Ya Allah, Alhamdulillah

Kaligrafi Alhamdulillah sebagai simbol rasa syukur الحمد لله

Kaligrafi "Alhamdulillah" sebagai simbol rasa syukur yang mendalam.

Ada dua frasa yang begitu ringan di lisan, namun bobotnya begitu berat di timbangan kebaikan; begitu sering terucap, namun seringkali maknanya luput dari perenungan. "Ya Allah, Alhamdulillah." Sebuah seruan dan sebuah pengakuan. Sebuah dialog batin antara hamba yang fana dengan Sang Pencipta yang Maha Abadi. Ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah gerbang menuju kesadaran spiritual yang paling hakiki, sebuah kunci untuk membuka pintu-pintu ketenangan yang selama ini mungkin kita cari di tempat yang salah. Dalam hiruk pikuk dunia modern yang menuntut kita untuk selalu lebih, selalu mengejar, dan selalu merasa kurang, kalimat ini hadir sebagai oase, sebagai pengingat lembut tentang esensi kehidupan: pengakuan atas kebesaran-Nya dan rasa syukur atas segala karunia-Nya.

Mari kita sejenak berhenti. Hentikan segala aktivitas, pejamkan mata, dan ucapkan perlahan: "Ya Allah... Alhamdulillah." Rasakan getarannya. "Ya Allah," sebuah panggilan yang mengakui posisi kita sebagai hamba, sebagai makhluk yang tiada daya dan upaya kecuali atas pertolongan-Nya. Panggilan ini adalah bentuk penyerahan diri, sebuah deklarasi bahwa kita memiliki Tuhan yang Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Mengetahui setiap helaan napas dan gejolak hati kita. Di saat kita memanggil "Ya Allah," kita sedang meruntuhkan tembok kesombongan diri, mengakui bahwa kita butuh, kita lemah, dan kita bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Ini adalah langkah pertama menuju kerendahan hati yang sejati.

Kemudian, setelah panggilan itu, kita lanjutkan dengan "Alhamdulillah." Segala puji hanya bagi Allah. Perhatikan kata "Al-" di awal, yang dalam bahasa Arab berarti totalitas, keseluruhan, tanpa kecuali. Bukan sekadar "puji bagi Allah," tetapi "segala puji." Ini berarti setiap pujian, setiap keindahan, setiap kebaikan yang ada di alam semesta ini, pada hakikatnya kembali kepada-Nya. Pujian atas terbitnya matahari, atas sejuknya udara pagi, atas nikmatnya seteguk air, atas kesehatan badan, atas kelapangan rezeki, bahkan atas ujian yang membentuk kita. Semua, tanpa terkecuali, adalah milik-Nya dan untuk-Nya. Ketika dua frasa ini digabungkan, "Ya Allah, Alhamdulillah," terciptalah sebuah resonansi spiritual yang dahsyat. Kita memanggil Sang Pemilik segala puji, lalu kita mengembalikan segala pujian itu kepada-Nya. Ini adalah siklus pengabdian yang sempurna.

Membedah Makna Syukur: Lebih dari Sekadar Ucapan

Syukur, atau rasa terima kasih, seringkali disederhanakan menjadi sekadar ucapan "terima kasih" atau "Alhamdulillah." Padahal, hakikat syukur jauh lebih dalam dan luas dari itu. Ia adalah sebuah kondisi batin, sebuah sikap hidup, dan sebuah manifestasi perbuatan yang berakar pada keyakinan yang kokoh. Syukur adalah pilar yang menopang bangunan keimanan seorang hamba. Tanpanya, iman akan terasa kering, ibadah menjadi mekanis, dan hidup dipenuhi keluh kesah.

Imam Al-Ghazali, dalam magnum opusnya, Ihya' Ulumiddin, membagi syukur ke dalam tiga tingkatan yang saling berkaitan dan membangun. Memahami tingkatan ini membantu kita untuk mengukur sejauh mana kita telah benar-benar bersyukur.

