Mengungkap Makna Agung di Balik Bunyi Surat An Nasr Ayat Kedua

Afwājā (Berbondong-bondong) Ilustrasi grafis orang-orang berbondong-bondong memasuki agama Allah, sesuai makna Surat An-Nasr.

Al-Qur'an, kalam ilahi yang mulia, tersusun dari surat-surat dengan kandungan makna yang tak terbatas. Salah satu surat yang paling dikenal, meskipun singkat, adalah Surat An-Nasr. Surat ke-110 dalam mushaf ini terdiri dari tiga ayat yang sarat dengan pesan kemenangan, perubahan sosial yang masif, dan arahan spiritual yang mendalam. Fokus utama pembahasan kita kali ini adalah untuk menyelami samudra makna yang terkandung dalam bunyi surat An Nasr ayat kedua. Ayat ini bukan sekadar deskripsi, melainkan sebuah visualisasi agung atas janji Allah yang menjadi kenyataan.

Untuk memahami kedalaman ayat kedua, kita perlu terlebih dahulu melihatnya dalam konteks keseluruhan surat. Mari kita lafalkan bersama-sama ayat yang menjadi inti pembahasan kita:

وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا

Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā.

"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"

Kalimat yang sederhana ini melukiskan sebuah panorama yang luar biasa. Sebuah pemandangan yang menjadi puncak dari perjuangan panjang, kesabaran tanpa batas, dan dakwah yang tak kenal lelah. Ayat ini adalah bukti nyata dari pertolongan (An-Nasr) dan kemenangan (Al-Fath) yang disebutkan pada ayat pertama. Ia adalah buah yang matang dari pohon kesabaran yang ditanam selama bertahun-tahun di tanah Makkah dan disirami dengan pengorbanan di Madinah.

Konteks Historis: Panggung Agung Fathu Makkah

Untuk benar-benar menghayati makna ayat ini, kita tidak bisa melepaskannya dari latar belakang sejarah penurunannya (Asbabun Nuzul). Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa Surat An-Nasr diturunkan berkaitan dengan peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah). Peristiwa ini adalah titik balik monumental dalam sejarah Islam. Setelah lebih dari dua dekade penuh penindasan, pengusiran, peperangan, dan perjuangan, Rasulullah Muhammad ﷺ beserta kaum muslimin kembali ke kota kelahiran mereka bukan dengan semangat balas dendam, melainkan dengan kepala tertunduk penuh rasa syukur.

Bayangkan suasana saat itu. Kota yang dahulu memusuhi, mengusir, dan menyiksa kaum muslimin, kini terbuka gerbangnya tanpa pertumpahan darah yang berarti. Rasulullah ﷺ memasuki Makkah dengan penuh kerendahan hati, menundukkan kepalanya di atas untanya hingga hampir menyentuh pelana, sebagai tanda syukur yang teramat dalam kepada Allah SWT. Di hadapan para pemuka Quraisy yang pernah menjadi musuh bebuyutannya, beliau mengucapkan kalimat legendarisnya, "Pergilah kalian semua, kalian bebas."

Sikap agung inilah yang meruntuhkan benteng kesombongan dan kebencian di hati banyak orang. Mereka melihat secara langsung akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam. Mereka menyaksikan kemenangan yang tidak diiringi arogansi, melainkan dihiasi dengan pengampunan. Inilah pemicu utama dari fenomena yang digambarkan dalam bunyi surat An Nasr ayat kedua. Pintu hati manusia terbuka lebar-lebar.

Analisis Kata per Kata: Membedah Mutiara Kalam Ilahi

Setiap kata dalam Al-Qur'an dipilih dengan presisi ilahiah. Mari kita urai satu per satu kata dalam ayat kedua ini untuk menemukan kedalaman maknanya.

1. وَرَأَيْتَ (Wa ra'aita) - Dan engkau melihat

Kata ini terdiri dari dua bagian: 'Wa' (وَ) yang berarti 'dan', berfungsi sebagai kata sambung yang mengikat ayat ini secara langsung dengan ayat pertama. Ini menunjukkan bahwa pemandangan yang akan dijelaskan adalah konsekuensi logis dan langsung dari datangnya "pertolongan Allah dan kemenangan".

