Prinsip Perubahan: Menggali Makna di Balik Nasib yang Diciptakan
Perubahan dimulai dari satu tunas ikhtiar yang menembus kesulitan, menuju cahaya harapan.
Dalam samudra kehidupan, manusia sering kali berhadapan dengan gelombang nasib. Ada kalanya tenang, ada kalanya bergejolak. Dalam momen-momen sulit, pertanyaan mendasar sering muncul: "Mengapa ini terjadi padaku? Apakah ini takdir yang tak bisa diubah?" Pertanyaan ini membawa kita pada sebuah persimpangan antara kepasrahan total dan keyakinan akan kekuatan usaha. Islam, sebagai panduan hidup yang komprehensif, memberikan sebuah jawaban yang sangat kuat dan memberdayakan melalui firman Allah SWT di dalam Al-Qur'an.
Sebuah ayat yang agung, yang menjadi kompas bagi setiap individu dan masyarakat yang mendambakan perbaikan, terukir indah dalam Surah Ar-Ra'd. Ayat ini bukan sekadar informasi, melainkan sebuah deklarasi, sebuah sunnatullah atau hukum sosial yang universal.
Ayat ini adalah piagam kemerdekaan manusia dari belenggu fatalisme. Ia menempatkan kunci perubahan nasib—baik itu nasib individu, keluarga, maupun bangsa—tepat di genggaman tangan manusia itu sendiri. Ia menafikan anggapan bahwa nasib adalah sebuah skenario kaku yang dipaksakan dari langit tanpa memberi ruang bagi peran aktif manusia. Sebaliknya, ayat ini menggarisbawahi sebuah prinsip kausalitas yang luhur: perubahan eksternal adalah buah dari transformasi internal. Langit tidak akan menurunkan hujan emas bagi mereka yang hanya berdiam diri. Pintu-pintu kemudahan tidak akan terbuka bagi mereka yang terkunci dalam kungkungan kemalasan dan pesimisme. Allah SWT menegaskan bahwa inisiatif harus datang dari pihak manusia terlebih dahulu.
Memahami prinsip ini secara mendalam adalah kunci untuk membuka potensi tak terbatas yang telah Allah anugerahkan kepada setiap hamba-Nya. Ini adalah panggilan untuk introspeksi, untuk mengevaluasi kembali "apa yang ada pada diri kita"—pola pikir, keyakinan, kebiasaan, akhlak, dan cara kita berinteraksi dengan sesama. Artikel ini akan mengajak kita menyelami lautan makna dari ayat yang agung ini, mengurai benang merah antara takdir ilahi (qadar) dan usaha manusia (ikhtiar), serta merumuskan langkah-langkah praktis untuk menjadi agen perubahan bagi diri sendiri dan komunitas kita, sesuai dengan petunjuk ilahi yang tak lekang oleh waktu.
Tafsir dan Makna Mendalam: Membedah Setiap Kata
Untuk memahami esensi dari firman Allah ini, kita perlu membedah kata demi kata yang terkandung di dalamnya. Setiap kata dalam Al-Qur'an dipilih dengan presisi ilahi dan membawa bobot makna yang sangat dalam.
إِنَّ ٱللَّهَ (Innallāha) - Sesungguhnya Allah: Kalimat ini diawali dengan "inna", sebuah partikel penekanan dalam bahasa Arab (harf at-taukid). Penggunaannya menandakan bahwa informasi yang akan disampaikan bukanlah pernyataan biasa, melainkan sebuah kebenaran absolut, sebuah kepastian yang tidak menyisakan ruang untuk keraguan. Ini adalah janji sekaligus hukum yang ditetapkan oleh Sang Pencipta alam semesta. Ini menegaskan bahwa prinsip perubahan ini adalah sebuah ketetapan yang kokoh, berlaku sepanjang zaman bagi siapa saja, di mana saja.