1. Syukur dengan Hati (Syukr bil Qalb)

Ini adalah fondasi dari segala bentuk syukur. Syukur dengan hati adalah kesadaran penuh dan pengakuan tanpa syarat di dalam batin bahwa setiap nikmat, sekecil apa pun, datangnya murni dari Allah SWT. Bukan karena kepintaran kita, bukan karena kerja keras kita semata, bukan pula karena kebetulan. Hati yang bersyukur adalah hati yang senantiasa melihat "tanda tangan" Allah dalam setiap detail kehidupannya. Ia melihat rezeki bukan hanya dalam bentuk uang, tetapi dalam teman yang baik, keluarga yang harmonis, kesehatan yang terjaga, kesempatan untuk belajar, dan bahkan dalam kesulitan yang memberinya pelajaran berharga. Hati ini dipenuhi dengan rasa cinta dan pengagungan kepada Sang Pemberi Nikmat. Ia merasa malu jika nikmat itu digunakan untuk hal yang tidak diridhai-Nya. Ini adalah level paling esensial, karena tanpa kesadaran di hati, ucapan di lisan hanyalah kata-kata hampa.

2. Syukur dengan Lisan (Syukr bil Lisan)

Setelah hati mengakui, maka lisan pun akan secara alami mengucapkannya. Mengucapkan "Alhamdulillahirabbil 'alamin" adalah manifestasi verbal dari apa yang dirasakan oleh hati. Ini bukan sekadar refleks atau kebiasaan, tetapi sebuah ungkapan tulus yang lahir dari kesadaran. Syukur dengan lisan juga mencakup menceritakan nikmat Allah (tahadduts bin ni'mah) bukan dengan niat untuk pamer atau sombong, tetapi dengan tujuan untuk mengakui kemurahan Allah dan menginspirasi orang lain untuk turut bersyukur. Berdiskusi tentang kebaikan-Nya, memuji-Nya dalam doa dan zikir, serta senantiasa menjaga lisan dari keluhan dan umpatan adalah bagian dari syukur lisan. Lisan yang basah dengan zikir dan pujian adalah cerminan dari hati yang hidup dengan rasa syukur.

3. Syukur dengan Perbuatan (Syukr bil Jawarih)

Inilah puncak dan bukti nyata dari rasa syukur. Hati yang mengakui dan lisan yang mengucap harus dibuktikan dengan perbuatan anggota badan. Syukur dengan perbuatan berarti menggunakan setiap nikmat yang Allah berikan sesuai dengan tujuan penciptaannya dan di jalan yang diridhai-Nya. Nikmat mata digunakan untuk membaca Al-Qur'an dan melihat kebesaran ciptaan-Nya, bukan untuk melihat yang haram. Nikmat telinga digunakan untuk mendengar nasihat baik dan lantunan ayat suci, bukan untuk ghibah. Nikmat tangan digunakan untuk menolong sesama dan bekerja yang halal, bukan untuk mengambil yang bukan haknya. Nikmat harta digunakan untuk bersedekah dan memenuhi kebutuhan keluarga, bukan untuk foya-foya. Nikmat ilmu digunakan untuk mengajar dan memberi manfaat, bukan untuk menipu. Setiap ibadah yang kita lakukan, mulai dari shalat, puasa, hingga zakat, pada hakikatnya adalah bentuk tertinggi dari syukur dengan perbuatan. Kita menggunakan seluruh tubuh dan harta yang Ia berikan untuk mengabdi kepada-Nya.

