Simbol Aksara Sunda
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman budaya, dan salah satu kekayaan tersebut terwujud dalam berbagai sistem penulisan aksara daerah. Di antara berbagai aksara yang masih dilestarikan hingga kini, Aksara Sunda memegang peranan penting dalam merekam sejarah, sastra, dan kearifan lokal masyarakat Sunda. Keunikan dan keindahan visualnya menjadikan aksara ini bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga sebuah warisan seni budaya yang patut dijaga dan dipromosikan.
Aksara Sunda, yang juga dikenal sebagai Sunda Kuno atau Aksara Cacarakan, memiliki akar sejarah yang panjang. Kemunculannya diperkirakan sejalan dengan perkembangan kerajaan-kerajaan Sunda di masa lalu. Sejarah mencatat bahwa aksara ini telah digunakan sejak abad ke-14 hingga abad ke-17 untuk menuliskan prasasti, naskah-naskah keagamaan, sastra, dan catatan sejarah. Bentuknya yang khas dipercaya dipengaruhi oleh aksara Brahmana dari India, seperti Pallawa, yang kemudian mengalami evolusi dan adaptasi sesuai dengan fonologi dan struktur bahasa Sunda.
Perkembangan Aksara Sunda tidak terlepas dari peran para pujangga dan penulis pada masanya. Naskah-naskah kuno yang ditulis menggunakan aksara ini banyak ditemukan di berbagai daerah Jawa Barat, seperti di Garut, Tasikmalaya, dan Cirebon. Sayangnya, seiring masuknya aksara Latin dan pengaruh modernisasi, penggunaan Aksara Sunda mengalami penurunan drastis. Namun, semangat untuk menghidupkan kembali aksara ini terus digelorakan oleh berbagai komunitas dan pemerintah daerah.
Salah satu daya tarik utama Aksara Sunda terletak pada keunikan bentuk visualnya. Aksara ini memiliki ciri khas berupa garis-garis melengkung dan tegas yang tersusun harmonis. Setiap karakter memiliki bentuk yang berbeda, namun tetap memiliki keseragaman dalam gaya penulisannya. Aksara Sunda termasuk dalam jenis aksara abugida, yang berarti setiap konsonan memiliki vokal inheren (/a/), dan vokal lainnya ditandai dengan diakritik yang diletakkan di atas, di bawah, atau di samping konsonan.
Terdapat dua jenis Aksara Sunda yang umum dikenal: Aksara Sunda Kuno (atau Cacarakan) dan Aksara Sunda Baku (standar modern). Aksara Sunda Kuno memiliki bentuk yang lebih orisinal dan kompleks, seringkali dijumpai pada prasasti dan naskah-naskah lama. Sementara itu, Aksara Sunda Baku merupakan bentuk yang lebih disederhanakan dan distandarisasi, yang kini diajarkan di sekolah-sekolah dan digunakan dalam berbagai publikasi modern. Perbedaan ini mencerminkan evolusi aksara seiring zaman.
Melestarikan Aksara Sunda bukan hanya tentang menjaga kelestarian sebuah sistem penulisan, tetapi juga tentang menjaga identitas budaya masyarakat Sunda. Aksara ini adalah jendela untuk memahami kekayaan intelektual, nilai-nilai filosofis, dan sejarah leluhur. Dengan menguasai dan menggunakan Aksara Sunda, generasi muda dapat terhubung kembali dengan akar budayanya, menumbuhkan rasa bangga, dan meneruskan warisan berharga ini kepada generasi mendatang.
Upaya pelestarian Aksara Sunda kini semakin gencar dilakukan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengeluarkan peraturan daerah yang mewajibkan penggunaan Aksara Sunda pada plang nama jalan, penunjuk arah, dan dokumen resmi lainnya. Selain itu, berbagai komunitas budaya, akademisi, dan pegiat literasi juga aktif menggelar workshop, seminar, dan lomba menulis aksara. Munculnya aplikasi digital dan font Aksara Sunda juga turut mempermudah akses dan penggunaannya di era digital.
Melihat Aksara Sunda sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa adalah langkah awal yang penting. Edukasi mengenai sejarah, makna, dan cara penulisannya perlu digalakkan sejak dini. Dengan partisipasi aktif dari semua elemen masyarakat, Aksara Sunda diharapkan dapat terus lestari dan menjadi kebanggaan warisan budaya Indonesia di kancah dunia. Mari bersama-sama kita jaga dan lestarikan keindahan Aksara Sunda untuk masa depan.