لَا يُغَيِّرُ (Lā yughayyiru) - Tidak akan mengubah: Kata kerja "ghayyara" (mengubah) di sini datang dalam bentuk negatif yang kuat. Ini bukan sekadar "tidak mengubah", tetapi sebuah penegasan bahwa perubahan dari sisi Allah tidak akan terjadi sebagai inisiatif pertama dalam konteks ini. Allah, dengan segala kuasa-Nya untuk mengubah apa pun dalam sekejap, telah memilih untuk mengaitkan perubahan nasib suatu kaum dengan tindakan kaum itu sendiri. Ini adalah bentuk penghormatan Allah terhadap kehendak bebas (free will) yang telah dianugerahkan-Nya kepada manusia. Allah tidak memperlakukan manusia seperti robot yang nasibnya diubah secara mekanis, melainkan sebagai makhluk berakal yang diberi tanggung jawab.
مَا بِقَوْمٍ (Mā biqaumin) - Keadaan suatu kaum: Kata "mā" di sini bersifat umum, mencakup segala sesuatu. Artinya, "apa pun keadaan" yang ada pada suatu kaum. Ini bisa berupa kenikmatan, kemakmuran, dan kemenangan, atau sebaliknya, bisa berupa penderitaan, kemiskinan, keterpurukan, dan kehinaan. Prinsip ini berlaku dua arah. Jika suatu kaum berada dalam kenikmatan namun mereka mengubah diri mereka ke arah kufur nikmat, kezaliman, dan kemaksiatan, maka Allah akan mengubah nikmat itu menjadi azab. Sebaliknya, jika suatu kaum berada dalam keterpurukan, lalu mereka mengubah diri mereka ke arah keimanan, ketaatan, kerja keras, dan persatuan, maka Allah akan mengubah kondisi mereka menjadi lebih baik.
Penggunaan kata "qaum" (kaum) juga sangat signifikan. Ini menunjukkan bahwa ayat ini tidak hanya berbicara pada level individu, tetapi juga pada level kolektif atau sosial. Perubahan nasib sebuah bangsa, sebuah masyarakat, bergantung pada perubahan kolektif yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Kemajuan atau kemunduran sebuah bangsa adalah cerminan dari kondisi batiniah mayoritas penduduknya.
"Perubahan sejati tidak diimpor dari luar, ia harus tumbuh dari dalam. Ia bukan tentang mengubah lanskap, tetapi mengubah jiwa."
حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ (Hattā yughayyirū) - Sampai mereka mengubah: Inilah inti dari mekanisme perubahan. Kata "hattā" berarti "sampai" atau "sehingga", yang menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat yang sangat erat. Tindakan "mereka mengubah" adalah syarat mutlak (necessary condition) yang harus dipenuhi sebelum perubahan dari Allah datang. Kata kerja "yughayyirū" (mereka mengubah) dalam bentuk jamak menegaskan kembali sifat kolektif dari usaha ini. Perubahan ini harus merupakan gerakan bersama, sebuah kesadaran yang meluas di tengah-tengah masyarakat.
مَا بِأَنفُسِهِمْ (Mā bi`anfusihim) - Apa yang ada pada diri mereka sendiri: Frasa ini adalah kunci dari segala kunci. Di sinilah letak titik awal perubahan. "Anfus" adalah bentuk jamak dari "nafs", yang sering diterjemahkan sebagai "diri" atau "jiwa". Namun, maknanya jauh lebih luas. Ia mencakup seluruh dimensi internal manusia:
- Pola Pikir (Mindset): Cara pandang terhadap dunia, terhadap masalah, terhadap diri sendiri, dan terhadap Allah. Apakah mindset kita adalah mindset berkembang (growth mindset) yang melihat tantangan sebagai peluang, atau mindset statis (fixed mindset) yang mudah menyerah?
- Keyakinan (Aqidah): Fondasi keimanan kepada Allah, keyakinan bahwa segala pertolongan datang dari-Nya, namun diiringi dengan kewajiban untuk berusaha.
- Keadaan Hati (Qalb): Apakah hati kita dipenuhi rasa syukur, sabar, ikhlas, dan optimisme? Ataukah dikotori oleh penyakit-penyakit seperti iri, dengki, sombong, putus asa, dan kebencian?
- Niat dan Tekad ('Azam): Kekuatan kemauan dan resolusi untuk berubah menjadi lebih baik. Tanpa tekad yang membaja, perubahan hanya akan menjadi angan-angan.
- Akhlak dan Perilaku: Kejujuran, kedisiplinan, tanggung jawab, etos kerja, dan cara berinteraksi dengan sesama. Semua ini adalah manifestasi dari apa yang ada di dalam "nafs".
