Di dalam Al-Qur'an, terdapat ayat-ayat yang menjadi pilar fundamental dalam memahami konsep hukum, keadilan, dan keimanan. Salah satu ayat yang paling sering dikaji dan menjadi pusat diskusi para ulama adalah Surah Al-Maidah ayat 44. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang sebuah peristiwa historis, tetapi juga meletakkan prinsip abadi mengenai kedudukan hukum Allah dalam kehidupan seorang mukmin dan masyarakat secara keseluruhan. Memahaminya secara komprehensif adalah sebuah keharusan untuk menavigasi kompleksitas kehidupan dengan panduan wahyu.
Surah Al-Maidah, yang berarti "Hidangan", adalah surah kelima dalam mushaf Al-Qur'an dan tergolong sebagai surah Madaniyyah. Sebagian besar ayatnya diturunkan pada periode akhir kenabian, yang menandakan bahwa ia berisi hukum-hukum yang bersifat final dan menyempurnakan syariat Islam. Ayat ke-44 hadir dalam rangkaian ayat yang berbicara mengenai hubungan antara kaum Muslimin dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), serta menegaskan supremasi hukum yang diturunkan oleh Allah SWT.
Teks Ayat, Terjemahan, dan Konteks Pewahyuan
Untuk memulai kajian yang mendalam, marilah kita perhatikan teks asli dari ayat yang mulia ini beserta terjemahannya.
إِنَّآ أَنزَلْنَا ٱلتَّوْرَىٰةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا ٱلنَّبِيُّونَ ٱلَّذِينَ أَسْلَمُوا۟ لِلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلرَّبَّٰنِيُّونَ وَٱلْأَحْبَارُ بِمَا ٱسْتُحْفِظُوا۟ مِن كِتَٰبِ ٱللَّهِ وَكَانُوا۟ عَلَيْهِ شُهَدَآءَ ۚ فَلَا تَخْشَوُا۟ ٱلنَّاسَ وَٱخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ
Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang-orang Yahudi, dan (juga) para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir."
Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Memahami konteks historis di balik turunnya sebuah ayat (Asbabun Nuzul) adalah kunci untuk membuka lapisan maknanya. Mayoritas ahli tafsir, termasuk Imam At-Tabari dan Ibnu Katsir, mengaitkan turunnya ayat ini dengan sebuah peristiwa yang melibatkan kaum Yahudi di Madinah pada masa Rasulullah SAW.
Diriwayatkan bahwa sekelompok orang Yahudi dari kalangan terpandang (bangsawan) melakukan perzinaan. Menurut hukum yang termaktub dalam Kitab Taurat yang asli, hukuman bagi pezina muhshan (yang sudah menikah) adalah rajam (dilempari batu hingga mati). Namun, para pemuka Yahudi merasa berat untuk menerapkan hukuman ini kepada kaum bangsawan mereka, sementara mereka dengan tegas menerapkannya pada rakyat biasa. Untuk mencari jalan keluar, mereka bersekongkol untuk menyembunyikan hukum rajam yang sebenarnya.
Mereka kemudian memutuskan untuk datang kepada Nabi Muhammad SAW untuk menanyakan hukumannya. Niat mereka licik. Mereka berpikir, "Jika Muhammad memberikan fatwa hukuman yang lebih ringan dari rajam (seperti cambuk dan diarak dengan wajah dihitamkan), maka kita akan menerimanya dan menjadikannya sebagai pembenaran di hadapan Allah. Namun, jika ia menetapkan hukuman rajam, kita akan menolaknya."
Ketika mereka datang kepada Rasulullah SAW, beliau bertanya, "Apa yang kalian dapati dalam Taurat mengenai hukum perzinaan?" Mereka berdusta dan menjawab, "Kami mendapati hukumannya adalah dicambuk dan wajahnya dihitamkan lalu diarak." Abdullah bin Salam, seorang pendeta Yahudi yang telah memeluk Islam dan sangat memahami isi Taurat, berkata, "Kalian telah berdusta! Di dalam Taurat ada ayat tentang rajam."
