Memaknai Cinta Sejati: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 165

Ilustrasi Cinta kepada Allah dan selain-Nya Cinta selain Allah (Ilustrasi tandingan)

Ilustrasi hakikat cinta kepada Allah versus cinta kepada selain-Nya. Cinta sejati kepada Allah laksana cahaya yang menerangi, sementara cinta kepada tandingan-tandingan-Nya adalah serpihan fana yang tak bernilai.

Di dalam Al-Qur'an, samudra ilmu dan petunjuk yang tak pernah kering, terdapat ayat-ayat yang menjadi pilar fundamental dalam membangun akidah seorang Muslim. Salah satu ayat yang memiliki kedalaman makna luar biasa terkait esensi keimanan, cinta, dan tauhid adalah Surat Al-Baqarah ayat 165. Ayat ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah cermin yang mengajak kita untuk merefleksikan kembali kepada siapa hati kita tertambat dan kepada siapa loyalitas tertinggi kita berikan. Ayat ini membedah dengan tajam perbedaan fundamental antara cinta sejati yang berlandaskan iman dan cinta buta yang berujung pada kesyirikan.

Memahami ayat ini secara mendalam akan membuka cakrawala kita tentang betapa krusialnya konsep cinta dalam struktur keimanan. Islam tidak menafikan fitrah manusia untuk mencintai, namun Islam datang untuk menata, mengarahkan, dan meletakkan cinta tersebut pada porsi yang paling tepat dan mulia, yaitu menjadikan Allah sebagai puncak dan muara dari segala bentuk kecintaan.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَنْدَادًا يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِ ۗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ۙوَلَوْ يَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَۙ اَنَّ الْقُوَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًا ۙوَّ اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعَذَابِ

"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya (tandingan-tandingan itu) sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal)."

Membelah Makna Ayat: Analisis Kata demi Kata

Untuk menyelami kedalaman makna Surat Al-Baqarah ayat 165, kita perlu membedahnya bagian per bagian. Setiap frasa dalam ayat ini mengandung pelajaran berharga yang saling berkaitan, membentuk sebuah argumen yang kokoh tentang hakikat tauhid dan cinta.

1. "Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah" (وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَنْدَادًا)

Ayat ini diawali dengan kata "Wa minan-nās" (Dan di antara manusia), yang menunjukkan bahwa fenomena ini adalah sebuah realitas yang terjadi di tengah-tengah umat manusia. Ini bukan kisah fiktif, melainkan potret perilaku sebagian manusia di setiap zaman. Allah tidak mengatakan "semua manusia," tetapi "di antara manusia," yang menyiratkan bahwa ada kelompok lain yang tidak berperilaku demikian, yaitu orang-orang beriman.

Frasa kuncinya adalah "yattakhiżu min dūnillāhi andādā" (menyembah/menjadikan tandingan-tandingan selain Allah). Kata "Andād" (jamak dari nidd) secara harfiah berarti tandingan, sekutu, atau sesuatu yang sepadan. Dalam konteks akidah, andād adalah segala sesuatu yang disetarakan dengan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya. Ini adalah inti dari perbuatan syirik.

Penting untuk dipahami bahwa andād tidak terbatas pada berhala-berhala dari batu atau kayu seperti pada zaman jahiliah. Konsep andād sangat luas dan relevan hingga hari ini. Tandingan-tandingan ini bisa berwujud:

Dengan demikian, ayat ini membuka mata kita bahwa perbuatan menjadikan tandingan bagi Allah bisa terjadi dalam bentuk yang sangat halus dan terselubung, tidak selalu dalam bentuk penyembahan ritualistik yang kasat mata.

2. "Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah" (يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِ)

Inilah jantung persoalan yang dijelaskan oleh ayat ini. Akar dari perbuatan menjadikan tandingan adalah masalah cinta. Mereka tidak hanya menjadikan sesuatu sebagai sekutu, tetapi mereka "yuḥibbūnahum kaḥubbillāh" (mencintainya sebagaimana mencintai Allah). Kata "ka" (sebagaimana) menunjukkan adanya penyetaraan atau penyerupaan dalam level dan kualitas cinta.

