Ilustrasi Tulusnya Perasaan
Kisah cinta antara Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra, putri tercinta Rasulullah SAW, adalah salah satu narasi paling agung dalam sejarah Islam. Ini bukanlah kisah cinta yang dibumbui oleh nafsu duniawi, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang dipenuhi rasa malu, hormat, dan dihiasi dengan doa yang tulus memohon ridha Ilahi.
Ali, seorang pemuda gagah berani, dikenal karena keteguhannya dalam iman dan kesederhanaannya. Jauh sebelum meminta izin untuk menikahi Fatimah, hatinya telah terlebih dahulu tertambat. Namun, karena rasa hormat yang mendalam kepada Rasulullah SAW dan kesadaran akan kedudukannya sebagai putri mulia, Ali menahan perasaannya. Ia tahu bahwa untuk mendapatkan wanita semulia Fatimah, ia harus mempersiapkan diri, baik secara spiritual maupun materiil, meskipun kemampuannya terbatas.
Dalam masa penantian dan keraguan itu, Ali seringkali menenggelamkan diri dalam munajat kepada Allah SWT. Doa Ali ketika jatuh cinta pada Fatimah bukanlah permintaan yang terang-terangan, melainkan ungkapan kerinduan hati yang berserah penuh. Ia meminta petunjuk dan kemudahan agar dipertemukan dengan jalan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.
"Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui isi hati hamba-Mu ini. Jika memang wanita yang paling mulia dan paling suci di sisi Rasulullah ini adalah jalan kebahagiaan dunia dan akhirat hamba, maka permudahkanlah urusanku untuk meraihnya. Jika tidak, maka hilangkanlah rasa ini dan gantilah dengan yang lebih baik bagiku, karena hanya Engkaulah yang mengetahui kebaikan sejati."
Doa ini mencerminkan sifat Ali yang sangat tawakal. Ia tidak memaksakan kehendak, melainkan menyerahkan sepenuhnya hasil akhirnya kepada Kekuatan Yang Maha Kuasa. Rasa cintanya kepada Fatimah adalah murni karena melihat kesalehan, ketakwaan, dan akhlak mulia yang terpancar dari diri putri Nabi.
Setelah memantapkan niat dan hati melalui doa-doa yang khusyuk, Ali memutuskan untuk mengambil langkah yang diyakini akan mendatangkan berkah: meminang secara resmi. Kepercayaan diri Ali tidak datang dari kekayaan harta, melainkan dari keyakinan akan dukungan Allah dan kesiapan pribadinya untuk mengemban tanggung jawab sebagai suami dari wanita teragung.
Ketika Ali datang menghadap Rasulullah SAW, ia tidak perlu banyak bicara. Kehadirannya yang penuh wibawa dan keseriusan hatinya telah tersampaikan. Rasulullah SAW, yang Maha Mengenal hati sahabatnya, justru tersenyum dan bertanya, "Wahai Ali, apakah engkau datang untuk membicarakan sesuatu?" Ali menjawab dengan singkat namun penuh makna, mengutarakan niatnya meminang Fatimah.
Jawaban Rasulullah SAW sangat terkenal. Beliau berkata, "Aku telah menahan Fatimah untukmu, dan aku telah meminta restu darinya. Ia telah diam, dan diamnya adalah persetujuannya." Ini adalah puncak dari penantian dan doa yang dipanjatkan Ali. Pernikahan yang terjadi kemudian menjadi teladan sempurna.
Pernikahan Ali dan Fatimah menjadi simbol bahwa cinta sejati yang dibangun di atas landasan iman dan kesucian akan selalu menemukan jalan kemudahan, meskipun rintangan materiil tampak menghalangi. Doa Ali ketika jatuh cinta pada Fatimah mengajarkan kita bahwa sebelum melangkah ke dunia nyata, hati harus terlebih dahulu 'berbicara' kepada Tuhan, memohon keberkahan atas niat yang suci.
Kisah ini memberikan pelajaran berharga. Cinta yang didasarkan pada ketaatan dan akhlak akan menghasilkan keturunan yang mulia dan keberkahan abadi. Ali tidak memuja kecantikan fisik semata, tetapi menghargai cahaya spiritual Fatimah. Ia memohon kepada Allah agar cintanya tidak menjadi fitnah, melainkan menjadi sarana mendekatkan diri kepada-Nya.
Hingga akhir hayatnya, rumah tangga mereka dikenal sebagai miniatur surga di bumi. Setiap masalah diselesaikan dengan musyawarah yang didasari rasa hormat timbal balik, hasil dari pondasi doa dan ketulusan yang dibangun Ali sejak awal perasaannya bersemi. Doa yang tulus selalu didengar oleh Pemilik Hati.