Awal Mula Cinta yang Disucikan
Kisah pernikahan antara Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra adalah salah satu babak paling mulia dalam sejarah Islam. Keduanya adalah figur sentral, disayangi oleh Rasulullah Muhammad SAW. Ali, sepupu Rasulullah dan salah satu pemuda pertama yang memeluk Islam, memiliki kedudukan tinggi di mata Nabi. Sementara Fatimah, putri tercinta Rasulullah, dikenal karena kesalehan, kesucian, dan kesabarannya yang luar biasa.
Meskipun cinta dan kekaguman terhadap Fatimah telah lama bersemi di hati Ali, ia adalah seorang pemuda yang hidup sederhana. Sebagai seorang mujahid dan sahabat setia, harta duniawi bukanlah prioritasnya. Namun, keseriusannya untuk menggenapi separuh agama melalui pernikahan mendorongnya untuk mengambil langkah besar: melamar putri kesayangan Rasulullah.
Keberanian di Hadapan Rasulullah
Ali mendatangi rumah Rasulullah SAW dengan hati yang berdebar namun penuh keyakinan. Saat bertemu Nabi, Ali merasa lidahnya kelu. Ia berniat berbicara tentang niatnya menikahi Fatimah, namun kata-kata seolah tercekat di tenggorokannya. Ia hanya mampu mengucapkan kalimat yang sangat singkat, meminta restu untuk menikahi putri beliau.
Rasulullah SAW, yang sangat memahami keadaan batin Ali dan juga mengetahui kedekatan hati Fatimah, tersenyum bijaksana. Beliau tidak langsung bertanya tentang mahar, melainkan menguji kesiapan Ali dalam aspek materi. Rasulullah bertanya, "Apakah engkau memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar?"
Ali menjawab jujur, ia hanya memiliki baju zirahnya (baju besi) yang biasa ia gunakan saat berperang. Ini adalah satu-satunya aset berharga yang ia miliki saat itu. Ali berjanji bahwa baju zirah itu akan menjadi mahar untuk Fatimah. Jawaban jujur dan keberanian Ali ini sangat dihargai oleh Rasulullah.
Dialog Penuh Makna dan Penentuan Mahar
Rasulullah kemudian menanyakan hal yang paling penting: "Di mana baju zirah itu sekarang?" Ali menjawab bahwa ia telah menjualnya untuk membiayai keperluannya. Rasulullah kemudian memerintahkan Ali untuk menemui sahabat Utsman bin Affan, yang dipercaya telah membeli baju zirah tersebut, dan meminta uang hasil penjualannya.
Perlu dicatat bahwa Utsman bin Affan dikenal sebagai sahabat yang sangat dermawan dan sangat menghormati keluarga Nabi. Ketika Ali menemui Utsman, Utsman tidak hanya mengembalikan uang hasil penjualan baju zirah tersebut—yang konon sejumlah 400 dirham—tetapi juga memberikan baju zirah itu kembali kepada Ali sebagai hadiah, seraya menyatakan bahwa ia telah membelinya untuk diberikan kepada Ali dan Fatimah.
Ali kembali kepada Rasulullah SAW dengan membawa uang tersebut. Rasulullah kemudian mengambil uang itu dan menyerahkannya kepada putri beliau, Fatimah. Beliau berpesan kepada Fatimah untuk menggunakan uang tersebut sebagai bekal awal kehidupan rumah tangga mereka. Dengan cara ini, Rasulullah memastikan bahwa Ali telah memenuhi tanggung jawabnya sebagai calon suami, meskipun dengan cara yang sangat sederhana dan penuh kesabaran.
Pernikahan yang Menjadi Teladan
Pernikahan pun diselenggarakan dengan kesederhanaan yang luar biasa. Tidak ada pesta besar atau kemewahan yang menyertai pernikahan putri Nabi termulia dan pemuda paling mulia di antara para sahabat. Maharnya adalah baju zirah yang dijual dan kemudian dikembalikan, melambangkan bahwa kekuatan sejati pernikahan bukanlah harta, melainkan keimanan, ketulusan, dan kesiapan berkorban.
Kisah Ali bin Abi Thalib melamar Fatimah menjadi pelajaran abadi bagi umat Muslim tentang pentingnya ketulusan niat, kejujuran dalam menyatakan kesiapan, dan pengorbanan materi demi mencari ridha Allah melalui ikatan suci pernikahan. Mereka menjadi pasangan teladan yang kehidupan rumah tangganya penuh dengan ketawaduan, ilmu, dan cinta yang murni. Mereka adalah simbol harmoni antara keberanian di medan perang (Ali) dan kesabaran di rumah tangga (Fatimah), disaksikan dan diberkahi langsung oleh Rasulullah SAW.
Pernikahan ini tidak hanya menyatukan dua individu luar biasa, tetapi juga menjadi fondasi bagi lahirnya generasi pewaris ilmu kenabian, termasuk cucu-cucu Nabi yang mulia, Hasan dan Husain radhiyallahu 'anhuma. Kesederhanaan mahar Ali menekankan pesan fundamental bahwa dalam Islam, kriteria utama dalam memilih pasangan adalah ketakwaan dan akhlak, bukan kekayaan duniawi.