Syukur dalam Al-Qur'an: Janji dan Peringatan

Al-Qur'an, sebagai petunjuk hidup, memberikan perhatian yang sangat besar pada konsep syukur. Allah SWT tidak hanya memerintahkannya, tetapi juga menjelaskan ganjaran bagi mereka yang bersyukur dan ancaman bagi mereka yang kufur nikmat. Ini menunjukkan betapa sentralnya posisi syukur dalam pandangan Islam.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'." (QS. Ibrahim: 7)

Ayat ini adalah janji ilahi yang paling terkenal mengenai syukur. Janji "pasti Kami akan menambah" (la-azidannakum) sangatlah kuat. Penambahan ini tidak boleh kita persempit maknanya hanya pada penambahan materi. Ya, bisa jadi Allah menambah harta bagi yang bersyukur dengan hartanya. Namun, "penambahan" itu bisa berarti jauh lebih luas dan berharga. Bisa berarti penambahan keberkahan dalam nikmat yang sudah ada, sehingga yang sedikit terasa cukup dan menenangkan. Bisa berarti penambahan keimanan, ketenangan jiwa (sakinah), dan rasa damai. Bisa berarti penambahan kesehatan, keharmonisan dalam keluarga, atau kemudahan dalam segala urusan. Janji Allah ini mutlak. Jika kita merasa nikmat kita tidak bertambah, mungkin cara kita bersyukur yang perlu dievaluasi, bukan janji-Nya yang perlu diragukan.

Sebaliknya, ayat ini juga memberikan peringatan yang keras: "jika kamu mengingkari (nikmat-Ku)." Kata yang digunakan adalah 'kafartum', yang berakar dari kata 'kufur'. Kufur nikmat bukan sekadar tidak berterima kasih, tetapi juga menutupi atau mengingkari nikmat tersebut. Ini bisa berupa merasa bahwa semua yang didapat adalah murni hasil jerih payah sendiri, menggunakan nikmat untuk maksiat, atau terus-menerus mengeluh dan merasa kurang. Ancaman "sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" adalah konsekuensi logis. Azab ini bisa berupa dicabutnya nikmat tersebut, hilangnya keberkahan, atau hati yang selalu gelisah, cemas, dan tidak pernah merasa puas, yang merupakan siksaan batin yang luar biasa pedih.

Dalam surat lain, Allah menghubungkan syukur dengan ibadah dan ingatan kepada-Nya.

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku." (QS. Al-Baqarah: 152)

Ayat ini menempatkan perintah syukur sejajar dengan perintah zikir (mengingat Allah). Ini mengisyaratkan bahwa mengingat Allah adalah pintu menuju syukur. Bagaimana mungkin kita bisa bersyukur kepada Sang Pemberi Nikmat jika kita sering melupakan-Nya? Dengan mengingat Allah, hati kita akan selalu terhubung dengan sumber segala karunia. Zikir akan membuka mata hati kita untuk melihat betapa banyak nikmat yang seringkali kita anggap remeh. Hubungan timbal balik "ingatlah Aku, niscaya Aku ingat kepadamu" adalah sebuah jaminan kasih sayang yang luar biasa, yang kemudian disempurnakan dengan perintah, "bersyukurlah kepada-Ku." Seolah-olah Allah berkata, "Aku telah mengingatmu dengan memberikan semua ini, maka balaslah ingatan-Ku dengan rasa syukurmu."

Meneladani Rasulullah: Puncak Manifestasi Hamba yang Bersyukur

Jika kita mencari contoh nyata tentang bagaimana menjadi hamba yang bersyukur (`abdan syakuran`), tidak ada teladan yang lebih sempurna daripada Nabi Muhammad SAW. Kehidupan beliau adalah tafsir berjalan dari Al-Qur'an, termasuk dalam hal syukur. Syukur beliau bukanlah syukur musiman atau syukur yang hanya muncul saat lapang, melainkan sebuah karakter yang melekat erat dalam setiap tarikan napas dan langkah beliau.

Salah satu kisah yang paling mengharukan adalah tentang ibadah malam beliau. 'Aisyah RA menceritakan bahwa Rasulullah SAW biasa shalat malam hingga kedua telapak kaki beliau bengkak. Melihat hal itu, 'Aisyah bertanya dengan penuh kasih, "Mengapa engkau melakukan ini, wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" Jawaban Rasulullah adalah esensi dari syukur tertinggi. Beliau bersabda, "أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا" (Afalaa akuunu 'abdan syakuuran?), yang artinya, "Tidakkah aku selayaknya menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?"