Bagian kedua adalah 'ra'aita' (رَأَيْتَ), yang berarti 'engkau (laki-laki tunggal) melihat'. Kata ganti 'engkau' di sini secara khusus ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah sebuah sapaan langsung yang personal dan penuh penghargaan dari Allah kepada Rasul-Nya. Seolah-olah Allah berfirman, "Wahai Muhammad, setelah segala jerih payahmu, lihatlah dengan mata kepalamu sendiri buah dari kesabaranmu." Penglihatan di sini bisa bermakna ganda: penglihatan secara fisik (melihat langsung delegasi suku-suku datang) dan penglihatan dengan mata hati (memahami bahwa ini adalah realisasi dari janji Allah).

2. النَّاسَ (An-Nāsa) - Manusia

Kata 'An-Nās' (النَّاسَ) berarti 'manusia' dalam bentuk jamak dan definit (menggunakan alif-lam). Pemilihan kata ini sangat signifikan. Al-Qur'an tidak menggunakan kata 'qawm' (kaum) atau 'qabā'il' (kabilah-kabilah), tetapi 'An-Nās' yang bersifat umum dan universal. Ini mengisyaratkan bahwa yang datang memeluk Islam bukan hanya dari satu suku atau satu golongan, melainkan dari berbagai lapisan masyarakat, berbagai kabilah Arab yang sebelumnya saling bermusuhan. Dari Yaman, dari Najd, dari seluruh penjuru Jazirah Arab, manusia datang. Ini adalah penegasan atas universalitas risalah Islam yang ditujukan untuk seluruh umat manusia.

3. يَدْخُلُونَ (Yadkhulūna) - Mereka masuk

Kata kerja 'yadkhulūna' (يَدْخُلُونَ) berada dalam bentuk fi'il mudhari' (present continuous tense), yang menunjukkan sebuah tindakan yang sedang dan akan terus berlangsung. Ini bukan peristiwa sesaat yang terjadi lalu berhenti. Sebaliknya, ia menggambarkan sebuah proses yang dinamis, berkelanjutan, dan terus mengalir. Orang-orang tidak 'telah masuk' (bentuk lampau) tetapi 'sedang masuk' dan akan terus 'memasuki' Islam. Ini memberikan gambaran sebuah gerakan sosial yang masif dan tak terbendung.

Kata 'masuk' juga menyiratkan sebuah kesadaran dan pilihan. Mereka tidak dipaksa, melainkan dengan sukarela dan kesadaran penuh memilih untuk masuk ke dalam naungan Islam. Mereka meninggalkan kegelapan jahiliyah dan masuk ke dalam cahaya petunjuk.

4. فِي دِينِ اللَّهِ (Fī dīnillāhi) - Ke dalam agama Allah

Frasa ini sangat penting. 'Fī' (فِي) adalah preposisi yang berarti 'di dalam' atau 'ke dalam'. Ini memberikan makna sebuah penyerahan diri yang total, bukan sekadar afiliasi di permukaan. Mereka masuk dan melebur ke dalam sistem nilai, akidah, dan cara hidup yang ditetapkan oleh Allah.

Selanjutnya, 'dīnillāhi' (دِينِ اللَّهِ), 'agama Allah'. Penyandaran kata 'agama' langsung kepada 'Allah' adalah sebuah penegasan fundamental. Ini bukanlah agama Muhammad, bukan agama orang Arab, bukan pula ideologi buatan manusia. Ini adalah agama milik Allah, yang berasal dari-Nya dan bertujuan untuk kembali kepada-Nya. Penegasan ini memurnikan niat dan meluruskan tujuan, bahwa seluruh proses ini terjadi atas kehendak dan untuk kemuliaan Allah semata.

5. أَفْوَاجًا (Afwājā) - Berbondong-bondong

Inilah kata kunci yang melukiskan skala dari fenomena ini. 'Afwājā' (أَفْوَاجًا) adalah bentuk jamak dari 'fawj', yang berarti 'rombongan besar', 'kelompok', atau 'resimen'. Kata ini menggambarkan kedatangan manusia dalam jumlah yang sangat besar, kelompok demi kelompok, suku demi suku. Ini adalah antitesis dari kondisi awal dakwah Islam di Makkah, di mana orang-orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, satu per satu, dan sering kali harus menanggung risiko penyiksaan.

