Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, godaan untuk terus berlari mengejar pencapaian duniawi seringkali menjadi prioritas utama. Ambisi, kekayaan, status sosial, dan kesenangan sesaat tampak menjadi tolok ukur keberhasilan. Namun, banyak hikmah bijak dari masa lalu yang mengingatkan kita untuk meninjau kembali orientasi hidup ini. Salah satu pandangan yang sering diangkat dalam konteks kebijaksanaan Islam adalah peringatan untuk tidak terlalu larut dan terikat pada pengejaran dunia.
Dunia, dalam pandangan spiritual, dipahami sebagai tempat persinggahan sementara. Sifatnya yang sementara, mudah berubah, dan tidak kekal adalah realitas yang harus diakui. Ketika seseorang terlalu fokus mengejar hal-hal yang cepat berlalu, ia berisiko mengorbankan hal-hal yang abadi. Energi, waktu, dan pikiran yang seharusnya dialokasikan untuk perbaikan diri, ibadah, atau kontribusi nyata, justru habis terkuras demi materi yang pada akhirnya akan ditinggalkan.
Peringatan semacam ini sering dikaitkan dengan nasihat para sahabat besar Rasulullah SAW, termasuk Ali bin Abi Thalib, yang dikenal dengan keluasan ilmunya dan kedalaman pemahamannya tentang hakikat kehidupan. Nasihat tersebut bukan berarti melarang mencari nafkah atau menikmati karunia Tuhan, melainkan menempatkan prioritas pada tempatnya. Ia adalah seruan untuk hidup seimbang, di mana amal untuk akhirat tidak tergerus oleh kesibukan dunia.
Mengejar dunia tanpa batas memiliki konsekuensi yang nyata. Pertama, munculnya kegelisahan kronis. Seseorang yang selalu merasa kurang, meski sudah mencapai banyak hal, akan hidup dalam siklus ketidakpuasan. Kebutuhan yang diciptakan oleh keinginan cenderung tidak terbatas, sementara kemampuan manusia untuk memenuhinya terbatas oleh waktu dan sumber daya.
Kedua, pengabaian terhadap tanggung jawab spiritual dan sosial. Ketika fokus tertuju pada akumulasi pribadi, hubungan dengan Tuhan dan sesama seringkali menjadi renggang. Keseimbangan hidup yang sehat membutuhkan porsi yang cukup untuk introspeksi diri, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dan memberikan manfaat bagi komunitas. Jika porsi dunia terlalu mendominasi, pilar-pilar penting kehidupan lainnya akan runtuh perlahan.
Lalu, bagaimana kita menyikapi hidup agar tidak terkesan "tidak mengejar" namun juga tidak "terlalu dikejar"? Kuncinya adalah menanamkan kesadaran bahwa setiap usaha yang dilakukan di dunia ini harus memiliki tujuan akhir yang lebih besar. Bekerja keras, berinovasi, dan berusaha mencari rezeki adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab kemanusiaan. Namun, hasil dari usaha tersebut harus dipandang sebagai amanah, bukan sebagai tujuan akhir itu sendiri.
Mengadopsi filosofi hidup bahwa "rezeki sudah dijamin, tugas kita adalah berusaha dengan baik dan bersyukur" dapat mengurangi beban psikologis dari pengejaran yang obsesif. Ketika kita melakukan pekerjaan dengan ikhlas, hasil akhirnya—baik besar maupun kecil—diterima dengan lapang dada karena kita tahu bahwa nilai sejati diri kita tidak ditentukan oleh angka di rekening bank atau jabatan di kantor.
Ali bin Abi Thalib pernah mengajarkan pentingnya zuhud—bukan berarti hidup sengsara, tetapi hidup tanpa menjadikannya sebagai pusat orientasi. Kehidupan yang dijalani dengan kesadaran akan kefanaan duniawi adalah kehidupan yang lebih tenang, lebih bermakna, dan lebih terarah. Daripada berlari kencang mengejar bayangan yang terus bergerak, lebih baik kita fokus menanam benih-benih kebaikan yang hasilnya akan kita petik di keabadian.
Oleh karena itu, mari kita ubah paradigma. Kejar akhirat dengan sungguh-sungguh, dan biarkan dunia datang sebagai pelengkap yang mendukung perjalanan kita, bukan sebagai tujuan utama yang menguras energi dan jiwa.