Memaknai Al Baqarah 172: Panggilan Iman, Rezeki Thayyib, dan Hakikat Syukur
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya."
Sebuah Panggilan Kehormatan bagi Orang Beriman
Al-Qur'an, sebagai firman Allah yang mulia, memiliki gaya bahasa yang unik dan penuh makna. Setiap ayatnya bukan sekadar rangkaian kata, melainkan lautan hikmah yang tak pernah kering untuk diselami. Salah satu cara Allah berkomunikasi dengan hamba-Nya adalah melalui seruan atau panggilan. Dalam Surat Al Baqarah ayat 172, Allah memulai firmannya dengan panggilan yang sangat khas dan mulia: "Yā ayyuhal-ladzīna āmanū" (Wahai orang-orang yang beriman).
Panggilan ini bukanlah seruan biasa. Ia adalah sebuah sapaan kehormatan, pengakuan, dan penegasan status bagi mereka yang telah mengikrarkan iman di dalam hatinya. Ketika Allah memanggil dengan sebutan "orang-orang beriman", Ia sedang menyapa esensi terdalam dari identitas seorang Muslim. Ini adalah panggilan yang ditujukan kepada mereka yang percaya kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan, Muhammad sebagai utusan-Nya, dan meyakini seluruh rukun iman. Panggilan ini secara implisit mengingatkan bahwa perintah yang akan datang setelahnya adalah konsekuensi logis dan pembuktian dari keimanan itu sendiri.
Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu pernah memberikan nasihat yang sangat berharga terkait seruan ini. Beliau berkata, "Jika engkau mendengar Allah berfirman 'Yā ayyuhal-ladzīna āmanū', maka pasanglah telingamu baik-baik, karena sesudahnya ada kebaikan yang Dia perintahkan atau keburukan yang Dia larang." Nasihat ini mengajarkan kita untuk memberikan perhatian penuh setiap kali seruan ini muncul dalam Al-Qur'an. Ini adalah momen di mana Allah berbicara langsung kepada kita, sebagai individu yang diakui keimanannya, untuk memberikan petunjuk yang akan membawa kebaikan dalam hidup di dunia dan di akhirat.
Dalam konteks Al Baqarah 172, panggilan ini menjadi pembuka yang sangat strategis. Sebelum memerintahkan untuk memakan rezeki yang baik dan bersyukur, Allah terlebih dahulu memuliakan hamba-Nya. Seolah-olah Allah berfirman, "Karena kalian telah beriman kepada-Ku, karena kalian telah mengakui Aku sebagai Tuhan kalian, maka dengarkanlah petunjuk-Ku ini sebagai bagian dari manifestasi iman kalian." Dengan demikian, perintah yang datang setelahnya tidak terasa sebagai beban, melainkan sebagai sebuah panduan penuh kasih dari Sang Pencipta kepada makhluk yang dicintai-Nya.
Perintah Mengonsumsi yang "Thayyib": Melampaui Sekadar Halal
Setelah menyapa dengan panggilan kemuliaan, Allah menyampaikan perintah pertama dalam ayat ini: "kulū min thayyibāti mā razaqnākum" (Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu). Perintah ini, "kulū" (makanlah), pada dasarnya adalah sebuah anjuran yang menunjukkan betapa Islam memperhatikan kebutuhan jasmani manusia. Makan bukanlah sekadar aktivitas duniawi, melainkan sebuah kebutuhan fundamental yang jika diniatkan dengan benar, bisa bernilai ibadah. Namun, yang menjadi inti dari perintah ini adalah kualifikasi dari apa yang boleh dimakan, yaitu "thayyibāt".
Membedah Makna "Thayyib"
Seringkali, kita menyamakan kata "thayyib" dengan "halal". Meskipun keduanya saling berkaitan erat, "thayyib" memiliki cakupan makna yang lebih luas dan mendalam. Kata "halal" secara spesifik merujuk pada apa yang diizinkan oleh syariat untuk dikonsumsi, lawan dari "haram" (yang dilarang). Sementara "thayyib" merujuk pada sesuatu yang baik, lezat, murni, bersih, sehat, dan tidak menjijikkan. Sesuatu yang thayyib sudah pasti halal, tetapi sesuatu yang halal belum tentu thayyib dalam semua kondisi.
Sebagai contoh, daging sapi adalah makanan yang halal. Namun, jika daging tersebut berasal dari sapi yang sakit atau telah membusuk, maka ia tidak lagi tergolong thayyib karena dapat membahayakan kesehatan. Demikian pula, buah-buahan pada dasarnya halal dan thayyib. Akan tetapi, jika buah tersebut disemprot dengan pestisida berlebihan yang berbahaya atau diawetkan dengan formalin, status thayyib-nya menjadi gugur.