Renungkanlah jawaban ini. Rasulullah, manusia pilihan yang dijamin surga, tidak menjadikan jaminan itu sebagai alasan untuk bersantai. Justru, jaminan ampunan itu beliau pandang sebagai nikmat terbesar yang harus disyukuri dengan cara memaksimalkan ibadah. Shalat malam yang begitu panjang hingga kaki bengkak bukanlah beban, melainkan ekspresi cinta dan terima kasih kepada Allah. Ini mengajarkan kita sebuah pelajaran fundamental: ibadah kita bukanlah untuk "membeli" surga atau "menghindari" neraka semata, melainkan sebagai manifestasi rasa syukur kita atas nikmat iman dan hidayah yang tak ternilai harganya.

Syukur Rasulullah juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Beliau adalah orang yang paling sering mengucapkan Alhamdulillah. Setiap selesai makan, setiap bangun tidur, setiap mengenakan pakaian baru, bahkan setelah bersin, lisan beliau senantiasa basah dengan pujian kepada Allah. Doa-doa beliau pun sarat dengan permohonan agar dijadikan hamba yang pandai bersyukur. Salah satu doanya yang masyhur adalah, "Ya Allah, bantulah aku untuk selalu mengingat-Mu, mensyukuri nikmat-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan baik." (Allahumma a'inni 'ala dzikrika wa syukrika wa husni 'ibadatik). Permohonan "bantulah aku" menunjukkan kerendahan hati beliau, mengakui bahwa bahkan untuk bisa bersyukur pun kita memerlukan pertolongan dari Allah.

Dimensi Psikologis Syukur: Obat Penenang Jiwa

Jauh sebelum psikologi modern menemukan manfaat "gratitude", Islam telah meletakkan syukur sebagai fondasi kesehatan mental dan spiritual. Syukur adalah penawar racun bagi jiwa. Ia mampu mengubah perspektif, meredakan kecemasan, dan menumbuhkan kebahagiaan sejati yang tidak bergantung pada kondisi eksternal.

Mengubah Fokus dari Kekurangan ke Kelebihan

Sifat dasar manusia adalah cenderung fokus pada apa yang tidak ia miliki. Kita melihat mobil tetangga yang lebih baru, rumah teman yang lebih besar, atau pencapaian kolega yang lebih tinggi. Fokus pada kekurangan ini melahirkan perasaan iri, dengki, tidak puas, dan cemas. Syukur bekerja dengan cara membalikkan lensa ini. Ia memaksa kita untuk melihat dan menghitung apa yang telah kita miliki. Ketika kita mulai mendaftar nikmat-nikmat yang ada—napas yang masih berhembus, mata yang masih bisa melihat, keluarga yang menyayangi, makanan di atas meja—kita akan terkejut betapa panjangnya daftar itu. Proses ini secara otomatis menggeser fokus kita. Energi mental yang tadinya habis untuk mengeluh dan membanding-bandingkan, kini dialihkan untuk mengapresiasi dan menikmati karunia yang ada. Ini menciptakan rasa cukup (`qana'ah`) yang merupakan salah satu kekayaan terbesar.

Perisai Melawan Stres dan Kecemasan

Stres dan kecemasan seringkali muncul dari kekhawatiran akan masa depan atau penyesalan akan masa lalu. Hati yang bersyukur adalah hati yang berlabuh pada saat ini (`the present moment`). Ia sadar bahwa setiap detik yang ia jalani adalah nikmat. Dengan keyakinan bahwa Allah adalah Sang Maha Pengatur, ia menyerahkan urusan masa depan kepada-Nya sambil terus berusaha. Ia percaya bahwa apa pun yang terjadi adalah yang terbaik menurut ilmu Allah. Keyakinan ini—bahwa kita berada dalam pemeliharaan Tuhan Yang Maha Pengasih—adalah perisai yang sangat kuat melawan serangan stres dan kecemasan. Orang yang bersyukur tidak akan mudah panik menghadapi ketidakpastian, karena ia tahu bahwa Tuhannya tidak akan pernah menelantarkannya.

