Ilustrasi simbolis pengetahuan hukum Islam
Ibnu Abidin, nama lengkapnya adalah Muhammad Amin bin Umar bin Abidin, merupakan salah satu tokoh ulama Sunni terbesar dalam mazhab Hanafi. Beliau dikenal luas berkat karyanya yang monumental dalam bidang fiqih (hukum Islam), yang menjadi rujukan utama bagi para pengikut mazhab Hanafi hingga saat ini. Lahir dan tumbuh di masa kejayaan Kekaisaran Utsmaniyah di Damaskus, keilmuan Ibnu Abidin melampaui batas geografis, menjadikannya otoritas yang dihormati lintas generasi.
Ibnu Abidin lahir di sebuah keluarga terpandang yang memiliki tradisi keilmuan yang kuat. Sejak usia muda, ia menunjukkan kecemerlangan intelektual yang luar biasa. Ia memulai pendidikannya dengan mempelajari Al-Qur'an dan dasar-dasar ilmu agama di lingkungan keluarganya. Dedikasi dan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan membawanya untuk menimba ilmu dari para ulama terkemuka di zamannya, khususnya di Damaskus. Ia mendalami berbagai disiplin ilmu agama, termasuk tafsir, hadis, ushul fiqih, dan terutama kalam serta tasawuf, namun puncaknya adalah pada penguasaan fiqih Hanafi. Guru-guru beliau berperan penting dalam membentuk kerangka berpikirnya yang kritis namun tetap berpegang teguh pada tradisi keilmuan yang mapan.
Puncak warisan intelektual Ibnu Abidin tertuang dalam karyanya yang paling terkenal, yaitu Raddul Muhtar 'ala Ad-Durr Al-Mukhtar, yang sering disingkat menjadi Hasyiyah Ibnu Abidin. Kitab ini adalah syarah (komentar) terhadap kitab Ad-Durr Al-Mukhtar karya Imam 'Ala'uddin Al-Haskafi. Meskipun merupakan komentar, Raddul Muhtar jauh melampaui sekadar penjelasan; ia adalah ensiklopedia fiqih Hanafi yang komprehensif.
Dalam kitab tersebut, Ibnu Abidin tidak hanya menjelaskan teks asli, tetapi juga menganalisis, membandingkan pendapat-pendapat ulama Hanafi sebelumnya, serta memberikan solusi hukum (fatwa) yang disesuaikan dengan perkembangan sosial dan budaya pada masanya. Keistimewaan karyanya terletak pada kedalaman analisisnya yang menggabungkan logika hukum (qaidah ushuliyyah) dengan dalil-dalil naqli (Al-Qur'an dan Sunnah). Ia dikenal sangat teliti dalam menimbang perbedaan pendapat (ikhtilaf) di antara para fuqaha (ahli fiqih) Hanafi, dan seringkali memberikan rekomendasi akhir yang menjadi pegangan (mutamad) bagi madzhab tersebut.
Ibnu Abidin diakui sebagai seorang mujaddid (pembaharu) dalam fikih Hanafi. Pada masanya, terdapat kebutuhan mendesak untuk mengkompilasi dan mengkodifikasi pandangan mazhab agar mudah diakses dan diterapkan di tengah dinamika kehidupan modern yang mulai muncul. Ia berhasil menyaring ribuan masalah fiqih menjadi kerangka yang terstruktur. Metodologinya mencakup penggunaan kaidah-kaidah umum (qawa'id fiqhiyyah) untuk menangani kasus-kasus baru yang belum pernah dibahas secara eksplisit oleh ulama terdahulu. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Ibnu Abidin adalah seorang ahli hukum yang fleksibel namun tetap otoritatif.
Selain fiqih, Ibnu Abidin juga mendalami tasawuf, bahkan menjadi salah satu pengikut tarekat Naqsyabandiyah. Integrasi antara pemahaman hukum yang ketat dan dimensi spiritualitas ini memberikan dimensi tersendiri pada pandangannya, menekankan pentingnya integritas moral dalam praktik keagamaan. Penguasaan beliau atas berbagai disiplin ilmu ini memastikan bahwa fatwa dan pandangan yang disampaikannya tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga memiliki kedalaman spiritual yang menenangkan.
Meskipun hidup berabad-abad yang lalu, pengaruh Ibnu Abidin tidak pernah lekang. Hasyiyah-nya menjadi kitab wajib bagi para pelajar hukum Islam yang mengikuti jalur Hanafi, baik di Timur Tengah, Asia Selatan, maupun Asia Tenggara. Karya-karyanya menjadi jembatan penting yang menghubungkan generasi klasik dengan tantangan kontemporer. Kehati-hatiannya dalam berfatwa dan keluasan cakrawala keilmuannya memastikan bahwa warisan Ibnu Abidin akan terus dipelajari dan dihormati sebagai salah satu pilar utama dalam khazanah hukum Islam Sunni.