Konsep "thayyib" mencakup dua dimensi utama yang tak terpisahkan:
1. Baik dari Segi Zatnya (Halal li-dzatihi)
Dimensi pertama adalah kebaikan dari esensi atau zat makanan itu sendiri. Allah telah menetapkan secara jelas dalam Al-Qur'an dan melalui lisan Rasulullah ﷺ mengenai jenis-jenis makanan yang haram, seperti bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah. Selain yang diharamkan secara eksplisit ini, pada dasarnya semua makanan di bumi adalah halal dan thayyib. Ini adalah prinsip dasar dalam fiqih yang menyatakan "Al-ashlu fil-asy-yā' al-ibāhah" (Hukum asal segala sesuatu adalah boleh).
Kebaikan zat ini juga mencakup aspek kesehatan. Makanan yang thayyib adalah makanan yang bergizi, seimbang, dan memberikan manfaat bagi tubuh. Ia memberikan energi untuk beraktivitas dan beribadah, bukan yang justru mendatangkan penyakit dan melemahkan fisik. Islam mendorong umatnya untuk menjaga kesehatan sebagai amanah dari Allah, dan salah satu cara utamanya adalah melalui pemilihan makanan yang thayyib.
2. Baik dari Segi Cara Memperolehnya (Halal li-ghairihi)
Inilah dimensi yang seringkali luput dari perhatian. Makanan yang zatnya halal dan thayyib bisa menjadi haram jika cara memperolehnya batil. Frasa "mā razaqnākum" (yang Kami berikan kepadamu) dalam ayat ini secara halus mengingatkan bahwa rezeki itu datangnya dari Allah. Oleh karena itu, cara menjemput rezeki tersebut harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan-Nya.
Makanan yang dibeli dari uang hasil korupsi, pencurian, penipuan, riba, atau dari praktik bisnis yang curang, meskipun wujudnya adalah nasi, daging, dan sayuran yang halal, statusnya menjadi haram untuk dikonsumsi. Makanan tersebut telah terkontaminasi oleh kebatilan dalam proses perolehannya. Mengonsumsi makanan dari sumber yang haram memiliki dampak spiritual yang sangat serius.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda mengenai seorang lelaki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, "Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku," namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan? (HR. Muslim). Hadis ini memberikan peringatan keras tentang bagaimana makanan yang tidak thayyib dari segi perolehannya dapat menjadi penghalang utama antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Oleh karena itu, perintah "kulū min thayyibāt" adalah sebuah panduan holistik. Ia mengajak orang beriman untuk tidak hanya selektif terhadap apa yang masuk ke dalam mulutnya, tetapi juga sangat teliti terhadap dari mana datangnya apa yang akan masuk ke mulut tersebut. Ini adalah tentang integritas, kejujuran, dan kesadaran penuh bahwa setiap butir nasi yang kita makan akan dimintai pertanggungjawabannya.
"Wa-sykurū lillāh": Kewajiban dan Seni Bersyukur
Setelah memberikan izin dan panduan untuk menikmati rezeki yang baik, Allah langsung menyandingkannya dengan perintah kedua yang tak kalah penting: "wa-sykurū lillāh" (dan bersyukurlah kepada Allah). Rangkaian ini bukanlah sebuah kebetulan. Ia mengajarkan sebuah adab fundamental dalam kehidupan seorang mukmin: setiap nikmat yang diterima harus diiringi dengan rasa syukur kepada Sang Pemberi Nikmat. Perintah untuk makan yang thayyib dan perintah untuk bersyukur adalah dua sisi dari mata uang yang sama.
Syukur, dalam pemahaman Islam, bukanlah sekadar ucapan "Alhamdulillah" di lisan, meskipun itu adalah bagian penting darinya. Syukur adalah sebuah sikap hati, ungkapan lisan, dan perwujudan dalam perbuatan yang mencerminkan pengakuan bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan harus digunakan di jalan yang diridhai-Nya. Para ulama merinci syukur ke dalam tiga pilar utama:
1. Syukur dengan Hati (Syukr bil-qalb)
Ini adalah pondasi dari segala bentuk syukur. Syukur dengan hati adalah keyakinan yang teguh dan pengakuan yang tulus di dalam sanubari bahwa setiap nikmat, sekecil apa pun, datangnya murni dari Allah. Bukan karena kepintaran kita, bukan karena kerja keras kita semata, dan bukan pula karena kebetulan. Kerja keras dan kecerdasan adalah sarana, tetapi pemberi hasil dan rezeki yang hakiki hanyalah Allah.
