dalam mushaf menempatkannya di nomor 110, urutan pewahyuannya (tartib nuzuli) menempatkannya di posisi yang sangat akhir. Banyak riwayat yang menyatakan bahwa Surat An-Nasr adalah surat terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara lengkap dalam satu kesatuan. Meskipun ada ayat lain seperti ayat tentang kesempurnaan agama (Al-Maidah: 3) atau ayat kalalah (An-Nisa: 176) yang turun setelahnya, An-Nasr memegang status khusus sebagai surat pamungkas.
Surat ini diturunkan berkaitan dengan peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah) pada bulan Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah. Peristiwa ini adalah klimaks dari perjuangan dakwah Nabi selama lebih dari dua dekade. Setelah bertahun-tahun diusir dari kampung halaman, diperangi, dan dimusuhi, Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin kembali ke Makkah bukan dengan pertumpahan darah, melainkan dengan kemenangan gemilang yang damai. Allah menepati janji-Nya.
Saat itu, kaum muslimin memasuki Makkah dengan penuh ketundukan. Nabi Muhammad SAW menaiki untanya dengan kepala tertunduk sebagai wujud syukur dan tawadhu kepada Allah. Tidak ada balas dendam. Semua penduduk Makkah yang dahulu memusuhi Islam dimaafkan. Beliau kemudian membersihkan Ka'bah dari berhala-berhala yang selama ini menjadi pusat kemusyrikan. Momen inilah yang menjadi latar turunnya surat ini. Kemenangan yang dijanjikan telah tiba, dan manusia dari berbagai kabilah Arab berbondong-bondong datang untuk menyatakan keislaman mereka. Mereka yang tadinya menunggu dan melihat siapa yang akan menang antara Muhammad dan kaum Quraisy, kini yakin bahwa kebenaran ada pada Islam.
Fakta bahwa ini adalah salah satu wahyu terakhir yang turun memberikan dimensi makna yang lebih dalam. Para sahabat yang cerdas, seperti Abdullah bin Abbas dan Umar bin Khattab, memahami surat ini bukan hanya sebagai berita gembira atas kemenangan, tetapi juga sebagai isyarat bahwa tugas kenabian Rasulullah SAW telah paripurna. Jika tugas telah selesai, maka artinya sang utusan akan segera kembali kepada Yang Mengutus. Oleh karena itu, surat ini juga dikenal sebagai surat perpisahan (Surat At-Taudi'). Ia adalah pengumuman kemenangan sekaligus sinyal lembut akan dekatnya wafat Sang Nabi.
Tafsir Mendalam Ayat per Ayat Surat An-Nasr
Untuk memahami sepenuhnya mengapa urutan Surat An-Nasr dalam Al-Quran begitu signifikan, kita perlu menyelami makna setiap ayatnya. Surat ini, meskipun hanya terdiri dari tiga ayat, mengandung lautan makna.
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
Ayat 1: "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan."
Kata kunci di sini adalah نَصْرُ اللَّهِ (Nashrullah) dan الْفَتْحُ (Al-Fath). Nashrullah berarti "pertolongan Allah". Penggunaan kata ini, yang disandarkan langsung kepada Allah, menegaskan bahwa kemenangan yang diraih bukanlah semata-mata hasil kekuatan militer, strategi manusia, atau jumlah pasukan. Itu adalah pertolongan murni dari Allah. Ini adalah pelajaran fundamental tentang tauhid, bahwa segala daya dan kekuatan pada hakikatnya bersumber dari-Nya. Setelah penindasan bertahun-tahun, kesabaran yang tak terbatas, dan pengorbanan yang luar biasa, Allah menurunkan pertolongan-Nya yang mutlak.
Sementara itu, Al-Fath secara harfiah berarti "pembukaan". Para mufasir sepakat bahwa yang dimaksud secara spesifik adalah Fathu Makkah, "pembukaan" atau "pembebasan" kota Makkah. Namun, maknanya lebih luas dari sekadar penaklukan fisik. Ia adalah "pembukaan" hati manusia untuk menerima kebenaran, "pembukaan" gerbang dakwah ke seluruh jazirah Arab tanpa halangan, dan "pembukaan" jalan bagi Islam untuk menjadi kekuatan spiritual dan peradaban yang besar. Kemenangan ini bukanlah kemenangan yang menghancurkan, melainkan kemenangan yang membuka dan membebaskan.
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
Ayat 2: "Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah."
