Membedah Status Ketuhanan: Argumen Bahwa Yesus Bukan Tuhan

Simbol tongkat gembala Sebuah tongkat gembala, simbol Yesus sebagai utusan dan pemandu umatnya, bukan sebagai objek sembahan.

Diskursus mengenai identitas sejati Yesus dari Nazaret telah menjadi pusat perdebatan teologis selama berabad-abad. Bagi sebagian besar dunia Kristen, ia adalah Tuhan yang menjelma menjadi manusia, bagian dari Trinitas yang kudus. Namun, sebuah pandangan alternatif yang kuat, didukung oleh analisis tekstual, konteks sejarah, dan argumen logis, menyatakan bahwa Yesus adalah seorang nabi agung, Mesias yang dinantikan, guru moral yang luar biasa, tetapi bukan Tuhan itu sendiri. Artikel ini akan menguraikan secara mendalam argumen-argumen yang mendasari keyakinan bahwa Yesus bukan Tuhan, melainkan hamba dan utusan-Nya yang paling mulia.

Penting untuk mengawali pembahasan ini dengan penghormatan setinggi-tingginya terhadap sosok Yesus. Mengajukan argumen bahwa ia bukan Tuhan sama sekali tidak mengurangi keagungan, kesucian, atau pentingnya peranannya dalam sejarah spiritualitas manusia. Sebaliknya, menempatkannya pada posisi yang semestinya—sebagai manusia pilihan yang mencapai puncak kedekatan dengan Tuhan—justru dapat memperjelas kemurnian pesannya dan meneguhkan kembali inti ajaran monoteisme yang ia warisi dan sampaikan.

Kemanusiaan Yesus yang Tak Terbantahkan

Salah satu pilar utama argumen ini adalah bukti-bukti yang melimpah dalam kitab suci mengenai kemanusiaan Yesus yang seutuhnya. Sifat-sifat ini bukanlah sekadar penampilan atau ilusi, melainkan realitas fundamental dari keberadaannya di bumi. Sifat-sifat ini secara inheren bertentangan dengan atribut-atribut ketuhanan yang absolut, seperti kemahakuasaan, kemahatahuan, dan ketiadaan kebutuhan.

Keterbatasan Fisik dan Biologis

Yesus dilahirkan dari seorang wanita, Maria. Proses kelahirannya, meskipun ajaib dalam konsepsinya, tetaplah sebuah proses biologis yang menandai awal dari sebuah eksistensi manusiawi. Ia bertumbuh dari bayi menjadi anak-anak, lalu dewasa. Injil Lukas mencatat, "Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia" (Lukas 2:52). Pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual adalah ciri khas makhluk ciptaan, bukan Sang Pencipta yang sempurna sejak azali.

Sepanjang hidupnya, Yesus menunjukkan kebutuhan fisik yang sama dengan manusia lainnya. Ia merasa lapar setelah berpuasa (Matius 4:2), haus saat berada di sumur Yakub (Yohanes 4:7) dan saat di kayu salib (Yohanes 19:28). Ia merasa lelah setelah perjalanan jauh dan perlu tidur untuk memulihkan tenaga (Markus 4:38). Kebutuhan-kebutuhan mendasar ini—makan, minum, istirahat—adalah tanda-tanda ketergantungan pada sumber eksternal untuk mempertahankan kehidupan. Tuhan, sebagai entitas yang mandiri dan sumber segala energi, tidak memiliki ketergantungan semacam itu. Konsep Tuhan yang lapar atau lelah adalah sebuah kontradiksi teologis.

Keterbatasan Emosional dan Psikologis

Yesus juga mengalami spektrum emosi manusia secara penuh. Ia bisa merasa takjub (Matius 8:10), marah dan sedih melihat kekerasan hati orang-orang Farisi (Markus 3:5), menangis karena kematian sahabatnya, Lazarus (Yohanes 11:35), dan merasakan kesedihan yang mendalam hingga "seperti mau mati rasanya" di Taman Getsemani (Matius 26:38).