Ketika kita menyantap makanan lezat, hati kita harus hadir dan mengakui, "Ya Allah, makanan ini ada di hadapanku atas izin dan karunia-Mu." Ketika kita sehat dan bugar, hati kita berbisik, "Ya Allah, kesehatan ini adalah anugerah-Mu." Sikap batin inilah yang membedakan orang beriman dari yang lain. Ia menumbuhkan rasa rendah hati (tawadhu'), menghilangkan kesombongan, dan membuat seseorang senantiasa merasa terhubung dengan Allah dalam setiap tarikan napas dan suapan makanan. Tanpa pilar ini, syukur lisan dan perbuatan akan menjadi kosong tanpa ruh.
2. Syukur dengan Lisan (Syukr bil-lisān)
Setelah hati mengakui, lisan pun mengungkapkannya. Bentuk paling umum dan utama dari syukur dengan lisan adalah mengucapkan kalimat-kalimat pujian kepada Allah, seperti "Alhamdulillah" (Segala puji bagi Allah). Mengucapkan hamdalah setelah makan dan minum adalah sunnah yang diajarkan langsung oleh Rasulullah ﷺ. Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah ridha terhadap seorang hamba yang apabila ia makan sesuatu makanan ia memuji Allah atasnya, dan apabila ia minum sesuatu minuman ia memuji Allah atasnya." (HR. Muslim).
Syukur dengan lisan juga berarti menceritakan nikmat Allah (tahadduts bin ni'mah) bukan untuk tujuan pamer atau menyombongkan diri, melainkan untuk menampakkan karunia-Nya dan menginspirasi orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Ad-Dhuha: "Wa ammā bi ni'mati rabbika fa haddits" (Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan). Ini bisa berupa berbagi cerita tentang bagaimana Allah memberikan kemudahan, memberikan rezeki dari arah yang tak disangka-sangka, atau memberikan kesembuhan, dengan tujuan utama untuk mengagungkan nama Allah.
3. Syukur dengan Perbuatan (Syukr bil-jawārih)
Ini adalah puncak dan bukti nyata dari rasa syukur. Syukur dengan perbuatan berarti menggunakan nikmat yang telah Allah berikan untuk ketaatan, bukan untuk kemaksiatan. Inilah makna terdalam dari syukur. Jika Allah memberikan kita rezeki berupa makanan yang thayyib, maka syukur perbuatannya adalah menggunakan energi yang dihasilkan dari makanan itu untuk beribadah kepada-Nya. Energi itu digunakan untuk shalat, untuk bekerja mencari nafkah yang halal, untuk menolong sesama, untuk belajar ilmu yang bermanfaat, bukan untuk melakukan perbuatan dosa.
Jika Allah memberikan nikmat kesehatan, syukurnya adalah dengan menggunakan tubuh yang sehat untuk beramal shalih. Jika Allah memberikan nikmat harta, syukurnya adalah dengan menafkahkannya di jalan Allah, berzakat, bersedekah, dan membantu fakir miskin. Sebaliknya, menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat adalah bentuk pengkhianatan dan kekufuran terhadap nikmat (kufr an-ni'mah) yang paling nyata.
Allah menjanjikan balasan yang luar biasa bagi hamba-Nya yang bersyukur. Dalam Surat Ibrahim ayat 7, Allah berfirman: "Wa idz ta`adzdzana rabbukum la`in syakartum la`azīdannakum, wa la`in kafartum inna 'adzābī lasyadīd" (Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'). Janji Allah ini pasti. Semakin seorang hamba bersyukur, semakin Allah akan melimpahkan nikmat-Nya, baik dalam bentuk tambahan rezeki, keberkahan, ketenangan jiwa, maupun kemudahan dalam urusan.
Klausul Penegas: "Jika Kamu Hanya Menyembah Kepada-Nya"
Ayat Al Baqarah 172 ditutup dengan sebuah kalimat kondisional yang mengikat dua perintah sebelumnya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan: "in kuntum iyyāhu ta'budūn" (jika kamu hanya menyembah kepada-Nya). Kalimat ini bukan sekadar penutup, melainkan sebuah penegas, sebuah meterai yang mengunci makna keseluruhan ayat. Ia berfungsi sebagai standar verifikasi dan barometer kebenaran iman dan ibadah seseorang.
Allah seakan-akan berfirman, "Bukti bahwa kalian benar-benar tulus menyembah hanya kepada-Ku, bukti bahwa tauhid kalian lurus, adalah dengan cara kalian mematuhi dua perintah sebelumnya: memakan yang thayyib dan senantiasa bersyukur kepada-Ku." Ini menunjukkan bahwa konsep ibadah dalam Islam sangatlah luas. Ibadah tidak hanya terbatas pada ritual formal seperti shalat, puasa, dan haji. Bahkan, aktivitas sehari-hari yang paling mendasar seperti makan pun bisa menjadi bagian dari ibadah jika dilakukan dengan cara yang benar dan niat yang lurus.
