Iradat Artinya: Memahami Kehendak Mutlak Allah SWT

Dalam samudra kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian, pertanyaan mendasar sering kali muncul di benak manusia: Mengapa ini terjadi padaku? Apakah semua ini sudah ditakdirkan? Di manakah posisi kehendak saya di tengah kehendak Tuhan yang Mahakuasa? Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita pada salah satu konsep paling fundamental dalam akidah Islam, yaitu Iradat Allah. Memahami iradat artinya bukan sekadar menambah wawasan teologis, tetapi juga fondasi untuk membangun ketenangan jiwa, kesabaran, dan tawakal yang kokoh dalam menghadapi setiap episode kehidupan.

Iradat adalah salah satu sifat wajib bagi Allah SWT, yang berarti kehendak. Namun, makna "kehendak" di sini jauh lebih dalam dan absolut dibandingkan dengan kehendak makhluk. Ia adalah sebuah sifat yang menegaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, dari pergerakan atom terkecil hingga peredaran galaksi terbesar, dari napas pertama seorang bayi hingga jatuhnya sehelai daun kering, semuanya terjadi atas kehendak-Nya. Tidak ada satu peristiwa pun yang luput dari Iradat-Nya. Artikel ini akan mengupas secara mendalam makna, pembagian, serta implikasi iman kepada Iradat Allah dalam kehidupan seorang hamba.

Ilustrasi Konsep Iradat Will Ilustrasi Konsep Iradat atau Kehendak Ilahi yang menjadi pusat dan mencakup segalanya.

Definisi dan Makna Mendasar Iradat

Untuk memahami sebuah konsep secara utuh, kita perlu menelusurinya dari akar bahasa dan definisi istilahnya dalam konteks keilmuan yang relevan. Hal ini juga berlaku untuk Iradat.

Makna Secara Bahasa (Etimologi)

Kata "Iradat" (إِرَادَة) berasal dari akar kata dalam bahasa Arab, yaitu arāda - yurīdu - irādatan (أَرَادَ - يُرِيْدُ - إِرَادَةً). Secara harfiah, kata ini memiliki beberapa arti, di antaranya adalah:

Dari makna bahasa ini, kita dapat menangkap esensi Iradat sebagai sebuah kekuatan aktif yang memiliki tujuan, pilihan, dan kemauan yang pasti.

Makna Secara Istilah (Terminologi)

Dalam ilmu akidah atau teologi Islam, Iradat Allah didefinisikan sebagai sifat azali (ada tanpa permulaan) yang melekat pada Dzat Allah, yang menentukan terjadinya salah satu dari dua hal yang mungkin terjadi pada waktu yang telah ditentukan. Sederhananya, Iradat adalah sifat Allah yang dengannya Allah menghendaki segala sesuatu terjadi atau tidak terjadi.

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah, khususnya dari kalangan Asy'ariyah dan Maturidiyah, menempatkan Iradat sebagai salah satu dari Sifat 20 yang wajib diketahui oleh setiap Muslim. Sifat ini menegaskan bahwa tidak ada satupun kejadian di alam raya ini yang bersifat kebetulan atau terjadi di luar kehendak-Nya. Semua telah berada dalam ketetapan kehendak-Nya yang Maha Sempurna. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur'an:

"Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, 'Jadilah!' Maka jadilah ia." (QS. Yasin: 82)

Ayat ini menunjukkan betapa absolut dan efektifnya Iradat Allah. Kehendak-Nya tidak memerlukan proses, waktu, atau bantuan dari pihak lain. Begitu Dia berkehendak, maka hal itu pasti terjadi seketika.

Pembagian Iradat: Kunci Memahami Takdir dan Syariat

Salah satu poin krusial dalam memahami Iradat adalah dengan mengetahui pembagiannya. Para ulama membagi Iradat Allah menjadi dua jenis yang berbeda namun tidak bertentangan. Perbedaan ini membantu kita menjawab paradoks tentang mengapa keburukan terjadi padahal Allah Maha Baik, atau mengapa ada yang bermaksiat padahal Allah memerintahkan ketaatan. Kedua jenis Iradat tersebut adalah Iradat Kauniyah Qadariyah dan Iradat Syar'iyah Diniyah.