Momen di Getsemani adalah salah satu bukti terkuat akan kemanusiaannya yang terpisah dari Tuhan. Ia merasa takut dan gentar menghadapi penderitaan yang akan datang, sehingga ia berdoa:

"Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39)

Doa ini mengungkapkan beberapa hal penting. Pertama, adanya dua kehendak yang berbeda: kehendak Yesus (untuk menghindari penderitaan) dan kehendak Tuhan (yang harus terjadi). Jika Yesus adalah Tuhan, maka hanya akan ada satu kehendak ilahi. Kedua, ia menunjukkan kepasrahan seorang hamba kepada Tuannya, bukan otonomi seorang Tuhan. Ketiga, ia menunjukkan rasa takut dan kecemasan, emosi yang berasal dari keterbatasan dan ketidakpastian, sifat yang tidak dapat dilekatkan pada Tuhan Yang Mahakuasa.

Keterbatasan Pengetahuan

Salah satu atribut utama Tuhan adalah kemahatahuan (omniscience), yaitu mengetahui segala sesuatu. Namun, Yesus secara eksplisit menyatakan keterbatasan pengetahuannya. Mengenai hari kiamat, ia berkata:

"Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorang pun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa saja." (Markus 13:32)

Pernyataan ini sangat jelas dan tidak ambigu. Yesus menempatkan dirinya dalam kategori makhluk yang tidak mengetahui—bersama manusia dan malaikat—dan secara tegas membedakan pengetahuannya dari pengetahuan "Bapa" yang tunggal. Jika Yesus adalah Tuhan yang setara dengan Bapa dalam segala hal, maka ia juga seharusnya memiliki pengetahuan yang sama. Upaya untuk menjelaskan ayat ini dengan mengatakan bahwa "sifat kemanusiaannya" tidak tahu sementara "sifat ketuhanannya" tahu, menciptakan sebuah dualisme internal yang rumit dan tidak didukung oleh teks itu sendiri. Teks tersebut hanya menyatakan, "Anak pun tidak," tanpa kualifikasi lebih lanjut.

Analisis Ucapan Yesus Sendiri: Posisi sebagai Hamba dan Utusan

Jika kita menyimak dengan saksama kata-kata yang diatribusikan kepada Yesus dalam Injil, kita akan menemukan sebuah pola yang konsisten: ia tidak pernah mengklaim dirinya sebagai Tuhan Yang Mahakuasa. Sebaliknya, ia secara konsisten memposisikan dirinya sebagai seorang utusan yang tunduk dan bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, yang ia sebut "Bapa".

Pembedaan Tegas Antara Dirinya dan Tuhan

Yesus selalu berbicara tentang Tuhan sebagai entitas yang terpisah dan lebih tinggi dari dirinya. Ia mengajarkan para pengikutnya untuk berdoa kepada "Bapa kami yang di sorga" (Matius 6:9), bukan berdoa kepadanya. Hubungan yang ia gambarkan adalah hubungan antara pengirim dan yang dikirim, antara tuan dan hamba.

"Sebab Aku telah turun dari sorga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku." (Yohanes 6:38)

Dalam pernyataan ini, sekali lagi terlihat adanya dua kehendak yang berbeda, yang menegaskan dua entitas yang berbeda. Ia juga berkata secara lugas mengenai superioritas Bapa:

"...sebab Bapa lebih besar dari pada-Ku." (Yohanes 14:28)

Pernyataan ini adalah salah satu yang paling sulit untuk didamaikan dengan doktrin Trinitas yang menyatakan kesetaraan antara Bapa dan Anak. Kalimat tersebut sederhana, langsung, dan hierarkis. Bapa lebih besar, Anak lebih kecil. Ini adalah hubungan subordinasi, bukan kesetaraan.

