Peta Jalan Menuju Kebahagiaan Hakiki: Tafsir Al Maidah 35
Dalam samudra petunjuk Al-Quran, setiap ayat adalah mercusuar yang menerangi jalan bagi para pencari kebenaran. Salah satu cahaya yang paling terang benderang, yang memberikan peta jalan komprehensif bagi seorang mukmin, adalah Surat Al Maidah ayat 35. Ayat ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah formula ilahi yang merangkum esensi perjalanan seorang hamba menuju Tuhannya. Ia menyajikan tiga pilar utama yang saling terkait dan tidak terpisahkan, yang jika didirikan dengan kokoh, akan mengantarkan manusia pada puncak keberuntungan sejati di dunia dan akhirat.
Ayat ini ditujukan secara langsung kepada entitas yang paling mulia di hadapan Allah: orang-orang yang beriman. Panggilan mesra "Yā ayyuhallażīna āmanū" (Wahai orang-orang yang beriman) adalah sebuah penegasan cinta dan pengakuan dari Sang Pencipta. Ini adalah panggilan yang seharusnya menggetarkan setiap sanubari yang di dalamnya bersemayam benih-benih iman, sebuah pengingat akan ikrar suci yang pernah diucapkan. Mari kita renungkan bersama firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung."
Ayat mulia ini mengandung tiga perintah fundamental: bertaqwa, mencari wasilah, dan berjihad. Ketiganya bukanlah tahapan yang terpisah, melainkan sebuah kesatuan yang dinamis. Taqwa adalah fondasinya, wasilah adalah bangunannya, dan jihad adalah aktivitas yang menghidupkan bangunan tersebut. Semua ini bermuara pada satu tujuan agung: la'allakum tufliḥūn, agar kamu menjadi orang-orang yang beruntung.
Pilar Pertama: Taqwa sebagai Fondasi Keimanan (اتَّقُوا اللّٰهَ)
Perintah pertama dan yang paling mendasar dalam ayat ini adalah "Ittaqullāh" (Bertakwalah kepada Allah). Taqwa sering kali diterjemahkan secara sederhana sebagai "takut", namun maknanya jauh lebih dalam dan luas. Ia adalah sebuah kesadaran penuh akan kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap detik kehidupan, yang melahirkan rasa hormat, cinta, dan kehati-hatian. Taqwa adalah perisai yang melindungi seorang mukmin dari perbuatan dosa dan kemaksiatan.
Makna Hakiki Taqwa
Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu pernah bertanya kepada Ubay bin Ka'ab tentang makna taqwa. Ubay menjawab dengan sebuah perumpamaan yang indah, "Pernahkah engkau berjalan di jalan yang penuh duri?" Umar menjawab, "Tentu saja." Ubay bertanya lagi, "Apa yang engkau lakukan?" Umar menjawab, "Aku akan berhati-hati dan menyingsingkan pakaianku agar tidak terkena duri." Ubay pun berkata, "Itulah taqwa."
Perumpamaan ini menggambarkan esensi taqwa dengan sangat jelas. Kehidupan di dunia ini ibarat berjalan di jalanan yang penuh duri; duri syahwat, duri syubhat, duri kesombongan, duri kelalaian. Orang yang bertaqwa adalah orang yang berjalan dengan penuh kewaspadaan, menjaga hatinya, lisannya, dan perbuatannya agar tidak tergores oleh duri-duri maksiat yang dapat melukai spiritualitasnya dan menjauhkannya dari Allah. Ia menjalankan segala yang diperintahkan Allah dengan penuh keikhlasan dan menjauhi segala yang dilarang-Nya dengan kesadaran penuh.
Taqwa: Akar dari Segala Kebaikan
Taqwa bukanlah sekadar sikap pasif menghindari dosa. Ia adalah kekuatan aktif yang mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan. Ia adalah sumber energi spiritual yang memotivasi seorang hamba untuk senantiasa mencari keridhaan Tuhannya. Allah menjanjikan berbagai keutamaan bagi mereka yang bertaqwa, sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat Al-Quran:
- Jalan Keluar dari Kesulitan: "...Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya." (QS. At-Talaq: 2).
