Membedah Makna Wasilah Secara Mendalam
Dalam khazanah keilmuan Islam, istilah wasilah sering kali menjadi topik perbincangan yang hangat dan terkadang menimbulkan perbedaan pendapat. Memahami wasilah artinya apa secara komprehensif adalah kunci untuk meluruskan pemahaman dan mengamalkan ajaran agama dengan benar sesuai tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Wasilah bukanlah sekadar istilah, melainkan sebuah konsep fundamental yang berkaitan erat dengan cara seorang hamba berinteraksi dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kesalahan dalam memahami konsep ini bisa berakibat fatal, karena ia bersinggungan langsung dengan pilar paling utama dalam Islam, yaitu tauhid.
Artikel ini akan mengupas tuntas makna wasilah, mulai dari definisi bahasa hingga pengertian syar'i, membedah dalil-dalil yang menjadi landasannya, serta memilah antara jenis wasilah yang diperbolehkan (disyariatkan) dan yang terlarang. Dengan pemahaman yang jernih, diharapkan setiap Muslim dapat menempuh jalan yang benar dalam usahanya meraih ridha Allah.
Makna Wasilah Secara Bahasa dan Istilah
Untuk memahami sebuah konsep syar'i, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menelusuri maknanya dari dua sisi: etimologi (bahasa) dan terminologi (istilah syar'i). Pendekatan ini memastikan pemahaman kita tidak parsial dan sesuai dengan konteks yang dimaksud oleh dalil.
1. Makna Wasilah Secara Bahasa (Etimologi)
Secara bahasa Arab, kata al-wasilah (الوسيلة) berasal dari akar kata wa-sa-la (وسل). Kata ini memiliki beberapa makna inti yang saling berkaitan, di antaranya:
- Kedudukan atau Pangkat: Wasilah dapat berarti kedudukan atau pangkat di sisi seorang raja atau penguasa. Seseorang yang memiliki wasilah berarti ia memiliki kedekatan dan kedudukan yang terhormat.
- Sarana atau Perantara: Makna yang paling umum adalah segala sesuatu yang dijadikan sarana untuk mencapai atau menyampaikan kepada suatu tujuan. Ia adalah jalan atau perantara yang menghubungkan seseorang dengan apa yang dicarinya.
- Kedekatan (Al-Qurbah): Wasilah juga bermakna kedekatan itu sendiri. Mencari wasilah berarti mencari cara untuk menjadi dekat.
Ibnu Manzhur dalam kamus Lisanul 'Arab menjelaskan bahwa al-wasilah adalah kedudukan di sisi raja dan derajat, yang intinya adalah kedekatan. Jadi, secara linguistik, wasilah adalah segala sarana, jalan, atau kedudukan yang digunakan untuk mendekatkan diri dan mencapai sebuah tujuan.
2. Makna Wasilah Secara Istilah Syar'i
Ketika istilah wasilah ditarik ke dalam konteks syariat Islam, maknanya menjadi lebih spesifik. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah mendefinisikan wasilah sebagai "segala sesuatu yang disyariatkan oleh Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya."
Definisi ini mengandung dua unsur penting:
- Tujuan: Tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah), meraih ridha-Nya, dan mendapatkan pahala-Nya.
- Cara: Cara atau sarana yang digunakan haruslah sesuatu yang telah ditetapkan dan diizinkan oleh Allah melalui Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dengan demikian, tidak semua yang dianggap "sarana" oleh manusia secara otomatis menjadi wasilah yang diterima di sisi Allah. Wasilah dalam Islam terikat erat dengan aturan syariat. Ia bukanlah jalan bebas yang bisa diciptakan atau diinovasikan oleh manusia. Inti dari bertawasul (menggunakan wasilah) adalah melakukan ketaatan dan ibadah yang dicintai dan diridhai oleh Allah, sebagai jalan untuk meraih kedekatan dengan-Nya.
Dalil-Dalil Tentang Wasilah dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
Konsep wasilah tidak lahir dari pemikiran manusia, melainkan bersumber langsung dari wahyu. Terdapat beberapa dalil sentral dalam Al-Qur'an dan hadits Nabi yang menjadi fondasi pembahasan ini.