Frasa ini menghubungkan secara langsung antara urusan perut (konsumsi) dengan urusan tertinggi dalam akidah (tauhid). Ini adalah pesan yang sangat kuat. Bagaimana mungkin seseorang mengaku menyembah Allah semata, sementara ia tidak peduli dengan batasan-batasan yang telah Allah tetapkan mengenai apa yang masuk ke dalam tubuhnya? Bagaimana mungkin seseorang mengaku sebagai hamba Allah yang taat, sementara lisannya enggan memuji-Nya dan hatinya lalai dari mengakui-Nya sebagai sumber segala nikmat?
Pilihan kata "iyyāhu ta'budūn" (hanya kepada-Nya kamu menyembah) menekankan aspek eksklusivitas dalam ibadah. Ini adalah inti dari kalimat "Lā ilāha illallāh". Menyembah hanya kepada Allah berarti menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam urusan makanan. Ketika seseorang dengan sadar memilih untuk tidak memakan makanan haram meskipun sangat lezat dan tersedia, pada hakikatnya ia sedang beribadah. Ketika seseorang bersusah payah mencari pekerjaan yang halal agar dapat memberikan nafkah yang thayyib bagi keluarganya, ia sedang berada dalam puncak pengabdian.
Dengan demikian, ayat ini mengajarkan kita bahwa keimanan dan ibadah haruslah terintegrasi secara utuh. Tidak ada pemisahan antara kehidupan spiritual dan kehidupan material. Cara kita berbisnis, cara kita makan, cara kita bersosialisasi, semuanya adalah cerminan dari kualitas penyembahan kita kepada Allah. Jika kita benar-benar hanya menyembah Allah, maka seluruh hidup kita, dari hal terkecil hingga terbesar, akan kita selaraskan dengan kehendak-Nya.
Hikmah dan Relevansi Abadi Al Baqarah 172
Meskipun diturunkan berabad-abad yang lalu, pesan yang terkandung dalam Surat Al Baqarah ayat 172 tetap relevan dan bahkan semakin krusial di zaman modern ini. Ayat ini menawarkan panduan hidup yang komprehensif, menyentuh aspek spiritual, kesehatan, ekonomi, dan sosial.
Relevansi di Era Modern
Di tengah gempuran industri makanan modern yang serba instan, konsep "thayyib" menjadi filter yang sangat penting. Kita dihadapkan pada makanan olahan yang penuh dengan zat aditif, pengawet, dan bahan-bahan kimia yang mungkin halal secara zat tetapi diragukan kebaikannya (thayyib) untuk kesehatan jangka panjang. Ayat ini mengajak kita untuk menjadi konsumen yang cerdas dan sadar, yang tidak hanya melihat label halal, tetapi juga memperhatikan kandungan gizi dan dampak kesehatan dari apa yang kita konsumsi.
Dalam konteks ekonomi global yang kompleks, seruan untuk memastikan kehalalan cara memperoleh rezeki menjadi tantangan tersendiri. Praktik bisnis yang tidak etis, sistem keuangan berbasis riba, dan budaya korupsi yang merajalela menuntut seorang mukmin untuk ekstra waspada. Ayat ini menjadi pengingat abadi bahwa keberkahan rezeki tidak terletak pada jumlahnya, melainkan pada ke-thayyib-annya, baik dari segi zat maupun sumbernya.
Adapun perintah bersyukur menjadi penawar bagi penyakit masyarakat modern seperti konsumerisme, ketidakpuasan kronis, dan gaya hidup hedonistik. Dengan membiasakan diri bersyukur, seseorang akan belajar untuk merasa cukup (qana'ah), menghargai apa yang dimiliki, dan terhindar dari perlombaan materi yang tidak ada habisnya. Syukur menuntun pada ketenangan jiwa, sesuatu yang sangat mahal dan dicari-cari di era yang penuh tekanan ini.
Kesimpulan: Jalan Menuju Kehidupan yang Berkah
Surat Al Baqarah ayat 172 adalah sebuah paket panduan lengkap dari Allah untuk para hamba-Nya yang beriman. Ia dimulai dengan panggilan cinta, dilanjutkan dengan panduan konsumsi yang menyehatkan fisik dan spiritual, diiringi dengan perintah untuk menumbuhkan mentalitas syukur, dan diakhiri dengan penegasan bahwa semua itu adalah bukti nyata dari ibadah dan tauhid yang lurus.
Mengamalkan ayat ini dalam kehidupan sehari-hari berarti mengubah aktivitas makan dari sekadar rutinitas biologis menjadi sebuah ibadah yang penuh kesadaran. Ia adalah jalan untuk meraih kehidupan yang berkah (barakah), yaitu kehidupan di mana setiap nikmat, sekecil apa pun, terasa bernilai, mendatangkan kebaikan, dan semakin mendekatkan diri kepada Sang Pemberi Nikmat, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semoga kita semua tergolong sebagai hamba-hamba-Nya yang senantiasa mengonsumsi yang thayyib dan pandai bersyukur.