Memahami Makna Surat Al-Hadid: Besi Sebagai Simbol Kekuatan dan Keadilan
Dalam samudra luas Al-Qur'an, setiap surat memiliki keunikan dan pesan tersendiri yang menyinari jalan bagi umat manusia. Salah satu surat yang menonjol dengan nama yang unik dan kandungan yang mendalam adalah Surat Al-Hadid. Secara harfiah, Al Hadid artinya Besi. Nama ini diambil dari ayat ke-25 yang secara eksplisit menyebutkan tentang diturunkannya besi sebagai karunia Allah yang memiliki kekuatan dahsyat sekaligus manfaat besar bagi kehidupan.
Surat Al-Hadid adalah surat ke-57 dalam urutan mushaf Al-Qur'an, terdiri dari 29 ayat, dan tergolong sebagai surat Madaniyyah. Surat ini diturunkan pada periode Madinah, di mana komunitas Muslim sedang berada dalam fase pembentukan negara dan menghadapi berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal. Kandungannya sarat dengan ajaran tentang keagungan Allah, hakikat kehidupan dunia, pentingnya iman dan infaq, serta gambaran kontras antara nasib orang beriman dan orang munafik di akhirat.
Memahami Surat Al-Hadid bukan sekadar mengetahui arti harfiahnya. Lebih dari itu, ia mengajak kita untuk merenungkan filosofi di balik "besi" itu sendiri. Besi adalah elemen yang bisa menjadi alat untuk membangun peradaban—cangkul untuk pertanian, paku untuk bangunan, dan mesin untuk industri. Namun, di sisi lain, besi juga bisa menjadi senjata penghancur—pedang, panah, dan alat perang lainnya. Dualitas fungsi ini menjadi cermin bagi hati manusia: ia bisa menjadi selembut sutera dalam ketaatan, atau sekeras besi dalam kedurhakaan. Surat ini mengajak kita untuk melunakkan hati dengan dzikir dan iman, serta menggunakan kekuatan yang kita miliki untuk menegakkan keadilan dan kebaikan, sebagaimana besi digunakan untuk kemaslahatan.
Konteks Penurunan (Asbabun Nuzul)
Meskipun tidak ada satu riwayat spesifik yang menjelaskan sebab turunnya keseluruhan Surat Al-Hadid secara utuh, para ulama tafsir mengaitkan beberapa ayatnya dengan peristiwa atau kondisi tertentu yang terjadi di Madinah. Memahami konteks ini membantu kita menangkap nuansa pesan yang ingin disampaikan.
Salah satu konteks utama yang melatari surat ini adalah kondisi sebagian kaum Muslimin yang mulai menunjukkan keengganan atau kelambanan dalam berinfaq di jalan Allah. Setelah hijrah dan melewati berbagai peperangan awal, kondisi ekonomi di Madinah mulai stabil. Kemenangan demi kemenangan, termasuk Fathu Makkah (Penaklukan Mekah), membawa kemakmuran. Dalam situasi ini, semangat pengorbanan yang membara di masa-masa sulit mulai sedikit meredup pada sebagian orang. Mereka menjadi lebih berat untuk mengeluarkan harta demi perjuangan agama.
Oleh karena itu, ayat-ayat seperti ayat 10 dan 11 turun sebagai teguran lembut sekaligus motivasi yang kuat. Allah SWT membedakan antara mereka yang berinfaq dan berjuang sebelum kemenangan besar (Fathu Makkah) dengan mereka yang melakukannya setelahnya. Ini bukan untuk merendahkan yang kedua, tetapi untuk menggarisbawahi betapa tingginya nilai pengorbanan di saat kondisi sedang genting dan penuh tekanan. Surat ini datang untuk menyalakan kembali api semangat berkorban dan mengingatkan bahwa harta yang dimiliki hanyalah titipan yang semestinya digunakan untuk meraih kebahagiaan abadi.
Selain itu, surat ini juga diturunkan untuk menegur orang-orang munafik yang hidup di tengah-tengah komunitas Muslim. Mereka menampakkan keislaman secara lahiriah, tetapi hati mereka penuh dengan keraguan dan penyakit. Surat ini membongkar kepalsuan mereka dengan memberikan gambaran yang sangat jelas tentang nasib mereka di hari kiamat, di mana mereka akan terpisah dari cahaya orang-orang beriman dan terjerumus ke dalam azab. Ini menjadi peringatan bagi kaum Muslimin agar senantiasa menjaga keikhlasan iman dan tidak terjerumus dalam kemunafikan.
