Representasi visual hubungan aksiologi dengan bidang nilai lainnya.
Aksiologi merupakan salah satu cabang utama dalam filsafat ilmu, bersama dengan epistemologi (teori pengetahuan) dan ontologi (teori hakikat realitas). Dalam konteks pemikiran filosofis Indonesia, Profesor Jujun S. Suriasumantri, melalui karya-karyanya yang fundamental mengenai filsafat ilmu, memberikan penekanan khusus terhadap pentingnya kajian nilai dalam upaya memahami ilmu pengetahuan secara utuh. Bagi Suriasumantri, ilmu tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral dan nilai yang melingkupinya.
Aksiologi menurut Jujun S. Suriasumantri adalah cabang filsafat yang mempelajari hakikat nilai. Secara etimologis, aksiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu 'axios' (nilai) dan 'logos' (teori atau ilmu). Ini berarti aksiologi adalah ilmu tentang nilai-nilai, atau teori tentang nilai. Dalam konteks filsafat ilmu, aksiologi menjawab pertanyaan mendasar: Untuk apa ilmu pengetahuan itu digunakan? dan Apa kegunaan ilmu bagi manusia dan kehidupan?
Suriasumantri menegaskan bahwa aktivitas ilmiah harus selalu mengacu pada nilai-nilai tertentu. Ilmu pengetahuan, meskipun berusaha keras untuk bersifat objektif dan bebas nilai (value-free) dalam proses penemuan faktanya, pada akhirnya akan selalu bermuara pada penerapan yang berorientasi pada nilai. Jika epistemologi membahas kebenaran (veritas) dan ontologi membahas keberadaan (esse), maka aksiologi membahas kebaikan (bonum) dan keindahan (pulchrum).
Pentingnya aksiologi dalam pandangan Suriasumantri terletak pada upayanya untuk menjembatani antara pengetahuan murni (pure science) dengan tujuan kemanusiaan (humanistic goals). Ilmu yang hanya berorientasi pada pengetahuan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kemanusiaan dan lingkungan seringkali berpotensi menimbulkan bencana etis. Oleh karena itu, aksiologi berfungsi sebagai pengontrol arah dan tujuan penelitian ilmiah.
Jujun S. Suriasumantri seringkali membagi kajian nilai dalam filsafat ilmu menjadi dua dimensi utama yang saling terkait:
Suriasumantri sangat menekankan bahwa ilmuwan harus sadar bahwa penemuan mereka tidak pernah berada dalam ruang hampa nilai. Ketika ilmuwan memilih objek penelitian, metode yang digunakan, hingga cara hasil penelitian dikomunikasikan, semua itu sudah melibatkan pertimbangan nilai. Memilih untuk meneliti energi nuklir untuk pembangkit listrik berbeda secara aksiologis dengan memilihnya untuk senjata pemusnah massal.
Kritik Suriasumantri terhadap ilmu yang terlalu positivistik adalah bahwa ilmuwan cenderung mengabaikan dimensi aksiologis. Mereka merasa aman di balik dalih "saya hanya mencari kebenaran faktual," sehingga melepaskan tanggung jawab atas implikasi sosial dari temuan mereka. Aksiologi menantang pandangan ini dengan mengatakan bahwa pencarian kebenaran faktual harus tunduk pada kearifan.
Lebih lanjut, aksiologi dalam pandangan Suriasumantri berperan sentral dalam pembentukan etika keilmuan. Ilmuwan Muslim, khususnya, ditantang untuk mengintegrasikan nilai-nilai kebenaran yang ditemukan secara empiris dengan nilai-nilai fundamental yang bersumber dari ajaran agama dan kearifan lokal. Ini menciptakan sebuah kerangka kerja di mana inovasi ilmiah harus senantiasa dibingkai oleh tujuan akhir yaitu kemaslahatan manusia dan pengabdian kepada Tuhan. Oleh karena itu, pemahaman mendalam mengenai aksiologi—hakikat nilai—adalah prasyarat bagi perkembangan ilmu yang bertanggung jawab dan beretika. Ilmu tanpa nilai hanya akan menjadi pengetahuan yang kosong dan berpotensi destruktif, padahal seharusnya ia menjadi sarana pencerahan dan kemajuan peradaban.