Pengantar: Gema Rindu yang Abadi
Di berbagai belahan dunia, khususnya di Nusantara, ada lantunan syair yang begitu akrab di telinga, seringkali menggema dari surau, masjid, hingga rumah-rumah dalam berbagai acara keagamaan. Lantunan itu adalah "Alhamdu Diba", sebuah sebutan populer untuk karya sastra agung yang dikenal sebagai Maulid Ad-Diba'i. Kitab ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah jembatan hati yang menghubungkan umat dengan junjungannya, Nabi Muhammad SAW. Melalui prosa dan puisi yang indah, ia menuturkan kisah hidup Sang Nabi, membangkitkan rasa cinta, rindu, dan keinginan untuk meneladani akhlak mulianya. Artikel ini akan membawa kita menyelami lebih dalam lautan makna yang terkandung dalam Maulid Ad-Diba'i, dari sosok penyusunnya, struktur isinya, hingga peran vitalnya dalam tradisi keislaman.
Karya ini lahir dari tangan seorang ulama besar yang memiliki kecintaan luar biasa kepada Rasulullah SAW. Setiap kalimatnya terasa dialiri oleh getaran mahabbah yang tulus. Karena itulah, saat dibacakan, Maulid Ad-Diba'i mampu menyentuh kalbu, menggetarkan jiwa, dan tak jarang meneteskan air mata kerinduan. Ia menjadi media bagi umat untuk kembali mengenang, merenungi, dan menghidupkan kembali spirit kenabian dalam kehidupan sehari-hari. Memahaminya secara utuh berarti membuka pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang sosok manusia paling agung yang pernah berjalan di muka bumi.
Sosok di Balik Mahakarya: Imam Abdurrahman Ad-Diba'i
Untuk memahami sebuah karya, kita perlu mengenal sang empunya karya. Kitab Maulid yang masyhur ini disusun oleh seorang ulama, sejarawan, dan ahli hadis terkemuka bernama Imam Wajihuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Yusuf bin Ahmad bin Umar ad-Diba'i asy-Syaibani al-Yamani az-Zabidi asy-Syafi'i. Gelar "Ad-Diba'i" merujuk pada nenek moyangnya yang terkenal, Ibnu Diba', yang berasal dari Suku Syaibani.
Beliau dilahirkan di kota Zabid, sebuah pusat ilmu pengetahuan di Yaman. Sejak kecil, beliau tumbuh dalam lingkungan yang sangat religius dan berorientasi pada ilmu. Ayahnya telah wafat saat beliau masih belia, sehingga beliau dibesarkan di bawah asuhan kakek dari pihak ibu, Syarafuddin Ismail bin Muhammad al-Mubarak. Dari sang kakeklah beliau mulai menghafal Al-Qur'an dan mempelajari berbagai cabang ilmu agama. Ketekunan dan kecerdasannya yang luar biasa membuatnya mampu menguasai banyak disiplin ilmu dalam waktu yang relatif singkat.
Keahlian dan Kontribusi Ilmiah
Imam Ad-Diba'i tidak hanya dikenal sebagai penyusun maulid. Beliau adalah seorang 'alim yang produktif dan memiliki otoritas tinggi, khususnya dalam bidang hadis. Beliau mencapai derajat Hafiz dalam ilmu hadis, sebuah tingkatan yang menunjukkan bahwa beliau hafal lebih dari 100.000 hadis beserta sanad dan seluk-beluknya. Guru-guru beliau dalam bidang hadis adalah para ulama besar pada zamannya, seperti Imam al-Hafiz as-Sakhawi, Imam Ibnu Ziyad, dan banyak lagi.
Selain Maulid Ad-Diba'i, beliau menulis banyak karya lain yang menunjukkan keluasan ilmunya. Beberapa di antaranya adalah:
- Taysirul Wushul ila Jami'il Ushul min Haditsir Rasul: Sebuah kitab ringkasan dari Jami'ul Ushul karya Ibnu Atsir.
- Bughyatul Mustafid fi Akhbar Madinah Zabid: Sebuah kitab sejarah komprehensif tentang kota kelahirannya, Zabid.