Ini adalah bentuk syirik mahabbah (syirik dalam hal cinta). Perlu dicatat bahwa Islam tidak melarang cinta kepada makhluk. Cinta kepada orang tua, pasangan, anak, harta, dan tanah air adalah fitrah yang diakui. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika kualitas, intensitas, dan prioritas cinta kepada makhluk tersebut setara atau bahkan melebihi cinta kepada Allah Sang Pencipta.

Cinta yang terlarang ini memiliki beberapa ciri:

Jadi, kesalahan fatal mereka bukanlah pada "mencintai" itu sendiri, melainkan pada "menyetarakan" cinta tersebut dengan cinta kepada Allah. Mereka telah memberikan hak prerogatif Allah, yaitu cinta peribadatan (mahabbah 'ubudiyyah), kepada selain-Nya.

3. "Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah" (وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ)

Setelah memaparkan kondisi kaum musyrik, Allah kemudian menyajikan antitesisnya, yaitu potret orang-orang beriman. "Walladzīna āmanū asyaddu ḥubbal lillāh". Kata "asyaddu" berarti "sangat kuat", "lebih dahsyat", atau "paling besar". Ini menunjukkan bahwa cinta orang beriman kepada Allah tidak hanya berbeda secara objek, tetapi juga unggul secara kualitas dan intensitas.

Mengapa cinta orang beriman kepada Allah jauh lebih kuat?

Inilah standar cinta yang seharusnya dimiliki oleh setiap mukmin. Sebuah cinta yang mendominasi hati, mengarahkan setiap langkah, dan menjadi sumber kebahagiaan sejati.

4. Peringatan Keras bagi Orang-orang Zalim (وَلَوْ يَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا...)

Bagian akhir ayat ini beralih dari perbandingan kepada sebuah peringatan yang sangat keras dan skenario penyesalan di akhirat. Allah menggunakan kata "ẓalamū" (orang-orang yang berbuat zalim) untuk merujuk kepada mereka yang melakukan syirik. Ini karena syirik adalah kezaliman terbesar (inasy-syirka laẓulmun 'aẓīm – QS. Luqman: 13), yaitu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya dengan memberikan hak ibadah yang seharusnya milik Allah kepada makhluk.

Frasa "Walau yarā" (Dan sekiranya mereka melihat) adalah sebuah pengandaian yang menggambarkan betapa dahsyatnya penyesalan mereka nanti. "Seandainya saja mereka bisa melihat sekarang apa yang akan mereka lihat di akhirat kelak, niscaya mereka tidak akan pernah melakukan perbuatan syirik tersebut."

Apa yang akan mereka lihat? "Iż yaraunal-'ażāb" (ketika mereka melihat azab). Pada saat itu, semua ilusi duniawi sirna. Semua tandingan yang mereka cintai dan agungkan di dunia tidak akan bisa menolong sama sekali. Mereka akan menyaksikan dengan mata kepala sendiri dua realitas absolut:

  1. "Anna al-quwwata lillāhi jamī'ā" (bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah). Semua kekuatan, kekuasaan, dan otoritas yang mereka sandarkan kepada selain Allah ternyata palsu dan tidak berdaya. Kekuatan hakiki dan mutlak hanyalah milik Allah semata.
  2. "Wa anna Allāha syadīdul-'ażāb" (dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya). Mereka akan menyadari bahwa ancaman yang selama ini mereka abaikan adalah sebuah kenyataan yang mengerikan. Azab Allah bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh.

Ayat ini ditutup dengan penegasan akan kekuatan total Allah dan kerasnya siksa-Nya sebagai konsekuensi logis bagi mereka yang menodai hak-Nya dengan perbuatan syirik. Ini adalah sebuah terapi kejut (shock therapy) untuk menyadarkan manusia dari kelalaian mereka.

Tauhid Mahabbah: Poros Utama Keimanan

Surat Al-Baqarah ayat 165 adalah pilar dari apa yang oleh para ulama disebut sebagai Tauhid Mahabbah atau pengesaan Allah dalam cinta. Seluruh bangunan ibadah berdiri di atas tiga pilar emosi spiritual: Al-Hubb (cinta), Al-Khauf (rasa takut), dan Ar-Rajā' (harapan). Ibadah yang sempurna adalah ibadah yang menyeimbangkan ketiganya, dengan cinta sebagai penggerak utamanya.

