Memahami Rahmat di Tengah Keseimbangan Alam
Dalam perjalanan hidup, manusia senantiasa berada di persimpangan antara membangun dan merusak, antara harapan dan ketakutan. Al-Qur'an, sebagai petunjuk abadi, menyajikan sebuah panduan komprehensif yang tidak hanya mengatur hubungan vertikal manusia dengan Sang Pencipta, tetapi juga hubungan horizontal dengan sesama makhluk dan alam semesta. Salah satu ayat yang merangkum esensi keseimbangan ini dengan begitu indah adalah firman Allah dalam Surah Al-A'raf, ayat ke-56.
Ayat ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah manifesto tentang bagaimana seharusnya seorang hamba memposisikan dirinya di muka bumi. Ia adalah peta jalan yang menghubungkan tiga pilar fundamental: tanggung jawab ekologis, etika spiritual dalam berdoa, dan kepastian akan rahmat ilahi bagi mereka yang meniti jalan kebaikan. Mari kita selami samudra makna yang terkandung di dalamnya.
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Wa lā tufsidu fil-arḍi ba‘da iṣlāḥihā wad‘ūhu khaufaw wa ṭama‘ā, inna raḥmatallāhi qarībum minal-muḥsinīn.
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."
Doa yang menumbuhkan harapan dan menjaga kehidupan.
Bagian Pertama: Larangan Merusak Keseimbangan yang Telah Tercipta
Makna "Janganlah Kamu Membuat Kerusakan" (Lā Tufsidū)
Perintah pertama dalam ayat ini adalah sebuah larangan tegas: "Wa lā tufsidu fil-arḍi ba‘da iṣlāḥihā" (Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah memperbaikinya). Kata kunci di sini adalah ifsād (kerusakan) dan iṣlāḥ (perbaikan). Untuk memahami larangan ini, kita harus terlebih dahulu mengapresiasi kondisi "perbaikan" yang telah Allah ciptakan.
Iṣlāḥ merujuk pada keadaan di mana segala sesuatu berada dalam tatanan yang harmonis, seimbang, dan berfungsi sebagaimana mestinya. Ini mencakup keteraturan alam semesta, siklus air yang menghidupkan tanah tandus, pergantian siang dan malam, ekosistem yang saling menopang, hingga fitrah manusia yang cenderung kepada kebaikan dan kebenaran. Allah telah merancang bumi ini sebagai tempat yang layak huni, penuh dengan sumber daya, dan diatur oleh hukum-hukum alam yang presisi. Perbaikan ini juga mencakup diturunkannya wahyu dan diutusnya para nabi sebagai pemandu moral dan spiritual, untuk memperbaiki tatanan sosial manusia.
Dengan latar belakang ini, ifsād atau kerusakan menjadi segala tindakan yang mengganggu, merusak, atau menghancurkan tatanan yang sudah baik tersebut. Konsep kerusakan ini sangatlah luas, melampaui sekadar perusakan fisik. Ia mencakup berbagai dimensi kehidupan:
Dimensi Kerusakan Ekologis
Ini adalah makna yang paling harfiah dan sangat relevan dengan kondisi dunia saat ini. Ayat ini adalah seruan kuno yang bergema kuat di tengah krisis iklim, polusi, dan kepunahan massal. Tindakan seperti penggundulan hutan secara liar, pencemaran sungai dan lautan dengan limbah industri, emisi gas rumah kaca yang berlebihan, dan eksploitasi sumber daya alam tanpa perhitungan adalah bentuk nyata dari ifsād fil-arḍ. Allah menciptakan bumi dengan keseimbangan yang rapuh. Merusaknya berarti menentang desain Sang Pencipta dan pada akhirnya akan mendatangkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Menjaga kelestarian lingkungan, oleh karena itu, bukan sekadar isu modern, melainkan sebuah perintah ilahi yang fundamental.