- Rezeki dari Arah Tak Terduga: "Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya..." (QS. At-Talaq: 3).
- Kemudahan dalam Urusan: "...Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya." (QS. At-Talaq: 4).
- Kemampuan Membedakan Hak dan Batil (Furqan): "Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (pembeda) kepadamu..." (QS. Al-Anfal: 29).
Dalam konteks Al Maidah ayat 35, taqwa ditempatkan di urutan pertama karena ia adalah syarat mutlak bagi diterimanya amal-amal selanjutnya. Tanpa fondasi taqwa, upaya mencari wasilah dan berjihad bisa jadi hanya akan menjadi amalan yang kosong, tanpa ruh dan nilai di sisi Allah. Taqwa adalah filter yang memurnikan niat dan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil adalah murni untuk mencari wajah Allah semata.
Pilar Kedua: Mencari Wasilah sebagai Sarana Pendekatan (وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ)
Setelah meletakkan fondasi taqwa, perintah selanjutnya adalah "Wabtagū ilaihil-wasīlah" (dan carilah jalan/sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya). Kata "wasilah" secara bahasa berarti segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada tujuan. Dalam konteks ayat ini, para ulama tafsir sepakat bahwa wasilah adalah segala bentuk ketaatan dan ibadah yang disyariatkan oleh Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Memahami Wasilah yang Disyariatkan
Mencari wasilah bukanlah sebuah konsep pasif, melainkan sebuah perintah aktif untuk berupaya, mencari, dan menempuh jalan-jalan yang telah Allah tetapkan. Ini adalah manifestasi dari kerinduan seorang hamba untuk senantiasa berada dekat dengan Sang Khalik. Wasilah yang benar dan disyariatkan mencakup seluruh spektrum amal shalih, baik yang bersifat vertikal (hablum minallah) maupun horizontal (hablum minannas).
Beberapa bentuk wasilah yang paling utama adalah:
- Amalan Fardhu: Melaksanakan shalat lima waktu dengan khusyuk, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji bagi yang mampu. Ini adalah pilar-pilar utama dan wasilah yang paling agung.
- Amalan Sunnah (Nawafil): Memperbanyak shalat sunnah (tahajud, dhuha, rawatib), puasa sunnah (Senin-Kamis, Ayyamul Bidh), bersedekah, dan umrah. Amalan-amalan ini berfungsi sebagai penyempurna amalan fardhu dan penambah kecintaan Allah kepada hamba-Nya.
- Dzikir dan Tilawah Al-Quran: Senantiasa membasahi lisan dengan dzikrullah (mengingat Allah) dan menjadikan Al-Quran sebagai bacaan serta pedoman hidup. Ini adalah cara langsung untuk berkomunikasi dan merasakan kedekatan dengan Allah.
- Berbakti kepada Orang Tua: Ketaatan dan kasih sayang kepada kedua orang tua adalah salah satu pintu surga yang paling mudah diakses dan merupakan wasilah yang sangat agung.
- Menuntut Ilmu Agama: Mempelajari syariat Allah dengan tujuan untuk mengamalkannya dan mendakwahkannya adalah sebuah wasilah yang pahalanya terus mengalir.
- Akhlak Mulia: Bersikap jujur, amanah, sabar, pemaaf, dan berbuat baik kepada sesama makhluk adalah cerminan iman dan sarana yang efektif untuk meraih cinta Allah.
Wasilah Tertinggi: Mengikuti Jejak Rasulullah ﷺ
Wasilah yang paling utama dan tidak ada tandingannya adalah dengan beriman kepada Rasulullah Muhammad ﷺ, mencintainya, dan mengikuti sunnahnya (ittiba'us sunnah) dalam segala aspek kehidupan. Allah sendiri menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
"Katakanlah (Muhammad), 'Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Ali 'Imran: 31).
Ayat ini menunjukkan bahwa jalan tol menuju cinta Allah adalah melalui gerbang ittiba' kepada Rasulullah ﷺ. Menjadikan beliau sebagai teladan dalam ibadah, muamalah, dan akhlak adalah bentuk pencarian wasilah yang paling sempurna. Setiap amalan yang kita lakukan, jika didasari oleh niat ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ, maka ia akan menjadi wasilah yang diterima di sisi Allah.