Ayat ini adalah konsekuensi logis dari ayat pertama. Setelah pertolongan Allah dan kemenangan nyata terwujud, hasilnya adalah penerimaan massal terhadap Islam. Kata أَفْوَاجًا (afwajan) berarti "dalam rombongan besar" atau "berbondong-bondong". Ini adalah gambaran yang sangat kontras dengan awal dakwah di Makkah, di mana orang masuk Islam satu per satu, secara sembunyi-sembunyi, dan seringkali harus menanggung siksaan.
Sebelum Fathu Makkah, banyak kabilah Arab mengambil sikap menunggu. Mereka berkata, "Biarkan Muhammad dan kaumnya (Quraisy). Jika ia menang atas mereka, maka ia adalah nabi yang benar." Ketika Makkah, pusat spiritual dan kekuatan Quraisy, berhasil ditaklukkan tanpa perlawanan berarti, itu menjadi bukti yang tak terbantahkan bagi mereka. Delegasi dari berbagai suku datang silih berganti ke Madinah untuk menyatakan baiat dan keislaman mereka. Fenomena ini dikenal sebagai "Tahun Delegasi" ('Am al-Wufud). Ayat ini mengabadikan momen euforia spiritual yang luar biasa tersebut, di mana buah dari kesabaran selama puluhan tahun akhirnya terlihat nyata.
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Ayat 3: "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat."
Inilah puncak dari surat ini dan inti dari pesannya. Setelah menerima nikmat terbesar berupa kemenangan dan diterimanya dakwah, apa respons yang Allah ajarkan? Bukan pesta pora, bukan arogansi, bukan pula euforia yang melalaikan. Respons yang diajarkan adalah spiritualitas yang mendalam: tasbih, tahmid, dan istighfar.
- فَسَبِّحْ (Fasabbih): Bertasbihlah. Artinya, sucikanlah Allah dari segala kekurangan. Akui bahwa kemenangan ini terjadi bukan karena kehebatan kita, melainkan karena kesempurnaan dan kekuasaan-Nya. Ini adalah penegasian kesombongan dalam diri.
- بِحَمْدِ رَبِّكَ (Bihamdi Rabbika): Dengan memuji Tuhanmu. Setelah menyucikan Allah, pujilah Dia atas segala nikmat-Nya. Ini adalah bentuk syukur yang aktif, mengembalikan segala pujian kepada sumbernya yang hakiki. Gabungan tasbih dan tahmid (Subhanallahi wa bihamdihi) adalah dzikir yang sangat dicintai Allah.
- وَاسْتَغْفِرْهُ (Wastaghfirh): Dan mohonlah ampun kepada-Nya. Ini adalah bagian yang paling menyentuh. Mengapa memohon ampun di saat kemenangan? Para ulama menjelaskan beberapa hikmah. Pertama, sebagai pengakuan bahwa dalam sepanjang perjuangan, mungkin ada kekurangan, kelalaian, atau hal yang tidak sempurna dalam menunaikan hak-hak Allah. Kedua, sebagai pelajaran bagi umatnya bahwa bahkan di puncak kesuksesan, seorang hamba harus selalu merasa butuh akan ampunan Tuhannya. Ketiga, dan ini yang dipahami oleh para sahabat senior, sebagai isyarat bahwa tugas telah selesai, dan istighfar adalah persiapan untuk kembali menghadap Allah SWT.
Ayat ini ditutup dengan kalimat penenang, إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (Innahu kaana tawwaba), "Sungguh, Dia Maha Penerima taubat." Ini adalah jaminan bahwa sebanyak apapun kekurangan kita, pintu taubat Allah selalu terbuka lebar. Nama Allah At-Tawwab menunjukkan bahwa Dia tidak hanya menerima taubat, tetapi Dia senantiasa dan berulang kali menerima taubat hamba-hamba-Nya.
Hikmah di Balik Urutan Surat An-Nasr dalam Al-Quran
Kini kita kembali ke pertanyaan awal: apa hikmah di balik urutan Surat An-Nasr dalam Al-Quran yang menempatkannya sebagai surat ke-110, di antara Al-Kafirun dan Al-Masad?
Hubungan dengan Surat Al-Kafirun (Surat ke-109)
Surat Al-Kafirun, yang berada tepat sebelum An-Nasr, adalah surat tentang demarkasi akidah yang tegas. Ia diturunkan di Makkah pada saat kaum muslimin berada dalam posisi lemah dan kaum kafir Quraisy menawarkan kompromi sinkretisme: "Sembahlah tuhan kami setahun, dan kami akan menyembah Tuhanmu setahun." Allah menurunkan surat ini sebagai jawaban yang final dan tanpa kompromi: "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku." Ini adalah deklarasi keteguhan prinsip di tengah tekanan.
