Membedah Makna Bunyi Surat An-Nasr Ayat ke-2

Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, adalah samudra ilmu yang tak pernah kering. Setiap ayat, kata, bahkan hurufnya mengandung hikmah dan pelajaran yang mendalam. Salah satu surah yang singkat namun sarat makna adalah Surah An-Nasr. Surah ini, yang tergolong sebagai surah Madaniyah, merupakan salah satu surah terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, membawa kabar gembira sekaligus isyarat penting bagi perjalanan dakwah Islam. Fokus utama kita dalam pembahasan ini adalah ayat keduanya, sebuah ayat yang melukiskan pemandangan agung yang menjadi buah dari kesabaran dan pertolongan ilahi.

Ayat kedua dari Surah An-Nasr merupakan jantung dari surah ini, yang menggambarkan hasil nyata dari pertolongan Allah (An-Nasr) dan kemenangan (Al-Fath) yang disebutkan pada ayat pertama. Mari kita simak bunyi ayat yang mulia ini.

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا

Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā.

"Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah."

Ilustrasi orang-orang berbondong-bondong memasuki gerbang keimanan
Ilustrasi visual dari makna 'afwaja' atau berbondong-bondong menuju pintu keimanan.

Tafsir Mendalam: Membedah Setiap Kata

Untuk memahami kedalaman makna ayat ini, kita perlu menguraikan setiap frasa yang terkandung di dalamnya. Setiap kata dipilih oleh Allah dengan ketepatan yang luar biasa, membawa bobot makna yang sangat signifikan.

1. وَرَأَيْتَ (Wa ra'aita) - Dan Engkau Melihat

Kata "ra'aita" berasal dari akar kata ra'a-ya'ra, yang berarti melihat. Namun, dalam konteks Al-Qur'an, "melihat" tidak selalu terbatas pada penglihatan mata fisik. Ia bisa mencakup pemahaman, penyaksian, dan pengetahuan yang yakin. Dalam ayat ini, khitab atau lawan bicaranya adalah Nabi Muhammad ﷺ. Allah SWT berfirman langsung kepada Rasul-Nya, "Dan engkau melihat...".

Ini bukan sekadar penglihatan biasa. Ini adalah sebuah penyaksian atas janji Allah yang menjadi kenyataan. Selama bertahun-tahun di Makkah, Rasulullah ﷺ dan para sahabat melihat penolakan, cemoohan, dan penganiayaan. Jumlah pemeluk Islam bertambah satu per satu, seringkali secara sembunyi-sembunyi. Maka, ketika tiba saatnya beliau menyaksikan pemandangan yang sebaliknya, ini adalah sebuah momen validasi ilahi yang luar biasa. Penglihatan ini adalah buah dari kesabaran, keteguhan, dan doa yang tak pernah putus. Ini adalah bukti nyata bahwa apa yang diperjuangkan selama ini adalah kebenaran yang pada akhirnya akan diterima oleh banyak orang.

2. النَّاسَ (An-Nāsa) - Manusia

Kata "An-Nās" secara harfiah berarti "manusia". Penggunaan kata ini bersifat umum dan inklusif. Allah tidak menyebutkan "orang-orang Arab" atau "penduduk Makkah" secara spesifik. Ini mengisyaratkan bahwa fenomena yang terjadi bersifat universal. Manusia dari berbagai kabilah, suku, dan latar belakang sosial di seluruh Jazirah Arab mulai berdatangan untuk menyatakan keislaman mereka.

Sebelum peristiwa Fathu Makkah, banyak kabilah di luar Makkah yang mengambil sikap menunggu. Mereka berpikir, "Jika Muhammad bisa mengalahkan kaumnya sendiri (Quraisy), maka dia benar-benar seorang nabi." Quraisy pada saat itu adalah penjaga Ka'bah dan dianggap sebagai kabilah paling terhormat. Kemenangan atas Quraisy menjadi bukti legitimasi kenabian di mata kabilah-kabilah lain. Oleh karena itu, ketika Makkah ditaklukkan, keraguan mereka sirna, dan pintu untuk menerima Islam terbuka lebar. Kata "An-Nās" secara indah menangkap totalitas dan keberagaman manusia yang akhirnya menerima hidayah.

3. يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ (Yadkhulūna fī dīnillāhi) - Mereka Masuk ke dalam Agama Allah

Frasa ini menggambarkan sebuah proses aktif. "Yadkhulūna" adalah bentuk kata kerja (fi'il mudhari') yang menunjukkan tindakan yang sedang atau akan terus berlangsung. Ini bukan kejadian sesaat, melainkan sebuah gelombang berkelanjutan. Orang-orang tidak dipaksa, melainkan mereka "masuk" dengan kesadaran dan kemauan sendiri.