Menghindari Kesalahan dalam Memahami Wasilah
Penting untuk memahami konsep wasilah sesuai dengan koridor syariat. Wasilah adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui amal shalih yang telah Dia syariatkan, bukan melalui perantara-perantara yang tidak diizinkan. Fokus utama seorang hamba adalah beribadah langsung kepada Allah. Amal-amal shalih yang diperintahkan itulah yang menjadi 'sarana' atau 'kendaraan' untuk mencapai keridhaan-Nya. Konsep ini menjaga kemurnian tauhid dan memastikan bahwa segala bentuk penghambaan hanya ditujukan kepada Allah semata, Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat.
Pilar Ketiga: Jihad sebagai Bukti Kesungguhan (وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ)
Pilar ketiga yang disebutkan dalam Al Maidah 35 adalah "Wa jāhidū fī sabīlih" (dan berjihadlah di jalan-Nya). Kata 'jihad' berasal dari akar kata 'jahada' yang berarti mengerahkan segala daya dan upaya, bersungguh-sungguh, dan berjuang. Makna jihad dalam Islam sangatlah luas dan tidak terbatas pada makna peperangan fisik semata, meskipun itu adalah salah satu bentuknya dalam kondisi tertentu yang diatur sangat ketat.
Dimensi Luas dari Jihad
Jihad adalah perjuangan totalitas seorang mukmin dalam menegakkan kalimat Allah di muka bumi, yang dimulai dari dalam dirinya sendiri hingga ke lingkup masyarakat yang lebih luas. Para ulama membagi jihad ke dalam beberapa tingkatan:
1. Jihad Melawan Hawa Nafsu (Jihad an-Nafs)
Ini adalah tingkatan jihad yang paling fundamental dan berlangsung seumur hidup. Rasulullah ﷺ menyebutnya sebagai "jihad akbar" (jihad yang lebih besar) setelah kembali dari sebuah pertempuran. Jihad ini mencakup empat aspek utama:
- Berjihad dalam menuntut ilmu: Berjuang melawan kebodohan dan kemalasan untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar.
- Berjihad dalam mengamalkan ilmu: Berjuang untuk menerapkan ilmu yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari, meskipun terasa berat.
- Berjihad dalam berdakwah: Berjuang untuk menyampaikan kebenaran kepada orang lain dengan sabar dan bijaksana.
- Berjihad dalam bersabar: Berjuang untuk tabah dan sabar atas segala rintangan dan kesulitan yang dihadapi dalam menuntut ilmu, beramal, dan berdakwah.
Tanpa memenangkan jihad melawan hawa nafsu, seseorang tidak akan mampu untuk melakukan jihad dalam bentuk lainnya dengan ikhlas dan benar.
2. Jihad Melawan Setan
Setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Jihad melawannya berarti berjuang untuk menolak bisikan-bisikan syubhat (keraguan) terhadap kebenaran iman dan menolak godaan syahwat (keinginan buruk) yang menjerumuskan kepada dosa. Jihad ini membutuhkan perisai iman yang kokoh, ilmu yang lurus, dan dzikir yang terus-menerus.
3. Jihad dengan Harta dan Lisan
Ini adalah perjuangan menggunakan sumber daya yang Allah berikan. Jihad dengan harta (jihad bil mal) berarti menginfakkan sebagian rezeki di jalan Allah untuk mendukung dakwah, membantu fakir miskin, membangun sarana umat, dan kepentingan Islam lainnya. Jihad dengan lisan dan tulisan (jihad bil lisan wal qalam) adalah perjuangan menegakkan kebenaran dan melawan kebatilan melalui argumen, nasihat, tulisan, dan media-media lainnya.
4. Jihad dengan Kekuatan Fisik (Qital)
Ini adalah bentuk jihad yang sering disalahpahami. Jihad dalam bentuk pertempuran fisik (qital fi sabilillah) hanya dibenarkan dalam konteks membela diri, melindungi kaum muslimin dari penindasan, dan menjaga kedaulatan wilayah Islam dari agresi musuh. Pelaksanaannya pun terikat dengan aturan dan etika yang sangat ketat, seperti tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, orang tua, rohaniwan, serta tidak boleh merusak lingkungan. Ini adalah pilihan terakhir dan hanya bisa dimaklumkan oleh otoritas pemimpin muslim yang sah.