Dalil dari Al-Qur'an
Ayat yang paling sering dijadikan rujukan utama dalam pembahasan wasilah adalah firman Allah Ta'ala dalam Surat Al-Ma'idah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (al-wasilah), dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Ma'idah: 35)
Ayat ini secara tegas memerintahkan orang-orang beriman untuk mencari al-wasilah kepada Allah. Para ulama tafsir terkemuka dari kalangan salaf (generasi awal Islam) telah memberikan penjelasan yang sangat jelas mengenai makna al-wasilah dalam ayat ini. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, sang ahli tafsir di kalangan sahabat, menafsirkannya sebagai "kedekatan" (al-qurbah).
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, "Wasilah di sini adalah sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan. Dan yang dimaksud dalam ayat ini adalah: mendekatkan dirilah kepada-Nya dengan ketaatan dan mengerjakan apa yang Dia ridhai." Beliau juga menukil perkataan para mufasir salaf seperti Qatadah, Mujahid, dan Ibnu Zaid yang semuanya sepakat bahwa wasilah dalam ayat ini adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menaati-Nya dan mengamalkan amalan yang Dia ridhai.
Jadi, perintah "carilah wasilah" dalam ayat ini bukanlah perintah untuk mencari perantara berupa makhluk, melainkan perintah untuk mengerjakan amal-amal saleh—seperti shalat, puasa, zakat, dzikir, jihad, dan ketaatan lainnya—sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ayat lain yang sangat penting untuk memahami konsep ini adalah firman Allah dalam Surat Al-Isra:
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
"Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka (wasilah) siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti." (QS. Al-Isra: 57)
Ayat ini turun untuk membantah kaum musyrikin yang menyembah atau menyeru para malaikat, nabi (seperti 'Isa), atau orang-orang saleh yang telah wafat. Allah menjelaskan bahwa sesembahan yang mereka seru itu (para nabi, malaikat, dan orang saleh) sejatinya adalah hamba-hamba Allah yang taat. Mereka sendiri berlomba-lomba mencari wasilah (kedekatan) kepada Allah dengan amal saleh mereka. Mereka berharap rahmat Allah dan takut akan azab-Nya. Ayat ini secara telak menunjukkan bahwa menjadikan hamba-hamba yang saleh sebagai perantara dalam doa adalah sebuah kekeliruan, karena mereka sendiri sibuk mencari wasilah untuk diri mereka masing-masing.
Dalil dari As-Sunnah
Dalam hadits, kata wasilah juga disebutkan dalam konteks yang spesifik. Salah satu hadits yang paling terkenal adalah doa setelah adzan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa ketika mendengar adzan mengucapkan: 'Allahumma Rabba hadzihid-da'watit-tammah, wash-shalatil-qa'imah, aati Muhammadanil wasilata wal fadhilah, wab'atshu maqamam mahmudanil-ladzi wa'adtah' (Ya Allah, Rabb pemilik panggilan yang sempurna ini dan shalat yang didirikan, berikanlah kepada Muhammad wasilah dan keutamaan, dan bangkitkanlah ia pada tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan), maka ia berhak mendapatkan syafa'atku pada hari kiamat." (HR. Bukhari)
Dalam hadits ini, kita memohon kepada Allah agar memberikan al-wasilah kepada Nabi Muhammad. Lalu, apa itu al-wasilah yang dimaksud? Rasulullah sendiri menjelaskannya dalam hadits lain:
"Al-Wasilah adalah sebuah kedudukan di surga yang tidak layak didapatkan kecuali untuk seorang hamba dari hamba-hamba Allah, dan aku berharap akulah hamba tersebut." (HR. Muslim)
Dari hadits ini, jelas bahwa al-wasilah adalah nama sebuah tempat tertinggi di surga. Ini menguatkan makna bahasa wasilah sebagai "kedudukan" dan "pangkat". Kita bertawasul (menggunakan sarana) dengan amal saleh kita (yaitu membaca doa setelah adzan) untuk memohon kepada Allah agar memberikan kedudukan mulia itu kepada Nabi Muhammad, dan sebagai ganjarannya, kita berhak atas syafaat beliau.