Maka, jika kita rangkai kembali, ayat ini memberikan sebuah formula yang sangat jelas: Allah Yang Maha Kuasa telah menetapkan sebuah hukum bahwa kondisi eksternal sebuah masyarakat—baik itu ekonomi, politik, sosial, maupun teknologinya—tidak akan berubah menjadi lebih baik, kecuali jika masyarakat itu sendiri secara sadar dan kolektif melakukan perubahan fundamental pada dimensi internal mereka: cara berpikir, sistem nilai, moralitas, dan spirit juang mereka.
Menyelaraskan Takdir dan Ikhtiar: Menepis Paham Fatalisme
Pembahasan tentang ayat ini tak akan lengkap tanpa menyinggung konsep takdir (qada dan qadar) dan ikhtiar (usaha). Sebagian orang keliru memahami konsep takdir, lalu terjebak dalam sikap fatalistis atau jabariyah. Mereka berpikir, "Jika semua sudah ditakdirkan, untuk apa berusaha? Nasib baik atau buruk sudah tertulis di Lauhul Mahfuz." Pemahaman semacam ini bukan hanya keliru, tetapi juga melumpuhkan potensi manusia dan bertentangan dengan semangat Al-Qur'an.
Ayat 11 Surah Ar-Ra'd justru datang untuk meluruskan kesalahpahaman ini. Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengajarkan jalan tengah yang seimbang. Keimanan pada takdir adalah salah satu rukun iman yang wajib diyakini. Kita wajib beriman bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, dari pergerakan planet hingga jatuhnya sehelai daun, berada dalam pengetahuan, kehendak, dan ketetapan Allah.
Namun, keimanan pada takdir sama sekali tidak menafikan adanya kehendak bebas dan kewajiban berusaha bagi manusia. Allah telah menganugerahkan manusia akal untuk berpikir, hati untuk merasa, dan anggota tubuh untuk bertindak. Manusia diberi kemampuan untuk memilih antara jalan kebaikan dan jalan keburukan. Pilihan dan tindakan inilah yang disebut ikhtiar. Dan atas dasar ikhtiar inilah manusia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Hubungan antara takdir dan ikhtiar dapat diibaratkan seperti seorang petani. Allah telah menakdirkan adanya tanah yang subur, matahari yang bersinar, dan hujan yang turun. Ini adalah ranah takdir yang di luar kendali petani. Namun, apakah padi akan tumbuh dengan sendirinya? Tentu tidak. Petani harus berikhtiar: ia harus mencangkul tanah, menanam benih, memberi pupuk, menyiangi gulma, dan mengairi sawahnya. Hasil panen yang akan ia dapatkan pada akhirnya adalah atas izin dan takdir Allah, tetapi takdir tersebut sangat erat kaitannya dengan ikhtiar yang telah ia lakukan. Mustahil seorang petani yang malas akan memanen hasil yang melimpah.
Rasulullah SAW memberikan teladan paling sempurna dalam menyelaraskan tawakal (berserah diri pada takdir) dan ikhtiar. Dalam sebuah hadits yang masyhur, seorang Arab Badui datang kepada Nabi dan bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah aku harus mengikat untaku lalu bertawakal, atau aku lepaskan saja lalu bertawakal?" Nabi SAW menjawab dengan tegas:
"Iqilha wa tawakkal" (Ikatlah untamu, lalu bertawakallah).
Jawaban ini sangat lugas dan mendalam. Lakukan dulu bagianmu (ikhtiar), amankan sebab-sebab keberhasilan (mengikat unta), baru setelah itu serahkan hasilnya kepada Allah (tawakal). Jangan pernah menisbatkan kegagalan pada takdir sebelum kita memastikan bahwa kita telah melakukan ikhtiar secara maksimal. Sikap yang benar adalah: berusaha sekuat tenaga, seolah-olah semuanya bergantung pada usaha kita, lalu berdoa dan berserah diri seutuhnya, seolah-olah semuanya bergantung pada Allah.
