Surah An-Nasr: Pertolongan, Kemenangan, dan Isyarat Perpisahan
Dalam Al-Qur'an, setiap surah memiliki keunikan dan kedalaman makna yang luar biasa, terlepas dari panjang atau pendeknya. Salah satu surah yang sangat singkat namun sarat dengan pesan historis, spiritual, dan eskatologis adalah Surah An-Nasr. Pertanyaan yang sering muncul di kalangan pemula dalam mempelajari Al-Qur'an adalah, An Nasr surat ke berapa? Jawabannya adalah Surah An-Nasr merupakan surat ke-110 dalam urutan mushaf Al-Qur'an. Terdiri dari hanya tiga ayat, surah ini menjadi salah satu surah terakhir yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, membawa kabar gembira sekaligus sebuah isyarat yang mendalam.
Nama "An-Nasr" sendiri berarti "Pertolongan". Nama ini diambil dari kata pertama dalam ayat pembukanya. Surah ini juga dikenal dengan nama lain, yaitu "Surat At-Tawdi'" yang berarti "Surat Perpisahan", karena kandungan maknanya yang dipahami oleh para sahabat sebagai pertanda dekatnya akhir tugas kenabian dan wafatnya Rasulullah ﷺ. Meskipun pendek, surah ini merangkum sebuah fase krusial dalam sejarah Islam, yaitu fase kemenangan besar dan konsekuensi spiritual yang harus menyertainya. Memahami surah ini bukan sekadar membaca terjemahannya, tetapi menyelami konteks sejarahnya, menelaah tafsirnya ayat per ayat, dan yang terpenting, menggali hikmah abadi yang relevan bagi setiap Muslim di setiap zaman.
Asbabun Nuzul: Latar Belakang Turunnya Wahyu
Untuk memahami jiwa dari Surah An-Nasr, kita harus kembali ke momen-momen paling menentukan dalam sejarah dakwah Rasulullah ﷺ. Surah ini turun dalam periode Madaniyah, yaitu setelah hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah. Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa surah ini berkaitan erat dengan peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Kota Mekkah). Peristiwa ini bukanlah sekadar kemenangan militer, melainkan puncak dari perjuangan, kesabaran, dan strategi dakwah yang berlangsung selama lebih dari dua dekade.
Selama tiga belas tahun di Mekkah, Nabi dan para pengikutnya mengalami penindasan, boikot, siksaan, dan pengusiran. Mereka adalah kelompok minoritas yang tertindas. Hijrah ke Madinah menjadi titik balik, di mana sebuah komunitas dan negara Islam mulai terbentuk. Namun, permusuhan dari kaum Quraisy Mekkah tidak berhenti. Berbagai peperangan terjadi, seperti Perang Badar, Uhud, dan Khandaq. Masing-masing menjadi ujian berat bagi kaum Muslimin.
Kunci menuju Fathu Makkah adalah Perjanjian Hudaibiyah. Meskipun secara kasat mata tampak merugikan kaum Muslimin, perjanjian ini sesungguhnya adalah sebuah "kemenangan yang nyata" (Fathan Mubina), sebagaimana disebut dalam Surah Al-Fath. Perjanjian ini memungkinkan gencatan senjata, yang membuka pintu dakwah secara lebih luas dan damai. Banyak suku Arab yang sebelumnya ragu-ragu mulai melihat kekuatan moral dan politik Islam.
Ketika kaum Quraisy melanggar Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah ﷺ mempersiapkan pasukan besar yang terdiri dari sepuluh ribu prajurit untuk bergerak menuju Mekkah. Namun, tujuan utamanya bukanlah pertumpahan darah. Beliau berdo'a agar penaklukan ini berlangsung damai. Dan atas pertolongan Allah, Mekkah berhasil dibebaskan nyaris tanpa perlawanan. Momen paling ikonik adalah ketika Rasulullah ﷺ, yang dulu diusir dari kota kelahirannya, kini memasukinya dengan penuh ketawadukan, menundukkan kepala di atas untanya sebagai tanda syukur kepada Allah. Beliau memberikan ampunan massal kepada penduduk Mekkah yang dulu memusuhinya, seraya mengucapkan kalimat yang pernah diucapkan Nabi Yusuf kepada saudara-saudaranya: "Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu, dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang."
Dalam konteks kemenangan besar inilah Surah An-Nasr diturunkan. Surah ini datang sebagai konfirmasi ilahi atas pertolongan dan kemenangan yang telah dijanjikan, sekaligus sebagai pedoman tentang bagaimana seorang hamba harus bersikap di puncak kejayaannya. Ia menjadi penegas bahwa segala pencapaian bukanlah karena kekuatan manusia, melainkan murni karena pertolongan (Nasr) dari Allah SWT.
