Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak hanya berhenti pada tataran normatif atau filosofis semata, namun juga harus memiliki dimensi aksiologis yang kuat. Dasar aksiologis Pancasila merujuk pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yang kemudian menjadi landasan etika, moral, dan arah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai ini adalah sumber dari segala sumber hukum dan pedoman dalam tindakan nyata para penyelenggara negara maupun warga negara.
Aksiologi sendiri merupakan cabang filsafat yang membahas tentang nilai (value). Dalam konteks Pancasila, dasar aksiologis menjawab pertanyaan, "Untuk apa Pancasila itu ada?" atau "Bagaimana nilai-nilai Pancasila diterapkan dalam realitas kehidupan?" Dasar aksiologis Pancasila merupakan landasan peranan Pancasila sebagai sistem nilai yang mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersifat objektif, artinya nilai-nilai tersebut melekat pada sila-sila Pancasila itu sendiri, terlepas dari apakah manusia mengakuinya atau tidak.
Kelima sila dalam Pancasila tersusun secara hierarkis dan sistematis, di mana sila pertama menjadi basis filosofis bagi sila-sila berikutnya. Hierarki ini memastikan bahwa setiap tindakan dan kebijakan harus berakar pada nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan diakhiri dengan tujuan mewujudkan keadilan sosial. Tanpa landasan aksiologis yang jelas, Pancasila hanya akan menjadi sekadar teori tanpa daya ikat moral yang menggerakkan implementasi kebijakan publik.
Dasar aksiologis Pancasila mencakup tiga tingkatan nilai, yang saling terkait erat:
Implementasi dasar aksiologis Pancasila sangat krusial bagi kesehatan moral bangsa. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi landasan etika bahwa segala tindakan kenegaraan harus menjunjung tinggi moralitas religius dan menjamin kebebasan beragama bagi seluruh warga negara. Ini menolak segala bentuk ateisme atau sekularisme ekstrem yang memisahkan moral dari tatanan negara.
Selanjutnya, sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menuntut negara untuk memperlakukan setiap warga negara secara setara, menghormati hak asasi manusia, dan menentang segala bentuk penindasan. Ini berarti bahwa kebijakan publik harus berbasis pada penghormatan martabat manusia. Sementara itu, Persatuan Indonesia (Sila Ketiga) menegaskan bahwa kepentingan kolektif bangsa harus didahulukan di atas kepentingan golongan atau individu, yang menjadi basis aksiologis bagi konsep NKRI.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Sila Keempat) memberikan landasan aksiologis bahwa pengambilan keputusan politik harus dilakukan melalui musyawarah mufakat, bukan melalui paksaan mayoritas yang bersifat diktator. Tujuan akhir dari seluruh proses bernegara ini adalah Keadilan Sosial (Sila Kelima), yang mewajibkan negara untuk terus berupaya mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial, memastikan bahwa hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Secara keseluruhan, dasar aksiologis Pancasila berfungsi sebagai kompas moral. Ia memastikan bahwa meskipun metode (instrumental) dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman dan teknologi, arah tujuan (nilai dasar) tidak pernah bergeser dari cita-cita luhur pendiri bangsa. Jika nilai aksiologis ini terabaikan, maka kebijakan yang dihasilkan, meskipun tampak modern, berpotensi menyimpang dari jiwa kebangsaan Indonesia.