Al-Qur'an dipenuhi dengan ayat-ayat yang mendorong manusia untuk berusaha:
- "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS. An-Najm: 39)
- "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah..." (QS. Al-Jumu'ah: 10)
- "Karena itu, apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)." (QS. Al-Insyirah: 7)
Ayat-ayat ini adalah antitesis dari kemalasan dan kepasrahan yang pasif. Islam adalah agama kerja, agama amal, agama usaha. Surah Ar-Ra'd ayat 11 menjadi pondasi teologis yang menegaskan bahwa Allah menghargai usaha hamba-Nya dan menjadikan usaha itu sebagai sebab datangnya perubahan dari sisi-Nya.
Dimensi Perubahan: Dari Internal Individu Menuju Transformasi Sosial
Fokus utama dari ayat ini adalah perubahan "apa yang ada pada diri mereka sendiri" (mā bi`anfusihim). Ini menunjukkan bahwa revolusi sejati selalu dimulai dari dalam. Perubahan struktural, politik, atau ekonomi tidak akan pernah langgeng jika tidak didasari oleh revolusi mental dan spiritual manusianya. Mari kita dalami apa saja yang termasuk dalam perubahan internal ini.
1. Perubahan Pola Pikir (Mindset Transformation)
Pola pikir adalah lensa yang kita gunakan untuk melihat dunia. Jika lensanya kotor atau retak, maka seluruh pandangan kita akan menjadi buram dan terdistorsi. Mengubah nasib berarti harus terlebih dahulu mengubah pola pikir dari yang negatif dan melumpuhkan menjadi positif dan memberdayakan.
- Dari Mentalitas Korban ke Mentalitas Bertanggung Jawab: Berhenti menyalahkan keadaan, orang lain, atau masa lalu. Ambil tanggung jawab penuh atas hidup kita. Sadari bahwa respons kita terhadap situasi jauh lebih penting daripada situasi itu sendiri.
- Dari Pesimisme ke Optimisme Realistis: Mengubah keluhan menjadi solusi. Melihat setiap tantangan bukan sebagai tembok penghalang, tetapi sebagai anak tangga untuk naik ke level yang lebih tinggi. Yakin akan pertolongan Allah (husnuzan billah) adalah puncak dari optimisme seorang mukmin.
- Dari Pola Pikir Statis ke Pola Pikir Bertumbuh: Meyakini bahwa kemampuan, kecerdasan, dan bakat bisa dikembangkan melalui usaha, belajar, dan ketekunan. Bukan berkata "Saya tidak bisa", tetapi "Saya belum bisa, dan saya akan belajar caranya".
2. Perubahan Kondisi Spiritual (Spiritual Cleansing)
Hati adalah raja dalam kerajaan diri manusia. Jika hati baik, maka baik pula seluruh amal perbuatan. Perubahan nasib sangat bergantung pada kebersihan dan kesehatan hati.
- Taubat dan Istighfar: Langkah pertama adalah membersihkan diri dari dosa dan maksiat. Dosa adalah penghalang utama turunnya rahmat dan pertolongan Allah. Dengan bertaubat, kita membuka kembali saluran komunikasi dan kasih sayang dengan Sang Pencipta.
- Memupuk Syukur, Menjauhi Kufur Nikmat: Syukur adalah magnet rezeki. "Jika kamu bersyukur, pasti akan Aku tambah (nikmat-Ku) untukmu." (QS. Ibrahim: 7). Sebaliknya, kufur nikmat, selalu merasa kurang dan mengeluh, adalah jalan menuju dicabutnya keberkahan.
- Menumbuhkan Sabar dan Ikhlas: Perubahan tidak terjadi dalam semalam. Ia membutuhkan proses yang terkadang panjang dan melelahkan. Sabar adalah bahan bakar untuk terus melangkah, dan ikhlas adalah penjaga niat agar usaha kita murni karena Allah, sehingga bernilai ibadah dan mendatangkan keberkahan.
3. Perubahan Kebiasaan dan Tindakan (Habit & Action Reformation)
Pola pikir dan kondisi hati harus termanifestasi dalam tindakan nyata. Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang. Keunggulan, oleh karena itu, bukanlah sebuah tindakan, tetapi sebuah kebiasaan.