Dimensi Kerusakan Sosial dan Moral
Ifsād juga terjadi dalam ranah sosial. Ketidakadilan, penindasan, korupsi, penyebaran fitnah dan berita bohong, serta pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia adalah bentuk-bentuk kerusakan yang mengoyak tatanan masyarakat. Ketika amanah dikhianati, hukum diperjualbelikan, dan yang lemah dieksploitasi, maka masyarakat tersebut sedang bergerak menuju kehancuran. Allah telah "memperbaiki" tatanan sosial dengan menurunkan syariat yang adil, yang melindungi kehidupan, kehormatan, akal, keturunan, dan harta. Merusak tatanan ini adalah sebuah pemberontakan terhadap nilai-nilai keadilan yang telah ditetapkan-Nya.
Dimensi Kerusakan Spiritual
Pada level yang paling mendasar, bentuk ifsād terbesar adalah kesyirikan, yaitu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain. Ini adalah kerusakan pada fondasi spiritual manusia. Allah telah "memperbaiki" jiwa manusia dengan meniupkan fitrah tauhid, sebuah kecenderungan alami untuk mengakui Keesaan-Nya. Ketika manusia berpaling kepada selain Allah, ia telah merusak fitrahnya sendiri. Kerusakan spiritual ini kemudian bermanifestasi dalam bentuk kerusakan moral dan sosial, karena hilangnya kompas ilahi sebagai panduan hidup.
Dengan demikian, larangan ini adalah sebuah panggilan untuk menjadi agen perbaikan (muṣliḥ), bukan agen perusak (mufsid). Ia menuntut kesadaran penuh atas setiap tindakan kita dan dampaknya terhadap alam, masyarakat, dan spiritualitas kita sendiri.
Bagian Kedua: Psikologi Doa – Antara Takut dan Harap
Berdoa dengan Khauf (Rasa Takut)
Setelah menetapkan tanggung jawab manusia terhadap bumi, ayat ini beralih ke dimensi spiritual yang paling intim: doa. Allah berfirman, "Wad‘ūhu khaufaw wa ṭama‘ā" (dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan). Ini bukan sekadar perintah untuk berdoa, melainkan sebuah panduan tentang bagaimana seharusnya adab dan suasana hati seorang hamba ketika menghadap Tuhannya.
Khauf (rasa takut) dalam konteks ini bukanlah teror yang melumpuhkan, melainkan sebuah rasa gentar yang lahir dari kesadaran akan keagungan Allah dan kekecilan diri. Ini adalah rasa takut yang produktif, yang mendorong seseorang untuk berhati-hati dan waspada. Apa saja yang mendasari rasa takut ini?
- Takut karena Dosa dan Kekurangan: Seorang hamba menyadari betapa banyak kekurangan, kelalaian, dan dosa yang telah ia perbuat. Ia takut jika amalannya tidak diterima, jika doanya terhalang oleh maksiatnya, dan jika ia tidak layak untuk menerima anugerah dari Yang Maha Suci. Rasa takut ini melahirkan kerendahan hati dan mencegah kesombongan dalam beribadah.
- Takut akan Keagungan Allah: Semakin seseorang mengenal Allah, semakin besar rasa takutnya yang berbalut pengagungan (haibah). Ia takut akan keadilan-Nya yang mutlak dan murka-Nya yang dahsyat. Rasa takut ini membuatnya tidak meremehkan perintah dan larangan-Nya.
- Takut Tidak Istiqamah: Seorang hamba juga takut jika ia tidak mampu menjaga imannya hingga akhir hayat. Ia cemas akan godaan dunia dan tipu daya setan yang dapat memalingkannya dari jalan yang lurus.
Khauf adalah rem yang menjaga seorang mukmin agar tidak tergelincir ke dalam jurang kelalaian dan kemaksiatan. Tanpa rasa takut ini, manusia akan menjadi sombong, merasa aman dari "makar" Allah, dan meremehkan dosa-dosanya.