Tafsir Mendalam Surat Al-Hadid: Ayat demi Ayat
Untuk memahami kekayaan makna Surat Al-Hadid, kita perlu menyelami tafsir ayat-ayatnya secara lebih rinci, yang dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tema besar.
Tema 1: Keagungan, Kekuasaan, dan Ilmu Allah yang Mutlak (Ayat 1-6)
Surat ini dibuka dengan sebuah deklarasi agung tentang kesucian Allah SWT.
"Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Hadid: 1)Ayat ini menegaskan bahwa seluruh alam semesta, dari partikel terkecil hingga galaksi terbesar, baik yang bernyawa maupun yang dianggap benda mati, semuanya secara konstan menyucikan dan mengagungkan Allah. Tasbih mereka mungkin tidak dapat kita pahami dengan indra kita, tetapi itu adalah sebuah realitas kosmik. Penutupan ayat dengan dua Asmaul Husna, Al-Aziz (Yang Maha Perkasa) dan Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana), menunjukkan bahwa kekuasaan-Nya yang tak terbatas selalu diiringi dengan kebijaksanaan yang sempurna dalam setiap ciptaan dan ketetapan-Nya.
Ayat-ayat berikutnya merinci domain kekuasaan-Nya. "Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Ayat 2). Ini adalah penegasan kepemilikan mutlak. Manusia mungkin merasa memiliki sesuatu di dunia, tetapi kepemilikan itu bersifat sementara dan semu. Pemilik hakiki hanyalah Allah. Dialah yang memberi kehidupan dan mengambilnya kembali sesuai kehendak-Nya, dan kekuasaan-Nya meliputi segala hal tanpa kecuali.
Puncak dari deskripsi keagungan ini terdapat pada ayat 3:
"Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."Ini adalah salah satu ayat yang paling komprehensif dalam menggambarkan sifat Allah.
- Al-Awwal (Yang Awal): Tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya. Dia ada tanpa permulaan.
- Al-Akhir (Yang Akhir): Tidak ada sesuatu pun setelah-Nya. Ketika semua makhluk fana, Dia tetap kekal.
- Az-Zhahir (Yang Lahir/Tampak): Keberadaan-Nya tampak jelas melalui tanda-tanda kebesaran-Nya di seluruh alam semesta. Segala sesuatu di atas-Nya adalah bukti eksistensi-Nya.
- Al-Batin (Yang Batin/Tersembunyi): Zat-Nya tersembunyi, tidak dapat dijangkau oleh panca indera atau akal manusia. Dia lebih dekat dari urat leher kita, namun kita tak mampu melihat-Nya.
Tema 2: Perintah Beriman dan Berinfaq di Jalan Allah (Ayat 7-12)
Setelah memaparkan keagungan-Nya, Allah kemudian memberikan perintah yang logis: "Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infaqkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah)." (Ayat 7). Perintah ini didasarkan pada kesadaran bahwa karena Allah adalah Pemilik segalanya, maka harta yang ada di tangan kita hanyalah titipan. Menginfaqkannya adalah bentuk syukur dan pengakuan atas kepemilikan-Nya. Allah menjanjikan pahala yang besar bagi mereka yang menjalankan amanah ini dengan baik.
Allah mempertanyakan alasan bagi mereka yang ragu untuk beriman, padahal Rasul telah menyeru dengan bukti-bukti yang nyata untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Allah juga mempertanyakan keengganan mereka untuk berinfaq, padahal Dia adalah pewaris langit dan bumi; pada akhirnya semua harta akan kembali kepada-Nya. Maka, lebih baik menggunakannya untuk kebaikan selagi ada kesempatan.
Di sinilah muncul perbandingan yang tajam di ayat 10, antara mereka yang berinfaq dan berperang sebelum Fathu Makkah dengan yang sesudahnya. Pengorbanan di masa sulit, saat jumlah umat Islam masih sedikit dan ancaman besar, memiliki bobot yang jauh lebih berat di sisi Allah. Namun, Allah tetap menjanjikan "husna" (kebaikan atau surga) bagi keduanya, sebagai bentuk rahmat-Nya yang luas.
Konsep infaq diangkat ke level yang lebih indah melalui istilah "qardhan hasanan" atau pinjaman yang baik.
"Barangsiapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang mulia." (Ayat 11)Ini adalah metafora yang luar biasa. Allah, Yang Maha Kaya, menggambarkan sedekah seorang hamba seolah-olah hamba tersebut sedang memberikan pinjaman kepada-Nya. Ini menunjukkan betapa Allah sangat menghargai amal tersebut dan menjamin akan mengembalikannya dengan balasan yang berlipat-lipat, jauh melebihi "pinjaman" yang diberikan.
Buah dari keimanan dan infaq ini akan terlihat nyata di hari kiamat. Ayat 12 melukiskan pemandangan yang menakjubkan: "Pada hari engkau akan melihat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka." Cahaya ini adalah manifestasi dari amal baik mereka di dunia. Cahaya ini akan menjadi pemandu mereka melewati kegelapan Sirat (jembatan) menuju surga. Kegembiraan mereka sempurna saat disambut dengan kabar, "Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai."
Tema 3: Kontras Nasib Orang Munafik dan Peringatan Keras (Ayat 13-16)
Setelah pemandangan penuh cahaya, suasana berubah drastis menjadi gelap dan penuh penyesalan. Ayat 13-15 menggambarkan drama tragis kaum munafik di hari kiamat. Mereka, yang di dunia hidup berdampingan dengan kaum mukmin, kini tertinggal dalam kegelapan. Mereka berseru kepada orang-orang beriman, "Tunggulah kami! Kami ingin mengambil sedikit dari cahayamu." Permintaan mereka putus asa, menunjukkan betapa mereka sangat membutuhkan petunjuk di tengah kengerian hari itu.
Jawaban yang mereka terima sangatlah menusuk: "Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya." Ini adalah sebuah ironi, karena di "belakang" (dunia) mereka tidak pernah benar-benar mencari cahaya iman. Lalu, sebuah dinding pemisah raksasa didirikan di antara mereka. Dinding ini memiliki dua sisi yang kontras: "Di bagian dalamnya (sisi orang beriman) ada rahmat, dan di bagian luarnya (sisi orang munafik) ada azab."
Dari balik dinding, orang-orang munafik masih mencoba bernegosiasi. Mereka berseru, "Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?" Mereka mengingatkan tentang kebersamaan mereka di dunia: shalat bersama, puasa bersama, bahkan mungkin berperang bersama. Orang-orang beriman membenarkannya, "Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri." Kemudian mereka merinci sebab-sebab kebinasaan kaum munafik:
- Menunggu-nunggu (Tarabbus): Kalian menunggu-nunggu kehancuran Islam dan kaum Muslimin.
- Ragu-ragu (Irtiyab): Hati kalian tidak pernah yakin sepenuhnya terhadap kebenaran Islam.
- Tertipu oleh angan-angan kosong (Ghurur bil Amani): Kalian tertipu oleh angan-angan bahwa kalian akan baik-baik saja tanpa keimanan yang tulus.
- Tertipu oleh setan (Ghurur billahil Gharur): Kalian tertipu oleh setan yang membuat kalian meremehkan ampunan dan azab Allah.
Setelah drama yang mencekam ini, Allah SWT memberikan sebuah panggilan yang menyentuh hati, ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Panggilan ini seolah menjadi obat penawar agar tidak jatuh ke dalam perangkap yang sama dengan kaum munafik.
"Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (Al-Qur'an), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang telah diberi Kitab sebelumnya, kemudian berlalu masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras? Dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasik." (Ayat 16)Ini adalah teguran cinta dari Allah. Kapan lagi hati akan tunduk dan luluh saat mendengar nama Allah dan ayat-ayat-Nya? Allah memperingatkan agar jangan sampai seperti Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang pada awalnya menerima wahyu, namun seiring berjalannya waktu dan panjangnya masa, mereka melupakan ajaran-Nya, sehingga hati mereka mengeras bagai batu. Hati yang keras adalah hati yang tidak lagi mempan oleh nasihat dan peringatan, sebuah kondisi yang sangat berbahaya.
Tema 4: Hakikat Kehidupan Dunia dan Perbandingannya dengan Akhirat (Ayat 17-21)
Untuk melunakkan hati yang mulai mengeras, Allah memberikan analogi yang indah. "Ketahuilah bahwa Allah menghidupkan bumi setelah matinya (kering)." (Ayat 17). Sebagaimana hujan mampu menyuburkan kembali tanah yang tandus dan gersang, begitu pula dzikir dan Al-Qur'an mampu menghidupkan kembali hati yang mati dan kering karena lalai. Ini adalah pesan penuh harapan bahwa tidak ada kata terlambat untuk kembali dan memperbaiki diri.