Meningkatkan Resiliensi dan Kesabaran

Syukur dan sabar adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Seorang ulama pernah berkata, "Iman itu terbagi menjadi dua: separuhnya adalah sabar, dan separuhnya lagi adalah syukur." Keduanya saling menguatkan. Saat kita diuji dengan kesulitan, syukur membantu kita untuk tetap melihat hal-hal baik yang masih kita miliki. Misalnya, saat sakit, kita bersyukur masih bisa berobat. Saat kehilangan pekerjaan, kita bersyukur masih memiliki keluarga yang mendukung. Kemampuan untuk menemukan "nikmat di balik musibah" inilah yang membangun resiliensi atau daya lenting. Sebaliknya, kesabaran dalam menghadapi ujian akan membuka mata kita untuk lebih mensyukuri masa-masa lapang. Orang yang pernah merasakan sakit akan lebih mensyukuri nikmat sehat. Orang yang pernah merasakan sempit akan lebih mensyukuri nikmat lapang.

Menghadapi Ujian dengan Kacamata Syukur

Mungkin pertanyaan yang paling sulit adalah: "Bagaimana bisa kita bersyukur di tengah musibah dan kesulitan?" Bukankah ini terdengar kontradiktif? Inilah ujian sejati dari keimanan dan kualitas syukur seseorang. Syukur di saat lapang itu mudah, tetapi syukur di saat sempit membutuhkan pemahaman dan keyakinan yang mendalam.

Pertama, kita harus yakin bahwa tidak ada satu pun takdir Allah yang buruk bagi seorang mukmin. Sebagaimana sabda Nabi SAW, "Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Dan hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka yang demikian itu lebih baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka yang demikian itu lebih baik baginya." (HR. Muslim). Perspektif ini mengubah musibah dari sebuah "bencana" menjadi sebuah "peluang" kebaikan. Peluang untuk bersabar, peluang untuk diampuni dosa, dan peluang untuk ditinggikan derajatnya.

Kedua, syukur dalam ujian bukan berarti kita bersyukur atas rasa sakit atau kehilangan itu sendiri, tetapi kita bersyukur atas hal-hal lain yang menyertainya.

Kisah Nabi Ayyub AS adalah contoh agung. Beliau diuji dengan kehilangan seluruh harta, semua anak-anaknya, dan penyakit kulit yang parah hingga dijauhi oleh masyarakat. Namun, tidak pernah sekalipun lisannya berhenti berzikir dan hatinya berhenti bersyukur kepada Allah. Doa beliau bukanlah doa protes, melainkan doa yang penuh adab, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang." (QS. Al-Anbiya: 83). Beliau tetap mengakui sifat Maha Penyayang Allah bahkan di puncak penderitaannya. Inilah kacamata syukur yang mengubah nestapa menjadi tangga menuju kemuliaan.

Buah Manis dari Pohon Syukur

Menanam pohon syukur dalam taman hati adalah investasi seumur hidup yang buahnya tidak hanya kita petik di dunia, tetapi juga akan kita nikmati selamanya di akhirat. Buah-buah ini begitu manis dan menenangkan, mengubah cara kita memandang hidup secara keseluruhan.

1. Ketenangan Batin (Sakinah). Ini adalah buah pertama dan yang paling didambakan. Orang yang bersyukur memiliki hati yang damai. Ia tidak dikejar-kejar oleh ambisi duniawi yang tak berkesudahan. Ia ridha dengan ketetapan Allah. Ketenangan ini tidak bisa dibeli dengan harta sebanyak apa pun. Ia adalah anugerah langsung dari Allah bagi hati yang pandai berterima kasih.