Sumber Kekuatan dan Otoritasnya

Yesus tidak pernah mengklaim bahwa mukjizat-mukjizat yang ia lakukan berasal dari kekuatannya sendiri. Ia selalu mengatribusikannya kepada Tuhan. Ia berkata:

"Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku." (Yohanes 5:30)

Bahkan ajarannya pun ia akui bukan berasal dari dirinya, melainkan dari Tuhan. "Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus Aku" (Yohanes 7:16). Pola ini konsisten: semua kekuatan, pengetahuan, dan otoritas yang dimiliki Yesus adalah pemberian, bukan sesuatu yang inheren dalam dirinya. Tuhan adalah sumbernya, dan Yesus adalah salurannya. Ini adalah deskripsi yang sempurna tentang seorang nabi, bukan Tuhan.

Penolakannya Terhadap Gelar yang Mengimplikasikan Kebaikan Absolut

Dalam sebuah insiden yang terkenal, seseorang memanggil Yesus "Guru yang baik." Respons Yesus sangatlah signifikan:

"Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorang pun yang baik selain dari pada Allah saja." (Markus 10:18)

Di sini, Yesus secara eksplisit menolak sebuah atribut—kebaikan absolut—dan mengarahkannya hanya kepada Tuhan. Ia membuat sebuah garis pemisah yang jelas antara dirinya dan Tuhan. Jika ia adalah Tuhan, respons yang logis seharusnya adalah menerima pujian tersebut. Namun, ia justru mengoreksi orang itu, menegaskan bahwa kebaikan tertinggi dan satu-satunya yang sejati hanya milik Tuhan.

Monoteisme Murni: Inti Ajaran Para Nabi

Yesus adalah seorang Yahudi yang hidup dalam tradisi monoteistik yang kental. Fondasi Yudaisme adalah keyakinan pada keesaan Tuhan yang absolut, yang dikenal sebagai Shema Yisrael:

"Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!" (Ulangan 6:4)

Ketika ditanya tentang perintah yang paling utama, Yesus tidak memberikan doktrin baru tentang Trinitas atau tentang dirinya. Sebaliknya, ia mengutip langsung perintah monoteistik ini:

"Jawab Yesus: 'Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.'" (Markus 12:29)

Penegasannya terhadap Shema menunjukkan bahwa inti ajarannya adalah kelanjutan, bukan pembongkaran, dari monoteisme Abrahamik. Doktrin Trinitas, yang memperkenalkan konsep tiga pribadi dalam satu Tuhan, secara fundamental mengubah paradigma monoteisme ini menjadi sesuatu yang jauh lebih kompleks dan, bagi banyak orang, sulit dipahami secara logis. Jika Yesus bermaksud memperkenalkan konsep revolusioner tentang sifat Tuhan, mengapa ia justru meneguhkan kembali kredo monoteisme Yahudi yang paling fundamental sebagai perintah terpenting? Jawabannya adalah karena ia tidak datang untuk mengubahnya. Pesannya selaras dengan pesan semua nabi sebelumnya: sembahlah Tuhan yang Esa.

Sepanjang pelayanannya, Yesus mengajarkan penyembahan eksklusif kepada Bapa. Ia tidak pernah sekali pun berkata, "Sembahlah Aku." Sebaliknya, ia berkata, "Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti" (Matius 4:10), mengutip dari kitab suci Yahudi. Ia sendiri adalah seorang penyembah. Ia berdoa kepada Tuhan, berpuasa untuk Tuhan, dan menyerahkan hidupnya kepada kehendak Tuhan. Tindakan menyembah secara inheren menciptakan hubungan antara penyembah (makhluk) dan yang disembah (Pencipta). Yesus secara konsisten menempatkan dirinya di sisi penyembah.