- Qurratul 'Uyun fi Akhbaril Yaman Al-Maimun: Kitab sejarah lain yang berfokus pada sejarah Yaman.
- Fadhlul Yaman: Kitab yang membahas keutamaan-keutamaan negeri Yaman.
Produktivitasnya dalam menulis menunjukkan betapa dalam lautan ilmu yang beliau miliki. Namun, di antara semua karyanya, Maulid Ad-Diba'i lah yang paling dikenal luas dan melintasi batas geografis dan zaman, menjadi warisan spiritual yang tak lekang oleh waktu. Ini menunjukkan bahwa karya tersebut tidak hanya ditulis dengan tinta ilmu, tetapi juga dengan tinta cinta yang tulus kepada Sang Nabi.
Struktur dan Kandungan Maulid Ad-Diba'i: Perjalanan Spiritual
Maulid Ad-Diba'i bukanlah sekadar biografi kronologis. Ia adalah sebuah narasi puitis yang dirangkai dengan indah, memadukan prosa berirama (saj') dan syair (nazham). Struktur kitab ini dirancang untuk membawa pembaca atau pendengarnya dalam sebuah perjalanan spiritual, dimulai dari pujian kepada Allah, shalawat kepada Nabi, hingga menelusuri episode-episode penting dalam kehidupan beliau, dan diakhiri dengan doa.
يَا رَبِّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدْ ، يَا رَبِّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ
"Wahai Tuhanku, limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muhammad. Wahai Tuhanku, limpahkanlah rahmat dan keselamatan kepadanya."
Lantunan pembuka ini saja sudah cukup untuk mengatur frekuensi hati para pendengarnya, mengarahkan fokus dan jiwa kepada Allah dan Rasul-Nya. Secara garis besar, isi kitab ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian utama.
Fasal 1: Permulaan dan Pujian
Kitab ini diawali dengan puji-pujian kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi seluruh alam. Imam Ad-Diba'i menggunakan bahasa yang sangat indah untuk menggambarkan keagungan Allah dan nikmat terbesar berupa diutusnya Sang Rasul. Bagian ini berfungsi sebagai fondasi spiritual, mengingatkan bahwa segala sesuatu bermula dan berpulang kepada-Nya.
Fasal 2: Kisah Penciptaan Nur Muhammad
Bagian ini masuk ke dalam ranah yang lebih sufistik, mengisahkan tentang penciptaan Nur Muhammad (Cahaya Muhammad) sebelum alam semesta diciptakan. Ini adalah konsep teologis yang populer dalam tradisi Islam, yang menyatakan bahwa esensi spiritual Nabi Muhammad telah ada lebih dahulu dari segala ciptaan. Imam Ad-Diba'i menuturkan bagaimana cahaya ini berpindah dari satu generasi mulia ke generasi mulia berikutnya, dari sulbi para nabi hingga akhirnya sampai pada Abdullah bin Abdul Muthalib. Narasi ini bertujuan untuk menunjukkan betapa istimewa dan terencananya kehadiran Nabi di muka bumi.
Fasal 3: Nasab Mulia Sang Nabi
Di sini, penulis memaparkan silsilah atau nasab Nabi Muhammad SAW yang teramat mulia. Nasab beliau dari pihak ayah (Abdullah bin Abdul Muthalib) dan ibu (Aminah binti Wahb) bertemu pada kakek buyut yang sama, Kilab bin Murrah. Silsilah ini terus dirunut ke atas hingga sampai kepada Nabi Ibrahim AS dan Nabi Adam AS. Penekanan pada kemuliaan nasab ini penting untuk menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW berasal dari keturunan terbaik di antara manusia, baik dari segi silsilah maupun akhlak nenek moyangnya. Hal ini membantah tuduhan kaum kafir Quraisy pada masa itu dan mengukuhkan posisi luhur beliau.
Fasal 4: Peristiwa Menjelang Kelahiran
Fasal ini menceritakan tanda-tanda dan peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi selama ibunda beliau, Sayyidah Aminah, mengandung. Diceritakan bahwa kehamilannya terasa ringan dan penuh berkah. Beliau tidak merasakan beban seperti wanita hamil pada umumnya. Selama masa itu, alam seakan ikut bergembira menyambut kedatangan makhluk termulia. Burung-burung berkicau, hewan-hewan berbicara, dan berbagai pertanda kebaikan lainnya muncul. Fasal ini membangun suasana antisipasi dan keagungan menjelang momen puncak kelahiran.