Rasulullah SAW kemudian meminta agar Kitab Taurat dihadirkan. Ketika Taurat dibuka dan dibacakan, salah seorang pemuka Yahudi meletakkan tangannya di atas ayat yang menjelaskan tentang hukum rajam untuk menutupinya. Namun, Abdullah bin Salam dengan tegas menyingkirkan tangan orang itu dan menampakkan ayat tersebut. Kebohongan mereka pun terbongkar. Akhirnya, Rasulullah SAW memerintahkan agar hukuman rajam dilaksanakan sesuai dengan hukum yang ada dalam kitab suci mereka sendiri. Sebagai respons atas peristiwa pengkhianatan terhadap kitab suci dan upaya menyembunyikan hukum Allah inilah, Allah SWT menurunkan Surah Al-Maidah ayat 44.
Analisis Mendalam Setiap Frasa dalam Ayat 44
Ayat ini memiliki struktur yang sangat kaya dan padat makna. Mari kita bedah setiap bagiannya untuk mendapatkan pemahaman yang utuh.
1. Penegasan tentang Kitab Taurat
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya."
Ayat ini dimulai dengan penegasan (inna) yang kuat bahwa Taurat adalah wahyu yang berasal dari Allah. Ini adalah pengakuan dari Al-Qur'an terhadap kitab suci sebelumnya. Allah menggambarkannya memiliki dua elemen esensial: huda (petunjuk) dan nur (cahaya).
- Huda (Petunjuk): Ini merujuk pada bimbingan praktis, hukum-hukum, dan aturan-aturan yang jelas untuk menata kehidupan individu dan masyarakat. Petunjuk ini memberikan arah yang benar dan mencegah manusia tersesat dalam kebingungan dan hawa nafsu.
- Nur (Cahaya): Ini merujuk pada aspek pencerahan spiritual dan intelektual. Cahaya wahyu menyingkap kegelapan kebodohan (jahiliyyah), syirik, dan keraguan. Ia menerangi hati sehingga dapat membedakan antara yang hak dan yang batil, antara kebaikan dan keburukan.
Penegasan ini penting untuk menunjukkan bahwa sumber hukum yang otentik bagi Bani Israil pada masanya adalah Taurat. Penyimpangan terjadi bukan karena kitabnya yang salah, melainkan karena ulah para pemuka mereka yang mengubah dan menyembunyikannya.
2. Para Penegak Hukum Allah
"Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang-orang Yahudi, dan (juga) para ulama dan pendeta-pendeta mereka..."
Bagian ini menjelaskan siapa yang bertanggung jawab untuk menegakkan hukum yang terkandung dalam Taurat. Ada tiga kelompok yang disebutkan:
- Para Nabi yang Berserah Diri (An-Nabiyyun alladzina aslamu): Ini adalah para nabi dari kalangan Bani Israil, seperti Musa, Harun, Daud, Sulaiman, hingga Isa 'alaihissalam. Frasa "yang berserah diri" (aslamu) menegaskan bahwa esensi ajaran semua nabi adalah Islam, yaitu ketundukan dan kepasrahan total kepada Allah. Mereka adalah pelaksana utama hukum Allah tanpa kompromi.
- Para Ulama (Ar-Rabbaniyyun): Kata Rabbaniyyun berasal dari kata Rabb (Tuhan). Mereka adalah para ulama yang mendalam ilmunya, bijaksana, dan berorientasi penuh kepada Tuhan. Mereka adalah pewaris para nabi dalam menjaga dan mengajarkan ilmu agama.
- Para Pendeta (Al-Ahbar): Kata Ahbar adalah bentuk jamak dari hibr, yang berarti seorang cendekiawan atau ahli kitab. Mereka adalah para sarjana agama yang memiliki pengetahuan luas tentang isi kitab suci.
Penyebutan tiga kelompok ini menunjukkan adanya hierarki dan kesinambungan dalam tugas menjaga dan menegakkan hukum ilahi. Dimulai dari para nabi, lalu dilanjutkan oleh para ulama dan cendekiawan setelahnya.
3. Amanah untuk Memelihara Kitab Allah
"...sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah (bima-stuhfizhu min kitabillah) dan mereka menjadi saksi terhadapnya."