Selanjutnya, Allah menguraikan hakikat sejati dari kehidupan dunia, yang seringkali menjadi penyebab utama kerasnya hati. Ayat 20 adalah salah satu deskripsi paling lengkap tentang dunia dalam Al-Qur'an:
"Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan (la'ib), senda gurau (lahw), perhiasan (zinah), saling membanggakan diri di antara kamu (tafakhur), dan berlomba-lomba dalam memperbanyak harta dan anak (takatsur)."Ini adalah lima fase yang dialami manusia. Dimulai dari permainan masa kanak-kanak, senda gurau masa remaja, berhias di masa muda, saling membanggakan status di usia dewasa, hingga berlomba menumpuk kekayaan dan keturunan di usia tua. Semua itu fana dan sementara.
Allah kemudian memberikan perumpamaan yang sangat kuat: "Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur." Keindahan dunia, seperti hijaunya tanaman setelah hujan, memang memukau. Namun, ia akan cepat berlalu, menguning, layu, dan akhirnya hancur tak bersisa. Inilah realitas dunia. Di akhirat, hanya ada dua pilihan: azab yang keras atau ampunan dari Allah dan keridhaan-Nya. "Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu."
Oleh karena itu, Allah memerintahkan, "Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi." (Ayat 21). Fokus seharusnya bukan berlomba dalam urusan dunia yang fana, melainkan berlomba dalam amal saleh untuk meraih ganjaran abadi yang telah disiapkan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Tema 5: Konsep Takdir, Keadilan, dan Filosofi Besi (Ayat 22-25)
Bagian ini menyentuh salah satu pilar keimanan, yaitu takdir (qadar). Allah menjelaskan sebuah prinsip fundamental untuk mencapai ketenangan jiwa.
"Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah." (Ayat 22)Ini adalah konsep yang membebaskan. Segala sesuatu, baik yang kita suka maupun tidak, terjadi atas izin dan sepengetahuan Allah, dan telah tercatat. Apa tujuannya? Ayat berikutnya menjelaskan: "Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu." (Ayat 23). Dengan meyakini takdir, seorang mukmin tidak akan larut dalam keputusasaan saat kehilangan sesuatu, karena ia tahu itu sudah ditakdirkan. Sebaliknya, ia tidak akan menjadi sombong dan angkuh saat mendapatkan nikmat, karena ia sadar itu semua datang dari Allah. Sikap inilah yang melahirkan kestabilan emosi dan ketenangan batin. Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.
Kemudian datanglah ayat puncak yang menjadi nama surat ini. Ayat 25 merangkum misi utama diutusnya para rasul: "Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Al-Mizan (neraca keadilan) agar manusia dapat berlaku adil." Tujuan utama risalah kenabian adalah untuk menegakkan pilar-pilar keadilan di muka bumi melalui petunjuk kitab suci dan neraca (hukum) yang adil.
Lalu, Allah menyebutkan instrumen fisik untuk menegakkan keadilan tersebut:
"Dan Kami turunkan (anzalna) besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat (ba'sun syadid) dan berbagai manfaat bagi manusia."Kata "anzalna" (Kami turunkan) di sini sangat menarik. Sebagian ahli tafsir modern mengaitkannya dengan fakta ilmiah bahwa besi tidak terbentuk di bumi, melainkan berasal dari ledakan bintang-bintang masif (supernova) dan "turun" ke bumi dalam bentuk meteorit di awal pembentukannya. Terlepas dari penafsiran itu, ayat ini menyoroti dua aspek utama besi:
- Kekuatan yang Hebat (Ba'sun Syadid): Merujuk pada penggunaannya sebagai alat perang dan pertahanan. Pedang, baju zirah, dan tombak dibuat dari besi. Ini adalah simbol kekuatan yang diperlukan untuk melindungi kebenaran dan melawan kezaliman. Keadilan terkadang perlu ditegakkan dengan kekuatan.
- Manfaat bagi Manusia (Manafi'u lin-nas): Merujuk pada penggunaannya dalam peradaban. Cangkul, palu, paku, mesin, jembatan, gedung, dan hampir seluruh infrastruktur modern bergantung pada besi. Ini adalah simbol kemakmuran dan pembangunan.