1. Iradat Kauniyah (Kehendak Universal/Penciptaan)

Iradat Kauniyah adalah kehendak Allah yang berkaitan dengan penciptaan dan pelaksanaan segala sesuatu di alam semesta. Iradat jenis ini mencakup semua peristiwa tanpa terkecuali, baik yang dicintai Allah maupun yang dibenci-Nya, baik itu keimanan maupun kekufuran, ketaatan maupun kemaksiatan, sehat maupun sakit, hidup maupun mati.

Ciri-ciri utama Iradat Kauniyah:

Dalil mengenai Iradat Kauniyah sangat banyak di dalam Al-Qur'an, di antaranya:

"Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia akan menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki." (QS. Al-An'am: 39)

Ayat ini menunjukkan bahwa hidayah dan kesesatan, dari sisi penciptaannya, terjadi atas kehendak universal Allah. Contoh lain adalah penciptaan segala sesuatu, baik dan buruk. Allah berkehendak menciptakan Abu Bakar yang beriman, sekaligus berkehendak menciptakan Abu Jahal yang kafir. Keduanya ada di alam wujud karena termasuk dalam Iradat Kauniyah Allah.

2. Iradat Syar'iyah (Kehendak Legislatif/Keagamaan)

Iradat Syar'iyah adalah kehendak Allah yang berkaitan dengan apa yang Dia cintai dan ridai. Kehendak ini termanifestasi dalam bentuk perintah (syariat) dan larangan-Nya yang diturunkan melalui para rasul dan kitab-kitab suci. Iradat ini adalah tentang apa yang Allah ingin hamba-hamba-Nya lakukan.

Ciri-ciri utama Iradat Syar'iyah:

Dalil mengenai Iradat Syar'iyah juga banyak ditemukan dalam Al-Qur'an:

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah: 185)

Ayat ini jelas menunjukkan apa yang Allah inginkan bagi hamba-Nya dalam syariat, yaitu kemudahan. Contoh lainnya adalah perintah untuk beriman. Allah berkehendak secara syar'i agar semua manusia beriman kepada-Nya, meskipun secara kauni banyak yang tidak beriman.

Hubungan Antara Iradat Kauniyah dan Syar'iyah

Memahami hubungan keduanya adalah puncak pemahaman. Mari kita lihat pada contoh seorang mukmin yang taat dan seorang kafir yang bermaksiat.

Dengan pemisahan ini, akidah Ahlus Sunnah menjadi jelas. Terjadinya keburukan di dunia ini adalah bagian dari Iradat Kauniyah Allah karena hikmah yang hanya Dia ketahui secara sempurna, namun itu tidak berarti Allah meridai atau mencintai keburukan tersebut. Kehendak cinta dan rida-Nya hanya terletak pada Iradat Syar'iyah.

Kaitan Erat Iradat dengan Konsep Akidah Lainnya

Sifat-sifat Allah saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Memahami Iradat akan semakin kokoh jika kita melihat hubungannya dengan sifat dan konsep akidah lainnya, terutama Qudrat, Ilmu, dan Takdir.

Iradat dan Qudrat (Kehendak dan Kekuasaan)

Iradat dan Qudrat adalah dua sifat yang tak terpisahkan, seperti dua sisi dari satu koin. Iradat adalah sifat yang 'menentukan' atau 'memilih' apa yang akan terjadi. Sedangkan Qudrat (Kekuasaan) adalah sifat yang 'melaksanakan' atau 'mewujudkan' apa yang telah ditentukan oleh Iradat.

Tidak ada sesuatu yang dikehendaki (Iradat) oleh Allah, kecuali Dia pasti mampu (Qudrat) untuk mewujudkannya. Sebaliknya, tidak ada sesuatu yang Allah wujudkan dengan Qudrat-Nya, kecuali hal itu telah Dia kehendaki dengan Iradat-Nya. Hubungan ini mematahkan anggapan bahwa Tuhan mungkin menginginkan sesuatu tetapi tidak mampu melakukannya, atau melakukan sesuatu tanpa kehendak. Keduanya berjalan seiring, menunjukkan kesempurnaan-Nya. Apa yang Dia kehendaki, Dia kuasa. Dan apa yang Dia kuasai untuk dilakukan, pasti sesuai dengan kehendak-Nya.