Berdoa dengan Ṭama‘ (Harapan)
Di sisi lain, doa harus diiringi dengan ṭama‘, yaitu harapan, keinginan, dan optimisme yang kuat. Jika khauf adalah rem, maka ṭama‘ adalah mesin penggeraknya. Harapan ini lahir dari keyakinan yang mendalam terhadap sifat-sifat Allah.
- Harapan akan Rahmat-Nya yang Luas: Seorang hamba yakin bahwa rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Sebesar apa pun dosanya, ampunan Allah jauh lebih besar. Ia berharap untuk diampuni, dikasihi, dan diterima tobatnya.
- Harapan akan Kemurahan-Nya: Ia percaya bahwa Allah adalah Al-Karīm (Maha Pemurah) dan Al-Wahhāb (Maha Pemberi Karunia). Ia tidak pernah ragu untuk meminta, karena ia tahu bahwa perbendaharaan Allah tidak akan pernah habis. Ia berharap doanya akan dikabulkan, baik secara langsung, ditunda, atau diganti dengan yang lebih baik.
- Harapan akan Janji-Nya: Ia berpegang teguh pada janji-janji Allah dalam Al-Qur'an, termasuk janji surga bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Harapan inilah yang memberinya kekuatan untuk terus berbuat baik dan bersabar dalam menghadapi ujian.
Ṭama‘ adalah bahan bakar spiritual yang menjaga api semangat agar tidak padam. Tanpa harapan, seseorang akan jatuh ke dalam keputusasaan (al-ya's), sebuah dosa besar yang menutup pintu rahmat Allah.
Keseimbangan Emas antara Khauf dan Ṭama‘
Para ulama menggambarkan khauf dan ṭama‘ sebagai dua sayap seekor burung. Seekor burung tidak akan bisa terbang dengan seimbang jika salah satu sayapnya patah. Demikian pula seorang mukmin; ia tidak akan bisa menempuh perjalanan spiritualnya dengan baik tanpa keseimbangan antara takut dan harap.
Rasa takut yang berlebihan tanpa diimbangi harapan akan melahirkan keputusasaan. Sebaliknya, harapan yang berlebihan tanpa diimbangi rasa takut akan melahirkan kelalaian dan sikap meremehkan. Keduanya harus berjalan beriringan, menjaga hati agar tetap berada di antara cemas dan rindu, antara waspada dan optimis. Inilah esensi dari doa yang khusyuk dan tulus.
Bagian Ketiga: Janji Pasti – Rahmat Allah Dekat bagi Para Muhsinin
Siapakah Al-Muhsinīn?
Ayat ini ditutup dengan sebuah kalimat penegas yang penuh dengan kabar gembira: "Inna raḥmatallāhi qarībum minal-muḥsinīn" (Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik). Kalimat ini adalah jawaban dan puncak dari dua perintah sebelumnya. Ia menghubungkan antara perbuatan (menjaga bumi), keadaan hati (berdoa dengan takut dan harap), dengan hasil yang pasti (kedekatan rahmat Allah).
Siapakah al-muḥsinīn itu? Kata ini berasal dari akar kata yang sama dengan iḥsān. Ihsan adalah tingkatan tertinggi dalam beragama, setelah Islam dan Iman. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat yang masyhur, ihsan adalah "Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu."
Ihsan adalah tentang keunggulan (excellence), kesempurnaan, dan melakukan sesuatu dengan cara terbaik. Seorang muhsin adalah orang yang senantiasa berusaha menghadirkan kualitas terbaik dalam setiap aspek kehidupannya, karena ia sadar bahwa Allah senantiasa mengawasinya.
Ihsan dalam Tindakan dan Ibadah
Seorang muhsin tidak hanya melakukan apa yang wajib, tetapi ia melampauinya.
- Dalam Ibadah: Ia tidak hanya shalat untuk menggugurkan kewajiban, tetapi berusaha untuk khusyuk, memahami setiap bacaan, dan merasakan kehadiran Allah. Ia tidak hanya berpuasa menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menjaga lisan, pandangan, dan hatinya.