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu menjelaskan bahwa setelah Fathu Makkah, kabilah-kabilah Arab berkata, "Jika Muhammad telah berhasil menaklukkan penduduk Tanah Haram (Makkah), yang dilindungi Allah dari pasukan gajah, maka dia adalah seorang nabi yang benar." Maka, mereka pun datang untuk menyatakan keislaman mereka dalam rombongan-rombongan besar. Pemandangan ini adalah sebuah validasi visual yang tak terbantahkan atas kebenaran risalah Nabi Muhammad ﷺ.

Pemandangan "afwājā" adalah klimaks dari sebuah drama panjang perjuangan antara kebenaran dan kebatilan. Ia adalah fajar yang merekah setelah malam yang panjang dan gelap, menandakan dimulainya era baru bagi peradaban manusia.

Tafsir Para Ulama: Perspektif yang Memperkaya

Para mufasir dari berbagai generasi telah memberikan pandangan mereka yang berharga tentang bunyi surat An Nasr ayat kedua, yang semakin memperkaya pemahaman kita.

Imam Ibnu Katsir

Dalam tafsirnya yang monumental, Ibnu Katsir menekankan aspek historis dari ayat ini. Beliau mengutip berbagai riwayat tentang datangnya delegasi (wufūd) dari seluruh penjuru Arab ke Madinah setelah Fathu Makkah untuk menyatakan baiat kepada Rasulullah ﷺ. Beliau menjelaskan bahwa 'afwājā' berarti satu kabilah masuk Islam secara keseluruhan, diikuti oleh kabilah lainnya. Ini adalah perubahan demografis dan sosiologis yang sangat drastis. Jika sebelumnya satu keluarga bisa terpecah karena ada satu anggotanya yang masuk Islam, kini satu suku secara kolektif berikrar di hadapan Rasulullah ﷺ.

Imam Al-Qurthubi

Imam Al-Qurthubi, dalam tafsirnya, menyoroti aspek kebahasaan dan makna yang lebih dalam. Beliau menjelaskan bahwa pemandangan manusia masuk Islam secara berbondong-bondong adalah salah satu tanda kenabian terbesar yang disaksikan langsung oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat. Ini adalah pemenuhan janji Allah yang disebutkan dalam ayat-ayat lain, bahwa agama ini akan dimenangkan di atas semua agama lainnya. Beliau juga menggarisbawahi bahwa kemenangan sejati bukanlah sekadar penguasaan teritorial, melainkan penaklukan hati dan pikiran manusia kepada kebenaran.

Sayyid Qutb

Dalam tafsirnya "Fi Zhilalil Qur'an", Sayyid Qutb mengajak kita untuk merasakan suasana psikologis dan spiritual dari ayat ini. Beliau menggambarkan bagaimana pemandangan ini menjadi penyejuk hati bagi Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang telah berkorban begitu banyak. Ayat ini, menurutnya, adalah sebuah "parade kemenangan" ilahiah yang ditampilkan di hadapan Rasul-Nya. Pemandangan manusia yang berduyun-duyun masuk ke dalam agama Allah adalah ganjaran, hiburan, dan peneguhan dari langit atas segala penderitaan yang telah mereka lalui.

Isyarat Tersembunyi: Tanda Selesainya Sebuah Misi Agung

Di balik Euforia kemenangan yang digambarkan oleh ayat ini, tersembunyi sebuah pesan yang lebih subtil dan mendalam, yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang memiliki pemahaman mendalam. Riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma adalah kunci untuk membuka tabir ini.

Dikisahkan bahwa ketika Surat An-Nasr turun, banyak sahabat senior yang bergembira karena melihatnya sebagai kabar kemenangan. Namun, Ibnu Abbas, yang saat itu masih muda, justru menangis. Ketika ditanya, beliau menjawab, "Ini adalah pertanda dekatnya ajal Rasulullah ﷺ."

Umar bin Khattab, yang mengakui kecerdasan Ibnu Abbas, kemudian menguji pemahaman para sahabat senior dengan menanyakan makna surat ini. Mereka memberikan jawaban yang umum, yaitu perintah untuk bersyukur saat kemenangan tiba. Namun, ketika giliran Ibnu Abbas, ia memberikan penjelasan yang sama: "Surat ini memberitahukan kepada Rasulullah ﷺ bahwa tugasnya di dunia telah selesai dan ajalnya telah dekat. Maka, Allah memerintahkannya untuk bersiap-tamat dengan memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar." Umar pun membenarkan pemahaman Ibnu Abbas tersebut.