- Manajemen Waktu: Mengganti waktu yang terbuang untuk hal sia-sia dengan aktivitas produktif seperti belajar, bekerja, beribadah, dan membantu sesama. Rasulullah mengingatkan kita tentang dua nikmat yang sering dilalaikan: kesehatan dan waktu luang.
- Disiplin dan Konsistensi: Kekuatan sejati tidak terletak pada satu kali ledakan semangat, tetapi pada tindakan-tindakan kecil yang dilakukan secara konsisten setiap hari. Mendisiplinkan diri untuk shalat tepat waktu, membaca Al-Qur'an, berolahraga, atau belajar keterampilan baru adalah fondasi perubahan.
- Mencari Ilmu: Kebodohan adalah salah satu penyebab utama keterpurukan. Mengubah nasib berarti harus berkomitmen pada pembelajaran seumur hidup (long-life learning). Meningkatkan ilmu dan keterampilan adalah ikhtiar paling nyata untuk meningkatkan kualitas hidup.
Ketika perubahan-perubahan internal ini terjadi pada sejumlah besar individu dalam sebuah masyarakat, maka secara otomatis akan terjadi perubahan kolektif. Masyarakat yang tadinya apatis menjadi proaktif. Masyarakat yang tadinya terpecah belah menjadi bersatu. Masyarakat yang tadinya konsumtif menjadi produktif. Inilah yang terjadi pada generasi sahabat di masa Rasulullah SAW. Beliau tidak memulai dakwahnya dengan mengubah sistem ekonomi atau politik Mekkah. Beliau memulai dengan mengubah "mā bi`anfusihim"—mengubah akidah, akhlak, dan pola pikir mereka. Dari perubahan fundamental inilah lahir sebuah peradaban agung yang cahayanya menerangi dunia.
Refleksi Sejarah: Bukti Nyata Sunnatullah Perubahan
Sejarah adalah laboratorium raksasa yang membuktikan kebenaran firman Allah. Pasang surut peradaban manusia selalu mengikuti pola yang digariskan dalam Surah Ar-Ra'd ayat 11 ini. Umat Islam, dalam lintasan sejarahnya yang panjang, telah mengalami fase kejayaan gemilang dan fase kemunduran yang memilukan. Keduanya dapat dijelaskan melalui lensa ayat ini.
Masa Kejayaan: Ketika "Anfusihim" Berubah Menuju Cahaya
Contoh paling fenomenal adalah transformasi bangsa Arab pada zaman Nabi Muhammad SAW. Sebelum Islam datang, mereka adalah kaum yang disebut Jahiliyah (bodoh). Bukan karena tidak memiliki kecerdasan, tetapi karena kondisi moral, sosial, dan spiritual mereka berada di titik nadir. Mereka menyembah berhala, berperang karena masalah sepele (seperti Perang Basus yang berlangsung 40 tahun), mengubur anak perempuan hidup-hidup, dan diliputi oleh kezaliman. Kondisi eksternal mereka sangat terpuruk dan tidak diperhitungkan oleh dua kekuatan besar saat itu, Romawi dan Persia.
Lalu datanglah Rasulullah SAW dengan risalah Tauhid. Apa yang pertama kali beliau ubah? Beliau mengubah "mā bi`anfusihim".
- Perubahan Akidah: Dari politeisme (syirik) menjadi monoteisme murni (tauhid). Keyakinan ini membebaskan mereka dari perbudakan kepada selain Allah dan menanamkan rasa percaya diri serta kemuliaan yang luar biasa.
- Perubahan Sistem Nilai: Dari kebanggaan pada suku (asabiyah) menjadi persaudaraan atas dasar iman (ukhuwah). Ukuran kemuliaan bukan lagi harta atau keturunan, melainkan takwa.
- Perubahan Karakter: Dari watak keras dan pemarah menjadi pribadi yang penyayang, jujur, dan amanah. Mereka dididik untuk mencintai ilmu, kebersihan, dan keadilan.
Ketika perubahan internal yang radikal ini terjadi pada para sahabat, Allah pun mengubah nasib eksternal mereka. Dalam kurun waktu kurang dari satu abad, kaum yang tadinya terpinggirkan ini berubah menjadi pemimpin dunia, membangun peradaban Islam yang membentang dari Spanyol hingga perbatasan Cina, serta menjadi pionir dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti kedokteran, astronomi, matematika, dan filsafat.