Mengapa mereka harus berhukum dengan Taurat? Ayat ini memberikan dua alasan fundamental:
- Karena Diperintahkan Memelihara (Bima-stuhfizhu): Ini adalah sebuah amanah agung. Kata istuhfizhu menyiratkan bahwa mereka diberi kepercayaan oleh Allah untuk menjaga, melindungi, dan memelihara kemurnian kitab suci dari segala bentuk perubahan (tahrif), penyembunyian (kitman), dan penafsiran yang salah. Ini adalah tanggung jawab yang sangat berat.
- Karena Menjadi Saksi (Wa kanu 'alaihi syuhada'): Mereka adalah saksi atas kebenaran kitab tersebut. Kesaksian ini bukan hanya dengan lisan, tetapi juga dengan perbuatan, yaitu dengan menerapkan hukumnya secara adil dan konsisten. Ketika mereka menyembunyikan hukum, mereka telah berkhianat terhadap kesaksian mereka.
4. Peringatan Keras dan Perintah Langsung
"Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit."
Setelah menjelaskan tanggung jawab, Allah langsung memberikan dua perintah dan larangan yang menusuk ke jantung persoalan: penyakit yang membuat manusia menyimpang dari hukum-Nya.
- Jangan Takut kepada Manusia, Takutlah kepada-Ku (Fala takhsyawun-nasa wakhsyaun): Ini adalah inti dari tauhid dalam penegakan hukum. Ketakutan kepada manusia—takut kehilangan jabatan, popularitas, harta, dukungan politik, atau takut pada ancaman penguasa—adalah sumber utama penyelewengan hukum. Allah memerintahkan untuk mengganti rasa takut itu dengan khasyah (rasa takut yang didasari oleh pengagungan dan pengetahuan) hanya kepada-Nya. Seorang hakim atau pemimpin yang takut kepada Allah tidak akan pernah menjual keadilannya.
- Jangan Menukar Ayat Allah dengan Harga Sedikit (Wa la tasytaru bi-ayati tsamanan qalila): "Harga yang sedikit" (tsamanan qalila) bukan hanya berarti uang. Ia mencakup semua keuntungan duniawi yang fana jika dibandingkan dengan keridhaan Allah dan balasan di akhirat. Jabatan, suap, sanjungan, kekuasaan, atau bahkan sekadar menjaga perasaan orang berpengaruh, semuanya adalah "harga yang sedikit" jika itu dibayar dengan mengorbankan hukum Allah. Seluruh dunia dan isinya adalah "harga yang sedikit" dibandingkan satu ayat dari Allah.
Dua larangan ini mengungkap akar psikologis dari korupsi peradilan dan legislasi: rasa takut kepada makhluk dan cinta kepada dunia.
5. Vonis Bagi yang Tidak Berhukum dengan Hukum Allah
"Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir (fa-ulaika humul-kafirun)."
Inilah puncak dari ayat tersebut dan bagian yang paling sering menjadi bahan perdebatan. Siapakah yang dimaksud dengan "orang-orang kafir" di sini? Para ulama tafsir memberikan penjelasan yang sangat rinci untuk mencegah kesalahpahaman dan sikap ekstrem (ghuluw) dalam memahaminya.
Secara umum, para ulama, berdasarkan riwayat dari sahabat seperti Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, membagi kekufuran yang dimaksud dalam ayat ini menjadi dua jenis:
a. Kufr Akbar (Kufur Besar yang Mengeluarkan dari Islam)
Seseorang jatuh ke dalam kufur besar jika ia tidak berhukum dengan hukum Allah dalam kondisi-kondisi berikut:
- Secara I'tiqad (Keyakinan): Ia meyakini bahwa hukum Allah tidak relevan, tidak adil, atau lebih rendah daripada hukum buatan manusia. Ia secara sadar menolak dan mengingkari kewajiban untuk berhukum dengan syariat Allah.
- Menghalalkan yang Haram: Ia secara sengaja memutuskan suatu perkara yang bertentangan dengan hukum Allah sambil meyakini bahwa perbuatannya itu halal dan dibenarkan.