Pembagian Wasilah: Yang Disyariatkan dan Yang Terlarang
Berdasarkan dalil-dalil di atas dan pemahaman para ulama salaf, wasilah (atau lebih tepatnya tawassul, yaitu perbuatan mencari wasilah) terbagi menjadi dua kategori besar: tawassul yang disyariatkan (masyru') dan tawassul yang dilarang (mamnu').
A. Wasilah yang Disyariatkan (Tawassul Masyru')
Ini adalah jenis wasilah yang memiliki landasan dalil yang kuat dari Al-Qur'an dan Sunnah serta dipraktikkan oleh para sahabat Nabi. Ada tiga bentuk utama wasilah yang disepakati kebolehannya oleh para ulama Ahlus Sunnah.
1. Tawassul dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah (Asma'ul Husna)
Bentuk tawassul ini adalah yang paling agung dan paling utama. Caranya adalah dengan menyebut nama-nama Allah yang mulia (Asma'ul Husna) atau sifat-sifat-Nya yang luhur di dalam doa, sesuai dengan hajat yang kita panjatkan. Misalnya, ketika memohon ampunan, kita bertawasul dengan nama Allah Al-Ghafur (Maha Pengampun) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang).
Dasarnya adalah firman Allah:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
"Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu." (QS. Al-A'raf: 180)
Contoh praktisnya dalam doa: "Ya Allah, wahai Dzat Yang Maha Pengampun (Al-Ghafur), ampunilah dosa-dosaku. Ya Allah, dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, aku memohon rahmatilah aku." Ini adalah bentuk tawassul yang langsung ditujukan kepada Allah dengan memuji dan mengagungkan-Nya, sebuah adab berdoa yang sangat dianjurkan.
2. Tawassul dengan Amal Saleh yang Telah Dikerjakan
Seorang hamba boleh bertawasul kepada Allah dengan menyebutkan amal saleh yang pernah ia lakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah. Ia menjadikan amalan tersebut sebagai "sarana" untuk menunjukkan kehambaannya dan harapannya agar doanya dikabulkan.
Dalilnya adalah hadits yang sangat masyhur tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Ketika sebuah batu besar menutup mulut gua, mereka tidak bisa keluar. Masing-masing dari mereka kemudian berdoa kepada Allah dengan bertawasul menggunakan amal saleh terbaik yang pernah mereka lakukan:
- Orang pertama bertawasul dengan baktinya yang luar biasa kepada kedua orang tuanya.
- Orang kedua bertawasul dengan usahanya meninggalkan perbuatan zina padahal ia memiliki kesempatan besar untuk melakukannya, karena takut kepada Allah.
- Orang ketiga bertawasul dengan sifat amanahnya dalam menjaga harta milik pekerjanya.
Setiap kali salah satu dari mereka berdoa, batu itu bergeser sedikit demi sedikit, hingga akhirnya mereka bisa keluar. Kisah ini diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, menunjukkan dengan sangat jelas bahwa bertawasul dengan amal saleh adalah perbuatan yang disyariatkan dan mustajab.
Contoh praktisnya: "Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa shalat malam yang aku kerjakan semalam adalah murni karena mengharap wajah-Mu, maka kabulkanlah hajatku ini."
3. Tawassul dengan Doa Orang Saleh yang Masih Hidup dan Hadir
Bentuk tawassul ini adalah dengan cara meminta kepada orang yang kita yakini kesalehannya dan keilmuannya (yang masih hidup dan berada di hadapan kita) untuk mendoakan kita kepada Allah. Penting untuk digarisbawahi, kita meminta orang tersebut untuk berdoa kepada Allah untuk kita, bukan meminta langsung kepada orang saleh tersebut.
Praktik ini banyak dilakukan oleh para sahabat. Mereka sering datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat beliau masih hidup untuk meminta beliau mendoakan mereka. Contohnya adalah kisah seorang Arab Badui yang meminta Nabi mendoakan turunnya hujan saat khutbah Jum'at, dan Nabi pun langsung berdoa.
Dalil yang paling kuat yang membedakan antara tawassul dengan orang hidup dan yang sudah wafat adalah praktik Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu. Ketika terjadi musim paceklik di masanya, Umar tidak pergi ke makam Nabi Muhammad untuk meminta doa. Sebaliknya, beliau meminta paman Nabi, Al-'Abbas bin Abdul Muththalib, yang saat itu masih hidup, untuk berdoa kepada Allah.
