Memurnikan Tauhid: Kajian Mendalam Surat Al-Maidah Ayat 72

Kaligrafi Lafaz Allah sebagai simbol Tauhid الله Kaligrafi Arab lafaz Allah sebagai simbol Tauhid dalam Islam

Al-Qur'an, sebagai kitab suci pamungkas, diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Salah satu pilar utama yang ditegakkan dengan sangat kokoh di dalamnya adalah prinsip Tauhid, yaitu pengesaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam segala bentuk peribadatan. Prinsip ini menjadi inti dari ajaran setiap nabi dan rasul yang diutus ke muka bumi. Surat Al-Maidah, salah satu surat Madaniyah yang kaya akan hukum dan pelajaran, memuat sebuah ayat yang secara tegas dan lugas menggarisbawahi urgensi Tauhid dan meluruskan penyimpangan akidah yang terjadi pada sebagian umat terdahulu. Ayat tersebut adalah Surat Al-Maidah ayat 72.

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۗوَقَالَ الْمَسِيْحُ يٰبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اعْبُدُوا اللّٰهَ رَبِّيْ وَرَبَّكُمْ ۗاِنَّهٗ مَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَاْوٰىهُ النَّارُ ۗوَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ

Laqad kafaral-lażīna qālū innallāha huwal-masīḥubnu maryam(a), wa qālal-masīḥu yā banī isrā'īla‘budullāha rabbī wa rabbakum, innahū may yusyrik billāhi fa qad ḥarramallāhu ‘alaihil-jannata wa ma'wāhun-nār(u), wa mā liẓ-ẓālimīna min anṣār(in).

"Sungguh, telah kafir orang-orang yang berkata, "Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putra Maryam." Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, "Wahai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu." Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu."

Konteks Penurunan Ayat (Asbabun Nuzul)

Untuk memahami kedalaman makna sebuah ayat, mengetahui konteks historis penurunannya menjadi sangat penting. Surat Al-Maidah diturunkan pada periode akhir kenabian Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah. Pada masa ini, interaksi antara komunitas Muslim dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) menjadi lebih intens. Berbagai dialog dan perdebatan teologis sering terjadi, terutama mengenai status para nabi, khususnya Nabi Isa Alaihis Salam (Yesus).

Para ulama tafsir, seperti Imam Ibnu Katsir, menyebutkan bahwa ayat ini turun sebagai respons terhadap keyakinan sebagian kelompok Nasrani pada masa itu. Terdapat delegasi dari kalangan Nasrani Najran yang datang ke Madinah untuk berdialog dengan Rasulullah. Dalam diskusi tersebut, mereka mengemukakan keyakinan mereka tentang ketuhanan Isa Al-Masih. Mereka memandangnya bukan sekadar sebagai nabi, melainkan sebagai Tuhan, anak Tuhan, atau salah satu dari oknum trinitas. Keyakinan inilah yang secara langsung dikoreksi oleh Al-Qur'an melalui ayat ini. Allah menegaskan bahwa pandangan yang mengangkat seorang manusia, sekalipun ia adalah seorang nabi yang mulia, ke derajat ketuhanan merupakan suatu bentuk kekafiran yang nyata.

Ayat ini tidak hanya berfungsi sebagai bantahan, tetapi juga sebagai klarifikasi. Al-Qur'an tidak menafikan kemuliaan dan mukjizat Nabi Isa. Justru, Al-Qur'an memuliakannya sebagai seorang Rasul Ulul 'Azmi. Namun, kemuliaan itu harus diletakkan pada proporsi yang benar: sebagai hamba dan utusan Allah, bukan sebagai Tuhan itu sendiri. Penegasan ini penting untuk menjaga kemurnian ajaran Tauhid, yang merupakan fondasi agama Islam dan semua agama samawi yang asli.

Analisis Mendalam Setiap Frasa dalam Ayat 72

Setiap kata dan frasa dalam Al-Qur'an dipilih dengan presisi ilahiah. Mari kita bedah ayat ini bagian per bagian untuk menggali makna yang terkandung di dalamnya.

1. لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ

"Sungguh, telah kafir orang-orang yang berkata, 'Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putra Maryam'."

Ayat ini dibuka dengan partikel penegasan yang sangat kuat, لَقَدْ (Laqad), yang terdiri dari Lam (untuk sumpah) dan Qad (untuk penegasan). Ini menunjukkan bahwa pernyataan setelahnya adalah sebuah kebenaran absolut yang tidak bisa diganggu gugat. Allah menegaskan vonis كَفَرَ (kafara), yang secara harfiah berarti 'menutupi'. Dalam konteks akidah, 'kafir' berarti menutupi atau menolak kebenaran hakiki, yaitu keesaan Allah.