Konteks Sejarah dan Evolusi Doktrin Ketuhanan Yesus

Keyakinan bahwa Yesus adalah Tuhan bukanlah sebuah doktrin yang diterima secara universal oleh para pengikutnya sejak awal. Sejarah gereja perdana menunjukkan adanya perdebatan sengit dan keragaman pandangan mengenai sifat sejati Yesus. Doktrin Trinitas seperti yang kita kenal sekarang adalah hasil dari evolusi teologis selama berabad-abad, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor filsafat, politik, dan budaya.

Komunitas Kristen Awal

Banyak komunitas Kristen Yahudi paling awal, seperti kaum Ebionit dan Nazarene, mempertahankan pandangan unitarian yang ketat. Mereka menerima Yesus sebagai Mesias, seorang nabi yang diberdayakan oleh Tuhan, tetapi bukan sebagai Tuhan itu sendiri. Mereka terus mematuhi hukum Taurat dan memandang diri mereka sebagai bagian dari tradisi Yahudi. Pandangan mereka, yang mungkin lebih dekat dengan pandangan para rasul asli, secara bertahap terpinggirkan ketika Kekristenan menyebar ke dunia non-Yahudi (Gentile).

Pengaruh Filsafat Yunani (Helenisme)

Ketika Kekristenan bertemu dengan dunia Greco-Roman, ia berinteraksi dengan tradisi filsafat yang kaya, terutama Platonisme dan Stoikisme. Para teolog Kristen awal yang terdidik dalam filsafat Yunani, seperti Yustinus Martir dan Klemens dari Alexandria, mulai menggunakan konsep-konsep filosofis untuk menjelaskan iman mereka kepada audiens non-Yahudi.

Salah satu konsep kunci adalah Logos (Firman atau Akal Budi). Dalam filsafat Yunani, Logos adalah prinsip rasional ilahi yang menata alam semesta. Teolog Kristen mengadopsi istilah ini dari Injil Yohanes ("Pada mulanya adalah Firman...") dan menginterpretasikannya melalui lensa Helenistik. Mereka mulai menggambarkan Yesus sebagai inkarnasi dari Logos ilahi ini, sebuah jembatan antara Tuhan yang transenden dan dunia material. Meskipun awalnya dimaksudkan untuk menjelaskan keagungan Yesus, konsep ini secara bertahap membuka jalan bagi gagasan tentang pra-eksistensi ilahi dan akhirnya, kesetaraan penuh dengan Tuhan.

Konsili Nicea dan Kontroversi Arian

Perdebatan paling krusial mengenai sifat Yesus mencapai puncaknya pada abad keempat. Seorang presbiter dari Alexandria bernama Arius mengajarkan apa yang selama ini menjadi pandangan umum: bahwa Anak (Yesus) adalah ciptaan Tuhan yang pertama dan paling mulia, tetapi ia tidak kekal dan tidak setara dengan Bapa. "Ada suatu masa ketika ia tidak ada," adalah slogan kaum Arian. Pandangan ini, yang menjaga keunikan dan supremasi Bapa, sangat populer dan menyebar luas.

Di sisi lain adalah Athanasius, juga dari Alexandria, yang berpendapat bahwa Anak adalah homoousios (dari zat yang sama) dengan Bapa, artinya ia sama-sama kekal dan sama-sama ilahi. Perdebatan ini begitu hebat hingga mengancam stabilitas Kekaisaran Romawi. Kaisar Konstantinus, yang baru saja melegalkan Kekristenan, merasa perlu untuk menyelesaikan masalah ini.

Ia pun menyelenggarakan Konsili Nicea pada tahun 325. Konsili ini bukanlah pertemuan para teolog yang dengan tenang mencapai konsensus spiritual. Ia sangat dipengaruhi oleh politik kekaisaran. Konstantinus, yang lebih peduli pada persatuan daripada kebenaran teologis, akhirnya memihak Athanasius. Arius dan ajarannya dikutuk sebagai bid'ah. Kredo Nicea yang dirumuskan di sana menjadi pernyataan resmi pertama yang menegaskan keilahian penuh Yesus.