2. Keberkahan Hidup. Sebagaimana janji Allah dalam QS. Ibrahim ayat 7, syukur mengundang datangnya tambahan nikmat. Tambahan ini seringkali dalam bentuk keberkahan. Harta yang berkah adalah harta yang walaupun sedikit, namun mencukupi dan membawa kebaikan. Waktu yang berkah adalah waktu yang walaupun singkat, namun bisa diisi dengan banyak amal shaleh. Keluarga yang berkah adalah keluarga yang dipenuhi cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah).

3. Pandangan Hidup yang Positif. Hamba yang bersyukur adalah seorang optimis sejati. Ia tidak mudah putus asa. Dalam setiap kejadian, ia selalu berusaha mencari sisi baik dan hikmahnya. Ia melihat gelas sebagai setengah penuh, bukan setengah kosong. Pola pikir positif ini tidak hanya baik untuk kesehatan mentalnya, tetapi juga menularkan energi positif kepada orang-orang di sekitarnya.

4. Dicintai Allah dan Manusia. Allah SWT mencintai hamba-hamba-Nya yang bersyukur. Rasa syukur adalah bentuk pengakuan atas kemurahan-Nya, dan Allah akan membalas pengakuan itu dengan cinta-Nya. Di sisi lain, orang yang pandai bersyukur juga akan dicintai oleh sesama manusia. Ia tidak menjadi pribadi pengeluh yang menyebarkan aura negatif. Sebaliknya, ia menjadi sumber inspirasi, pribadi yang menyenangkan, dan teman yang baik karena ia selalu bisa menghargai kebaikan sekecil apa pun dari orang lain.

5. Puncak Kenikmatan di Surga. Ganjaran tertinggi bagi ahli syukur adalah surga. Penduduk surga adalah mereka yang senantiasa memuji Allah. Ucapan mereka di surga adalah "Alhamdulillah." Sebagaimana firman Allah, "Dan mereka berkata: 'Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk'." (QS. Al-A'raf: 43). Syukur yang kita latih di dunia ini adalah sebuah gladi resik, sebuah persiapan untuk bisa menikmati puncak kenikmatan abadi sambil terus mengucapkan, "Alhamdulillahirabbil 'alamin."

Kesimpulan: Menjadikan Syukur Sebagai Nafas Kehidupan

Kembali kita pada dua frasa agung itu: "Ya Allah, Alhamdulillah." Ia bukan sekadar kalimat penutup doa atau respons sesaat setelah mendapat nikmat. Ia adalah sebuah filosofi hidup. Sebuah kompas yang mengarahkan hati kita untuk selalu kembali kepada-Nya dalam setiap keadaan. Ia adalah jangkar yang menahan kapal kehidupan kita agar tidak oleng diterpa badai keluh kesah dan ketidakpuasan.

Mari kita jadikan syukur sebagai napas kita. Setiap tarikan napas adalah kesempatan untuk menghirup kesadaran akan nikmat-Nya, dan setiap hembusan napas adalah momen untuk melepaskan pujian kepada-Nya. Latihlah hati untuk melihat, latihlah lisan untuk berucap, dan latihlah raga untuk berbuat. Mulailah dari hal-hal kecil. Bersyukur atas secangkir teh hangat di pagi hari. Bersyukur atas senyuman dari orang yang kita sayangi. Bersyukur atas atap yang melindungi kita dari hujan dan panas.

Ketika kita mampu menjadikan syukur sebagai kebiasaan, sebagai karakter, maka kita akan menemukan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang memiliki semua yang kita inginkan, melainkan tentang menginginkan dan menghargai semua yang telah kita miliki. Saat itulah, hidup tidak lagi terasa sebagai beban perlombaan, melainkan sebagai sebuah perjalanan indah yang setiap detiknya layak untuk disyukuri. Dan di setiap langkah perjalanan itu, semoga lisan dan hati kita tidak pernah letih untuk senantiasa berbisik, memanggil, dan mengakui: "Ya Allah, Alhamdulillah."

🏠 Homepage