Siapakah yang divonis kafir? Yaitu الَّذِيْنَ قَالُوْٓا (orang-orang yang berkata). Pernyataan mereka adalah اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ (Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putra Maryam). Ini adalah inti dari penyimpangan yang dibantah. Mengidentikkan Sang Pencipta (Allah) dengan ciptaan-Nya (Al-Masih putra Maryam) adalah kesalahan fatal dalam logika teologis Islam. Penyebutan 'putra Maryam' adalah penekanan yang subtil namun kuat. Ia menegaskan status kemanusiaan Isa Alaihis Salam. Beliau dilahirkan dari rahim seorang wanita, Maryam. Ia makan, minum, tidur, dan menjalani kehidupan sebagai manusia. Sesuatu yang memiliki sifat-sifat kemakhlukan tidak mungkin menjadi Sang Khaliq (Pencipta) yang Maha Sempurna dan tidak menyerupai makhluk-Nya.

2. وَقَالَ الْمَسِيْحُ يٰبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اعْبُدُوا اللّٰهَ رَبِّيْ وَرَبَّكُمْ

"Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, 'Wahai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu'."

Setelah menyatakan kekeliruan akidah tersebut, Allah menghadirkan bukti terkuat untuk membantahnya: perkataan dari lisan Nabi Isa Al-Masih sendiri. Ini adalah sebuah retorika yang sangat kuat. Al-Qur'an tidak hanya membantah, tetapi juga menunjukkan bahwa sosok yang mereka pertuhankan itu sendiri justru menyerukan ajaran yang sebaliknya.

3. اِنَّهٗ مَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَاْوٰىهُ النَّارُ

"Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka."

Bagian ini menjelaskan konsekuensi logis dan teologis dari perbuatan syirik, yaitu mempersekutukan Allah. Kata يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ (yusyrik billah) berasal dari kata syirk, yang berarti menjadikan sesuatu sebagai sekutu atau tandingan bagi Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya, seperti dalam hal ibadah, penciptaan, atau sifat-sifat ketuhanan.

Konsekuensinya sangatlah berat. Pertama, فَقَدْ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ (maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya). Surga, sebagai puncak kenikmatan dan tujuan akhir setiap orang beriman, menjadi terlarang bagi pelaku syirik akbar (syirik besar) yang tidak bertaubat hingga akhir hayatnya. Ini bukan karena Allah tidak Maha Pengasih, tetapi karena syirik adalah kezaliman terbesar yang merusak hak prerogatif Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Kedua, وَمَاْوٰىهُ النَّارُ (dan tempatnya ialah neraka). Jika surga diharamkan, maka tempat kembali yang pasti adalah neraka. Ini adalah sebuah kepastian yang ditegaskan oleh Allah.

4. وَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ

"Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu."

Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan tentang kondisi para pelaku syirik di akhirat. Mereka disebut sebagai الظّٰلِمِيْنَ (orang-orang zalim). Mengapa zalim? Dalam Surat Luqman ayat 13, disebutkan, "...sesungguhnya syirik itu adalah benar-benar kezaliman yang besar." Kezaliman adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Syirik adalah kezaliman terbesar karena menempatkan ibadah, yang seharusnya hanya untuk Sang Pencipta, kepada makhluk yang diciptakan.

Di hari pembalasan, ketika setiap jiwa membutuhkan pertolongan, mereka tidak akan menemukan مِنْ اَنْصَارٍ (seorang penolong pun). Sembahan-sembahan yang mereka agungkan di dunia, baik itu nabi, orang saleh, berhala, atau hawa nafsu, tidak akan mampu memberikan pertolongan sedikit pun. Mereka akan berlepas diri. Ayat ini memutus segala bentuk harapan palsu dan menegaskan bahwa satu-satunya tempat bergantung dan memohon pertolongan hanyalah Allah.

Kedudukan Nabi Isa Alaihis Salam dalam Islam

Penting untuk dipahami bahwa kritik dalam Al-Maidah ayat 72 bukanlah ditujukan kepada pribadi Nabi Isa Alaihis Salam. Sebaliknya, Islam menempatkan beliau pada posisi yang sangat mulia dan terhormat. Ayat ini justru membela kesucian ajaran Nabi Isa dari penyelewengan yang dilakukan oleh sebagian pengikutnya. Berikut adalah pilar-pilar keyakinan seorang Muslim terhadap Nabi Isa:

Dengan demikian, Islam memposisikan Nabi Isa sebagai hamba Allah yang sangat dimuliakan, bukan sebagai Tuhan yang disembah. Posisi ini menjaga keseimbangan antara penghormatan yang layak bagi seorang nabi agung dengan penjagaan kemurnian Tauhid yang absolut.