Fasal 5: Detik-Detik Kelahiran Sang Cahaya (Mahallul Qiyam)
Inilah puncak dari pembacaan Maulid. Fasal ini menggambarkan detik-detik kelahiran Nabi Muhammad SAW yang penuh dengan cahaya dan keajaiban. Diceritakan bagaimana ruangan tempat beliau lahir dipenuhi cahaya yang benderang, bahkan hingga menerangi istana-istana di Syam. Beliau lahir dalam keadaan bersih, sudah berkhitan, dan dengan tali pusar yang sudah terpotong. Saat bagian ini dibacakan, jamaah biasanya berdiri (qiyam) sebagai bentuk penghormatan dan kegembiraan atas kelahiran Sang Nabi. Momen Mahallul Qiyam diiringi dengan lantunan shalawat yang syahdu dan penuh semangat:
صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدْ ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ
"Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Nabi Muhammad. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan keselamatan kepadanya."
مَرْحَبًا يَا نُورَ العَيْنِ ، مَرْحَبًا جَدَّ الحُسَيْنِ
"Selamat datang wahai cahaya mata. Selamat datang wahai kakek dari Husein."
Momen ini adalah ekspresi cinta dan sukacita kolektif yang paling kuat dalam tradisi pembacaan maulid. Berdiri pada saat ini adalah adab, bukan kewajiban, yang dilakukan untuk menghormati ruhaniyah Rasulullah SAW yang diyakini hadir di tengah-tengah majelis yang merindukannya.
Fasal 6: Mukjizat dan Peristiwa Masa Kecil
Setelah menceritakan kelahiran, kitab ini melanjutkan dengan kisah masa kecil Nabi, terutama saat beliau disusui dan diasuh oleh Halimah As-Sa'diyah di perkampungan Bani Sa'ad. Diceritakan bagaimana kehadiran bayi Muhammad membawa berkah yang melimpah bagi keluarga Halimah. Ternak mereka menjadi gemuk dan menghasilkan banyak susu, padahal saat itu adalah musim paceklik. Di fasal ini juga diceritakan peristiwa agung pembelahan dada (Syaqqus Sadr) oleh dua malaikat, yang membersihkan hati beliau dari segala noda dan mengisinya dengan hikmah dan iman.
Fasal 7: Sifat-Sifat Luhur dan Fisik Nabi (Syama'il)
Bagian ini adalah deskripsi terperinci mengenai kesempurnaan fisik dan akhlak Nabi Muhammad SAW. Imam Ad-Diba'i, dengan merujuk pada riwayat-riwayat hadis yang shahih, melukiskan potret Sang Nabi dengan kata-kata. Mulai dari perawakan beliau yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, kulitnya yang putih kemerahan, rambutnya yang ikal, matanya yang hitam pekat, hingga senyumnya yang menawan.
Lebih penting lagi adalah deskripsi akhlaknya. Beliau digambarkan sebagai pribadi yang paling pemurah, paling jujur, paling penyabar, paling pemaaf, dan paling rendah hati. Beliau tidak pernah berkata kasar, tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan, dan selalu mendahulukan kepentingan orang lain. Fasal ini bertujuan agar pembaca dapat "melihat" dan "merasakan" kehadiran Nabi, sehingga menumbuhkan kerinduan dan motivasi untuk meneladani sifat-sifat mulia tersebut.
Fasal 8 & 9: Penutup dan Doa
Kitab Maulid Ad-Diba'i ditutup dengan untaian shalawat dan doa-doa yang indah. Doa ini berisi permohonan kepada Allah SWT agar kita diberi kemampuan untuk mencintai dan mengikuti jejak langkah Nabi Muhammad SAW, memohon ampunan atas segala dosa, dan berharap mendapatkan syafaat beliau di hari kiamat. Bagian penutup ini menjadi pengunci dari seluruh perjalanan spiritual yang telah dilalui, mengarahkan semua pujian dan harapan kembali kepada Allah SWT.
