Administrasi, sebagai seni dan ilmu dalam mengelola sumber daya untuk mencapai tujuan bersama, tidak dapat dipisahkan dari akar filosofisnya. Dua lensa utama yang krusial dalam memahami substansi administrasi yang baik adalah aksiologi dan etika. Filsafat administrasi yang memadai harus mampu menjembatani antara apa yang seharusnya dicapai (nilai/aksiologi) dengan bagaimana cara mencapainya (moralitas/etika).
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu *axios* (nilai) dan *logos* (ilmu). Dalam konteks administrasi, aksiologi berfokus pada studi tentang nilai-nilai yang mendasari praktik administrasi. Ini menjawab pertanyaan fundamental: "Apa yang dianggap baik, berguna, atau berharga dalam proses pengelolaan?" Nilai-nilai ini bukan sekadar preferensi subjektif, melainkan prinsip yang dianut untuk menentukan arah dan prioritas kebijakan.
Nilai-nilai aksiologis dalam administrasi sering kali terkait dengan efektivitas, efisiensi, keberlanjutan, dan kemanfaatan publik. Misalnya, sebuah proyek infrastruktur dikatakan bernilai tinggi secara aksiologis jika ia mampu memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat luas dengan penggunaan sumber daya yang minimal. Filsafat aksiologis menuntut administrator untuk terus mengevaluasi kembali tujuan akhir mereka. Apakah tujuan yang dikejar masih relevan? Apakah dampak positif yang dihasilkan sepadan dengan biaya sosial dan ekonomi yang dikeluarkan? Administrasi tanpa landasan aksiologis yang kuat cenderung menjadi kegiatan rutinitas yang tanpa arah, hanya sibuk bekerja tanpa mempertimbangkan apakah pekerjaan itu benar-benar memberikan nilai.
Jika aksiologi menjawab "apa yang bernilai," maka etika menjawab "bagaimana seharusnya kita bertindak untuk mencapai nilai tersebut?" Etika administrasi adalah cabang dari filsafat moral yang mengkhususkan diri pada prinsip-prinsip moral yang harus dipatuhi oleh para pengelola dalam menjalankan tugasnya. Ini mencakup integritas, transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Etika menjadi pagar pembatas bagi kekuasaan administratif. Kekuasaan yang besar tanpa batasan etis akan rentan terhadap korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang. Etika memastikan bahwa proses pencapaian tujuan (aksiologis) dilakukan dengan cara yang benar, terhormat, dan adil. Ketika administrator dihadapkan pada dilema, misalnya antara memilih kontraktor yang menawarkan harga termurah (efisiensi aksiologis) namun memiliki rekam jejak buram, kode etiklah yang menjadi panduan utama untuk memilih opsi yang paling bertanggung jawab secara moral.
Integrasi antara aksiologi dan etika adalah kunci menuju administrasi yang paripurna. Keduanya harus berjalan beriringan; tujuan yang baik (aksiologi) tidak membenarkan cara yang buruk (anti-etika), dan cara yang etis tidak berguna jika tidak menghasilkan nilai apa pun.
Bayangkan sebuah instansi publik harus segera mengadakan alat kesehatan dalam situasi darurat.
Jika administrator hanya fokus pada aspek aksiologis (kecepatan), mereka mungkin mengambil jalan pintas, membeli barang di bawah standar dari vendor yang tidak terverifikasi, yang berpotensi merugikan pasien di kemudian hari. Sebaliknya, jika mereka terlalu kaku pada prosedur etis standar (misalnya, menunggu tender yang memakan waktu), tujuan utama penyelamatan nyawa akan terhambat. Oleh karena itu, filsafat administrasi yang matang menuntut adanya penyesuaian etis—seperti penerapan prosedur darurat yang diawasi ketat—untuk tetap mencapai nilai tertinggi (penyelamatan nyawa) tanpa mengorbankan prinsip moral inti.
Filsafat administrasi, ketika ditinjau melalui lensa aksiologis dan etis, mengajarkan bahwa administrasi bukan sekadar manajemen operasional, melainkan sebuah disiplin moral yang bertujuan luhur. Administrator modern harus menjadi filsuf praktis, yang secara konstan menimbang antara pencapaian tujuan yang berharga dan pelaksanaan tugas dengan cara yang benar. Keberhasilan sejati dalam administrasi publik maupun privat diukur tidak hanya dari apa yang dicapai, tetapi juga dari bagaimana pencapaian itu diraih.