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, seorang ulama besar, menggambarkan ibadah laksana seekor burung. Kepalanya adalah cinta (mahabbah), sedangkan kedua sayapnya adalah rasa takut (khauf) dan harapan (rajā'). Tanpa kepala, burung itu mati. Tanpa sayap, ia tidak bisa terbang. Cinta kepada Allah-lah yang mendorong seorang hamba untuk bergerak mendekat kepada-Nya. Rasa harap membuatnya optimis akan rahmat-Nya, dan rasa takut mencegahnya dari perbuatan maksiat.

Ayat ini secara eksplisit menggarisbawahi bahwa inti dari penyembahan adalah cinta. Orang-orang musyrik disebut "menyembah" tandingan karena mereka "mencintai" tandingan itu setara dengan Allah. Ini mengajarkan kita bahwa ibadah bukanlah sekadar gerakan ritual tanpa ruh. Ibadah yang sejati harus lahir dari hati yang dipenuhi oleh cinta yang meluap-luap kepada Allah.

Mencapai derajat "asyaddu ḥubbal lillāh" adalah tujuan setiap mukmin. Cinta ini bukanlah cinta biasa. Ia adalah cinta yang membuahkan:

Refleksi Kontemporer: Mengenali 'Andād' di Zaman Modern

Pesan dalam Al-Baqarah ayat 165 bersifat universal dan abadi. Jika di masa lalu andād berwujud patung Latta dan Uzza, maka di era modern ini andād bisa menjelma dalam bentuk-bentuk yang lebih canggih dan seringkali tidak disadari. Inilah tantangan terbesar kita: mengidentifikasi dan membebaskan diri dari tandingan-tandingan modern.

1. Kultus Individu dan Ketaatan Buta

Media sosial dan budaya selebritas telah menciptakan fenomena kultus individu yang mengkhawatirkan. Pengidolaan terhadap artis, influencer, politisi, atau bahkan tokoh agama bisa tergelincir menjadi syirik jika melampaui batas. Ketika setiap perkataan sang idola dianggap kebenaran mutlak, gaya hidupnya ditiru tanpa filter, dan ia dibela mati-matian meskipun jelas-jelas salah, maka ia telah diposisikan sebagai nidd atau tandingan bagi Allah dan Rasul-Nya. Cinta dan loyalitas yang seharusnya diperuntukkan bagi Allah telah dialihkan kepadanya.

2. Materialisme sebagai Agama Baru

Di tengah masyarakat yang sangat konsumtif, harta dan status sosial seringkali menjadi tuhan yang disembah. Ukuran kesuksesan seseorang diukur dari seberapa banyak kekayaan yang ia miliki atau seberapa tinggi jabatannya. Waktu, tenaga, dan pikiran dicurahkan sepenuhnya untuk mengejar materi, seringkali dengan mengorbankan waktu ibadah, kejujuran, dan hubungan keluarga. Ketika kecintaan pada dunia telah memenuhi hati, maka ia telah menjadi andād yang menyaingi cinta kepada Allah. Seseorang rela melanggar hukum Allah demi uang, dan hatinya lebih takut miskin daripada takut akan azab Allah.

3. Ideologi sebagai Sumber Kebenaran

Berbagai ideologi modern, baik politik maupun sosial, seringkali menuntut loyalitas total dari para pengikutnya. Mereka menawarkan pandangan hidup yang lengkap, sistem nilai, serta standar benar dan salah yang terkadang bertentangan secara diametral dengan ajaran Islam. Ketika seorang Muslim lebih mengacu pada ideologi ciptaan manusia daripada Al-Qur'an dan Sunnah dalam menilai sebuah perkara, dan lebih bersemangat memperjuangkan ideologinya daripada menegakkan kalimat Allah, maka ideologi tersebut telah berfungsi sebagai andād.

4. Sains dan Rasionalisme yang Mendewakan Akal

Islam sangat mendorong penggunaan akal dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, ketika sains dan rasionalisme diposisikan sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang menafikan wahyu (sientisme), maka ia telah menjadi tandingan. Akal manusia, dengan segala keterbatasannya, ditempatkan di atas firman Allah Yang Maha Mengetahui. Apa pun yang tidak bisa dijangkau oleh akal atau dibuktikan secara empiris dianggap tidak ada atau tidak benar, termasuk hal-hal gaib yang merupakan bagian dari rukun iman. Ini adalah bentuk kesombongan intelektual yang menjauhkan seseorang dari hakikat kebenaran.