Keindahan Bahasa dan Gaya Sastra
Salah satu faktor utama yang membuat Maulid Ad-Diba'i begitu dicintai adalah keindahan bahasanya. Imam Ad-Diba'i adalah seorang sastrawan ulung. Beliau menggunakan gaya bahasa saj', yaitu prosa yang memiliki rima pada akhir kalimatnya, membuatnya terdengar seperti puisi saat dilantunkan. Gaya ini memberikan ritme dan musikalitas yang memukau, sehingga mudah dihafal dan nikmat didengar.
Pilihan diksinya sangat kaya dan evocatif. Beliau memilih kata-kata yang mampu membangkitkan imajinasi dan emosi. Ketika menggambarkan cahaya kelahiran Nabi, misalnya, ia tidak hanya mengatakan "terang", tetapi melukiskannya dengan metafora yang agung. Ketika menggambarkan akhlak Nabi, ia menggunakan superlatif yang menunjukkan kesempurnaan. Kemampuan sastra inilah yang mengubah teks biografi menjadi sebuah pengalaman rohani yang mendalam.
Peran Maulid Diba' dalam Tradisi Islam di Nusantara
Di Indonesia dan wilayah sekitarnya, Maulid Ad-Diba'i (sering disebut "Diba'an") memiliki tempat yang sangat istimewa. Ia bukan lagi sekadar kitab yang dibaca, melainkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut nadi kehidupan beragama masyarakat.
Media Pendidikan Sirah Nabawiyah
Bagi banyak orang, majelis Diba'an adalah pengenalan pertama mereka terhadap kisah hidup Nabi Muhammad SAW. Dengan bahasa yang puitis dan format yang mudah diikuti, Diba'an menjadi cara yang efektif dan menyenangkan untuk mengajarkan sirah nabawiyah kepada anak-anak maupun orang dewasa. Ia menanamkan benih-benih kecintaan kepada Rasulullah sejak usia dini.
Sarana Ungkapan Cinta dan Rindu
Pembacaan Maulid adalah bentuk ekspresi cinta (mahabbah). Dengan berkumpul bersama, melantunkan pujian dan shalawat, umat Islam mengekspresikan kerinduan mereka kepada sosok yang tidak pernah mereka temui secara fisik. Ini adalah cara untuk menjaga ikatan spiritual tetap hidup dan membara di dalam hati.
Perekat Ukhuwah Islamiyah
Majelis Diba'an, yang biasa diadakan secara rutin (misalnya malam Jumat) atau pada acara-acara khusus (seperti Maulid Nabi, aqiqah, pernikahan, atau syukuran), berfungsi sebagai forum silaturahmi yang kuat. Orang-orang dari berbagai latar belakang berkumpul dalam satu tujuan: memuji Nabi. Tradisi ini mempererat ikatan sosial dan persaudaraan (ukhuwah) di antara sesama muslim.
Kesimpulan: Warisan Spiritual yang Terus Hidup
Maulid Ad-Diba'i adalah lebih dari sekadar buku. Ia adalah mahakarya sastra, ringkasan sirah yang puitis, dan yang terpenting, sebuah wasilah atau perantara untuk menyuburkan cinta kepada Rasulullah SAW. Disusun oleh seorang ulama besar yang menguasai ilmu hadis dan memiliki hati yang dipenuhi cinta, kitab ini memancarkan aura spiritual yang kuat. Setiap fasalnya membawa kita pada satu tahap perenungan tentang keagungan Nabi, dari pra-eksistensinya sebagai cahaya, kelahirannya yang penuh berkah, hingga kesempurnaan akhlaknya yang menjadi teladan abadi.
Keberadaannya yang terus lestari di tengah masyarakat, terutama di Nusantara, membuktikan bahwa kerinduan umat kepada Nabinya adalah kerinduan yang tak pernah padam. Selama lantunan "Ya Rabbi Sholli 'ala Muhammad" masih menggema, maka warisan spiritual Imam Abdurrahman ad-Diba'i akan terus hidup, menginspirasi, dan menuntun hati menuju cahaya kenabian.