Aksiologi Pendidikan Islam: Menyingkap Nilai dan Tujuan Hakiki

Simbol Aksiologi Pendidikan Islam Sebuah tunas hijau tumbuh dari buku terbuka yang disinari oleh bintang berwarna emas.

Aksiologi, dalam konteks filsafat pendidikan, merupakan cabang filsafat yang mengkaji nilai dan tujuan pendidikan. Ia menjawab pertanyaan fundamental: Untuk apa pendidikan itu diadakan? Dalam bingkai Islam, pertanyaan ini memiliki jawaban yang sangat spesifik dan terikat erat dengan konsep ketuhanan (tauhid) dan tujuan penciptaan manusia. Aksiologi Pendidikan Islam bukan sekadar mencari nilai-nilai etika sekuler, melainkan berakar pada pandangan dunia (worldview) Islam yang holistik.

Landasan Teologis Aksiologi Pendidikan Islam

Inti dari aksiologi pendidikan Islam adalah bahwa segala sesuatu, termasuk proses belajar mengajar, harus diarahkan untuk mencapai keridhaan Allah (Ridwanullah) dan mewujudkan tujuan eksistensi manusia di muka bumi, yaitu sebagai khalifah fil ardh. Oleh karena itu, nilai tertinggi (summum bonum) dalam pendidikan Islam adalah nilai spiritual dan ilahiah.

Pendidikan Islam memandang bahwa nilai-nilai yang ditanamkan harus bersifat universal, abadi, dan tidak lekang oleh perubahan zaman. Nilai-nilai ini bersumber utama dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ini mencakup pengenalan akan Allah (ma'rifatullah), pembentukan akhlak mulia (akhlak karimah), serta pengembangan potensi intelektual (akal) dan fisik (jasad) sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Tujuan Pendidikan Islam: Pembentukan Insan Kamil

Tujuan akhir aksiologi pendidikan Islam adalah pembentukan individu muslim yang utuh, sering disebut sebagai Insan Kamil (manusia paripurna). Insan Kamil adalah pribadi yang seimbang antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi, antara emosi, akal, dan spiritualitas.

Tujuan ini dapat dijabarkan lebih lanjut menjadi beberapa aspek utama:

Hierarki Nilai dalam Aksiologi Pendidikan Islam

Dalam pandangan aksiologis Islam, terdapat hierarki nilai yang jelas. Nilai yang paling tinggi adalah nilai religius (ibadah dan tauhid). Nilai-nilai lain seperti nilai kebenaran (hak), keindahan (jamal), dan kebaikan (al-khair) dianggap penting, namun maknanya baru teraktualisasi secara sempurna ketika terikat pada nilai religius.

Sebagai contoh, pencarian kebenaran ilmiah (nilai intelektual) harus diarahkan untuk mengungkap ayat-ayat Allah (tafakur), bukan untuk menyanggah keberadaan-Nya. Demikian pula, pengembangan keterampilan profesional (nilai pragmatis) harus digunakan untuk mencari rezeki yang halal dan menopang keluarga sesuai tuntunan agama.

Fokus pada aksiologi ini membedakan pendidikan Islam dari sistem pendidikan lainnya. Jika pendidikan sekuler mungkin menekankan kebebasan individu atau pencapaian materi sebagai tujuan utama, pendidikan Islam menempatkan pelayanan kepada Tuhan dan sesama manusia sebagai puncak pencapaiannya. Proses pendidikan harus menjadi sarana pensucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan pengembangan potensi agar manusia dapat kembali kepada fitrahnya sebagai hamba Allah yang beriman dan beramal saleh. Dengan demikian, aksiologi pendidikan Islam berfungsi sebagai kompas moral yang mengarahkan kurikulum, metode, dan evaluasi menuju tujuan akhir yang kekal.

🏠 Homepage