Iradat dan Ilmu (Kehendak dan Pengetahuan)

Iradat Allah tidaklah buta, acak, atau sewenang-wenang. Kehendak-Nya selalu didasari oleh Ilmu-Nya yang Maha Luas dan Maha Sempurna. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu: yang telah terjadi, yang sedang terjadi, yang akan terjadi, dan bahkan yang tidak terjadi, Dia tahu bagaimana jika itu terjadi.

Sebelum Allah menghendaki sesuatu terjadi, Dia telah mengetahuinya secara detail dalam Ilmu-Nya yang azali. Kehendak-Nya untuk menciptakan alam semesta dengan segala isinya, termasuk detail nasib setiap makhluk, selaras dengan Ilmu-Nya yang tak terbatas. Ini memberikan keyakinan bahwa setiap ketetapan dan kehendak-Nya mengandung hikmah yang agung, meskipun terkadang hikmah itu tersembunyi dari pandangan terbatas kita sebagai manusia.

Iradat, Takdir, dan Pilihan Manusia (Ikhtiyar)

Ini adalah area pembahasan yang paling sering menimbulkan perdebatan. Jika semua terjadi atas Iradat Allah, di mana letak kebebasan dan tanggung jawab manusia? Inilah yang dijelaskan dalam pilar-pilar iman kepada takdir.

Iman kepada takdir mencakup empat tingkatan:

  1. Al-Ilmu (Pengetahuan): Meyakini bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi.
  2. Al-Kitabah (Penulisan): Meyakini bahwa Allah telah menuliskan semua takdir di Lauh Mahfuz.
  3. Al-Masyi'ah/Al-Iradah (Kehendak): Meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak (Iradat Kauniyah) Allah. Inilah poin yang sedang kita bahas.
  4. Al-Khalq (Penciptaan): Meyakini bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, termasuk perbuatan hamba-hamba-Nya.

Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengambil jalan tengah di antara dua kelompok ekstrem: Jabariyah (yang meyakini manusia tidak punya pilihan sama sekali, seperti robot) dan Qadariyah (yang meyakini manusia adalah pencipta perbuatannya sendiri, lepas dari kehendak Tuhan).

Pandangan yang seimbang adalah: Allah menciptakan perbuatan manusia, namun manusialah yang melakukan perbuatan itu dengan pilihan dan kehendaknya sendiri. Manusia diberi akal dan kemampuan untuk memilih antara baik dan buruk (ikhtiyar). Pilihan inilah yang menjadi dasar adanya pahala dan dosa, surga dan neraka. Kehendak manusia ini nyata dan benar-benar ada, namun kehendak tersebut tidak keluar dari lingkup Iradat Kauniyah Allah yang lebih besar. Ibaratnya, kita diberi kebebasan untuk bergerak di dalam sebuah kapal. Kita bisa memilih berjalan ke dek kanan atau kiri, duduk atau berdiri, tetapi kita tidak bisa keluar dari kapal yang sedang berlayar menuju tujuan yang telah ditentukan oleh nakhoda. Kehendak kita ada, tapi dalam koridor kehendak Allah yang Maha Agung.

Implikasi Iman kepada Iradat dalam Kehidupan Sehari-hari

Memahami Iradat bukanlah sekadar latihan intelektual. Keyakinan ini memiliki dampak yang sangat nyata dan mendalam bagi kesehatan mental, spiritual, dan perilaku seorang Muslim.

1. Melahirkan Ketenangan Jiwa (Thuma'ninah)

Ketika seseorang benar-benar meyakini bahwa apa pun yang menimpanya—baik itu kesuksesan, kegagalan, kesehatan, maupun penyakit—semuanya terjadi atas Iradat Allah yang penuh hikmah, maka hatinya akan menjadi tenang. Ia tidak akan dilanda kecemasan berlebihan terhadap masa depan, karena ia tahu masa depan ada dalam genggaman Kehendak-Nya. Ia juga tidak akan tenggelam dalam penyesalan mendalam atas masa lalu, karena ia paham bahwa apa yang telah terjadi tidak mungkin bisa diubah dan itu adalah bagian dari ketetapan-Nya. Ia menerima takdir dengan lapang dada, sembari terus berusaha melakukan yang terbaik.