Umar berkata, "Ya Allah, dahulu kami biasa bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami, lalu Engkau beri kami hujan. Dan sekarang kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan." Kemudian Al-'Abbas pun berdoa. (HR. Bukhari)
Perkataan Umar "dahulu kami bertawasul dengan Nabi kami" maksudnya adalah dengan meminta doa beliau saat beliau masih hidup. "Sekarang kami bertawasul dengan paman Nabi kami" maksudnya adalah dengan meminta doa Al-'Abbas yang masih hidup. Tindakan Umar ini menjadi ijma' (konsensus) para sahabat, menunjukkan bahwa wasilah yang syar'i adalah melalui doa orang saleh yang masih hidup, bukan melalui Dzat atau kedudukan orang yang telah wafat.
B. Wasilah yang Dilarang (Tawassul Mamnu')
Ini adalah jenis-jenis tawassul yang tidak memiliki landasan dalil yang sahih, tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, dan berpotensi merusak kemurnian tauhid. Tawassul jenis ini sering kali menjadi pintu masuk menuju kesyirikan.
1. Tawassul dengan Dzat, Kedudukan (Jah), atau Hak Makhluk
Bentuk tawassul ini adalah berdoa kepada Allah dengan mengatakan, "Ya Allah, demi kedudukan Nabi-Mu, atau demi hak si fulan yang saleh, kabulkanlah doaku." Meskipun yang dituju tetaplah Allah, namun menjadikan Dzat atau kedudukan makhluk sebagai perantara tidak memiliki dalil yang kuat.
Alasan pelarangannya:
- Tidak Ada Dalil yang Sahih: Tidak ada satu pun ayat Al-Qur'an atau hadits sahih yang secara eksplisit mengajarkan atau mencontohkan doa dengan redaksi "demi Dzat/kedudukan/hak si fulan." Hadits-hadits yang terkadang digunakan untuk membolehkannya mayoritas berderajat dha'if (lemah) atau bahkan maudhu' (palsu).
- Menyelisihi Praktik Sahabat: Seperti yang telah dijelaskan, Umar bin Khattab dan para sahabat lainnya tidak pernah bertawasul dengan kedudukan atau Dzat Nabi setelah beliau wafat. Mereka beralih kepada doa Al-'Abbas yang masih hidup. Jika tawassul dengan kedudukan Nabi yang telah wafat itu boleh, tentu mereka akan melakukannya karena kedudukan Nabi jauh lebih tinggi dari siapapun.
- Membuka Pintu Ghuluw (Berlebihan): Praktik semacam ini dapat membuka pintu pengagungan yang berlebihan terhadap individu tertentu, yang pada akhirnya dapat menjerumuskan kepada kesyirikan, yaitu meyakini bahwa orang saleh tersebut memiliki pengaruh dalam pengabulan doa.
- Tidak Ada Hubungan Sebab-Akibat yang Syar'i: Syariat tidak pernah menjelaskan bahwa kedudukan seorang makhluk di sisi Allah menjadi sebab terkabulnya doa orang lain. Sebab terkabulnya doa adalah rahmat Allah yang diraih melalui ketaatan, seperti amal saleh dan doa itu sendiri.
Para ulama besar seperti Imam Abu Hanifah juga diriwayatkan melarang praktik ini. Beliau berkata, "Tidak sepantasnya seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan (menyebut)-Nya... Aku membenci seseorang berkata 'demi hak si fulan' atau 'demi hak para nabi-Mu'."
2. Tawassul dengan Orang yang Telah Wafat (Istighathah kepada Mayit)
Ini adalah bentuk tawassul yang paling berbahaya dan merupakan bentuk kesyirikan akbar (syirik besar) yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Caranya adalah dengan berdoa atau meminta pertolongan langsung kepada orang yang telah wafat, baik itu nabi, wali, atau orang saleh, dengan keyakinan bahwa mereka dapat mendengar dan mengabulkan permintaan dari alam kubur.
