Ibnu Muljam, nama yang terukir dalam lembaran sejarah Islam dengan tinta yang gelap, adalah sosok yang identik dengan peristiwa tragis pembunuhan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kisah mengenai tempat peristirahatan terakhirnya, atau yang sering dikaitkan sebagai makam Ibnu Muljam, selalu menyelimuti aura kontroversi, misteri, dan pelajaran mendalam tentang konsekuensi fanatisme. Meskipun detail pasti mengenai lokasinya seringkali menjadi perdebatan akademis dan legenda lokal, keberadaan makam atau tempat di mana ia dieksekusi tetap menjadi titik ziarah (atau penghindaran) bagi mereka yang menelusuri sejarah Islam awal.
Ibnu Muljam adalah seorang Khawarij, salah satu sekte yang muncul akibat perselisihan politik pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. Ia memimpin konspirasi untuk menghilangkan tiga tokoh kunci politik pada masa itu—Ali bin Abi Thalib, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin al-'Ash—dengan keyakinan bahwa tindakan ini akan mengakhiri perselisihan umat dan mengembalikan Islam pada kemurnian yang mereka yakini. Eksekusi yang berhasil dilakukan terhadap Khalifah Ali di Masjid Kufah pada tahun 40 Hijriyah merupakan titik balik yang memecah belah umat Islam semakin dalam.
Setelah aksi pembunuhan tersebut, Ibnu Muljam ditangkap. Mengenai nasib dan pemakamannya, terdapat beberapa versi cerita yang beredar di kalangan sejarawan dan tradisi lisan. Salah satu narasi populer menyebutkan bahwa ia tidak dimakamkan secara layak, melainkan dieksekusi di tempat dan mayatnya diperlakukan sebagai simbol hukuman atas kejahatan besarnya. Namun, di berbagai wilayah, khususnya di wilayah yang pernah dikuasai oleh pengaruh Khawarij atau lokasi yang terkait dengan perjalanan Ibnu Muljam setelah peristiwa pembunuhan, muncul klaim mengenai adanya sebuah makam Ibnu Muljam.
Salah satu lokasi yang sering disebut-sebut terletak di wilayah Najaf, Irak, dekat dengan makam Khalifah Ali. Namun, penting untuk ditekankan bahwa makam yang diyakini sebagai tempat pemakaman Ibnu Muljam umumnya tidak diperlakukan sebagai situs suci atau ziarah keagamaan yang dihormati, melainkan sebagai penanda historis atas sebuah kejahatan besar. Bagi banyak sejarawan, fokus utama bukanlah pada makamnya, melainkan pada dampak ideologis dan politik yang ditimbulkan oleh tindakannya. Keberadaan fisik makam tersebut seringkali lebih banyak berfungsi sebagai museum sejarah yang suram daripada sebagai objek pemujaan.
Meskipun raga Ibnu Muljam telah lama sirna, warisan ideologis yang diwakilinya—yaitu sikap takfir (mengkafirkan sesama Muslim) dan ekstremisme—terus menjadi pelajaran penting. Kisah pembunuhan tersebut menjadi pengingat abadi mengenai bahaya interpretasi agama yang kaku dan penggunaan kekerasan atas nama keyakinan. Oleh karena itu, ketika membahas makam Ibnu Muljam, pembicaraan seringkali meluas dari sekadar geografi makam menuju refleksi etika dan sejarah.
Dalam konteks studi Islamologi, identifikasi pasti lokasi makam Ibnu Muljam menjadi tantangan karena minimnya catatan otentik yang detail mengenai pemakamannya pasca eksekusi. Sebagian sumber mengatakan ia dibunuh di tempat ia ditangkap, sementara yang lain mengaitkannya dengan area tertentu. Ketidakpastian ini menambah lapisan misteri pada tokoh yang sudah kontroversial ini. Seiring berjalannya waktu, narasi tentang makam tersebut bercampur dengan legenda lokal yang bertujuan untuk menandai tempat yang dianggap 'ternoda' oleh perbuatannya.
Pada akhirnya, pembahasan mengenai makam Ibnu Muljam mengingatkan kita bahwa sejarah tidak hanya mencakup tokoh-tokoh besar yang dihormati, tetapi juga mereka yang menjadi simbol pengkhianatan dan kekerasan politik. Situs-situs yang diklaim sebagai makamnya, terlepas dari kebenarannya secara arkeologis, berfungsi sebagai titik fokus visual bagi ingatan kolektif tentang tragedi besar tersebut. Mereka adalah pengingat bahwa di balik setiap narasi keagungan, terdapat sisi gelap sejarah yang harus dipelajari agar tidak terulang kembali.