Tafsir Ayat per Ayat: Menggali Makna yang Tersirat
Meskipun hanya tiga ayat, setiap kalimat dalam Surah An-Nasr mengandung lautan makna. Mari kita bedah satu per satu untuk memahami pesan utuhnya.
Ayat 1: Janji Kemenangan yang Telah Tiba
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan," (QS. An-Nasr: 1)
Ayat ini dimulai dengan kata إِذَا (idzaa), yang dalam bahasa Arab sering digunakan untuk menyatakan sesuatu yang pasti akan terjadi di masa depan. Penggunaannya di sini memberikan penekanan bahwa pertolongan Allah adalah sebuah keniscayaan, sebuah janji yang pasti dipenuhi. Kata جَاءَ (jaa-a) yang berarti "telah datang" mengindikasikan bahwa momen yang dijanjikan itu kini telah tiba dan disaksikan secara nyata.
Frasa kunci berikutnya adalah نَصْرُ اللَّهِ (Nashrullah), atau "pertolongan Allah". Penyandaran kata "pertolongan" langsung kepada "Allah" adalah poin yang sangat fundamental. Ini mengajarkan bahwa kemenangan yang diraih bukanlah hasil dari kehebatan strategi militer, jumlah pasukan, atau kekuatan persenjataan semata. Semua itu hanyalah sebab-akibat di level manusiawi. Hakikat kemenangan berasal dari Allah. Ini adalah pelajaran tauhid yang mendalam: menafikan kekuatan diri sendiri dan mengembalikan segala daya dan upaya kepada Sang Pencipta. Pelajaran ini penting untuk mencegah timbulnya kesombongan dan keangkuhan di hati para pejuang saat meraih kemenangan.
Kemudian, ayat ini menyebutkan وَالْفَتْحُ (wal-fath), yang berarti "dan kemenangan" atau lebih spesifiknya "dan penaklukan/pembukaan". Para ulama tafsir sepakat bahwa "Al-Fath" di sini secara spesifik merujuk pada Fathu Makkah. Mekkah bukan sekadar kota biasa. Ia adalah pusat spiritual Jazirah Arab, tempat berdirinya Ka'bah yang mulia. Dengan dibebaskannya Mekkah dari paganisme dan kemusyrikan, serta dihancurkannya 360 berhala di sekitar Ka'bah, maka terbukalah sebuah "pintu" besar. Bukan hanya pintu kota secara fisik, tetapi pintu bagi hidayah, pintu bagi suku-suku Arab untuk menerima Islam tanpa tekanan dari kaum Quraisy yang selama ini menjadi penghalang utama. Jadi, "Al-Fath" adalah kemenangan yang bersifat strategis dan spiritual, yang dampaknya jauh melampaui kemenangan militer biasa.
Ayat 2: Buah Kemenangan yang Manis
"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah," (QS. An-Nasr: 2)
Ayat kedua ini menjelaskan dampak langsung atau buah dari datangnya pertolongan Allah dan Fathu Makkah. Kata وَرَأَيْتَ (wa ra-aita) yang berarti "dan engkau melihat" ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ, namun juga berlaku bagi siapa saja yang menyaksikan fenomena luar biasa ini. Ini adalah sebuah penglihatan yang nyata, bukan lagi sebuah harapan atau prediksi.
Objek yang dilihat adalah النَّاسَ (an-naas), "manusia". Sebelum Fathu Makkah, orang-orang yang masuk Islam cenderung melakukannya secara individu atau dalam kelompok-kelompok kecil, seringkali dengan sembunyi-sembunyi karena takut akan penindasan. Banyak suku-suku di luar Mekkah yang menahan diri, mengadopsi sikap menunggu: "Biarkan Muhammad dan kaumnya (Quraisy) menyelesaikan urusan mereka. Jika ia menang atas mereka, maka ia adalah seorang nabi yang benar." Kemenangan di Mekkah menjadi bukti validasi kenabian di mata mereka.
Proses masuk Islamnya digambarkan dengan frasa يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ (yadkhuluuna fii diinillah), "mereka masuk ke dalam agama Allah". Ini menunjukkan sebuah proses yang aktif dan sukarela. Mereka tidak dipaksa, melainkan memilih untuk masuk setelah melihat kebenaran Islam yang terpancar dari kemenangan dan, yang lebih penting, dari akhlak mulia Rasulullah ﷺ yang memaafkan musuh-musuhnya.