Contohnya adalah perkataan, "Wahai Syaikh Fulan, sembuhkanlah penyakitku," atau "Wahai Rasulullah, berilah aku keturunan." Ini adalah doa dan permintaan kepada selain Allah, yang merupakan hakikat dari ibadah. Allah berfirman:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah (berdoa kepada) seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." (QS. Al-Jinn: 18)
Orang yang telah wafat telah terputus hubungannya dengan alam dunia. Mereka tidak dapat mendengar doa, apalagi mengabulkannya. Allah berfirman:
وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ ۖ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
"Dan tidaklah sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar." (QS. Fathir: 22)
Perbuatan ini pada hakikatnya adalah praktik kaum musyrikin Quraisy di masa jahiliyah. Mereka menyembah berhala-berhala (yang merupakan simbol orang-orang saleh di masa lalu) dengan alasan:
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (QS. Az-Zumar: 3)
Alasan mereka sama persis, yaitu menjadikan makhluk sebagai wasilah atau perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun, Allah menyebut perbuatan mereka sebagai kekafiran dan kesyirikan.
Hikmah di Balik Pembahasan Wasilah
Pembahasan mengenai wasilah bukanlah sekadar perdebatan teoretis, melainkan memiliki hikmah yang sangat mendalam terkait fondasi akidah seorang Muslim.
- Menjaga Kemurnian Tauhid: Inti dari ajaran Islam adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam segala bentuk peribadatan, termasuk doa. Dengan memahami wasilah yang benar, seorang Muslim akan senantiasa memurnikan doanya hanya kepada Allah semata, tanpa perantara makhluk yang tidak disyariatkan. Ini adalah benteng utama untuk melindungi diri dari syirik.
- Menutup Pintu Ghuluw (Sikap Berlebihan): Sejarah telah membuktikan bahwa awal mula kesyirikan di muka bumi (pada kaum Nabi Nuh) adalah karena sikap ghuluw atau berlebih-lebihan dalam memuliakan orang-orang saleh. Dengan membatasi wasilah hanya pada apa yang dituntunkan syariat, Islam menutup rapat-rapat pintu pengkultusan individu yang bisa merusak akidah.
- Mendorong Ketergantungan Langsung kepada Allah: Konsep wasilah yang benar mengajarkan bahwa hubungan antara hamba dan Rabb-nya adalah hubungan yang langsung, tanpa sekat dan tanpa perantara. Seorang hamba bisa langsung menengadahkan tangannya, bertawasul dengan nama-nama Allah, sifat-Nya, dan amal salehnya, lalu memohon kepada-Nya. Ini menumbuhkan rasa kedekatan, tawakal, dan pengharapan yang total hanya kepada Allah.
- Mendorong untuk Beramal Saleh: Salah satu wasilah yang paling kuat adalah amal saleh. Pemahaman ini memotivasi seorang Muslim untuk senantiasa bersemangat dalam beribadah dan berbuat kebaikan, karena ia tahu bahwa amal salehnya bukan hanya mendatangkan pahala, tetapi juga bisa menjadi "sarana" yang ia sebut di dalam doanya di saat-saat genting.
Kesimpulan
Dari pemaparan yang panjang dan terperinci, dapat disimpulkan bahwa wasilah artinya adalah segala sarana yang disyariatkan oleh Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Wasilah yang benar dan sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an, Sunnah, dan pemahaman para sahabat adalah:
- Bertawasul dengan Asma'ul Husna dan Sifat-sifat Allah.
- Bertawasul dengan amal saleh yang ikhlas.
- Bertawasul dengan meminta doa kepada orang saleh yang masih hidup dan hadir.
Adapun bertawasul dengan kedudukan atau Dzat makhluk, apalagi meminta langsung kepada orang yang telah wafat, adalah perbuatan yang tidak memiliki landasan syar'i, bid'ah, dan bahkan dapat terjerumus ke dalam kesyirikan yang membatalkan keislaman.
Jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah telah terbentang luas dan jelas melalui ketaatan dan ibadah yang Dia syariatkan. Tidak ada jalan pintas atau perantara-perantara ciptaan manusia. Doa adalah ibadah, dan ibadah adalah hak prerogatif Allah semata. Maka, hendaknya kita senantiasa memanjatkan doa kita langsung kepada-Nya, Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.