Penting untuk dicatat bahwa keputusan di Nicea bukanlah akhir dari perdebatan. Kontroversi Arian terus berlanjut selama beberapa dekade sesudahnya, dengan banyak kaisar dan uskup yang silih berganti mendukung kedua belah pihak. Fakta bahwa doktrin fundamental ini harus diputuskan melalui pemungutan suara dalam sebuah konsili yang dipengaruhi politik, berabad-abad setelah Yesus hidup, menunjukkan bahwa hal itu bukanlah ajaran asli yang jelas dan diterima semua orang.

Menafsirkan Ulang Ayat-Ayat Kunci

Para pendukung ketuhanan Yesus sering kali mengutip beberapa ayat tertentu sebagai bukti. Namun, jika ayat-ayat ini dibaca dalam konteks yang lebih luas dari keseluruhan pesan Alkitab dan pemahaman budaya saat itu, interpretasi alternatif yang non-trinitarian menjadi sangat masuk akal.

"Aku dan Bapa adalah satu." (Yohanes 10:30)

Ayat ini sering dianggap sebagai klaim kesetaraan esensi. Namun, kata "satu" (hen dalam bahasa Yunani) di sini adalah dalam bentuk netral, yang lebih mengacu pada kesatuan tujuan, kehendak, atau misi, bukan kesatuan wujud (numerik). Yesus sendiri menjelaskan makna "kesatuan" ini dalam doanya bagi para muridnya beberapa bab kemudian:

"...supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita... supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu." (Yohanes 17:21-22)

Jelas, Yesus tidak berdoa agar para muridnya secara harfiah menjadi satu entitas dengan dirinya atau dengan Tuhan. Ia berdoa agar mereka bersatu dalam tujuan, cinta, dan semangat, sama seperti ia bersatu dalam tujuan dengan Bapa. Jadi, ketika ia berkata "Aku dan Bapa adalah satu," ia mengklaim keselarasan sempurna dengan misi Tuhan, bukan identitas ontologis sebagai Tuhan.

Thomas: "Ya Tuhanku dan Allahku!" (Yohanes 20:28)

Seruan Thomas saat melihat Yesus yang telah bangkit ini sering dianggap sebagai pengakuan definitif atas keilahian Yesus. Namun, ada beberapa cara untuk memahaminya. Pertama, ini bisa jadi sebuah seruan keterkejutan dan kekaguman, sebuah ekspresi yang umum dalam banyak bahasa. Seseorang yang melihat keajaiban mungkin berseru, "Ya Tuhanku!" tanpa bermaksud mengatakan bahwa objek di depannya adalah Tuhan. Dalam konteks ini, Thomas, yang tadinya ragu, akhirnya melihat bukti kebangkitan dan berseru kepada Tuhan atas keajaiban yang disaksikannya melalui Yesus.

Kedua, bisa jadi seruan itu ditujukan kepada dua pribadi: "Ya Tuhanku (merujuk pada Yesus sebagai 'Tuan' atau 'Guru') dan Allahku (merujuk pada Tuhan Bapa yang membangkitkannya)!" Apapun interpretasinya, mengambil satu seruan emosional dari seorang murid dan membangun seluruh doktrin ketuhanan di atasnya adalah fondasi yang kurang kokoh, terutama ketika berhadapan dengan puluhan pernyataan Yesus sendiri yang menegaskan posisinya di bawah Tuhan.