Jalan Menuju Cinta Teragung

Setelah memahami betapa sentralnya posisi cinta kepada Allah dan betapa berbahayanya syirik mahabbah, langkah selanjutnya adalah bertanya: bagaimana cara kita menumbuhkan, merawat, dan memperkuat cinta kepada Allah hingga mencapai derajat "asyaddu ḥubbal lillāh"? Al-Qur'an dan Sunnah telah memberikan panduannya.

  1. Mengenal Allah (Ma'rifatullah): Tak kenal maka tak sayang. Pepatah ini sangat berlaku dalam hubungan kita dengan Allah. Pelajarilah Asma'ul Husna dan sifat-sifat-Nya. Renungkan bagaimana sifat-sifat tersebut termanifestasi dalam kehidupan kita sehari-hari. Lihatlah alam semesta sebagai pameran keagungan, keindahan, dan kekuasaan-Nya. Semakin dalam pengenalan kita, semakin tumbuh pula cinta di dalam hati.
  2. Merenungkan Nikmat-Nya (Tadabbur an-Ni'am): Hitunglah nikmat Allah yang tak terhingga, mulai dari napas yang kita hirup, detak jantung yang tak pernah berhenti, hingga nikmat iman dan Islam. Rasa syukur yang tulus akan membuka pintu cinta. Kita mencintai seseorang yang berbuat baik kepada kita, maka bagaimana mungkin kita tidak mencintai Allah yang seluruh kebaikan berasal dari-Nya?
  3. Membaca dan Mentadabburi Al-Qur'an: Al-Qur'an adalah surat cinta dari Allah untuk hamba-hamba-Nya. Membacanya dengan penuh perenungan akan membuat hati kita terhubung dengan-Nya. Di dalamnya kita menemukan firman-firman yang penuh kasih sayang, janji-janji yang menenangkan, dan ancaman yang menyadarkan.
  4. Memperbanyak Zikir dan Doa: Lisan yang basah karena menyebut nama-Nya adalah tanda hati yang hidup dengan cinta-Nya. Zikir menjaga koneksi kita agar tidak terputus. Doa adalah momen intim di mana seorang hamba menumpahkan segala isi hatinya kepada Sang Kekasih.
  5. Mengikuti Sunnah Rasulullah ﷺ: Allah berfirman dalam Surat Ali 'Imran ayat 31, "Katakanlah (Muhammad), 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu.'" Mengikuti jejak langkah Nabi Muhammad ﷺ dalam ibadah, akhlak, dan muamalah adalah bukti nyata dan jalan tol untuk meraih cinta Allah.
  6. Bergaul dengan Orang-orang Saleh: Lingkungan memiliki pengaruh besar. Berteman dan bermajelis dengan orang-orang yang juga mencintai Allah akan saling menguatkan dan menjaga semangat kita dalam ketaatan.

Kesimpulan: Sebuah Pilihan Fundamental

Surat Al-Baqarah ayat 165 meletakkan kita di persimpangan jalan yang fundamental. Ia memaksa kita untuk jujur pada diri sendiri dan menjawab pertanyaan paling esensial dalam hidup: "Siapakah atau apakah yang paling aku cintai? Kepada siapakah loyalitas tertinggiku aku berikan?"

Ayat ini adalah pembebasan. Ia membebaskan manusia dari perbudakan kepada sesama makhluk, materi, hawa nafsu, dan ideologi. Ia mengajak kita untuk mempersembahkan cinta tertinggi hanya kepada Dzat yang paling berhak untuk dicintai, yaitu Allah SWT. Cinta kepada-Nya adalah sumber ketenangan, kekuatan, dan kebahagiaan sejati yang tidak akan pernah lekang oleh waktu.

Di sisi lain, ayat ini juga merupakan sebuah peringatan keras. Konsekuensi dari salah menempatkan cinta sangatlah fatal. Penyesalan di hari kiamat, ketika semua tabir disingkapkan, adalah penyesalan yang tiada gunanya. Pada hari itu, semua akan melihat dengan jelas bahwa satu-satunya kekuatan yang nyata adalah kekuatan Allah, dan satu-satunya perlindungan yang sejati adalah perlindungan dari-Nya. Semoga kita termasuk golongan yang digambarkan sebagai "alladzīna āmanū asyaddu ḥubbal lillāh", orang-orang beriman yang cintanya kepada Allah begitu dahsyat, mengalahkan segala cinta kepada selain-Nya.

🏠 Homepage