Dalam Surat Al Maidah 35, perintah berjihad datang setelah perintah taqwa dan mencari wasilah. Ini menunjukkan bahwa jihad adalah puncak dari ekspresi ketaatan dan kesungguhan seorang hamba. Ia adalah bukti konkret dari keimanan yang tidak hanya tersimpan di dalam hati, tetapi juga termanifestasi dalam pengorbanan nyata—pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, harta, bahkan jiwa—demi meninggikan kalimat Allah.
Buah Manis Perjuangan: Keberuntungan Hakiki (لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ)
Setiap perintah dalam Al-Quran selalu diiringi dengan janji atau hikmah di baliknya. Penutup dari ayat yang agung ini adalah "La'allakum tufliḥūn" (agar kamu beruntung). Kata "falāḥ" (keberuntungan) dalam bahasa Arab memiliki makna yang sangat komprehensif. Ia bukan sekadar kesuksesan material atau kebahagiaan sesaat di dunia.
Makna Keberuntungan Sejati
Falāḥ adalah keberhasilan total yang mencakup kebahagiaan, keselamatan, dan kemenangan abadi, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Ia adalah kondisi di mana seorang hamba meraih segala yang dicita-citakan dan terhindar dari segala yang ditakutkan.
Keberuntungan di dunia bagi seorang mukmin adalah:
- Mendapatkan ketenangan jiwa (sakinah) dan hati yang lapang (syarhus shadr).
- Dianugerahi kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) yang penuh dengan keberkahan.
- Diberikan taufik dan hidayah untuk senantiasa istiqamah di atas jalan kebenaran.
- Dijaga oleh Allah dari berbagai fitnah dan keburukan.
Adapun keberuntungan puncak di akhirat adalah:
- Selamat dari siksa kubur dan kengerian hari kiamat.
- Mendapatkan kemudahan saat dihisab dan menerima catatan amal dengan tangan kanan.
- Berhasil melewati jembatan Shiratal Mustaqim dengan selamat.
- Meraih puncak kenikmatan tertinggi, yaitu dimasukkan ke dalam surga-Nya dan melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Penutup ayat ini memberikan harapan dan motivasi yang luar biasa. Ia seolah mengatakan bahwa keletihan dalam menjaga taqwa, kesungguhan dalam mencari wasilah melalui ibadah, dan pengorbanan dalam berjihad di jalan-Nya tidak akan pernah sia-sia. Semua itu adalah investasi untuk sebuah keuntungan yang tidak akan pernah merugi, sebuah kebahagiaan yang abadi dan sempurna.
Kesimpulan: Sebuah Rute Menuju Ridha Ilahi
Surat Al Maidah ayat 35 adalah sebuah intisari dari ajaran Islam. Ia memberikan sebuah formula yang jelas dan terstruktur bagi setiap mukmin yang merindukan perjumpaan dengan Tuhannya dalam keadaan diridhai. Rute perjalanan ini dimulai dengan membangun fondasi taqwa yang kokoh, yaitu kesadaran penuh akan Allah yang melahirkan ketaatan. Kemudian, di atas fondasi itu, kita diperintahkan untuk aktif membangun struktur pendekatan diri melalui wasilah, yaitu segala bentuk amal shalih yang disyariatkan. Terakhir, seluruh bangunan keimanan itu dihidupkan dan dibuktikan dengan semangat jihad, yaitu perjuangan dan pengorbanan totalitas di jalan Allah.
Ketiga pilar ini—taqwa, wasilah, dan jihad—adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Taqwa tanpa amal (wasilah) adalah pengakuan kosong. Beramal tanpa dilandasi taqwa adalah perbuatan tanpa ruh. Keduanya, jika tidak diwujudkan dalam bentuk perjuangan dan pengorbanan (jihad), akan menjadi iman yang pasif dan tidak produktif. Barangsiapa yang mampu memadukan ketiganya dalam kehidupannya, maka baginya janji Allah pasti akan terwujud: sebuah keberuntungan (falāḥ) yang tak terbatas, di dunia dan di akhirat.