Kata terakhir dalam ayat ini, أَفْوَاجًا (afwaajaa), adalah kunci pemahamannya. Kata ini berarti "berbondong-bondong", "dalam rombongan besar", atau "berkelompok-kelompok". Ini menggambarkan perubahan skala yang dramatis. Jika sebelumnya dakwah menghasilkan konversi satu per satu, kini setelah Fathu Makkah, delegasi dari seluruh penjuru Jazirah Arab datang menghadap Nabi untuk menyatakan keislaman suku mereka secara kolektif. Tahun setelah Fathu Makkah dikenal sebagai "'Am al-Wufud" atau "Tahun Delegasi" karena begitu banyaknya rombongan yang datang. Ini adalah pemandangan yang mengharukan, buah dari kesabaran selama 21 tahun berdakwah.
Ayat 3: Respon Spiritual di Puncak Kejayaan
"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat." (QS. An-Nasr: 3)
Ini adalah ayat puncak yang berisi instruksi dari Allah tentang bagaimana seharusnya menyikapi nikmat kemenangan yang agung. Logika manusia biasa mungkin akan berpikir bahwa saat kemenangan tiba, saatnya untuk berpesta, berbangga, atau menikmati hasil jerih payah. Namun, Al-Qur'an mengajarkan etika yang jauh lebih tinggi dan mulia.
Perintah pertama adalah فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ (fasabbih bihamdi rabbika). Ini adalah gabungan dari dua konsep:
- Tasbih (سَبِّحْ): Mensucikan Allah dari segala kekurangan. Mengakui bahwa kemenangan ini terjadi bukan karena ada kelemahan pada musuh atau kehebatan pada diri sendiri, tetapi murni karena kesempurnaan kuasa dan kehendak Allah. Tasbih adalah penafian segala bentuk kesombongan.
- Tahmid (بِحَمْدِ): Memuji Allah atas segala nikmat dan karunia-Nya. Ini adalah ekspresi rasa syukur yang mendalam atas pertolongan dan kemenangan yang telah dianugerahkan.
Perintah kedua adalah وَاسْتَغْفِرْهُ (wastaghfirhu), "dan mohonlah ampun kepada-Nya". Perintah ini mungkin terasa aneh. Mengapa di saat puncak kesuksesan, saat tugas besar telah rampung, Rasulullah ﷺ justru diperintahkan untuk beristighfar, memohon ampun? Para ulama memberikan beberapa penafsiran mendalam:
- Isyarat Selesainya Tugas dan Dekatnya Ajal: Ini adalah penafsiran yang paling masyhur, yang dipahami oleh para sahabat senior seperti Ibnu Abbas dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ketika sebuah misi besar telah selesai, maka tugas sang utusan di dunia pun mendekati akhir. Istighfar adalah persiapan terbaik untuk bertemu dengan Allah SWT. Ini adalah pengakuan bahwa selama menjalankan tugas yang berat, mungkin ada kekurangan, kelalaian, atau hal-hal yang tidak sempurna yang dilakukan oleh seorang hamba. Diriwayatkan bahwa ketika surah ini turun, Rasulullah ﷺ semakin memperbanyak bacaan tasbih, tahmid, dan istighfar dalam rukuk dan sujudnya. Umar bin Khattab pernah bertanya kepada para sahabat senior tentang makna surah ini. Banyak yang memberikan jawaban standar, namun Ibnu Abbas yang saat itu masih muda berkata, "Itu adalah pertanda ajal Rasulullah ﷺ yang Allah beritahukan kepadanya." Umar pun membenarkan penafsiran tersebut.
- Penjagaan dari Sifat Ujub dan Sombong: Kemenangan adalah ujian yang seringkali lebih berat daripada kekalahan. Kemenangan dapat melahirkan kesombongan (kibr) dan rasa bangga diri (ujub). Perintah untuk beristighfar adalah penawar spiritual yang mujarab. Ia mengingatkan seorang pemimpin dan pengikutnya bahwa mereka tetaplah hamba yang lemah dan penuh dosa, yang senantiasa membutuhkan ampunan Allah, bahkan di momen paling gemilang sekalipun.
- Istighfar sebagai Bentuk Ibadah Tertinggi: Istighfar bukan hanya untuk pendosa. Bagi para nabi, istighfar adalah bentuk penghambaan dan kedekatan kepada Allah. Ia adalah pengakuan akan keagungan Allah yang tak terbatas dan keterbatasan diri sebagai makhluk.
Ayat ini ditutup dengan kalimat penegas yang penuh harapan: إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (innahuu kaana tawwaabaa), "Sungguh, Dia Maha Penerima tobat." Nama Allah "At-Tawwab" berasal dari akar kata yang berarti "kembali". Allah adalah At-Tawwab karena Dia senantiasa "kembali" kepada hamba-Nya dengan rahmat dan ampunan setiap kali hamba itu "kembali" kepada-Nya dengan penyesalan dan tobat. Ini adalah jaminan bahwa pintu ampunan Allah selalu terbuka lebar bagi siapa saja yang tulus memintanya.
Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surah An-Nasr
Meskipun Surah An-Nasr turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pesan-pesannya bersifat universal dan abadi. Setiap Muslim, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari komunitas, dapat memetik pelajaran berharga darinya.
1. Hakikat Pertolongan dan Kemenangan
Surah ini mengokohkan pilar utama akidah, yaitu segala sesuatu berasal dari Allah. Kemenangan dalam peperangan, kesuksesan dalam bisnis, kelulusan dalam studi, kesembuhan dari penyakit, atau pencapaian apa pun dalam hidup, pada hakikatnya adalah "Nashrullah", pertolongan dari Allah. Menginternalisasi pelajaran ini akan melahirkan pribadi yang tidak sombong saat berhasil dan tidak putus asa saat gagal. Ia akan selalu bersandar pada kekuatan Allah, bukan pada kekuatan dirinya sendiri.
2. Kesabaran adalah Kunci Kemenangan
Kemenangan yang digambarkan dalam surah ini tidak datang secara instan. Ia adalah buah dari perjuangan dan kesabaran selama 23 tahun. Ini mengajarkan kita bahwa hasil yang besar membutuhkan proses yang panjang dan seringkali menyakitkan. Dalam setiap aspek kehidupan, baik urusan duniawi maupun ukhrawi, kita perlu menanam benih kesabaran, merawatnya dengan konsistensi (istiqamah), dan bertawakal kepada Allah untuk hasilnya.
3. Adab dan Etika di Puncak Kesuksesan
Surah An-Nasr memberikan formula ilahiah tentang cara merayakan kesuksesan. Bukan dengan pesta pora yang melalaikan, bukan dengan euforia yang melahirkan kesombongan, tetapi dengan tiga amalan spiritual:
- Tasbih: Mensucikan Allah, mengakui bahwa ini semua karena keagungan-Nya.
- Tahmid: Bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan.
- Istighfar: Memohon ampun atas segala kekurangan diri selama proses berjuang dan untuk melindungi hati dari penyakit sombong.
4. Mengingat Akhir di Setiap Pencapaian
Isyarat tentang dekatnya ajal Rasulullah ﷺ dalam surah ini memberikan pelajaran yang sangat mendalam: setiap tugas di dunia ini memiliki batas waktu. Setiap pencapaian puncak bisa jadi merupakan pertanda bahwa misi kita di babak tersebut akan segera berakhir. Ini mendorong kita untuk tidak terlena dengan kesuksesan duniawi. Sebaliknya, setiap keberhasilan seharusnya menjadi pengingat untuk lebih giat mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah mati. Kesuksesan sejati bukanlah pencapaian di dunia, melainkan saat kita kembali kepada Allah dalam keadaan diridhai-Nya.
5. Optimisme dan Pintu Tobat yang Selalu Terbuka
Penutup surah dengan kalimat "Sungguh, Dia Maha Penerima tobat" adalah pesan harapan yang luar biasa. Allah tidak hanya memerintahkan kita untuk memohon ampun, tetapi Dia juga langsung memberitahu kita tentang sifat-Nya yang Maha Menerima Tobat. Ini memberikan ketenangan bagi jiwa. Tidak peduli seberapa besar kesalahan kita di masa lalu, atau seberapa sering kita lalai, selama kita mau kembali kepada-Nya dengan tulus, pintu rahmat dan ampunan-Nya tidak akan pernah tertutup.
Kesimpulan
Jadi, menjawab pertanyaan awal, An Nasr surat ke berapa? Ia adalah surat ke-110. Namun, di balik nomor urut dan jumlah ayatnya yang singkat, terhampar samudra makna yang luas. Surah An-Nasr adalah surah tentang kemenangan, tetapi juga tentang kerendahan hati. Ia adalah surah tentang euforia keberhasilan, tetapi juga tentang persiapan menghadapi akhir perjalanan. Ia adalah penegas janji Allah, sekaligus panduan adab bagi hamba-Nya. Ia merangkum akhir dari sebuah era perjuangan dakwah Nabi Muhammad ﷺ dan pada saat yang sama, membuka lembaran baru bagi umat Islam untuk menyebarkan risalah ke seluruh penjuru dunia. Membaca, merenungkan, dan mengamalkan pesan-pesan Surah An-Nasr adalah cara kita untuk memastikan bahwa setiap "kemenangan" dalam hidup kita senantiasa berada dalam bingkai kesyukuran, ketawadukan, dan penghambaan total kepada Allah SWT, Sang Pemberi Pertolongan dan Kemenangan.