- Membuat Tandingan: Ia membuat sistem hukum sendiri dengan tujuan untuk menandingi dan menggantikan syariat Allah secara total, serta mewajibkan manusia untuk tunduk padanya.
Dalam kondisi ini, perbuatan tersebut merupakan pembatal keimanan karena menyangkut penolakan terhadap salah satu pilar utama agama, yaitu kedaulatan hukum Allah.
b. Kufr Asghar / Kufr 'Amali (Kufur Kecil/Kufur Perbuatan yang Tidak Mengeluarkan dari Islam)
Ini adalah kondisi yang paling sering terjadi. Seseorang dianggap melakukan kufur kecil jika:
- Ia masih meyakini bahwa hukum Allah adalah yang tertinggi, terbaik, dan wajib diikuti.
- Namun, dalam praktiknya, ia melanggarnya karena dorongan hawa nafsu, tekanan, mencari keuntungan duniawi (suap), atau kelemahan iman.
- Ia mengakui bahwa perbuatannya itu adalah dosa dan maksiat, bukan sebuah kebenaran.
Ibnu Abbas, sang "Penerjemah Al-Qur'an", ketika ditanya tentang ayat ini, beliau berkata, "Ini bukanlah kekafiran yang kalian kira (yang mengeluarkan dari agama), melainkan kufur di bawah kufur (kufrun duna kufrin)." Artinya, ini adalah perbuatan dosa besar yang dinamai "kufur" untuk menunjukkan betapa berat dan buruknya perbuatan tersebut, tetapi tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari lingkaran Islam selama ia masih meyakini kebenaran hukum Allah di dalam hatinya.
Pemahaman ini sangat penting untuk menghindari sikap gegabah dalam mengkafirkan (takfir) seorang Muslim yang menjadi hakim atau pemimpin yang mungkin berbuat zalim atau salah dalam keputusannya karena faktor-faktor duniawi, selama ia tidak menolak hukum Allah secara prinsipil.
Keterkaitan dengan Ayat Selanjutnya (45 & 47)
Untuk memahami konteks Al-Maidah 44 secara lebih luas, kita perlu melihat ayat-ayat yang mengapitnya. Allah SWT melanjutkan firmannya:
Ayat 45: "Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim."
Ayat 47: "Dan hendaklah pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik."
Perhatikan penutup dari ketiga ayat ini secara berurutan:
- Ayat 44: ...maka mereka itulah orang-orang yang kafir (al-kafirun).
- Ayat 45: ...maka mereka itulah orang-orang yang zalim (az-zalimun).
- Ayat 47: ...maka mereka itulah orang-orang yang fasik (al-fasiqun).
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa penggunaan tiga istilah yang berbeda ini memiliki makna yang dalam dan saling melengkapi. Seseorang yang menolak hukum Allah dapat menyandang ketiga sifat ini sekaligus:
- Ia disebut kafir karena ia telah menutupi (kafara) kebenaran dari Allah dan menolaknya.
- Ia disebut zalim karena ia telah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Ia menzalimi dirinya sendiri dengan menjerumuskannya ke dalam dosa, menzalimi pihak yang berperkara dengan tidak memberikan haknya, dan menzalimi masyarakat dengan merusak tatanan keadilan.
- Ia disebut fasik karena ia telah keluar (fasaqa) dari jalur ketaatan kepada Allah dan syariat-Nya.
Perbedaan penekanan ini juga bisa dipahami sesuai konteksnya. "Kafir" digunakan dalam konteks penolakan total (seperti yang dilakukan para pemuka Yahudi dalam asbabun nuzul). "Zalim" digunakan dalam konteks hukum qisas, di mana tidak menerapkannya adalah sebuah kezaliman nyata terhadap korban atau keluarganya. "Fasik" digunakan dalam konteks umum penyimpangan dari jalan yang lurus.