Logikanya sederhana. Jika tujuan utama diutusnya seorang rasul adalah agar manusia masuk ke dalam agama Allah, dan kini tujuan itu telah tercapai secara masif—manusia telah masuk secara 'afwājā'—maka misi sang rasul telah paripurna. Dengan selesainya misi, maka berakhirlah pula masa tugasnya di dunia. Ayat kedua menjadi penanda puncak pencapaian, dan ayat ketiga (`Fasabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfirh`) menjadi arahan untuk persiapan menghadapi akhir dari perjalanan hidup yang mulia.

Hikmah dan Pelajaran untuk Kehidupan Modern

Meskipun ayat ini turun dalam konteks spesifik, pesannya bersifat abadi dan relevan bagi setiap muslim di setiap zaman. Beberapa pelajaran penting yang dapat kita petik dari bunyi surat An Nasr ayat kedua adalah:

1. Keyakinan pada Janji Allah

Pemandangan 'afwājā' adalah bukti empiris bahwa janji Allah itu pasti. Setelah kesabaran melewati masa-masa sulit, pertolongan-Nya pasti akan datang. Ini mengajarkan kita untuk tidak pernah putus asa dalam berjuang di jalan kebaikan, seberat apapun tantangan yang dihadapi. Hasil akhir ada di tangan Allah, dan tugas kita adalah berproses dengan penuh keyakinan dan kesabaran.

2. Kemenangan Sejati adalah Memenangkan Hati

Islam tidak tersebar dengan paksaan. Peristiwa Fathu Makkah dan konsekuensinya menunjukkan bahwa kekuatan akhlak, pengampunan, dan kasih sayang jauh lebih tajam dari pedang. Kemenangan yang digambarkan adalah kemenangan moral dan spiritual yang membuat manusia dengan sukarela tertarik pada keindahan Islam. Ini menjadi pedoman bagi kita dalam berdakwah dan berinteraksi, bahwa cara terbaik untuk mengajak kepada kebaikan adalah dengan menjadi teladan kebaikan itu sendiri.

3. Sikap yang Benar dalam Menghadapi Kesuksesan

Ketika kita melihat buah dari kerja keras kita—baik dalam karier, keluarga, maupun dakwah—ayat ini, yang terkait erat dengan ayat ketiga, mengajarkan kita untuk tidak menjadi sombong. Respon yang benar bukanlah menepuk dada, melainkan menundukkan kepala. Kesuksesan adalah momen untuk memperbanyak tasbih (menyucikan Allah), tahmid (memuji-Nya), dan istighfar (memohon ampunan-Nya), sebagai pengakuan bahwa semua itu terjadi semata-mata karena pertolongan dan karunia-Nya.

4. Pentingnya Persatuan dan Kebersamaan

Kata 'afwājā' menekankan kekuatan kolektif. Perubahan besar terjadi ketika manusia bergerak bersama dalam satu barisan. Ini mengajarkan pentingnya ukhuwah (persaudaraan), kerja sama, dan meninggalkan perpecahan untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Ketika umat bersatu dalam kebenaran, maka pertolongan Allah akan lebih mudah diraih.

Kesimpulan

Bunyi surat An Nasr ayat kedua, "wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā", adalah lebih dari sekadar rangkaian kata. Ia adalah sebuah lukisan verbal yang agung, sebuah rekaman sejarah yang monumental, sebuah janji ilahi yang terpenuhi, dan sebuah pelajaran abadi bagi umat manusia. Ayat ini menangkap esensi dari kemenangan Islam yang sejati: bukan penaklukan wilayah, melainkan pembebasan jiwa manusia dari kegelapan menuju cahaya.

Merenungi ayat ini membawa kita pada pemahaman tentang buah kesabaran, kekuatan pengampunan, dan pentingnya kerendahan hati dalam kesuksesan. Ia adalah pengingat bahwa di balik setiap kesulitan, ada kemudahan yang menanti, dan di puncak setiap pencapaian, ada kewajiban untuk semakin mendekatkan diri kepada Sang Pemberi Kemenangan. Ayat ini akan selamanya menjadi sumber inspirasi, optimisme, dan petunjuk bagi siapa saja yang merindukan pertolongan dan kemenangan dari Allah SWT.

🏠 Homepage