"Fī dīnillāhi" (ke dalam agama Allah) juga merupakan frasa yang penting. Agama yang mereka masuki bukanlah ciptaan manusia, bukan pula milik suatu kabilah atau kelompok, melainkan "agama Allah". Ini menegaskan kemurnian tauhid. Mereka tidak masuk ke dalam "agama Muhammad" atau "agama Bani Hasyim", tetapi mereka berserah diri kepada satu-satunya Tuhan yang hak, yaitu Allah SWT. Penyebutan "agama Allah" mengangkat status peristiwa ini dari sekadar kemenangan politik menjadi sebuah kemenangan spiritual yang murni.

4. أَفْوَاجًا (Afwājā) - Berbondong-bondong

Ini adalah kata kunci yang paling kuat dalam ayat ini. "Afwājā" adalah bentuk jamak dari kata fauj, yang berarti rombongan, kelompok besar, atau delegasi. Penggunaan kata ini melukiskan pemandangan yang sangat dramatis. Jika sebelumnya Islam diterima oleh individu, kini ia diterima oleh seluruh kabilah dan suku.

Bayangkanlah kontrasnya. Di masa-masa awal, seorang individu yang masuk Islam harus menghadapi pengucilan dari keluarganya. Kini, satu keluarga besar, bahkan satu kabilah beserta pemimpinnya, datang bersama-sama untuk menyatakan syahadat di hadapan Rasulullah ﷺ. Ini adalah sebuah pergeseran paradigma yang monumental. Jalanan menuju Madinah, yang sebelumnya menjadi saksi hijrah yang penuh ketakutan, kini dipenuhi oleh delegasi-delegasi yang datang dengan penuh suka cita untuk memeluk Islam. Kata "afwājā" secara sempurna menangkap skala, kecepatan, dan semangat kolektif dari gelombang konversi massal ini.

Konteks Historis: Peristiwa di Balik Ayat Agung

Untuk memahami sepenuhnya ayat kedua Surah An-Nasr, kita tidak bisa melepaskannya dari konteks sejarah penurunannya (Asbabun Nuzul). Para ulama tafsir sepakat bahwa surah ini turun setelah peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah) pada bulan Ramadan tahun ke-8 Hijriyah. Peristiwa ini adalah puncak dari perjuangan dakwah Nabi Muhammad ﷺ selama lebih dari dua dekade.

Fathu Makkah bukanlah penaklukan militer yang diwarnai pertumpahan darah. Sebaliknya, ia adalah sebuah kemenangan moral dan spiritual yang gemilang. Rasulullah ﷺ memasuki kota kelahirannya, tempat di mana beliau dulu diusir, dengan penuh ketawadukan, kepala tertunduk di atas untanya sebagai tanda syukur kepada Allah.

Beliau memberikan pengampunan massal kepada penduduk Makkah, termasuk kepada musuh-musuh bebuyutan yang telah menyiksanya dan para sahabatnya. Sikap agung inilah yang meruntuhkan benteng kesombongan di hati kaum Quraisy. Mereka menyaksikan secara langsung kebenaran ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad ﷺ, yaitu ajaran tentang rahmat, pengampunan, dan kemuliaan akhlak.

Setelah Makkah, pusat spiritual dan kekuatan utama di Jazirah Arab, berada di bawah panji Islam, kabilah-kabilah lain yang sebelumnya ragu kini tidak memiliki alasan lagi untuk menolak. Mereka melihat bahwa kekuatan Islam bukan hanya pada militernya, tetapi pada kebenaran ajarannya. Maka, dimulailah periode yang dikenal sebagai "Tahun Delegasi" ('Am al-Wufud) pada tahun ke-9 dan ke-10 Hijriyah. Delegasi dari seluruh penjuru Arab datang ke Madinah untuk menyatakan bai'at dan keislaman mereka secara massal. Pemandangan inilah yang secara literal digambarkan oleh ayat "Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah."

Keterkaitan Erat dengan Ayat Pertama dan Ketiga

Surah An-Nasr adalah sebuah kesatuan yang utuh. Ayat kedua tidak dapat dipahami secara terpisah dari ayat pertama yang menjadi sebabnya dan ayat ketiga yang menjadi responsnya.

Rangkaian ini mengajarkan sebuah etika kemenangan yang luar biasa dalam Islam. Kemenangan bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah sarana untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Semakin besar nikmat yang diterima, semakin besar pula tuntutan untuk bersyukur dan merendahkan diri di hadapan-Nya.