2. Memupuk Sifat Tawakal yang Sejati

Tawakal adalah menyandarkan hati sepenuhnya kepada Allah setelah melakukan usaha (ikhtiar) secara maksimal. Iman kepada Iradat adalah fondasi dari tawakal. Seorang petani akan mencangkul tanahnya, menabur benih terbaik, dan mengairinya. Ini adalah wilayah ikhtiarnya. Namun, soal apakah benih itu akan tumbuh subur, apakah hujan akan turun, atau apakah hama akan menyerang, semua itu ia serahkan kepada Iradat Allah. Ia melakukan bagiannya, dan menyerahkan hasilnya kepada Sang Pemilik Kehendak. Inilah keseimbangan sempurna antara usaha dan kepasrahan.

3. Menjadi Pribadi yang Sabar dan Syukur

Iman kepada Iradat membentuk dua pilar karakter yang agung: sabar saat ditimpa musibah dan syukur saat mendapat nikmat. Ketika musibah datang, ia melihatnya sebagai bagian dari Iradat Kauniyah Allah yang pasti mengandung kebaikan tersembunyi. Ia bersabar, tidak mengeluh, dan introspeksi diri. Sebaliknya, ketika nikmat datang, ia sadar bahwa kesuksesan itu bukanlah semata-mata karena kehebatan dirinya, melainkan karena Iradat Allah yang memberinya kemudahan dan karunia. Kesadaran ini menjauhkannya dari sifat sombong dan membuatnya menjadi hamba yang pandai bersyukur.

4. Memberikan Keberanian dan Menghilangkan Rasa Takut

Keyakinan bahwa tidak ada satu pun bahaya yang dapat menimpa diri kecuali atas Iradat Allah akan menumbuhkan keberanian luar biasa. Ia tidak akan takut kepada manusia, ancaman, atau makhluk apa pun. Rasa takutnya hanya tertuju kepada Allah. Ia akan berani memperjuangkan kebenaran karena ia yakin bahwa ajal, rezeki, dan nasibnya telah berada dalam ketetapan-Nya. Tidak ada yang bisa mempercepat atau menunda kematiannya sedetik pun.

5. Fokus untuk Menyelaraskan Diri dengan Iradat Syar'iyah

Setelah memahami bahwa Iradat Kauniyah pasti terjadi, seorang hamba yang cerdas akan memfokuskan seluruh energinya untuk menyelaraskan kehendak pribadinya dengan Iradat Syar'iyah Allah. Tujuannya hidupnya menjadi sederhana: melakukan apa yang Allah cintai dan ridai, serta menjauhi apa yang Allah benci dan larang. Ia tidak lagi pusing dengan "mengapa ini terjadi," tetapi lebih fokus pada "apa yang harus aku lakukan agar diridai Allah dalam situasi ini." Ini mengubah perspektif dari korban takdir menjadi hamba yang proaktif mencari rida Tuhannya.

Kesimpulan: Menemukan Kedamaian dalam Kehendak-Nya

Iradat artinya adalah Kehendak Mutlak Allah SWT yang meliputi segala sesuatu. Ia terbagi menjadi dua: Iradat Kauniyah, yaitu kehendak penciptaan yang pasti terjadi dan mencakup segala hal baik dan buruk; dan Iradat Syar'iyah, yaitu kehendak syariat yang berisi apa yang Allah cintai dan perintahkan, meskipun tidak semua manusia menjalankannya.

Memahami konsep ini secara benar, sesuai dengan pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, adalah kunci untuk membuka pintu ketenangan hakiki. Ia menempatkan kita pada posisi yang seharusnya sebagai seorang hamba: mengakui kemutlakan kekuasaan dan kehendak Sang Pencipta, sambil secara sadar dan bertanggung jawab menggunakan pilihan (ikhtiyar) yang telah dianugerahkan kepada kita untuk meniti jalan yang diridai-Nya.

Pada akhirnya, iman kepada Iradat Allah bukanlah sebuah dogma yang membuat pasif, melainkan sebuah sumber kekuatan yang membebaskan. Ia membebaskan kita dari belenggu kecemasan, penyesalan, kesombongan, dan ketakutan kepada selain Allah. Dengan berserah diri pada Kehendak-Nya yang Maha Bijaksana, kita menemukan makna sejati dari penghambaan dan merasakan kedamaian yang tidak akan pernah bisa direnggut oleh gejolak duniawi.

🏠 Homepage