Tragedi Sejarah: Sosok yang Membunuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib

Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu kesayangan Nabi Muhammad SAW, adalah salah satu tokoh sentral dan paling dihormati dalam sejarah Islam. Kehidupannya yang penuh pengabdian dan kepemimpinan berakhir dengan sebuah tragedi besar: pembunuhan saat ia sedang melaksanakan salat Subuh di Masjid Agung Kufah. Pertanyaan mengenai yang membunuh Sayyidina Ali telah menjadi subjek kajian sejarah dan teologi selama berabad-abad.

Peristiwa nahas tersebut terjadi pada tanggal 19 Ramadan tahun 40 Hijriah (661 Masehi). Ali yang saat itu menjabat sebagai Khalifah keempat kaum Muslimin, menjadi sasaran konspirasi politik yang didorong oleh ketidakpuasan terhadap kebijakannya. Pembunuhan ini bukan sekadar tindak kriminal biasa, melainkan sebuah titik balik dramatis dalam sejarah umat Islam, yang turut memperdalam perpecahan yang sudah ada.

Ali Tragedi Kufah

Representasi simbolis dari peristiwa pembunuhan Sayyidina Ali saat salat.

Identitas Pelaku Utama: Abdurrahman bin Muljam

Secara historis dan diakui oleh mayoritas sumber, pelaku utama yang secara fisik melakukan penyerangan fatal terhadap Sayyidina Ali adalah seorang pria bernama Abdurrahman bin Muljam al-Muradi. Ia adalah salah satu anggota kelompok Khawarij, sebuah sekte yang memisahkan diri dari barisan Ali karena tidak setuju dengan keputusan beliau dalam menerima arbitrase (tahkim) setelah Pertempuran Shiffin.

Bagi Khawarij, Khalifah Ali, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam murni karena menerima arbitrase, sehingga mereka menetapkan bahwa ketiga pemimpin ini harus dihukum mati. Abdurrahman bin Muljam ditugaskan untuk melaksanakan hukuman tersebut terhadap Ali di Kufah.

Konspirasi di Balik Pembunuhan

Pembunuhan ini bukanlah tindakan tunggal yang dilakukan oleh Ibn Muljam sendirian. Ini adalah hasil dari sebuah konspirasi terencana yang melibatkan beberapa anggota Khawarij lainnya, meskipun hanya Ibn Muljam yang berhasil menuntaskan tugasnya. Konspirator lainnya adalah Habbab bin Shamikh, yang ditugaskan untuk membunuh Muawiyah di Damaskus, dan Amr bin Bakr, yang ditugaskan membunuh Amr bin Ash di Mesir.

Para perencana konspirasi ini bertemu di Makkah dan sepakat untuk bergerak serentak pada malam yang sama. Rencana untuk membunuh Muawiyah dan Amr bin Ash gagal; Muawiyah berhasil lolos dari luka serius, dan Amr bin Ash selamat karena saat itu Amr bin Ash digantikan oleh orang lain untuk memimpin salat. Namun, Abdurrahman bin Muljam berhasil menusuk Sayyidina Ali dengan pedang yang telah dilumuri racun saat Ali sedang sujud dalam salat Subuh. Racun tersebut bekerja secara perlahan namun mematikan.

Motivasi dan Latar Belakang Khawarij

Motivasi utama di balik tindakan Abdurrahman bin Muljam adalah ideologi Khawarij yang ekstrem. Mereka menolak otoritas Khalifah Ali karena menganggapnya telah melakukan dosa besar dengan menerima arbitrase untuk menyelesaikan konflik politik pasca-Shiffin. Bagi mereka, hanya Allah yang berhak menjadi hakim (laa hukma illa lillah). Karena penolakan ini, mereka memandang Ali sebagai murtad dan harus dieksekusi.

Setelah serangan itu, Ali sempat dirawat, namun luka tusukan berbisa tersebut tak tertahankan. Sebelum wafat, Ali berpesan agar jika ia meninggal, pembunuhnya (Abdurrahman bin Muljam) harus diperlakukan sesuai syariat, dengan memberikan satu kali hukuman setimpal jika ia terbukti bersalah.

Dampak Historis

Kematian Sayyidina Ali menandai akhir dari periode Khulafaur Rasyidin dan membuka jalan bagi era kekhalifahan yang berbeda. Pembunuhan ini meninggalkan luka mendalam di komunitas Muslim dan menjadi salah satu peristiwa kunci yang membentuk lanskap politik dan sektarian Islam di masa-masa berikutnya. Sosok yang membunuh Sayyidina Ali, yaitu Abdurrahman bin Muljam, selamanya tercatat dalam sejarah sebagai pelaku pembunuhan tragis terhadap salah satu sahabat agung Nabi Muhammad SAW.

🏠 Homepage