Mengenal Lebih Dekat Huruf Abjad Pegon

Dalam kekayaan khazanah aksara Nusantara, terdapat satu jenis tulisan yang memegang peranan penting dalam penyebaran ilmu pengetahuan, agama, dan budaya, terutama di kalangan umat Islam di Jawa dan sekitarnya. Tulisan tersebut dikenal sebagai aksara Pegon, atau terkadang juga disebut sebagai Jawi. Aksara Pegon pada dasarnya adalah modifikasi dari aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu. Penggunaannya mencapai puncak kejayaan pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, menjadi media utama dalam kitab-kitab kuning dan karya-karya sastra lokal.

أبجد بيغون Aksara Arab untuk Bahasa Lokal
Simbol visual yang merepresentasikan aksara Pegon

Sejarah dan Perkembangan Aksara Pegon

Aksara Pegon bukanlah sistem penulisan yang sepenuhnya baru, melainkan merupakan adaptasi. Sejak abad ke-13, penyebaran Islam di Nusantara telah membawa serta aksara Arab. Namun, bahasa yang digunakan oleh masyarakat lokal memiliki fonem (bunyi) yang berbeda dengan bahasa Arab. Untuk mengatasi kesenjangan ini, para ulama dan cendekiawan mulai menyesuaikan aksara Arab dengan menambahkan beberapa diakritik atau tanda baca khusus, serta meminjam beberapa huruf dari aksara Persia dan Urdu. Tujuannya adalah agar setiap bunyi dalam bahasa lokal dapat terwakili secara akurat.

Proses adaptasi ini menghasilkan sistem penulisan yang khas. Huruf-huruf Arab yang sudah ada tetap menjadi tulang punggung, namun beberapa huruf mendapatkan tambahan titik atau garis untuk mewakili bunyi yang tidak ada dalam bahasa Arab, seperti bunyi 'ca', 'ga', 'nya', 'ng', 'pa', dan 'va'. Seiring waktu, penggunaan aksara Pegon semakin meluas, mendominasi literatur keagamaan, pendidikan di pesantren, dan bahkan karya sastra lokal yang bersifat didaktis maupun naratif. Keberadaan aksara Pegon menjadi bukti nyata kemampuan adaptasi budaya lokal terhadap pengaruh asing tanpa kehilangan jati dirinya.

Struktur dan Karakteristik Huruf Abjad Pegon

Inti dari aksara Pegon adalah penggunaan huruf-huruf hijaiyah sebagai dasar. Namun, untuk menuliskan bahasa-bahasa daerah, diperlukan penyesuaian. Beberapa huruf Arab standar tetap digunakan seperti biasa, namun banyak huruf yang mengalami modifikasi. Modifikasi ini umumnya berupa penambahan titik (nuqta) di posisi yang berbeda, atau penggunaan kombinasi titik.

Contoh penyesuaian yang sering dijumpai adalah:

Selain penambahan titik, ada juga penggunaan huruf-huruf Arab yang secara khusus mewakili konsonan atau vokal tertentu yang tidak ada dalam bahasa Arab. Misalnya, untuk mewakili bunyi 'e' pepet yang umum dalam bahasa Jawa, kadang digunakan tanda baca khusus atau kombinasi huruf. Fleksibilitas inilah yang membuat aksara Pegon mampu merekam kekayaan fonetik bahasa-bahasa daerah di Nusantara.

Peran dan Relevansi Aksara Pegon di Masa Kini

Meskipun kehadiran aksara Latin semakin dominan seiring perkembangan zaman dan sistem pendidikan formal, aksara Pegon tidak lantas menghilang. Ia tetap hidup dan relevan, terutama dalam ranah keagamaan dan tradisi. Pesantren-pesantren di berbagai daerah masih menggunakan aksara Pegon dalam pengajaran kitab-kitab kuning. Para santri belajar membaca dan menulis dalam aksara ini untuk memahami warisan intelektual ulama terdahulu.

Lebih dari sekadar alat tulis, aksara Pegon juga merupakan simbol identitas budaya. Ia merepresentasikan kearifan lokal yang mampu mengadaptasi dan mengintegrasikan pengaruh dari luar untuk memperkaya khazanah budaya sendiri. Melestarikan aksara Pegon berarti menjaga salah satu warisan berharga dari peradaban Nusantara. Berbagai upaya terus dilakukan, mulai dari dokumentasi, studi, hingga pengenalan kembali kepada generasi muda, agar keindahan dan fungsi aksara Pegon dapat terus dinikmati.

Memahami huruf abjad Pegon membuka jendela untuk melihat bagaimana masyarakat terdahulu berinteraksi dengan pengetahuan dan budaya. Ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini, bukti kehebatan intelektual dan adaptabilitas budaya Nusantara yang patut kita banggakan dan lestarikan.

🏠 Homepage