Relevansi Abadi Al-Maidah Ayat 44
Meskipun ayat ini turun dalam konteks spesifik yang melibatkan Ahli Kitab, prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan abadi, berlaku bagi kaum Muslimin hingga akhir zaman. Beberapa pelajaran dan relevansi penting yang dapat kita petik adalah:
1. Supremasi Hukum Ilahi
Ayat ini adalah fondasi dari prinsip kedaulatan hukum (hakimiyyah) milik Allah. Sebagai seorang Muslim, keyakinan dasar kita adalah bahwa hukum yang paling adil, paling sempurna, dan paling membawa maslahat adalah hukum yang berasal dari Sang Pencipta manusia itu sendiri. Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Oleh karena itu, syariat-Nya bukanlah sekadar aturan ritual, melainkan sebuah sistem kehidupan komprehensif yang menjamin keadilan dan kesejahteraan.
2. Tanggung Jawab Ulama dan Pemimpin
Ayat ini meletakkan beban amanah yang sangat berat di pundak para ulama, pemimpin, dan hakim. Mereka adalah pewaris para nabi dalam menjaga dan menegakkan hukum. Mereka akan dimintai pertanggungjawaban yang paling berat jika mereka menyembunyikan kebenaran, memutarbalikkan hukum, atau menjualnya demi kepentingan duniawi. Integritas dan keberanian mereka adalah benteng pertahanan umat.
3. Perang Melawan Hawa Nafsu dan Ketakutan
Prinsip "jangan takut manusia, takutlah kepada-Ku" adalah revolusi mental dan spiritual. Dalam setiap level kehidupan, mulai dari keputusan pribadi, keluarga, hingga kenegaraan, seorang mukmin diuji untuk memilih antara mengikuti keridhaan manusia atau keridhaan Allah. Ayat ini mengajarkan kita untuk membebaskan diri dari perbudakan rasa takut kepada makhluk dan hanya menambatkan rasa takut tertinggi kepada Allah SWT.
4. Bahaya Meremehkan Hukum Allah
Menganggap remeh hukum Allah, baik dengan menolaknya secara terang-terangan maupun dengan melanggarnya secara sembunyi-sembunyi, memiliki konsekuensi yang sangat serius di dunia dan akhirat. Penamaan perbuatan tersebut dengan istilah "kafir", "zalim", dan "fasik" menunjukkan betapa Allah murka terhadap tindakan mengabaikan petunjuk dan cahaya yang telah Dia turunkan.
5. Keadilan Sebagai Inti Syariat
Tujuan utama dari penerapan hukum Allah adalah untuk mewujudkan keadilan (al-'adl). Ketika hukum Allah dikesampingkan, yang muncul adalah hukum hawa nafsu, hukum rimba, atau hukum yang hanya menguntungkan segelintir elite. Ini akan melahirkan kezaliman, kerusakan, dan ketidakseimbangan dalam masyarakat. Oleh karena itu, perjuangan untuk menerapkan nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam syariat adalah bagian dari esensi keberagamaan itu sendiri.
Kesimpulan
Surah Al-Maidah ayat 44 adalah sebuah cermin besar yang Allah letakkan di hadapan umat manusia, khususnya bagi mereka yang telah diamanahi kitab suci. Ayat ini membongkar penyakit-penyakit kronis yang merusak tatanan masyarakat, yaitu penyembunyian kebenaran, rasa takut kepada selain Allah, dan kecintaan pada dunia yang fana. Ia menegaskan bahwa berhukum dengan apa yang Allah turunkan bukanlah pilihan, melainkan sebuah keniscayaan iman dan manifestasi dari ketundukan sejati.
Memahaminya dengan benar menjauhkan kita dari dua ekstrem: sikap meremehkan hukum Allah di satu sisi, dan sikap gegabah mengkafirkan sesama Muslim di sisi lain. Ia mengajarkan kita untuk senantiasa berintrospeksi, mengukur setiap keputusan kita dengan timbangan wahyu, dan memohon kekuatan kepada Allah agar mampu menegakkan kebenaran dan keadilan, dimulai dari diri sendiri, keluarga, hingga lingkup yang lebih luas. Karena pada akhirnya, hanya dengan kembali kepada petunjuk dan cahaya dari-Nya, manusia akan menemukan jalan menuju kebahagiaan sejati di dunia dan keselamatan abadi di akhirat.