- Dalam Hubungan dengan Sesama: Ia tidak hanya menahan diri dari menyakiti orang lain, tetapi ia proaktif berbuat baik, menebar senyum, menolong yang membutuhkan, dan memaafkan kesalahan orang lain. Kebaikan menjadi karakternya.
- Dalam Pekerjaan dan Amanah: Ia bekerja dengan profesional, jujur, dan penuh tanggung jawab. Ia melihat pekerjaannya sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian kepada Allah.
- Dalam Hubungan dengan Alam: Inilah kaitan langsung dengan bagian pertama ayat. Seorang muhsin tidak akan merusak bumi, karena ia sadar bahwa bumi adalah amanah dari Allah. Ia justru akan merawatnya, menanam pohon, membersihkan lingkungan, dan menggunakan sumber daya dengan bijak. Menjaga bumi adalah manifestasi nyata dari ihsān.
Kedekatan Rahmat (Qarībun Min)
Kata qarīb (dekat) menyiratkan sebuah keintiman dan kemudahan akses. Rahmat Allah bukanlah sesuatu yang jauh dan sulit digapai. Ia senantiasa ada, menyelimuti, dan siap tercurah. Namun, manusialah yang perlu memposisikan dirinya agar "dekat" dengan rahmat tersebut. Posisi itu adalah posisi ihsān.
Ketika seseorang mencapai derajat ihsān, ia akan merasakan rahmat Allah dalam setiap detak jantungnya. Ketenangan jiwa, kemudahan dalam urusan, pertolongan di saat sulit, dan keberkahan dalam hidup adalah bentuk-bentuk "kedekatan" rahmat tersebut. Janji ini memberikan kepastian dan motivasi luar biasa. Ia seolah mengatakan, "Jadilah seorang muhsin, maka rahmat-Ku pasti akan menemukanmu."
Sintesis dan Relevansi Abadi Al-A'raf 56
Surah Al-A'raf ayat 56 menyajikan sebuah formula kehidupan yang holistik dan seimbang. Ia mengajarkan kita bahwa spiritualitas sejati tidak terpisah dari tanggung jawab sosial dan ekologis. Ketiga bagian ayat ini saling terkait dalam sebuah siklus yang indah:
- Mencegah Kerusakan: Langkah pertama adalah kesadaran dan tindakan nyata untuk tidak menjadi agen perusak. Ini adalah pondasi dari kebaikan. Ini adalah bentuk ihsān terhadap ciptaan Allah.
- Menyempurnakan Doa: Di atas pondasi tersebut, kita membangun hubungan vertikal dengan Allah melalui doa yang tulus, diwarnai oleh keseimbangan antara takut dan harap. Ini adalah bentuk ihsān dalam ibadah.
- Meraih Rahmat: Hasil dari kombinasi tindakan nyata dan kesalehan spiritual adalah tercapainya derajat muḥsinīn, yang secara otomatis menempatkan kita dalam radius terdekat dari curahan rahmat Allah.
Di tengah dunia modern yang sering kali terpecah antara aktivisme lingkungan yang sekuler dan spiritualitas yang pasif, ayat ini datang sebagai pemersatu. Ia menegaskan bahwa menjadi seorang environmentalis yang peduli adalah bagian tak terpisahkan dari keimanan. Ia juga mengingatkan bahwa setinggi apa pun usaha kita, kita tetap harus menundukkan kepala dalam doa, mengakui kelemahan kita dan bergantung sepenuhnya pada kekuatan dan rahmat-Nya.
Oleh karena itu, marilah kita merenungkan ayat ini bukan hanya sebagai teks untuk dibaca, tetapi sebagai panduan untuk dihidupi. Mari kita menjadi penjaga bumi, bukan perusaknya. Mari kita panjatkan doa-doa kita dengan hati yang bergetar karena takut sekaligus berbunga karena harap. Dan marilah kita terus berusaha untuk menjadi bagian dari golongan al-muḥsinīn, agar kita senantiasa berada dalam naungan rahmat-Nya yang tak terbatas, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.