Tema 6: Pesan kepada Ahli Kitab dan Penutup (Ayat 26-29)
Surat ini diakhiri dengan menyinggung sejarah para nabi terdahulu, seperti Nuh dan Ibrahim, yang dari keturunan mereka lahir para nabi dan diturunkan kitab. Namun, banyak dari pengikut mereka yang menjadi fasik. Allah juga menyebut Isa (Yesus) dan para pengikutnya yang diberikan Injil, dan bagaimana Allah menanamkan rasa kasih sayang di hati mereka. Namun, mereka mengada-adakan sesuatu yang tidak diperintahkan, yaitu "rahbaniyyah" (monastisisme atau hidup membujang dan mengasingkan diri dari dunia). Meskipun niat awal mereka mungkin baik (mencari keridhaan Allah), mereka tidak mampu memeliharanya dengan semestinya.
Oleh karena itu, Allah menyeru kepada Ahli Kitab yang masih tulus: "Wahai orang-orang yang beriman (kepada para rasul sebelumnya)! Bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya (Muhammad), niscaya Allah akan memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian." Dua bagian pahala ini adalah: satu untuk keimanan mereka kepada nabi mereka sendiri, dan satu lagi untuk keimanan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Allah juga menjanjikan akan memberikan "cahaya" untuk mereka berjalan dan "ampunan" atas dosa-dosa mereka.
Ayat penutup menegaskan bahwa karunia Allah tidak dapat dimonopoli oleh siapa pun. Ahli Kitab mungkin merasa bahwa mereka adalah umat pilihan, tetapi Allah menyatakan bahwa karunia-Nya ada di tangan-Nya dan Dia memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. "Dan Allah memiliki karunia yang besar." Ini adalah penutup yang sempurna, mengembalikan segala urusan kepada kemurahan dan kehendak mutlak Allah SWT.
Pelajaran dan Hikmah Berharga dari Surat Al-Hadid
Merenungi Surat Al-Hadid meninggalkan jejak yang mendalam di dalam jiwa. Beberapa pelajaran utama yang dapat kita petik adalah:
- Penguatan Tauhid: Surat ini secara fundamental membangun fondasi tauhid yang kokoh dengan memperkenalkan sifat-sifat keagungan Allah. Mengingat bahwa Dia adalah Al-Awwal, Al-Akhir, Az-Zhahir, dan Al-Batin dapat melahirkan rasa takjub, ketergantungan, dan pengawasan diri dalam setiap tindakan.
- Melunakkan Hati: Peringatan tentang hati yang keras adalah inti dari pesan spiritual surat ini. Ia mengajak kita untuk senantiasa "menghidupkan" hati kita dengan Al-Qur'an dan dzikir, agar tetap peka terhadap kebenaran dan khusyuk dalam beribadah.
- Perspektif yang Benar tentang Dunia: Deskripsi dunia sebagai permainan dan senda gurau yang menipu adalah sebuah 'wake-up call'. Ini bukan berarti kita harus meninggalkan dunia, tetapi kita harus menempatkannya pada posisi yang semestinya: sebagai ladang untuk beramal demi akhirat, bukan sebagai tujuan akhir itu sendiri.
- Urgensi Infaq dan Pengorbanan: Surat ini menggarisbawahi bahwa keimanan sejati harus dibuktikan dengan kerelaan berkorban, terutama dengan harta. Harta bukanlah milik kita, melainkan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Menginfaqkannya adalah investasi terbaik yang hasilnya berlipat ganda.
- Kekuatan untuk Keadilan: Filosofi "besi" mengajarkan bahwa seorang Muslim harus memiliki dua sisi: kelembutan hati dalam hubungannya dengan Allah, dan kekuatan (ketegasan) dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Kekuatan fisik, intelektual, dan ekonomi harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, bukan untuk penindasan.
- Optimisme dan Ketenangan Jiwa: Memahami konsep takdir seperti yang dijelaskan dalam surat ini dapat membebaskan kita dari kecemasan berlebihan, kesedihan yang mendalam, dan kesombongan yang membinasakan. Kita belajar untuk ikhlas menerima ketetapan-Nya seraya terus berusaha melakukan yang terbaik.
Kesimpulannya, Surat Al-Hadid, yang namanya berarti "Besi", adalah surat yang luar biasa kuat pesannya. Ia mengajak kita untuk memiliki iman yang kokoh sekokoh besi, hati yang lunak dan mudah dibentuk oleh kebenaran, serta menggunakan kekuatan yang Allah berikan untuk membangun peradaban yang adil dan bermanfaat. Ia adalah panggilan untuk melepaskan diri dari belenggu tipu daya dunia dan berlomba menuju ampunan dan surga yang telah dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.