Ketika kita membaca Al-Kafirun lalu langsung menyambung ke An-Nasr, sebuah narasi yang indah terungkap. Al-Kafirun adalah penanaman benih prinsip tauhid yang murni. An-Nasr adalah buah dari keteguhan memegang prinsip tersebut. Seolah-olah Al-Quran berkata, "Dahulu, kalian harus menyatakan dengan tegas 'bagimu agamamu, dan bagiku agamaku' karena kalian minoritas yang tertindas. Sekarang, karena keteguhan kalian pada prinsip itu, lihatlah! Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan manusia justru berbondong-bondong masuk ke dalam agamamu." Ini adalah pelajaran bahwa kemenangan sejati tidak lahir dari kompromi akidah, melainkan dari konsistensi dan kesabaran di atas kebenaran.
Hubungan dengan Surat Al-Masad (Surat ke-111)
Setelah merayakan kemenangan gemilang dalam An-Nasr, Al-Quran langsung menyajikan surat berikutnya, Al-Masad. Surat ini berbicara tentang kehancuran total Abu Lahab, salah satu paman Nabi yang menjadi musuh paling sengit Islam, beserta istrinya. Surat Al-Masad adalah gambaran kebinasaan, kegagalan, dan azab bagi mereka yang menentang kebenaran dengan penuh kesombongan.
Penempatan ini menciptakan sebuah kontras yang tajam dan kuat. Urutan Surat An-Nasr dalam Al-Quran disusul dengan Al-Masad seakan-akan menyajikan dua potret akhir yang berbeda:
- Akhir dari para penolong agama Allah (An-Nasr): Kemenangan di dunia, pujian, ampunan, dan kemuliaan di sisi Allah.
- Akhir dari para penentang agama Allah (Al-Masad): Kerugian di dunia (harta dan kedudukannya tidak berguna), dan azab yang pedih di akhirat ("kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak").
Pesan yang tersampaikan menjadi sangat jelas. Jalan kebenaran, meskipun awalnya sulit, akan berujung pada pertolongan dan kemenangan. Sebaliknya, jalan permusuhan terhadap kebenaran, meskipun awalnya tampak kuat dan berkuasa, akan berujung pada kehancuran total. Ini adalah penegasan atas sunnatullah (hukum Allah) di alam semesta.
Posisi Menjelang Akhir Al-Quran
Penempatan An-Nasr di penghujung Al-Quran juga sarat makna simbolis. Ia melambangkan penyempurnaan risalah Islam. Sama seperti surat ini menandai berakhirnya tugas kenabian di dunia, posisinya di mushaf seolah menjadi penanda bahwa wahyu ilahi telah lengkap diturunkan. Setelah An-Nasr, kita menemukan tiga surat pamungkas yang menjadi benteng seorang mukmin: Al-Ikhlas (tentang kemurnian tauhid), Al-Falaq (tentang perlindungan dari kejahatan eksternal), dan An-Nas (tentang perlindungan dari kejahatan internal). Rangkaian ini sempurna: setelah kemenangan dakwah (An-Nasr) dan kekalahan musuh (Al-Masad), yang tersisa bagi seorang mukmin adalah memurnikan tauhidnya dan memohon perlindungan total kepada Allah.
Kesimpulan
Memahami urutan Surat An-Nasr dalam Al-Quran membawa kita pada kesadaran bahwa Al-Quran bukanlah sekadar kumpulan wahyu yang tidak teratur. Ia adalah sebuah bangunan yang kokoh, di mana setiap batu bata (ayat dan surat) diletakkan dengan presisi ilahi untuk menyampaikan pesan yang utuh dan berlapis.
Surat An-Nasr, sebagai surat ke-110, adalah proklamasi kemenangan yang lahir dari rahim kesabaran dan keteguhan prinsip. Ia mengajarkan bahwa pertolongan sejati hanya datang dari Allah. Ia juga memberikan pedoman tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin bersikap di puncak kesuksesan: dengan kembali kepada Allah melalui tasbih, tahmid, dan istighfar. Posisinya yang diapit oleh surat tentang ketegasan akidah (Al-Kafirun) dan surat tentang kehancuran musuh (Al-Masad) mengukuhkan narasi besar tentang perjuangan antara hak dan batil, yang pada akhirnya akan dimenangkan oleh kebenaran. Ia adalah surat optimisme, surat syukur, sekaligus surat perpisahan yang mengajarkan bahwa setiap perjuangan yang tulus karena Allah akan berujung pada kemenangan yang diberkahi.