Isyarat Tersembunyi: Tanda Selesainya Sebuah Misi

Di balik kabar gembira yang dibawa Surah An-Nasr, para sahabat besar seperti Ibnu Abbas R.A. dan Umar bin Khattab R.A. menangkap sebuah isyarat yang lebih dalam. Turunnya surah ini menandakan bahwa tugas dan misi kerasulan Nabi Muhammad ﷺ di dunia telah sempurna dan akan segera berakhir.

Logikanya sederhana: jika tujuan utama dakwah (yaitu agar manusia masuk ke dalam agama Allah) telah tercapai secara masif, maka tugas sang penyampai risalah pun telah tuntas. Dalam sebuah riwayat, ketika surah ini turun, banyak sahabat yang bergembira. Namun, Ibnu Abbas, yang saat itu masih muda, menangis. Ketika ditanya, beliau menjawab, "Ini adalah pertanda dekatnya ajal Rasulullah ﷺ."

Pemahaman ini diperkuat oleh perintah di ayat ketiga untuk bertasbih, bertahmid, dan beristighfar. Ini adalah amalan-amalan yang dilakukan untuk menyempurnakan segala kekurangan dalam sebuah tugas besar dan sebagai persiapan untuk kembali menghadap Sang Pencipta. Karena itulah, surah ini juga sering disebut sebagai "Surah Perpisahan" (Surat At-Taudi').

Pelajaran Abadi dari Ayat "Afwaja"

Meski ayat ini turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan abadi. Ayat ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sumber inspirasi dan pedoman bagi umat Islam di setiap zaman.

1. Keyakinan pada Janji Allah

Ayat ini adalah bukti nyata bahwa janji Allah pasti akan datang. Setelah melalui tahun-tahun yang penuh penderitaan dan ujian, pertolongan itu datang pada waktu yang tepat dengan cara yang paling sempurna. Ini mengajarkan kita untuk tidak pernah putus asa dari rahmat Allah, seberat apapun tantangan yang dihadapi. Selama kita berpegang teguh pada jalan-Nya, pertolongan dan kemenangan-Nya pasti akan tiba.

2. Kekuatan Dakwah Melalui Akhlak Mulia

Manusia berbondong-bondong masuk Islam bukan karena todongan pedang, melainkan karena takjub melihat akhlak mulia Rasulullah ﷺ saat Fathu Makkah. Sifat pemaaf, rendah hati, dan kasih sayang beliau menjadi magnet yang menarik hati manusia kepada Islam. Ini adalah pelajaran fundamental bahwa dakwah yang paling efektif adalah dakwah melalui keteladanan (dakwah bil hal).

3. Humility in Victory (Kerendahan Hati dalam Kemenangan)

Surah ini secara keseluruhan adalah pelajaran tentang bagaimana mengelola kesuksesan. Puncak keberhasilan harus disambut dengan puncak ketundukan kepada Allah. Kemenangan tidak boleh melahirkan kesombongan, tetapi harus melahirkan rasa syukur yang mendalam dan kesadaran bahwa semua itu berasal dari Allah semata.

4. Pentingnya Persatuan dan Kebersamaan

Kata "afwaja" (berbondong-bondong) menunjukkan kekuatan kolektif. Ketika manusia bersatu dalam kebenaran, dampaknya akan menjadi jauh lebih besar. Ini menginspirasi kita untuk selalu menjaga persatuan (ukhuwah islamiyah) karena dalam kebersamaan terdapat kekuatan dan keberkahan yang besar.

Kesimpulan

Bunyi surat An-Nasr ayat ke-2, "Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā," adalah sebuah mozaik indah yang tersusun dari sejarah, teologi, dan hikmah abadi. Ia bukan sekadar deskripsi tentang gelombang konversi massal pasca-Fathu Makkah. Lebih dari itu, ia adalah penegasan atas janji Allah, buah dari kesabaran dalam dakwah, manifestasi dari kekuatan akhlak mulia, dan sebuah pengingat agung tentang bagaimana seharusnya seorang hamba menyikapi nikmat kemenangan.

Ayat ini mengajak kita untuk merenung: bahwa setelah setiap kesulitan pasti ada kemudahan, bahwa pertolongan Allah itu dekat, dan bahwa kemenangan sejati adalah ketika hati manusia terbuka untuk menerima cahaya kebenaran, berbondong-bondong menuju naungan agama-Nya yang penuh rahmat dan kedamaian.

🏠 Homepage