Bahaya Syirik dan Urgensi Tauhid

Surat Al-Maidah ayat 72 adalah pengingat abadi tentang bahaya terbesar yang mengancam spiritualitas manusia: syirik. Syirik bukan sekadar dosa biasa; ia adalah dosa yang merusak fondasi keimanan. Jika Tauhid diibaratkan sebagai akar pohon keimanan, maka syirik adalah racun yang membunuh akar tersebut, membuat seluruh cabang, daun, dan buah (amal saleh) menjadi gugur dan tidak bernilai di sisi Allah.

Allah menegaskan dalam Surat An-Nisa ayat 48: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki." Ayat ini menunjukkan betapa seriusnya dosa syirik. Dosa-dosa lain, sebesar apapun, masih berada dalam lingkup ampunan Allah jika Dia berkehendak. Namun, dosa syirik (jika dibawa mati tanpa taubat) menutup pintu ampunan tersebut.

Syirik memiliki berbagai bentuk, dari yang paling nyata hingga yang paling tersembunyi.

Oleh karena itu, dakwah Tauhid menjadi prioritas utama. Memahami Tauhid dengan benar—mengakui Allah sebagai satu-satunya Pencipta dan Pengatur (Tauhid Rububiyyah), mengesakan-Nya dalam segala bentuk ibadah (Tauhid Uluhiyyah), dan menetapkan bagi-Nya nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna tanpa menyerupakannya dengan makhluk (Tauhid Asma' was Sifat)—adalah kunci keselamatan dunia dan akhirat. Inilah pesan yang dibawa oleh Al-Masih putra Maryam, dan inilah pesan yang disempurnakan oleh Nabi terakhir, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pelajaran dan Hikmah yang Dapat Dipetik

Dari perenungan mendalam terhadap Surat Al-Maidah ayat 72, kita dapat mengambil berbagai pelajaran berharga untuk kehidupan kita:

  1. Ketegasan dalam Akidah: Islam tidak mengenal kompromi dalam masalah Tauhid. Ayat ini menunjukkan sikap yang jelas dan tegas terhadap segala bentuk penyekutuan terhadap Allah.
  2. Konsistensi Ajaran Para Nabi: Ayat ini membuktikan bahwa inti ajaran Nabi Isa dan Nabi Muhammad adalah sama: mengajak manusia untuk menyembah Allah semata. Hal ini menguatkan keyakinan bahwa semua nabi berasal dari sumber wahyu yang satu.
  3. Bahaya Ghuluw (Berlebih-lebihan): Kesalahan yang menimpa sebagian pengikut Nabi Isa adalah sikap ghuluw atau berlebih-lebihan dalam memuliakan seorang nabi hingga mengangkatnya ke derajat Tuhan. Ini menjadi pelajaran bagi umat Islam agar tidak berlebihan dalam memuliakan Nabi Muhammad atau orang-orang saleh, sehingga tetap menempatkan mereka pada posisi sebagai hamba dan utusan Allah.
  4. Keadilan Mutlak di Hari Akhir: Konsekuensi syirik yang digambarkan (diharamkan surga, tempatnya di neraka, dan tidak ada penolong) menunjukkan keadilan Allah. Setiap perbuatan akan mendapatkan balasan yang setimpal, dan syirik sebagai kezaliman terbesar akan mendapat balasan yang terberat.
  5. Pentingnya Ilmu: Kesalahan dalam akidah seringkali berakar dari kebodohan dan taklid buta. Ayat ini mendorong kita untuk belajar dan memahami agama kita dari sumbernya yang asli, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah, agar tidak terjerumus dalam penyimpangan.

Kesimpulan

Surat Al-Maidah ayat 72 adalah pilar penegak kemurnian Tauhid. Ia bukan sekadar ayat yang menceritakan tentang sejarah akidah umat lain, tetapi sebuah cermin dan peringatan bagi setiap individu di setiap zaman. Ayat ini dengan lugas meluruskan kesalahpahaman tentang status Nabi Isa Al-Masih, mengembalikannya ke posisi terhormat sebagai hamba dan rasul Allah, sekaligus menegaskan bahwa ajaran beliau yang asli adalah seruan untuk menyembah Allah semata, Tuhannya dan Tuhan seluruh alam.

Ancaman yang dinyatakan bagi pelaku syirik—diharamkannya surga dan kekalnya neraka—adalah sebuah peringatan keras akan pentingnya menjaga akidah. Inilah dosa yang paling dibenci Allah karena ia merampas hak-Nya yang paling fundamental. Pada akhirnya, ayat ini mengajak kita untuk merenung, memurnikan niat, dan memastikan bahwa seluruh hidup, mati, ibadah, dan pengabdian kita hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Inilah jalan keselamatan, jalan yang ditempuh oleh semua nabi, dan satu-satunya jalan menuju keridhaan-Nya.

🏠 Homepage