Dalam perjalanan hidup, kita sering kali menaruh harapan besar pada sesama manusia. Kita berharap mereka akan selalu ada, memahami, menepati janji, atau bertindak sesuai ekspektasi kita. Namun, filosofi yang mendalam, sering disuarakan oleh tokoh bijaksana seperti Ali bin Abi Thalib, mengingatkan kita akan satu kebenaran fundamental: **jangan terlalu berharap pada manusia**.
Sifat Dasar Manusia yang Fana dan Terbatas
Inti dari nasihat ini terletak pada pemahaman akan hakikat penciptaan manusia. Manusia adalah makhluk yang lemah, lupa, berubah-ubah, dan memiliki keterbatasan mutlak. Mereka bukan Tuhan yang Maha Tahu, Maha Kuasa, atau Maha Setia tanpa cela. Ketika kita menempatkan harapan yang terlalu besar pada pundak mereka, kita sejatinya sedang membebani mereka dengan beban yang bukan milik mereka, dan sekaligus mempersiapkan diri kita untuk kekecewaan yang menyakitkan.
Ali bin Abi Thalib, seorang figur yang menyaksikan langsung dinamika kekuasaan, kesetiaan, dan pengkhianatan, memahami bahwa hati manusia itu mudah berbolak-balik. Apa yang hari ini terlihat pasti, esok bisa berubah karena pergolakan hawa nafsu, tekanan lingkungan, atau sekadar lupa. Berharap pada manusia sama saja seperti membangun rumah di atas pasir yang sewaktu-waktu bisa tersapu ombak.
Mengelola Ekspektasi untuk Kedamaian Batin
Mengapa sangat penting untuk tidak terlalu bergantung secara emosional pada validasi atau tindakan orang lain? Ketika ekspektasi kita terlalu tinggi, setiap kegagalan kecil dari pihak lain akan dianggap sebagai pengkhianatan besar. Hal ini menyebabkan stres, kemarahan, dan ketidakbahagiaan yang berkelanjutan. Kita menjadi budak atas tindakan orang lain.
Sebaliknya, ketika kita membatasi harapan kita pada batas yang realistis—misalnya, berharap orang lain akan berusaha sebaik mungkin, namun menerima jika mereka gagal—kita memberikan ruang bernapas bagi diri sendiri. Kita membebaskan diri dari siklus rasa sakit akibat kekecewaan yang berulang.
Fokus pada Diri Sendiri dan Yang Maha Kuasa
Nasihat untuk tidak terlalu berharap pada manusia bukanlah berarti kita harus menjadi penyendiri atau bersikap apatis terhadap sesama. Sebaliknya, ini adalah seruan untuk menggeser pusat gravitasi harapan kita. Ke mana seharusnya kita mengarahkan harapan tertinggi itu?
Jawabannya adalah kepada sumber kekuatan yang tidak pernah berubah: Allah SWT. Hanya Dia yang janji-Nya pasti, pertolongan-Nya terjamin, dan kasih sayang-Nya tidak berbatas. Ketika kita menempatkan ketergantungan utama kita pada kekuatan Ilahi, tindakan manusia di sekitar kita dipandang sebagai pelengkap atau sarana, bukan sebagai kunci utama kebahagiaan atau keberhasilan kita.
Jika seseorang membantu kita, kita bersyukur. Jika mereka tidak membantu atau bahkan mengecewakan, kita tidak hancur karena sumber kekuatan utama kita tetap teguh. Ini adalah bentuk kemandirian spiritual yang sejati. Kita tetap berinteraksi secara positif, kita tetap berbuat baik, namun jangkar emosional kita tertanam kuat pada sesuatu yang abadi.
Praktik Hidup Tanpa Beban Ekspektasi Berlebih
Untuk mengamalkan prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari, beberapa langkah praktis dapat diambil:
- Asumsi Terbaik, Siapkan Terburuk: Selalu berasumsi bahwa orang lain akan bertindak dari niat terbaik mereka, namun secara mental siapkan diri bahwa hasil akhirnya mungkin tidak sesuai rencana.
- Tindakan Tanpa Pamrih: Lakukan kebaikan tanpa mengharapkan balasan atau pengakuan yang setara dari orang tersebut. Lakukan karena itu adalah bagian dari karakter baik Anda.
- Validasi Internal: Cari pembenaran atas nilai diri Anda dari dalam diri dan dari hubungan Anda dengan Tuhan, bukan dari pujian atau pengakuan orang lain.
- Komunikasi Jelas: Daripada berharap orang lain 'tahu' apa yang kita inginkan, lebih baik komunikasikan kebutuhan atau harapan tersebut dengan jelas. Jika harapan itu tidak terpenuhi, kekecewaan berkurang karena setidaknya kita sudah berusaha mengutarakan.
Pada akhirnya, kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib mengajarkan kita bahwa kerentanan terbesar kita muncul saat kita mengikat kebahagiaan kita pada sifat manusia yang rentan. Dengan membatasi harapan kita pada batas yang wajar terhadap sesama, kita tidak menjadi sinis, melainkan menjadi lebih bijaksana, lebih tenang, dan lebih kuat dalam menghadapi ketidakpastian hidup. Harapan harus selalu diarahkan pada Yang Tak Terbatas, bukan pada yang terbatas.