Istilah "Anak Allah"

Gelar "Anak Allah" sering disalahartikan sebagai klaim ketuhanan literal. Namun, dalam konteks budaya Yahudi pada waktu itu, istilah ini memiliki makna metaforis. "Anak Allah" bisa merujuk kepada bangsa Israel secara kolektif (Keluaran 4:22), kepada raja-raja Israel (Mazmur 2:7), kepada orang-orang saleh (Hosea 1:10), atau bahkan kepada malaikat. Gelar ini menandakan hubungan yang sangat dekat dan istimewa dengan Tuhan, sebuah pilihan ilahi, atau peran sebagai wakil Tuhan di bumi. Itu tidak pernah dipahami sebagai keturunan biologis atau kesetaraan dalam esensi ilahi. Ketika Yesus disebut "Anak Allah," itu adalah pengakuan atas perannya yang unik sebagai Mesias dan utusan yang paling dikasihi, bukan sebagai Tuhan itu sendiri.

"Pada mulanya adalah Firman..." (Yohanes 1:1)

Prolog Injil Yohanes adalah salah satu teks yang paling puitis dan teologis. "Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah." Kalimat terakhir ("Firman itu adalah Allah") menjadi pusat perdebatan. Dalam bahasa Yunani aslinya, kalimat itu berbunyi "kai theos en ho logos". Kata untuk "Allah" (theos) di sini tidak menggunakan kata sandang definit ("the" atau "sang"), tidak seperti ketika merujuk pada Tuhan Bapa ("ho theos").

Banyak ahli bahasa Yunani berpendapat bahwa ketiadaan kata sandang ini memberikan kualitas atau sifat pada "Firman", bukan identitas. Terjemahan yang lebih akurat secara gramatikal bisa jadi "Firman itu bersifat ilahi" atau "Firman itu adalah suatu allah" (dalam arti makhluk surgawi yang kuat). Ini membedakan Firman (Yesus) dari Tuhan Yang Maha Esa (Bapa), sambil tetap mengakui sifatnya yang agung dan berasal dari Tuhan. Prolog ini dapat dipahami sebagai pernyataan bahwa rencana dan hikmat Tuhan (Firman-Nya) telah ada sejak awal, dan rencana itu diwujudkan secara sempurna dalam kehidupan dan pribadi Yesus.

Kesimpulan: Meneguhkan Kembali Pesan Murni Yesus

Argumen bahwa Yesus bukan Tuhan tidak dimaksudkan untuk merendahkan sosoknya. Sebaliknya, ini adalah upaya untuk memurnikan pemahaman kita tentang misinya dan mengembalikannya ke fondasi monoteisme yang ia ajarkan. Bukti dari kitab suci secara konsisten menggambarkan Yesus sebagai seorang manusia seutuhnya, dengan segala keterbatasan fisik, emosional, dan intelektual yang melekat padanya.

Ucapannya sendiri berulang kali menegaskan posisinya sebagai hamba dan utusan yang tunduk pada kehendak Tuhan yang lebih besar darinya. Ajarannya berpusat pada penyembahan kepada satu Tuhan yang Esa, sejalan dengan tradisi para nabi yang mendahuluinya. Sejarah menunjukkan bahwa doktrin ketuhanannya adalah sebuah perkembangan bertahap, yang dipengaruhi oleh filsafat dan politik, bukan sebuah kebenaran yang diwahyukan secara gamblang sejak awal.

Dengan melihat Yesus sebagai manusia termulia, utusan Tuhan yang paling sempurna, dan teladan tertinggi bagi umat manusia, kita tidak kehilangan apa pun. Justru, kita mendapatkan kejelasan. Pesannya menjadi lebih tajam: sembahlah Tuhan yang mengutusku, ikutilah teladanku dalam ketaatan dan cinta. Dengan demikian, kita menghormati Yesus dengan cara yang paling ia inginkan, yaitu dengan mengikuti ajarannya untuk mengesakan dan menyembah Tuhan yang Esa, satu-satunya Tuhan yang benar, Bapa di surga. Pandangan ini mengembalikan Yesus dari objek penyembahan teologis yang rumit menjadi pemandu spiritual yang dapat dijangkau, yang menunjukkan jalan menuju Tuhan melalui kehidupan dan ajarannya yang agung.

🏠 Homepage