Masa Kemunduran: Ketika "Anfusihim" Kembali ke Kegelapan
Sebaliknya, sejarah juga mencatat periode kemunduran umat Islam. Ketika umat mulai meninggalkan nilai-nilai fundamental yang telah membawa mereka pada kejayaan, Allah pun mengubah nasib mereka. Ketika perubahan internal bergerak ke arah negatif, kondisi eksternal pun ikut memburuk.
- Lemahnya Tauhid: Munculnya kembali praktik-praktik syirik dan khurafat yang mengotori kemurnian akidah.
- Hilangnya Ukhuwah: Umat terpecah belah karena perebutan kekuasaan, fanatisme mazhab, dan sentimen kesukuan. Persatuan digantikan oleh perpecahan.
- Cinta Dunia dan Takut Mati (Wahn): Spirit jihad dan pengorbanan digantikan oleh materialisme dan hedonisme. Para pemimpin lebih sibuk memperkaya diri daripada mengurus rakyat.
- Meninggalkan Ilmu Pengetahuan: Pintu ijtihad seolah tertutup, semangat riset dan inovasi meredup. Umat menjadi jumud (stagnan) dan hanya bangga dengan kejayaan masa lalu tanpa berusaha menciptakannya kembali.
Akibat dari perubahan internal yang negatif ini, Allah pun mengubah kondisi eksternal mereka. Kekuasaan mereka melemah, wilayah mereka satu per satu jatuh ke tangan penjajah, dan umat Islam menjadi umat yang tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan. Ini adalah bukti nyata bahwa sunnatullah dalam Surah Ar-Ra'd ayat 11 berlaku secara konsisten, baik dalam perubahan menuju kebaikan maupun perubahan menuju keburukan.
Kesimpulan: Sebuah Panggilan untuk Bertindak
Firman Allah dalam Surah Ar-Ra'd ayat 11 bukanlah sekadar ayat untuk dibaca, tetapi sebuah manifesto untuk dijalankan. Ia adalah sumber motivasi yang tak pernah kering, sebuah peta jalan yang jelas bagi setiap individu dan masyarakat yang merindukan kebangkitan dan perbaikan nasib. Ayat ini mengajarkan kita beberapa pelajaran fundamental:
- Tanggung Jawab Ada di Tangan Kita: Jangan pernah menunggu keajaiban datang dari langit tanpa usaha. Kunci perubahan ada pada diri kita sendiri. Ambil inisiatif, mulailah bergerak.
- Mulai dari Dalam: Perubahan yang hakiki dan abadi selalu dimulai dari revolusi internal. Perbaiki hubungan kita dengan Allah, bersihkan hati, luruskan niat, dan ubah pola pikir serta kebiasaan buruk kita.
- Kekuatan Ikhtiar: Islam adalah agama yang sangat menghargai usaha. Allah tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat baik. Bekerja keras, belajar, dan berinovasi adalah bagian dari ibadah dan bentuk nyata dari ikhtiar kita.
- Pentingnya Aksi Kolektif: Perubahan individu adalah fondasi, tetapi perubahan sosial membutuhkan gerakan bersama. Mari saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, serta bekerja sama untuk membangun masyarakat yang lebih baik.
- Optimisme dan Tawakal: Setelah melakukan ikhtiar maksimal, serahkan hasilnya kepada Allah dengan penuh keyakinan dan optimisme. Inilah esensi tawakal yang sebenarnya.
Pada akhirnya, nasib bukanlah sesuatu yang statis yang harus kita terima dengan pasrah. Nasib adalah sebuah dialog dinamis antara ketetapan ilahi dan pilihan manusiawi. Allah telah memberikan kita pena untuk turut serta menulis sebagian dari cerita hidup kita melalui ikhtiar, doa, dan perubahan diri. Kini, pertanyaannya kembali kepada kita: apakah kita akan menggunakan pena itu untuk menulis kisah kebangkitan, atau membiarkannya tergeletak tak terpakai sementara kita meratapi keadaan?
Jawabannya ada pada diri kita masing-masing, pada apa yang ada di dalam "anfusihim". Dan Allah tidak akan pernah mengingkari janji-Nya.